Bagian 6
Pagi itu Tumin mengendarai sepedanya menuju rumah Samingun. Rumah yang layaknya kandang, karena memang bekas kandang sapi. Rumah itu di belakang rumah utama milik Jemirun. Bekas kandang sapi itu terletak di bawah rindangnya rumpun bambu.
"Ngun! Lagi melamun, kau?"
"Eh... kau, Min? Yah beginilah nasib kalau nikmat sudah dicabut pemilik-Nya. Layaknya Lurah Sosro kehilangan kelamin."
"Tapi kau jangan kendat, Ngun. Layaknya Sosro yang tidak bisa menerima kenyataan hidup tanpa kelamin."
"Tidaklah, Min. Hidup masih terlalu nikmat untuk ditinggalkan."
"Istrimu mana?"
"Buruh tandur."
"Anak-anakmu?"
"Ikut mertuaku."
"Nelangsa sekali hidupmu, Ngun!"
"Begitulah."
"Nanti malam ikut aku saja."
"Maling sapi?"
"Ya. Apalagi kalau bukan, Ngun?"
"Hmm..."
Samingun tercenung sesaat. Ia nampak berfikir dalam sekali. Matanya menerawang jauh menembuas dimensi ruang waktu. Seolah ingin menguliti segala misteri semesta fana. Apakah ia mesti terjun menjadi maling? Setelah menjadi petaruh yang gagal, hingga membawanya terjerembab di dasar kenestapaan hidup. Ia kini miskin, fakir, papa, dan hanya punya istri dan anak saja. Haruskah ia menambah koleksi dosanya yang sudah menggunung? Tapi apa perut tahu dosa?
"Bagaimana, Ngun?"
"Kemana operasi nanti malam?"
"Ikut saja."
"Hmmm.."
"Hmmm apa, Ngun?"
"Aku ijin istriku dulu ya, Min."
"Halah, istri kan tahunya uang. Untuk apa ijin segala?"
"Ya tetap perlu. Ini kan dunia baru bagiku, Min. Kalau ada apa-apa denganku bagaimana?"
"Ya sudah. Kalau kamu diijinkan, jam lima sore aku tunggu di rumah."
"Ya, Min."
Mereka terlihat membahas sesuatu yang serius. Dua kolega yang sama-sama bajingan tengik. Mungkin tidak jauh-jauh dari ketengikan mereka yang dibahas. Suara mereka baur dengan gemerisiknya daun-daun bambu tertiup angin dan derit batang-batang bambu beradu kekokohan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro