Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 10

Mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Terong kisut tergantung diselangkangan mereka, namun tidak mereka pedulikan. Keduanya pun membasuh hadas dengan air tujuh sumur dan kembang tujuh rupa. Air yang meraka hambur-hamburkan resap ke tanah. Bunga tujuh rupa tidak ikut meresap, karena pori-pori tanah tidak memungkinkan bunga-bunga itu merembes.

"Bersila menghadap segara kidul, Ngun," kata Tumin.

"Baik."

"Pejamkan mata. Satukan pikiran. Ikuti mantra yang aku baca."

"Baik."

Tumin merapal mantranya. Tangannya menguluk sembah. Pada tangan tersemat dupa yang sudah berasap. Mantra yang dibaca ternyata syair lagu dangdut koplo, seperti yang biasa Mardubus baca. Diawali dengan kalimat "Bul ngibal ngibul crit! Bul ngibal ngibul crot!" Lalu syair lagu dangdut koplo melanjutkan kalimat itu.

"Ngun. Kita berangkat lewat jedela, jangan lewat pintu."

"Jendela mana, Min?"

"Jendela itu." Tumin menunjuk ke arah jendela yang ia maksud.

"Oh, ini tanah kuburan. Kau bawa, jangan sampai ketinggalan."

"Untuk sirep?"

"Ya."

"Baik."

Merekapun berangkat berjuang untuk keluarga. Mengejawantahkan "tangung jawab" dengan caranya sendiri. Penafsiran "tangung jawab" memang bias, dan sprektum perbedaannya sangat lebar. Semua tergantung latar belakang pendidikan, integritas moral, dan profesi masing-masing.

Malam benar-benar membekap Desa Sindang Sari dengan jubah hitamnya. Cahaya lampu listrik menerangi kegelapan dimensi ruang tempat para manusia beraktifitas pada malam hari. Tak terkecuali di teras rumah Suharno, juragan hasil bumi itu. Lima pemuda progresif sedang mempersiapkan sesuatu untuk dibawa ke rumah keluarga Markenes. Gula, kopi, teh, dan biskuit masuk dalam satu wadah kantong plastik besar warna merah.

"Kita ke sana habis Isya saja, kawan," usul Kuntarto.

"Baik. Kalau semua berjalan sesuai rencana, berapa hari sekali kita mau gelar pertunjukan Tarian Dari Surga ini, kawan? Tanya Bambang.

"Tergantung yang reservasi. Kalau bisa minimal seminggu dua kali."

"Lalu berapa mau kita beri upah si penari?" tanya Ishom.

"Aku merancang untuk pengunjung lokal dia dapat Rp.50.000,- per orang dan untuk wisman Rp.100.000,- per orang. Bagaimana menurut kalian?"

"Wah, sudah sesuai itu," kata Pambudi.

"Nah begitu dong, Pam. Urun bicara mesti hanya mengegongi saja," ucap Lukito.

"Hahaha..." Semua tertawa renyah, penuh percaya diri.

"Bagaimana, Kun? Sudah ada yang reservasi?" tanya Lukito.

"Baru tahap penjajakan, tanya segala hal tentang "Tarian Dari Surga" itu. Aku optimis minggu depan sudah full book."

"Yah. Menjual kelamin dan kenikmatan itu mudah. Tidak seperti menjual surga hakiki, susah laku!"

"Hahaha..."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro