Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

lima puluh tujuh : Waktu

"Tara cinta sama lo, ya emang benar. Kalau nggak, dia nggak akan ngasih kesempatan kedua," ucap Nando setelah mendengar cerita temannya. Kebetulan Nando ada pekerjaan di daerah Menteng, ia akhirnya menyambangi apartemen Raka karena pria itu merengek minta diberi solusi.

"Gue berusaha buat ngertiin dia, Ndo."

Nando berdecak. "Gue tanya deh, setelah Tara nggak setuju, apa lo tanya alasan dia?"

Raka terdiam.

"Gue nggak membela Tara, tapi coba kalian omongin lagi. Masalah kalian itu dari dulu kurang komunikasi. Nggak jujur tentang perasaan satu sama lain. Gue tahu lo mau membuat Tara merasa nyaman tapi lo juga harus jujur tentang ketidaknyamanan lo," ucap Nando. "Lo bilang dia susah banget buat terbuka sama orang lain, lo tanya pelan-pelan, apa alasan dia nggak setuju."

"Gue nggak mau bikin Tara merasa tertekan."

"Dan membiarkan lo tertekan dengan masalah lo sendiri? Lo bilang kakek Dirga juga udah nggak sabar banget mau kalian menikah secepatnya." Nando menggeleng pelan. "Ayolah, Ka, jangan kayak gini kalau hubungan kalian mau berhasil."

"Jadi gue harus ketemu Tara dulu?"

"Emang tadi kalian nggak pulang bareng?"

"Tara ada kerjaan, gue pulang duluan sama Sabrina," jawab Raka.

"Beneran kerjaan? Bukan karena dia lagi mikirin caranya putus?"

"Anjing," umpat Raka. Ia berdiri dari sofa. "Gue titip Sabrina."

"Mau ke mana?"

"Butik."

"Jangan lama. Gue juga besok kerja."

"Itungan banget lo sama teman," dengkus Raka.

"Rumah gue di BSD ya, Nyet!"

Raka tertawa. Ia menggumamkan kata terima kasih sebelum keluar dari unitnya.

🍩

Tara baru saja keluar dari Serafin Beauty saat mobil Raka berhenti di depan butik itu. Terlihat dari raut wanita itu kalau Tara tidak menduga Raka akan datang menjemputnya. Pesan Tara hanya di balas 'oke' oleh Raka sore tadi. Tidak ada pertanyaan kapan pulang atau menawarkan jemputan.

Kaca mobil pria itu dibuka, Raka menatapnya dengan senyum lebar seperti biasanya. Apa mungkin pria itu sudah tidak marah lagi?

Sebelum Tara memasuki mobil, ia berdehem sebentar. "Lo nggak bilang mau jemput."

Raka menatap wajah lelah Tara setelah seharian bekerja. "Inisiatif, sih," katanya.

Tara tidak membalas. Ia menunggu Raka menjalankan mobilnya, namun pria itu bergeming.

"Ka?"

Raka beringsut mendekat, memangkas jarak di antara mereka, lalu memeluk Tara. "I'm sorry."

"Buat?"

"Tadi siang gue ngediemin."

"It's okay. Gue tahu lo pasti kecewa karena semalam gue sempat bilang ragu dan tadi siang gue nggak setuju pernikahan kita dilaksanakan bulan ini, padahal kita udah dapat restu. Gue ngerti, Ka." Tara balas memeluk. "Lo mungkin berpikir kalau gue mempermainkan perasaan lo."

Raka menggeleng dalam pelukannya.

"Kita jalani pelan-pelan. Kasih gue waktu untuk bisa benar-benar yakin dengan semua ini sesuai kesepakatan kita," pintanya.

Dari luar, Tara terlihat tidak peduli dengan omongan orang lain tentang baik dan buruk sikapnya, tapi pikirannya berkata lain. Apalagi  pekerjaan Rissa sebagai publik figur, Tara jadi semakin memikirkan hal apa yang akan terjadi ke depannya. Meskipun Raka mengatakan dirinya akan aman, serangan haters dan cibiran orang-orang tidak bisa ia cegah, dan itu membuatnya merasa takut.

Tara merasa ragu bukan karena ia meragukan usaha Raka, tapi ragu kalau ia bisa berada di samping Raka dengan resiko yang akan ia dapatkan nantinya. Dan ia butuh waktu untuk bisa mempersiapkan itu.

Raka melepas pelukan mereka. Ia mantap Tara dengan lekat. "Ya, gue juga maunya gitu, Tar. Gue mau kita pelan-pelan dan mikirin semuanya secara matang." Jeda sebentar, Raka mengambil napas sebelum kembali mengungkapkan isi pikirannya.

"Gue nggak mau egois dan memaksa lo untuk ikut kemauan gue atau orang tua kita. Gue mau lo merasa nyaman dan nggak tertekan dengan semua tuntutan itu. Tapi, gue juga bingung sama semuanya. Kakek terus mendesak pernikahan kita. Mungkin papi juga mau masalah ini secepatnya selesai dengan pernikahan kita. Gue nggak bisa handle semua pekerjaan karena posisi gue di kantor nggak mengizinkan itu. Gue harus gantiin om Petra." Raka menggenggam erat jemari itu. "Gue pikir gue bisa mengatasi semuanya, tapi gue butuh lo, Tar."

"Kita cari jalannya sama-sama, Ka."

Mereka terus berperang dengan isi kepala sendiri. Tidak tahu harus mengutamakan orang lain atau perasaan sendiri. Mereka sama-sama dituntut untuk mengikuti kemauan orang tua.

🍩

Raka memutuskan untuk bertemu dengan kakeknya di jam kerja. Dirgantara memiliki janji temu dengan beberapa pemegang saham sebelum makan siang.

Ia sudah ada di ruangan Dirga sejak sepuluh menit lalu, duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan kursi Dirga yang hanya dibatasi meja, menunggu pria baya itu selesai meeting.

"Apa yang membuatmu datang ke sini anak pembangkang?" Suara itu terdengar di belakang Raka.

Raka memutar kursinya, menatap kakeknya dengan datar. "Raka mau negosiasi."

"Kita tidak sedang berdagang."

"Raka minta waktu tiga bulan lagi," pintanya sembari tatapannya mengikuti langkah Dirga menuju kursi kebesarannya.

"Tidak bisa." Dirga sudah duduk, bertatapan langsung Raka dengan mata tajamnya.

"Pernikahan harus dipersiapkan secara matang, butuh kesiapan ini-itu. Sementara Raka dan Tara sama-sama masih sibuk bulan ini."

"Yang mempersiapkan pernikahan para orang tua," ucap Dirga. Seperti yang Bian katakan, Raka hanya perlu duduk manis di depan penghulu saat hari H.

"Kami bahkan belum ada satu bulan pacaran," desah Raka.

"Pacaran nggak perlu lama-lama," tukas Dirga.

"Kakek nggak akan ngerti."

"Saya nggak mau ngerti."

Raka mencoba menahan kesabarannya. Tiap kali berhadapan dengan kakek memang selalu membuat kesabarannya terbelah-belah setipis tisu. Ia menarik napas panjang, kembali menatap kakeknya dengan lekat. "Raka mohon... untuk kali ini aja biarkan Raka memutuskan semuanya sendiri. Kami akan segera menentukan tanggal, kakek akan segera mendengar kabar baiknya."

"Siapa yang menjamin dalam tiga bulan itu kalian nggak akan putus?" tanya Dirga.

"Oh! Tentu saja nggak akan!" Raka hampir membanting berkas tebal di atas meja.

"Lalu, apa kamu pikir umur Petra dan orang tua pacarmu akan sampai ke tiga bulan itu?"

Raka menatap Dirga dengan marah. "Kematian seseorang tidak sepantasnya dibicarakan."

"Saya sudah dengar dari Bian, ayah pacarmu itu sekarat. Kalian hanya harus duduk di depan penghulu, lalu semua selesai."

Raka hampir meloloskan tawanya. Pemikiran kolot itu membuatnya muak. Semua aturan di keluarga ini membuatnya muak. Pernikahan, karir, kehidupan pribadinya bahkan diatur oleh mereka. Raka mau yang terbaik untuknya dan Tara. Apapun akan Raka lakukan agar Tara terus merasa aman dan nyaman bersamanya. Tidak ada yang bisa menentang itu sekalipun keluarganya.

"Saya manusia. Punya tanggung jawab dengan diri sendiri. Saya bukan lagi boneka anda yang bisa diatur untuk mengikuti semua keinginan anda. Menikah bukan perkara uang, tapi kesiapan mental. Dan tidak semua orang siap didesak untuk menikah. Jangan samakan kehidupan saya dengan anda."

"Temui saya setelah kamu membawa kabar baik." Dirga membalik kursinya, memandang dinding kaca di depannya tanpa repot-repot menyahuti ucapan cucunya.

Raka menutup pintu di belakangnya cukup keras. Ia yakin, Dirga di dalam sana sedang mengumpatnya. Tapi Raka mana peduli. Setelah kalimat terakhir itu keluar dari kakeknya, Raka hanya memutuskan untuk keluar dari neraka itu.

Apa-apaan tua bangka satu itu? Membicarakan usia. Raka mendengkus. Harusnya kakeknya mendoakan agar Petra dan Farhan panjang umur dan bisa menyaksikan pernikahannya. Bukan malah berkata begitu seolah mereka akan meninggalkan dunia dalam waktu dekat.

Raka menggerutu sembari berjalan ke arah lift, ia menahan pintu lift yang akan tertutup, lalu ikut masuk. Ada Seila di pojok lift dengan beberapa berkas yang ia bawa.

"Abis ngapain?" tanya Seila melihat raut kusut sepupunya.

"Nego."

Seila mengangguk. "Jadi... boneka keluarga ini berhasil bujuk kakek?" kekehnya.

Raka melengos. Tatapannya beralih pada dinding lift di sampingnya ketimbang membalas tatapan sepupunya itu.

"Gue cukup kaget, sih, om Bian bilang lo akan nikah bulan ini. Sekarang aja udah tanggal dua belas. Mau akhir bulan kalian married?" Seila kembali bicara meskipun Raka tak menanggapinya.

"Lo lihat aja nanti."

🍩


Tara Givanka : Gue baru aja telepon papa, gue udah kasih pengertian juga kalau kita butuh waktu kurang lebih tiga bulan untuk mempersiapkan semuanya. Ibu juga udah gue kabarin, untuk kelanjutannya kita bisa obrolin langsung. 

Raka Tasena : Good.

Raka Tasena : Gue juga udah bilang sama kakek, kita agak cekcok dikit tapi it's okay.

Raka Tasena : Um, Tar?

Tara Givanka : Ya?

Raka Tasena : Dream wedding lo apa?

Tara Givanka : Gue suka garden party.

Raka Tasena : Noted.

Tara Givanka : Kita benaran nggak akan ikut campur masalah resepsi?

Raka Tasena : Mami dan papi setuju tapi dengan syarat semua akan di urus oleh mereka. Nggak ada alasan sibuk kerja buat dijadikan alasan gak ada waktu ketemu EO atau fitting.

Raka Tasena : Untuk budget dari gue kok. Gue yang tanggung semuanya, bukan dari orang tua.

Tara Givanka : I love you.

Raka Tasena : INI TARA?!

Raka Tasena : I love you so much! 😍😍

Tara Givanka : Dibajak mbak Sarah.

Raka Tasena : FAK.

Raka Tasena : Balikin hp Tara, Sar!

Tara terkekeh membaca pesan itu. Ia menyimpan ponselnya lalu kembali menatap Sarah dengan senyum tipis. "Makasih untuk pinjaman ruangannya mbak."

Sarah mengangguk. "Ya, harusnya om Farhan ngerti perceraian dia sama Tante Eva jadi hal yang menyeramkan buat lo. Setelah lo memilih berhubungan lagi sama Raka ketimbang nerima Vian, lo harus lebih meyakinkan diri lo kalau ini pilihan yang tepat. Lagian hitungannya kalian baru balikan satu Minggu 'kan?"

Tara mengangguk. "Terlalu cepat."

Sarah menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Mereka berdua memutuskan untuk makan siang berdua di ruangan Sarah, selain karena Tara yang meminjam ruangannya untuk bicara dengan Farhan—karena diruangannya masih ada Amiya dan Silvia—ada hal lain yang ingin ia katakan.

"Oh, iya, mbak, setelah menikah nanti, gue mau resign."

🍩

1500+ words.

Maaf ngaret lagii, donat udah berusaha nulis semalem tapi gak sempet T_T

Alurnya terkesan berbelit-belit, masalahnya ada di situ-situ aja, tapi percayalah itu relate di kehidupan nyata. Ada fase di mana kita nggak yakin dengan keputusan kita karena banyak faktor. Di sini Tara ke distrak dengan omongan Edo dkk. Tara yang hidupnya nggak ke ekspos sama orang lain jadi takut dengan orang yang mulutnya lebih jahat dari Edo di luar sana pas tahu Rissa patah hati :(

Semoga kalian mengerti maksudku ya ☺️

Vote +komen di chapter ini untuk ketemu TARAKA secepatnya 😍😍😍

happy weekend!

—salam donat 💜
22/01/23

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro