Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tujuh puluh : Alasan

Suasana pagi yang sepi hari itu benar-benar terwakilkan oleh mendungnya langit hingga siang hari. Seolah penghuni rumah meminta agar semesta ikut merayakan kesedihannya.

Semua sudah kumpul di meja makan dan sarapan dengan tenang. Abin masih tertidur di kamar Dio, sengaja tidak Anya bangunkan. Hanya ada suara Ahza yang mengisi ruang makan, sesekali Gita menyahut. Kesedihan terasa jelas di sana.

"Ibu udah pulang, Tar?" tanya Gita pada Tara. Kemarin Eva dan Arsen memang datang ke sini dan menghadiri pemakaman, mereka baru pulang ketika menjelang malam dan memutuskan untuk menginap di hotel yang jaraknya tidak terlalu jauh dari bandara. Begitupun dengan Kiera.

"Udah, Tante. Tadi subuh. Papa Arsen ada kerjaan," jawab Tara lurus.

Gita mengangguk. "Kalau mertua kamu? Mami Kiera?"

Raka memasang telinganya. Ia ingin mendengar suara Tara lagi. Raka tahu maminya belum pulang, sementara papinya tidak bisa ikut karena saat mendapat kabar itu Bian baru saja masuk ruang operasi dan tidak bisa ditinggalkan.

"Mami nggak ada ngehubungin. Mungkin belum?" Tara melirik pada suaminya. "Mami ada telepon kamu?"

"Nggak." Raka menggeleng. "Nanti aku telepon."

Setelah itu pembicaraan diisi dengan beberapa hal yang harus diurus setelah kepergian Farhan. Dio dan Anya mengucapkan maaf karena tidak bisa lebih lama di sini karena pernikahan mereka tidak bisa diundur. Semua sudah mencapai sembilan puluh lima persen.

Ketika hari beranjak siang, Gita membawa Dio dan Tara memasuki ruang kerja ayahnya. Ada banyak catatan yang pria itu tuliskan entah apa—Gita sendiri tidak pernah membukanya. Farhan hanya mengatakan kalau buku ini untuk anak-anaknya.

Gita membuka laci meja paling bawah, lalu mengeluarkan buku catatan bersampul hitam itu dan menyimpannya di atas meja. "Tante nggak pernah tahu isinya. Papa kalian bilang ini hanya untuk anak-anak. Tapi karena Ahza masih kecil dan nggak mengerti, kalian bisa kasih tahu Tante setelah membaca isinya."

Dio dan Tara menatap buku itu dengan ragu. "Tante nggak mau ikut baca?" tanya Dio.

Gita menggeleng. "Tante keluar dulu, ya."

Setelah peninggalan Gita, Dio dan Tara duduk di sofa panjang yang ada di sana, membaca halaman demi halaman dengan seksama.

🍩

"Raka mau pulang sama Tara, Kek.... Bagaimana pun juga di sini kami masih berduka. Nggak seharusnya Raka pulang dan pergi ke kantor sementara Tara masih diselimuti kesedihan.... Raka nggak bisa.... Di sini kami nggak lagi liburan! Kakek nggak tahu gimana rasanya jadi Raka yang gagal jadi suami." Dengkusan kasar keluar dari pria itu setelah memutuskan telepon dengan sepihak.

Dasar kakek tua menyebalkan! Harusnya dia yang lebih dulu ditinggalkan oleh istrinya lebih paham bagaimana perasaan gue!

"Ka..."

Raka menoleh pada Tara yang kini berjalan ke arahnya. "Kenapa sayang?"

"Kalau kamu mau pulang, nggak pa-pa. Aku masih harus di sini mengurus beberapa hal. Papa ternyata menitipkan perkebunan ini pada salah satu temannya. Aku harus bicarain ini dulu dan mengurusnya sampai beres karena Dio nggak bisa lebih lama di sini."

"Tapi.... " Raka menatap istrinya dengan sedih. "Sayang... kamu punya aku. Apapun yang terjadi aku bisa bantu. Aku nggak akan biarin kamu sendirian." Ia mengamit lengan Tara, membawanya ke depan dada.

"Aku akan minta bantuan kamu untuk jaga Abin selama aku di sini. Kamu pulang sama Abin, ya? Sekretaris kamu pasti kerepotan karena kamu nggak masuk hari ini. Ibu bilang Abin bisa tinggal sama ibu dulu untuk sementara selama aku di sini."

"Sayang...."

"Bukan karena aku nggak menghargai kamu sebagai suami, tapi aku tahu kerjaan kamu lagi banyak banget. Aku cuma minta kamu pulang dan kerja, setelah urusanku di sini selesai aku akan minta mau jemput. Aku janji sebelum pernikahan Dio, aku udah ada di Jakarta." Tara menatap Raka dengan penuh keyakinan.

Raka memeluk istrinya. Entah bergumam apa, Tara tidak dapat mendengarnya. Ia balas memeluk. Ada hangat yang menyeruak ke dalam hatinya.

"Janji akan terus hubungi aku? Angkat telepon aku? Nggak bikin khawatir?" tanya Raka.

"Janji."

🍩

Lima hari berlalu, Tara belum juga pulang ke Jakarta. Ia masih berada di rumah besar itu, menikmati dukanya dan membantu Gita mengurus surat menyurat dalam beberapa hal. Sementara Dio dan Anya sudah pulang sejak hari ketiga karena pernikahan mereka tersisa beberapa hari lagi.

Farhan telah membuat sebuah surat wasiat yang saat itu disaksikan oleh kuasa hukumnya. Ia juga sempat menitipkan anak dan istrinya pada beberapa orang agar saat ia tidak ada nanti, mereka akan tetap menjalani hidup dengan semestinya. Dan sebagai anak pertama, Tara akan memastikan semuanya.

Setelah pulang dari perkebunan sore ini, Tara mampir ke makam ayahnya dan menyimpan sebuket bunga lili di sana. Ada banyak hal yang belum ia lakukan untuk ayahnya, balas budinya sebagai anak, limpahan kasih sayangnya seperti yang ayahnya berikan padanya selama ini, merawatnya hingga sayang ayah menutup mata.

Katanya, anak perempuan cenderung lebih dekat dengan sang ayah. Tara mengakuinya. Meskipun ayahnya yang lebih dulu menggugat cerai ibu dulu, meninggalkan mereka dengan tanya, tidak pernah sekali pun berusaha bertemu, namun Tara tetap menyayangi ayahnya.

Tara selalu ingin berada di samping ayahnya setiap saat sejak ia tahu penyakit yang diderita ayahnya. Baginya, ayah adalah cinta pertamanya. Yang mengajarkannya tentang cinta dan patah di waktu yang sama. Pria paling baik yang berhasil menjadi ayah untuknya dan Dio.

Lama di sana, Tara hanya menatap pusara di depannya dengan sendu tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya, lalu pulang dengan perasaan hampa. Hal itu terus berulang sejak beberapa hari lalu.

Ponselnya menyala di atas nakas saat Tara keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Ada pesan masuk dari suaminya dan beberapa panggilan tak terjawab.

Papip Abin : Ciluk...

Papip Abin : Ba!

Papip Abin : Wkwk.

Papip Abin : Coba tebak, siapa yang gantungin selimut di kepala Abin?

Tara Givanka : Abin kamu apain?? T_T

Tara Givanka : Pasti kamu yang nutupin Abin pake selimut.

Papip Abin : Salah.

Tara Givanka : Siapa?

Papip Abin : Abin sendiri. Mau main petak umpet katanya.

Senyum di bibir wanita itu terbit. Raka tidak menitipkan Abin pada Eva. Ia lebih memilih merecoki Seila dan kakeknya yang sudah tua itu di rumah Dirgantara. Dan setiap harinya pria itu akan mengirimkan banyak foto Abin padanya. Laporan kepada mamim Abin katanya.

Tara Givanka : Lepasin Pip, kasian Abin ga bisa napas itu.

Papip Abin : Ini mau bobok, Mim. Siap meluncur ke alam mimpi.


Tara Givanka : Kangen Abin.

Papip Abin : Papipnya?

Tara Givanka : Kangen juga :(

Papip Abin : Sayang.

Tara Givanka : Hehe. Lusa aku pulang, ya.

Papip Abin : Meluncur menjemput mamim ✈️

Tara Givanka : Haha. Sayang. Lucu banget.

Papip Abin : MAKSUDNYA??? AKU??? ><

Tara Givanka : Emoji pesawatnya.

Papip Abin : 😀

Papip Abin : I love you, sayang 😍😍😍😘😘😘😘💜💜💜🤗🤗🤗

Tara Givanka : Apa sih Pip 😂

Papip Abin : Gapapa 😀

Papip Abin : Abin pasti seneng banget mau ketemu Mamim.

Tara Givanka : Abin beneran nggak rewel kan?

Papip Abin : Nggak, sayangku. Dia kalau ngamuk aku kasih ke Seila, hehe.

Tara Givanka : Pip.

Papip Abin : BERCANDA SAYANG 🙏😀

🍩

Papip Abin : Siap menjemput Mamim.

Tara Givanka : Lucu banget anak mamim.

Tara Givanka : Aku bentar lagi take off.

Papip Abin : Take care sayang.

Tara Givanka : Okay.

Tara kembali menggulir pesannya beberapa jam lalu dengan Raka. Tidak ada balasan lagi dari suaminya. Lima belas menit ia menunggu, namun Raka belum juga datang. Beberapa kali Tara mencoba menghubungi nomor Raka namun ponselnya tidak aktif.

Tara Givanka : Sayang? Kamu masih di mana?

Tidak ada balasan.

"Mamim!" seru Raka dari kejauhan. Ia menggendong Sabrina dan melambaikan tangan padanya dengan senyuman lebar.

Tara mendesah lega. Ia menghampiri suami dan anaknya.

Raka menarik Tara ke dalam pelukannya bersama Abin. "I miss u a lot."

"Me too." Tara mengambil Abin dari gendongan suaminya dan menciumi wajah anaknya yang kesenangan. "Kesayangan mamim nakal gak, nih?"

"Nda, Mim!" Abin menggeleng cepat. "Abin aik angett!"

Tara tertawa mendengar jawaban Abin. "Anak pintar!"

"Lama ya? Ada kecelakaan di depan law firm di dekat toko perhiasan itu, macet panjang," jelas Raka.

"Hadian And Partners?" tanya Tara.

Raka bergumam sembari mengambil alih koper Tara, lalu memasukkannya ke bagasi.

Itu tempat kerja Ganesh. Dulu. Sebelum ia diberhentikan sebagai lawyer dengan alasan yang tidak Tara ketahui.

"Sayang?" panggil Raka yang akan memasuki pintu kemudi.

"Aku mau tanya."

"Tanya apa? Kita bisa bicara nanti? Kayaknya hape aku ketinggalan di rumah. Aku lupa ada meeting sama pak Halim abis makan siang," katanya.

Tara mengangguk. "Okay."

Jalanan yang dilewati Raka tadi sudah tidak macet, beberapa wartawan masih di sana untuk meliput tempat terjadinya kecelakaan. Tara mendesah berat. Ia masih penasaran apa yang Raka katakan pada Ganesh malam itu.

"Aku nggak bisa stay di rumah sayang, harus balik kantor lagi abis ini karena Kalia udah kirim schedule di email tadi pagi," jelas Raka.

"Iya, Pip. Aku juga mau istirahat dan main sama Abin aja di rumah." Tara mengusap puncak kepala Abin dengan lembut. Balita itu sudah tertidur pulas dengan dot yang tersumpal di mulutnya.

Raka menyempatkan untuk menatap istrinya sebentar sebelum kembali fokus pada jalanan, ia menggenggam tangan Tara. "I love you."

"Me too."

Raka tersenyum lembut pada istrinya. "Kamu mau nanya apa tadi?"

"Ganesh," ucap Tara. Ia dapat melihat perubahan raut wajah Raka yang tidak sedap. "Aku dengar dia diberhentikan dari Hadian And Partners."

"Lalu?"

"Apa itu semua ulah kamu?" tanya Tara.

"Ulahku?" Ada kekehan sebelum Raka kembali bicara. "Aku cuma bantu seseorang untuk membersihkan namanya."

"Tapi kamu ikut andil?"

"Hm... tidak secara langsung." Raka berusaha untuk tidak menatap istrinya sekarang.

"Ka, kamu nggak perlu bertindak sejauh itu."

"Sayang, dengar... aku nggak bikin dia dipecat. Itu keputusan dari pihak yang dirugikan, bukan aku. Aku cuma serahkan bukti dan semuanya selesai," ucap Raka. "Aku nggak bertindak jauh, oke?"

"Aku mau ketemu Ganesh."

"Tar..." Raka mengerang frustasi. "Kamu nggak perlu merasa bersalah. Dia emang terbukti salah dan harus diberhentikan."

"Raka, Ganesh tulang punggung keluarganya. Orang tua dan adik-adiknya bergantung padanya, kalau Ganesh diberhentikan—"

"Lantas itu jadi tanggung jawab kamu? Dia berpendidikan, punya banyak relasi, pengalamannya banyak, uangnya juga nggak semuanya habis dalam satu waktu. Apa yang kamu khawatirkan?"

Tara diam. Sisi baiknya mengatakan kalau apa yang Raka lakukan tidak benar. Tidak seharusnya Raka ikut campur tentang pekerjaan Ganesh karena sikap asusila pria itu pada Tara. Ia masih punya nurani untuk membuat seseorang kehilangan pekerjaannya.

"Aku cuma kasih dia peringatan dengan siapa dia mencari masalah," ucap Raka.

🍩

Terjawab sudah ya kemana hilangnya Ganesh. Raka memakai kekuatan keluarganya untuk melindungi siapapun yang berhubungan sama dia. Dan di chapter 5.. Raka udah peringatan kalo Ganesh ga akan muncul lagi di hadapan Tara dan Raka. Dan semuanya terbukti :)

Untuk seseorang yang gak punya power apapun, Tara pasti kaget dan gak nyangka kalau Raka juga jadi alasan hilangnya pekerjaan Ganesh. Namanya juga Tara kan, ada rasa iba pas tahu Ganesh diberhentikan. Tapi... ya udahlah, siapa suruh berurusan sama Raka wkwk.

—Salam donat💜
04/05/23

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro