tiga puluh dua : kabar
Tara sudah mengabari Tisha kalau semua gaun dan tuxedo milik wanita itu akan dikirim melalui kurir ke kediaman keluarganya. Satu misinya selesai. Ia meregangkan otot-otot tangannya setelah Sahila Gunadi menyetujui desain gaun yang ia kirimkan. Tara melirik kedua asistennya yang kini sibuk mengemas gaun milik Tisha dengan sangat hati-hati. Sedikit lega melihat itu selesai, namun, di sisi lain, ia juga merasa tidak rela karena itu artinya intensitasnya dengan Vian akan hilang. Tidak ada lagi alasan untuk mereka berkomunikasi.
Beberapa hari ini Vian memang lumayan sibuk, terakhir bertemu satu Minggu lalu saat berkunjung ke rumah pria itu. Mereka juga tidak saling bertukar kabar. Tara juga tidak merasa harus menghubungi lebih dulu dan memulai obrolan dengan Vian.
Ia baru saja memasuki pantri saat suara Edo dan Dewi terdengar heboh sembari menonton televisi.
"Kabar duka datang dari aktor papan atas kesayangan bangsa, mobil yang dikendarai oleh Pramuerrash beserta istrinya, Arseya Sharuna menabrak satu mobil di depannya di kawasan tol Jagorawi pukul dua siang tadi. Korban segera dilarikan ke rumah sakit terdekat—"
Tara segera kembali ke ruangannya sebelum reporter menjelaskan lebih rinci kejadian yang sedang ditayangkan di TV. Bahkan Silvia dan Amiya mengernyit heran melihat Tara yang belum tiga menit lalu sudah kembali ke ruangannya. Namun, Tara mengabaikannya. Ia segera meraih ponselnya di atas meja, lalu mendial nomor Raka.
Beberapa kali panggilannya tidak terjawab. Ia memutuskan untuk mengirim pesan bertanya kabar Sesha dan Errash, juga menanyakan keberadaan Raka saat ini.
Tara mengerjakan sisa pekerjaannya dengan harap-harap cemas. Raka belum membalas pesannya, dan nomor pria itu pun masih tidak bisa dihubungi.
Silvia yang memerhatikan ikut resah, takut sesuatu terjadi pada atasannya. "Mbak Tara masih mikirin siapa yang ngirim ayam rica-rica dua hari lalu? Kemarin juga ada yang ngirim sate padang kan? Terus tadi juga mbak dapet kiriman paket ayam sambal ijo Mami Naya, ya? Apa kita mau lapor polisi aja?" tanyanya.
Wanita itu merdehem, kemudian menggeleng. "Nggak, Sil. Bukan itu. Sorry bikin kamu khawatir juga, tapi saya nggak terlalu mikirin kiriman itu, kok."
"Beneran, mbak?" tanya Amiya.
"Saya nggak lagi mikirin apa-apa kok." Jawaban itu akhirnya membuat Amiya dan Silvia mengangguk dan kembali pada pekerjaan masing-masing.
Ketika waktu pulang tiba, Edo dan Dewi kembali ramai membicarakan kabar Errash. Tara bahkan sempat menghentikan langkahnya di ambang pintu ruangannya.
"Nih, lo lihat postingan managernya." Edo memperlihatkan ponselnya pada kerumunan di meja Dewi.
"Ih, sedih banget. Padahal film dia baru tayang dua bulan lalu dan masih rame banget topiknya," ujar Sandra.
Tara memutuskan untuk menghampiri teman-temannya. "Managernya upload kabar apa?"
Edo menyerahkan ponselnya pada Tara. Di sana tertera gambar Errash yang sedang tersenyum menatap kamera, dengan caption 'Rest In Peace orang baik'.
Hal yang ada dipikirannya saat ini hanya Sesha. Bagaimana Raka bisa menenangkan wanita itu saat ini?
"Gue pulang duluan, guys," kata Tara.
"Nggak mau ngeteh dulu, Tar?" tanya Dewi. "Topiknya lagi anget, nih."
Tara menggeleng, kemudian menuruni anak tangga dengan tergesa.
Setelah sampai apartemen, Tara tidak langsung menuju unitnya, melainkan menekan bel unit Raka. Muncul sosok Jaffar dengan wajah gelisah. "Jaff..."
"Tar, Sesha... dia—nggak apa-apa 'kan?" tanyanya. Ia membuka pintu lebih lebar membiarkan Tara masuk.
Tara menggigit bibir bawahnya seraya menggeleng pelan. "Gue nggak tahu. Tapi gue harap dia baik-baik aja," katanya meskipun isi pikirannya penuh dengan hal buruk yang bisa saja terjadi, melihat BMW milik Errash tersorot kamera dengan keadaan sudah hancur di bagian depan.
Jaffar menghela napas. "Errash mati."
Tara mengangguk.
"Seandainya malam nanti gue nggak berangkat, gue pastiin nggak ada siapapun yang bisa nahan gue buat ketemu Sesha," ujar pria itu. Sudah tiga hari Jaffar menginap di unit Raka sejak ia pulang dari luar kota.
Tara menatap pria itu prihatin. Cintanya yang tak terbalaskan bertahun-tahun membuat Jaffar hanya mampu menjadi penonton dari jauh—yang mungkin—Sesha pun tidak pernah menyadari kehadirannya.
"Errash nggak mabuk. Dia nggak mungkin mabuk saat lagi sama Sesha. Waktu tidurnya juga cukup, jadi nggak mungkin dia ngantuk pas lagi nyetir." Jaffar bergumam lirih.
"Kenapa lo bisa yakin?"
"Gue tahu apapun tentang Sesha."
"Tentang Errash maksud lo?" tanya Tara mendengar penjelasan Jaffar justru terarah pada Errash.
"Termasuk tentang suaminya. Gue tahu."
"Lo penguntit?" Tara tahu tidak sebaiknya ia membahas hal ini sekarang, tapi ia tidak bisa menahannya.
Jaffar terkekeh. "Mereka mungkin nggak percaya sebesar apa perasaan gue buat Sesha. Gue berusaha menjaganya semampu gue, Tar. Termasuk dari suaminya sendiri."
Wanita itu berdecak, ia tidak percaya kalau Jaffar bertindak sejauh itu. "Lo nggak berpikir kalau Errash sengaja 'kan?"
"Pasti ada pemicu kecelakaan itu terjadi," gumam Jaffar.
"Mungkin mobilnya bermasalah. Kita nggak ada di sana, siapa yang tahu."
"Lo positif thinking banget. Pantesan aja Raka tergila-gila dulu." Tara mendengkus karenaJaffar masih sempat mengejeknya dalam keadaan seperti ini.
"Lo tahu satu hal?"
"Lo tunggu kabar baiknya aja. Dari siang Raka udah nyusul ke Bogor."
Mendengar itu membuat Tara sedikit lebih lega.
"Cewek yang paling gue sayang setelah mami ya... Sesha," ucap Raka ketika Sesha baru saja menyelesaikan operasi kuretnya tiga tahun lalu. "Dia tuh, walaupun cepu sering ngadu ke papi, mulutnya pedes kayak ketoprak karet dua, tapi sebenernya dia mau gue jadi orang baik. Dia yang selalu ngingetin gue untuk terus waras. Dia udah gue anggap sebagai kakak sendiri."
Tara melihat raut sendu yang menatap pada pintu ruang rawat Sesha dengan simpati. Raka berada di tempat kejadian saat Sesha jatuh dari tangga rumahnya dan pendarahan. Semua terjadi begitu cepat.
"Lo ngerti nggak gimana sakitnya gue lihat dia terbaring lemah gini?" tanya Raka. "Bayinya pergi, Tar. Anak pertama mereka."
Harapan yang dulu menjadi pusat bahagia wanita itu.
Dan sekarang, Errash juga telah pergi. Meninggalkan Sesha sendirian.
"Lo mau nunggu di sini? Gue harus berangkat." Suara Jaffar membuat atensi Tara kembali pada pria di seberangnya.
"Kayaknya Raka bakal lama, atau mungkin nggak pulang. Sebaiknya gue nunggu di sebelah aja."
jaffar mengangguk, ia memasuki kamar Raka untuk mengambil barang-barangnya. Tara melihat punggung itu tak setegak biasanya, tidak ada senyum jahil yang sering pria itu tunjukkan, dan tatapan itu... sama seperti saat Raka melihat Sesha terbaring di ruang rawat inap tiga tahun lalu.
🍩
"Lo udah tanya kabar Sesha?" tanya Karina.
"Gue turut berduka cita. Pernikahan mereka yang kelihatan banget harmonis bikin gue iri sampai rasanya gue siap gantiin Sesha kapan pun," ujar Kanaya. Ibu muda satu itu akhirnya bisa dihubungi setelah babymoon anak ketiganya dengan sang suami.
"Raka masih nggak bisa dihubungi," ungkap Tara.
"Dari siang?" Kini dahi Tisha berkerut dalam.
Tara mengangguk.
"Separah apa sih kondisi Sesha?" Karina makin penasaran. "Nando sama yang lain bahkan nggak tahu apa-apa."
"Manager Errash juga nggak speak up apa-apa lagi setelah ngasih kabar kalau Errash meninggal."
"Pasti sibuk, tuh."
"Nggak nyangka temen artis gue ninggalin tanah air lebih cepat."
"Temen? Errash aja kayaknya nggak tahu deh muka lo yang mana," cibir Karina pada Tisha.
"Lo lupa gue pernah satu kelas sama dia dulu?" Tisha menatap layar ponselnya dengan senyum congak.
Kanaya terkekeh. "Ibaratnya, lo itu cuma segelintir orang aja yang dateng di hidup Errash, Klatisha. Gue setuju sama Karina."
"Kok lo berengsek, sih, Nay?"
Di saat teman-temannya berisik, Tara berfokus pada balasan Raka yang baru saja ia terima.
Raka Tasena : Sesha koma. Tapi keluarga optimis semua akan baik-baik aja.
Tara segera memberi balasan.
Tara Givanka : Gue turut berbela sungkawa atas kepergian Errash. Gue yakin Sesha dan keluarga bisa melewati semuanya dengan hati lapang.
Tidak ada lagi balasan dari pria itu. Bahkan hingga video call Tara dengan ketiga temannya berakhir di jam sebelas malam, Raka kembali menghilang.
Tara menghela napas kasar menatap jendela kamarnya yang menunjukan langit malam.
Sedang apa pria itu di sana?
🍩
Halooo...
Lama, ya?
Maaf T_T ngeditnya luamaaaa bgt karena aku sibuk nonton NCT daily 🙈✌️
Jangan lupa vote + komen yang banyak biar donat semangat nulisnya! Happy Weekend <3
Chapter depan mau ketemu Raka gak?
01/10/22
—Salam donat 💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro