Lima puluh tiga : restu
Pesta pernikahan Tisha begitu mewah dan menakjubkan. Golongan orang-orang seperti itu sangat totalitas dalam membuat acara. Semua terlihat sempurna dan tampak semestinya. Ballroom hotel mewah di salah satu tempat di Jakarta itu sudah dipenuhi banyak tamu. Di antaranya, Raka dan Tara saling mengaitkan jemarinya, berjalan berdampingan menghampiri teman-temannya yang sudah datang lebih dulu.
Tian yang pertama kali melihat mereka terlihat terkejut bukan main. Wajah pria itu tampak seperti kedapatan musibah di tengah hari yang cerah. Bahkan, minuman yang sempat ia ambil kini disimpan kembali di atas meja. "Oh... sialan, si brengsek itu masih punya kesempatan?" katanya dengan tak percaya.
Jaffar, Karina, Nando, Kanaya dan Frans ikut mengalihkan pandangan ke arah yang ditatap Tian. Berbeda dengan Karina yang terlihat lega dan senang melihat Tara hari ini, Jaffar, Tian dan Nando tampak melihat sebuah mimpi. Sementara Kanaya ikut takjub melihat Tara datang bersama Raka—pria masa sekolahnya dulu—padahal di acara pertunangan Karina minggu lalu, wanita itu masih mengaku jomlo dan sakit hati atas candaannya.
"Bukannya kemarin kamu bilang Tara nggak punya pacar?" bisik Frans pada istrinya.
Kanaya terkekeh. Tara dengan kisah cintanya yang rumit. "Kayaknya mereka balikan," sahutnya.
"Wah... peletnya kuat banget, cuy," ujar Jaffar.
Raka lebih dulu mempersilakan Tara duduk, lalu dirinya di sebelah wanita itu. "Udah dari lama?" tanyanya.
Tian mendengkus sebal. "Gila, lo! Kayaknya baru kemarin deh galau-galau gagal ngelamar, sekarang udah dapet lagi aja?"
Raka menatap Tara dengan senyum tipis. Ia tak ragu merangkul bahu wanita itu di depan teman-temannya. "Namanya juga jodoh," katanya enteng.
"Yeee... kutil badak lo!" Jaffar melempar sendok dessert bekasnya pada Raka. "Gue doain putus lo balik dari sini!"
Perkataan itu sontak membuat Tara tertawa, sementara Raka menepuk punggung Jaffar dengan kencang. "Sialan! Doa buruk bakal berbalik ke arah lo!"
Nando menggeleng melihat tingkah teman-temannya. "Jadi, acaranya kapan?"
"Nah, itu!" Kanaya berseru senang. "Mau kapan akadnya, Tar?"
"Jangan tanya Tara. Noh!" Karina menunjuk Raka dengan dagunya. "Tanya sama dia! Kalau kalah start lagi, fix salah dia!"
Semua yang di meja itu tertawa.
"Nggak." Raka menggeleng. "Kalian tunggu aja surat undangannya."
Semua pria di meja itu berseru heboh. Nando dan Jaffar bertepuk tangan dengan langkah sat-set Raka kali ini.
"Tar," panggil Tian yang langsung menyita seluruh atensi di meja itu.
"Kenapa?" tanya Tara.
"Nggak mau jadi istri gue aja?" tanya Tian dengan serius.
"Wah... anjing juga lo." Raka hendak berdiri, namun Tara segera mencegahnya. "Udah jelas-jelas Tara nggak pernah ngelirik, masih aja mau mati di tangan gue," ujarnya kesal.
"Udah, udah. Jangan bikin kacau pesta orang," lerai Karina. "Kita nggak tahu mereka ngabisin duit berapa buat acara ini, nggak usah ngide bikin masalah, deh."
Nando tersenyum lebar ketika penghuni di meja itu langsung diam. "Tuh, dengerin, udah tua bangka juga masih aja rese."
Tian mencibik. Ia bukan takut dengan Karina, tapi dengan uang ganti rugi jika pesta ini kacau.
Raka mendengkus menatap Tian yang duduk di seberangnya dengan wajah menyebalkan. Ia menendang tulang kering pria itu dengan kencang.
"Anjing!" Tian mengaduh kesakitan sembari memegang kakinya.
Beberapa tamu menoleh ke meja mereka, memastikan apa yang terjadi di sana, kemudian kembali dengan kesibukan masing-masing karena satu meja itu tetap diam tanpa memedulikan Tian.
Raka beranjak dari kursinya saat panggilan telepon masuk dari ponselnya. "Tar, gue angkat telepon dulu."
Tara mengangguk. "Dari kantor?"
"Iya. Kantor urusan keluarga," jawabnya sambil lalu.
🍩
Perjalanan di Minggu siang menuju Bogor benar-benar membuat kesabaran Tara nyaris habis hari ini. Macet sudah bukan lagi hal aneh memang, namun, Sabrina terus saja merengek sejak mereka tiba di rumah sakit menjenguk Sesha. Mereka tidak lama di sana, Sesha masih enggan bertemu siapapun dan memilih menyibukkan dirinya dengan membuat boneka rajut.
Raka masih berusaha tenang mengemudikan mobilnya, sementara Tara yang sudah bingung harus bagaimana lagi menenangkan Sabrina kini mulai menghela napas pasrah.
Balita itu menggeliat tidak nyaman, tubuhnya berkeringat meskipun terkena air conditioner di mobil. Tara beberapa kali memberinya susu formula, namun Sabrina menolak, mainan yang sengaja Raka bawa pun tidak berpengaruh banyak.
Beruntungnya setelah mereka sampai di kediaman Tara di Bogor, Sabrina tertidur pulas di kamarnya. Eva dan Arsen masih membicarakan soal pekerjaan dengan Raka ketika Tara kembali ke ruang tamu.
"Ibu senang lho, Tara mau ngajak Raka mampir ke rumah," ujar Eva dengan senyum yang sejak tadi ia pertahankan. "Biasanya kan Raka cuma sebentar doang, antar-jemput Tara abis itu pulang lagi."
Raka mengusap tengkuknya dengan canggung. "Iya, Tante. Soalnya lagi buru-buru."
"Sekarang nggak buru-buru?" tanya Arsen iseng.
"Nggak, Om. Alhamdulillah hari ini lowong," katanya. "Sebenarnya, tujuan Raka ke sini, selain nganter Tara pulang, Raka juga mau minta izin sama Om dan Tante untuk menikah dengan Tara," ungkapnya lancar.
Eva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tara pun sama. Raka tidak mengatakan apapun sebelumnya padanya. Pernyataan itu tidak ada di agenda mereka hari ini.
"Raka berencana melangsungkan pernikahan dengan Tara dalam waktu dekat Om, Tante," lanjutnya karena tidak mendapat respon apapun. "Sebenarnya, niat Raka ini udah ada dari bulan lalu, tapi nunggu jawaban dari Tara dulu."
Arsen mengangguk. "Om senang mendengarnya. Kamu tahu kan, kamu harus meminta Tara ke siapa?" katanya.
Raka mengangguk. "Raka dan keluarga secepatnya akan ke Makassar untuk meminta langsung pada om Farhan. Tapi karena di sini ada Om Arsen dan Tante Eva, Raka meminta izin lebih dulu kepada kalian."
Senyum Arsen terbit. "Terima kasih karena kamu sudah menghargai kami."
"Keputusan Tara untuk memilih kamu adalah pilihan yang tepat." Eva mengusap punggung tangan anak sulungnya yang bertumpu di atas lutut. "Kalian berpisah dengan cukup lama untuk saling mendewasakan diri, diberi waktu untuk mengenal satu sama lain secara alami, dihadapi dengan berbagai masalah, lalu saling menguatkan." Ia menarik napas panjang. "Ibu merestui kalian."
🍩
"Menikah?" Kiera yang baru saja duduk di meja makan membeo. "Jangan bercanda kamu! Mau menikah sama siapa?"
"Sama ceweklah, Mi," sahut Arlan.
Kiera memicingkan matanya curiga. "Kamu nggak frustasi gara-gara kakek telepon tadi pagi kan? Mami nggak mau dengar kamu nekat mau menikah sama Rissa, ya!"
"Astaga, ya nggaklah, Mi. Raka udah nurut kok masalah itu," bantahnya. "Raka mau menikah sama Tara."
"Uhuk!"
Suara batuk itu berasal dari Bian yang sejak tadi memilih diam. Kiera mengangsurkan gelas pada suaminya dengan cepat. "Pelan-pelan, Pi."
"Jangan bercanda kamu, Raka," ujar Bian.
"Semustahil itu ya Tara mau menikah sama Raka?" tanya Raka.
Arlan mengangguk. "Banyak cowok yang lebih baik dari Bang Raka."
"Wah, asem lo, bocah!" Raka menggulung lengan kemejanya berniat memberi adiknya pelajaran. "Gue ini masuk kriteria menantu idaman!"
"Udah, udah. Serius dulu," lerai Kiera. Ia menatap Raka dengan seksama mencari gurat candaan di sana. "Kamu serius Ka, mau menikah sama Tara? Taranya mau? Nggak dipaksa dengan alasan menyelamatkan hidup kamu dari kakek?" tanyanya masih ragu.
Raka mengangguk. "Iya, Mi. Serius."
"Lalu?" Bian melipat tangan di depan dada.
"Raka udah ke rumah om Arsen, dan Tante Eva setuju. Rencananya Raka mau ngajak mami sama papi ke Makassar secepatnya," ujarnya.
"Buat?"
"Minta restu sama om Farhan."
🍩
Huehehe...
Gimana nih? Sat-set-sat-set gak? 😆😆
Raka nggak akan kecolongan lagi ya, dia juga udah didesak suruh nikah sama kakek 😭😭
Votenya yang banyaaakkk dongg biar semangat nulisnyaa 😍😍
Sengaja updatenya hari Rabu karena kemarin wattpad error, donat trauma takutnya kek yang kemarin lagi 🙂
—Salam donat💜
11/01/23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro