Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tujuh : Terror

Tara sama sekali tidak bisa memejamkan matanya barang semenit pun. Ucapan Raka semalam terngiang di kepalanya. Kenapa pria brengsek itu lancang bertanya mengenai cinta pertama di saat hal itu sudah tidaklah penting bagi mereka.

Alih-alih menjawab, Tara justru mendengkus pelan, kemudian menyusul Karina ke meja dessert.

Ia pikir, pertanyaan itu hanya kebodohan tak terhindar dari Raka, namun nyatanya, bisa membuatnya tidak bisa tidur hingga jam di dinding sudah menunjukan pukul dua pagi dini hari.

Sial!

Saat tatapannya tertuju pada langit-langit kamar yang gelap, ponsel di sampingnya berdering nyaring, tertera nama Raka dengan profil pria itu. Lalu, tanpa pikir panjang ia mengomel, "Orang gila mana yang nelepon dini hari gini?!"

"Lah? Salah nih, gue?"

"Gak usah nanya!"

"Udah berbaik hati gue mau nemenin lo begadang."

Tara mendengus. "Kata siapa gue begadang?"

"Dio."

Untuk pertama kalinya, ia menyesal tinggal di sebelah kamar Dio. Dalam keremangan malam, ia membuka gorden jendela, dan di sebelahnya, pria itu terduduk di lantai balkon dengan laptop di pangkuannya. Dini hari dan adiknya masih bekerja? Hebat. Padahal besok libur.

"Tar? Lo masih melek 'kan?"

"Berisik."

"Besok balik jam sepuluhan, yuk."

"Gue bilang berisik."

"Gue mau mampir dulu sih ke kedai. Mau ngecek. Lo ikut, ya?"

"Azraka."

"Iya, sayang?"

Tut.

Demi Karina yang pengin segera dinikahi, si bodoh Raka ini apa tidak merasa bersalah sudah membuatnya susah tidur begini? Dan—apa katanya? Pulang? Mereka baru pulang kemarin siang, dan Tara sebenarnya masih merindukan rumah. Ia merindukan perdebatan panas dengan adiknya.

Ponselnya kembali menyala, menampilkan pesan.

Raka Tasena : Jam sepuluh gue jemput 😋

🍩


"Kamu yakin, Dek, mau pulang sekarang?"

Tara mengangguk. "Besok Tara harus kerja, Bu."

"Tapi ini masih pagi, lho. Dio aja mau berangkat abis Maghrib." Eva menunjuk Dio yang duduk manis menonton acara TV pagi ini. "Kamu bareng Dio aja, ya?"

"Dio kan bareng pacarnya, Bu. Aku males ah kalau jadi nyamuk," tolaknya.

Dio menoleh pada kakaknya, lalu memberikan ponselnya pada sang ibu, di sana tertera pesan dari pria itu yang meminta Dio untuk pulang malam nanti agar Raka bisa pergi dengan Tara. "Nih, Bu, kak Raka udah bilang kalau Tara harus pulang sama dia. Soal jadi nyamuk cuma alesan aja," jelasnya.

Sontak saja Eva tersenyum jahil. Ia tahu, hubungan keduanya membaik dan menjalin pertemanan, sedikit berharap mereka segera menikah—meskipun baik Tara maupun Raka tak pernah membahas hubungan serius tersebut. Namun, yang namanya orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka, termasuk perihal pasangan.

Pernah saat itu, Eva berkunjung ke apartemennya selama satu minggu, dan selama itu pula ia menanyai hubungan keduanya. Namun, respon Tara tak lebih dari; "Kami sama-sama udah dewasa, Bu, tahu mana yang cocok dijadikan teman, atau pasangan."

Eva membalasnya dengan helaan napas kasar. "Mau cari yang gimana lagi, Dek?"

"Nyari?" Tara mengernyit. "Aku nggak nyari. Kalau pun udah waktunya, pasti datang melamar 'kan?"

Maka, saat Dio ataupun Karina melapor hubungan Tara dan Raka, Eva hanya bisa tersenyum seperti sekarang. Tidak ingin merecoki hubungan mereka yang kembali akur.

"Apa sih, Bu? Cuma pulang bareng kok," sanggah wanita itu saat melihat respon ibunya.

"Loh, emang ibu kenapa?" tanya Eva. "Ibu kan nggak bilang apa-apa."

Dio mendengkus geli. "Sana pergi."

Tara menarik rambut adiknya, yang langsung mendapat erangan dari sang empunya. "Lo tuh, ya! Ada gue nyebelin, nggak ada gue nanyain!"

Dio mengerang.

Eva tertawa melihat itu. Tara benar. Dio selalu menanyai kapan kakaknya pulang, padahal saat bertemu pun mereka tidak banyak bicara. Sebab, Dio selalu memancing kekesalan Tara seperti saat ini.

"Udah kenapa, sih? Anya nggak suka rambut gue makin tipis gara-gara lo!" kata Dio yang menahan tangan kakaknya yan gmenarik rambutnya.

Tara mengalah. Ia membenarkan letak tasnya lalu mengalihkan atensinya pada Eva. "Papa Arsen ke mana, Bu? Tara mau pamit."

"Main golf sama teman kantor. Kamu pulang aja, nanti ibu sampein."

"Oke." Tara mengangguk.

"Raka udah sampe mana? Duduk dulu, sini." Eva menepuk sofa di sebelahnya. Menyuruh anak sulungnya duduk.

"Masih di jalan, sih, katanya." Tara duduk di samping ibunya. Perasaannya mulai tidak enak.

"Kemarin malam papa nelepon ibu. Pas kamu berangkat kondangan itu, lho. Dio juga dengar," Eva berdehem. "Kata papa kapan ada rencana mau nikah?"

Mau tak mau dengkusan kasar keluar dari wanita itu. "Bu, Tara masih nyaman sendiri. Masih mau naikin karir dulu. Ibu tahu, kan?"

"Iya, iya. Ibu tahu. Tapi papa kamu ini, lho, tahu sendiri gimana."

Tara mengerti. Ibunya membebaskannya akan menikah kapan saja, tapi sang papa jelas sebaliknya. Dengan usia yang tidak lagi muda, juga fisik yang sudah tidak prima jelas pria paruh baya itu ingin melihat anaknya naik pelaminan. Namun, masalahnya ada pada dirinya. Tara masih tidak memikirkan kapan ia harus menikah, menjalin hubungan serius dan dengan siapa.

"Kamu pikirin lagi perkataan papamu. Jangan sering mengabaikan telepon atau pesan papa gitu, Dek, nggak baik."

Ia hanya mengangguk sebelum semuanya makin panjang.

🍩

Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang saat ia memasuki apartemen. Raka memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa tanpa memedulikan omelan Rissa yang masih berdiri di depan pintu. Ia sudah cukup lelah.

"Kamu dengerin aku nggak, sih, Raka?!" Wanita itu berdiri menjulang di sampingnya. "Aku minta kamu jelasin kenapa kemarin pulang ke Bogor nggak kabarin aku? Sesibuk apa kamu di sana?"

Raka berdecak dengan mata setengah terpejam. "Bisa diem dulu? Aku cape banget."

"Aku juga cape! Aku abis kerja, sempetin ke sini buat ketemu kamu!"

"Aku lagi nggak mau berantem. Kamu bisa pulang sekarang." Raka membalikkan tubuhnya ke sandaran sofa, memberi tanda ia tidak bisa diganggu dan butuh waktu sendiri.

Dapat ia dengar suara langkah kaki yang menjauh disusul bantingan pintu yang membuatnya berjengit. Raka membuka kedua matanya, menatap lampu yang bergantung pada tempatnya. Ia berharap, ada setitik cahaya yang muncul di sana yang bisa menjernihkan pikirannya.

Setelah mengantar Tara sampai basemen siang tadi, ia tidak ikut naik ke unitnya, melainkan pergi menemui Sesha yang sedang berada di Jakarta. Pertemuan tadi membuat kepalanya berdenyut, belum lagi teror sang mami yang bertanya, "KAMU KAPAN MAU NGASIH MAMI MENANTU?" atau paling tidak, "KAPAN KAMU PUTUSIN PACAR KAMU YANG MODEL ITU?!"

Dan ujung-ujungnya, ia hanya akan berteriak pada diri sendiri. "KAPAN GUE NGGAK DITEROR MELULU?"

Ya, Gusti. Raka berdecak pelan seraya bangkit dari sofa. Melihat kucing kesayangannya yang teronggok lemas di karpet membuatnya menyiapkan makan siang untuk Moli.

Ah, perihal makan siang, apa tetangganya juga sudah makan siang?

Raka memainkan ponselnya.

Azraka Tasena : Udah maksi blm, Bu?

Azraka Tasena : Gue gofut Richeese, ya.

Tara Givanka : G.

🍩

Haiooo!!!
Akhirnya udah 1k viewers! Sayang banget sama kalian🤗🤗

Aku bakal lanjut kalau vote udah 200 ya! Yang siders tolong klik bintang di bawah biar aku semangat updatenya💜

—Salam donat💜
08/10/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro