Bagian 16
Bule-bule itu mengintimi dunia ketiga dengan takzim. Semua yang tidak ada di negerinya adalah keindahan yang harus diekspoitasi. Mereka menyukai pecel ulek Mbok Mijem, soto Mbah Jumilah, Sate Kang Badrun, Bubur kacang hijau Mak Ikem. Semua menaggok untung dari perhelatan akbar itu. Bukan hanya penjual makanan, penjual kerajianan tangan, tukang ojek, angkutan pedesaan, penyewaan sepeda, semua kecipratan rejeki. Ini yang dimaksud "multiple effect" menurut lima pemuda progresif itu.
Lima pemuda progresif itu sibuk sekali mempersiapkan acaranya. Besok fajar pertujukan "Tarian Dari Surga" akan digelar. Properti pertujukan semua sudah siap, sampai sedetail-detailnya. Tugas berat justru memoles Markenes menjadi layak "jual" merisaukan mereka. Jika pertunjukan pertama ini mengecewakan, jangan harap ada turis berbondong-bondong ke desa ini lagi.
"Bagaimana Markenes, Kun?"
"Sudah ada yang mengurus, Luk?"
"Siapa?"
"Eni dan kawan-kawan."
"Oh, sip."
"Kita sekarang ke rumah Markenes."
"Loh katanya sudah ada yang mengurus?"
"Bukan mau mengusrus dia."
"Lalu?"
"Kedua orang tuanya."
"Pembayaran?"
"Yap! Kalau kita bayar dimuka, mereka akan sangat percaya kita. Pertunjukan pertama seratus persen wisman. Jadi kita bayar sepuluh juta."
"Uang sudah kau tarik dari bank?"
"Sudah, tenang saja."
Malam itu kelima pemuda progresif itu mendatangi orang tua Markenes. Markadut menyambutnya dengan senyum mengembang. Keduanya mempersilakan masuk sekutu baru mereka. Dari dalam kamar Markenes terdengar bersenandung. Seperti biasa nyanyian cabul tentang kelamin Lurah Sosro lah syair yang ditembangkan.
"Mari masuk, Mas-mas."
"Iya, Pak. Mbok Markisut mana, Pak?"
"Lagi di dapur. Sebentar ku panggil."
Markadut berdiri dari duduknya. Ia berlalu dari hadapan lima pemuda itu. sebentar saja Mbok Markisut sudah membuntutinya dari belakang. Kedua orang tua Markenes itu duduk dihadapan lima pemuda progresif itu.
"Maksud kedatangan kami ingin membayar upah Markenes untuk petunjukan pertama besok, Pak. Mbok," ucap Kuntarto.
"Loh kan belum bekerja to, Mas. Kok upahnya sudah dibayar?" tanya Markisut sumringah.
"Untuk pertunjukan pertama ini, kami bayar dimuka, Mbok."
Kuntarto mengeluarkan uang pecahan seratus ribuan satu gepok. Mata Markisut dan Markadut berbinar hijau. Begitu tangan Kuntarto menyerahkannya, mereka menerimanya dengan takzim. Kedua orang tua Markenes itu menciumi "berhala" nya itu dengan kusyuk dan penuh cinta.
"Terima kasih, Mas. Kami terima ya uangnya."
"Silakan dihitung dulu, Pak. Mbok."
"Tidak usah. Kami percaya ini genap sepuluh juta."
"Terima kasih atas kepercayaannya, Pak. Mbok."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro