Bagian 12
Mereka semua tertelan pintu uzur itu. Kini kelima anak muda itu telah duduk di ruang tamu. Pada sebuah kursi anyaman rotan yang sudah renta. Iblis yang menyertai mereka duduk di antara Markisut dan Markadut. Kuntarto mewakili kawan-kawannya membuka pembicaraan:
"Maksud kedatangan kami begini, Pak. Mbok. Kami hendak menolong Markenes."
"Menolong yang bagaimana, Mas?" tanya Markadut.
"Selama ini kan Markenes dipasung, Pak. Bagaimana kalau dilepaskan saja."
"Loh. Dilepas bagaimana to, Mas? Nanti ya seprti yang lalu-lalu, menari telanjang di perempatan jalan desa." Mimik muka Markadut nampak seius dan mengguratkan ketegangan pada otot-otot mukanya. Matanya mendelik, alisnya terangkat, dan keningnya berkerut.
"Justru itu yang ingin kita manfaatkan, Pak?"
"Maksud sampean?"
"Kita bikin panggung resmi untuk pertunjukan tarian Markenes."
"Kamu gila anak muda! Kalian mau menjual anak saya?"
"Tunggu dulu penjelasan kami, Pak."
Iblis senior yang duduk diantara Markisut dan Markadut mulai membisikkan angin surga ke telinga suami istri itu. Dari dalam kamar, Markenes mendendangkan lagu cabul. Ia memanggil-manggil kontol Lurah Sosro.
"Penjelasan yang bagaimana lagi?"
"Begini. Kita akan membuat panggung resmi pertunjukan dengan mengundang wisatawan dari luar negeri dan dari dalam negeri. Setiap penonton dari luar negeri Markenes akan mendapatkan seratus ribu. Penonton dalam negeri Markenes akan mendapat limapuluh ribu. Penonton kita batasi seratus orang. Kalau semua penonton dari luar negeri sekali pertunjukan Markenes akan mendapatkan sepuluh juta, jika semua dari dalam negeri mendapat lima juta. Jadi kisaran pendapatan Markenes sekali tampil lima juta sampai dengan sepuluh juta."
Mendengar penjelasan itu Markadut dan Markisut matanya menjadi berbinar hajau. Uang! Banyak lagi. Belum pernah pun mereka memiliki uang sebanyak itu. keteguhan moralnya goyah oleh "Tuhan" uang.
"Weeee.. Banyak itu, Pakne. Kita akan kaya! Wes lah terima saja!" seru Markisut.
"Tapi bagaimana dengan harga diri anak kita?"
"Lah, bukanya dia sudah tidak punya harga diri? Tidak waras begitu, harga diri apa?"
"Hmmm, benar katamu..."
Suami istri itu sepertinya sudah runtuh integritas moralnya. Godaan "Tuhan" uang membutakan mata hatinya, nuraninya, dan kemanusiaannya. Itulah mahadaya "uang."
"Baiklah, Mas. Kami menerima tawaran kalian. Tapi kami mohon setelah selesai menari kembalikan Markenes kepada kami."
"Oh. Tentu, Pak. Kami akan menjaga Markenes, karena dia adalah aset yang sangat berharga."
"Sepakat, Mas. Mulai kapan Markenes akan menari?"
"Awal Agustus, Pak. Saat sawah selesai panen."
"Baiklah."
"Kami sedang mempromosikannya lewat internet"
"Apa itu internet?"
"Jaringan di dunia maya, Pak." Markisut dan Markadut manggut-manggut meski mereka sama sekali tidak faham apa itu internet.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro