Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

lima puluh sembilan : Tema dan Konsep

Tara menyiapkan makan malam di unitnya sesuai permintaan Raka tadi pagi. Pria itu mengatakan ingin makan soto ayam santan buatan Tara karena beberapa hari ini setelah seharian bekerja ia hanya makan malam dengan makanan yang ia beli dari luar. Kebetulan, Tara dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat hari ini, maka sebelum mereka naik ke unit, Raka mengajaknya mampir ke supermarket yang berada di lantai dasar apartemen gedung mereka sekaligus membeli stok makanan yang sudah habis.

Wanita itu melepas apron yang menempel di tubuhnya setelah semua makanan terhidang rapih di atas meja pantri. Ia berkacak pinggang melihat hasil masakannya. Sesuai keinginan Raka.

Tara baru mengetikan sesuatu pada ponselnya saat pintu unitnya terbuka dari luar. Raka membawa Sabrina di gendongannya dengan pakaian yang sudah berganti dan harum parfum bayi. Ia menoleh sekilas, lalu kembali memfokuskan tatapannya pada ponsel.

Raka duduk di stool bar dan memangku Sabrina, menatap makanan di depannya dengan wajah lapar. "Mamim masak enak, Bin," gumamnya.

Sabrina mengangguk, balita itu seolah mengerti apa yang Raka ucapkan. "Mim!"

Tara menoleh, lalu tersenyum pada Sabrina. "Hai, sayang." Ia menyimpan ponselnya di atas meja dan mengambil alih Sabrina, ikut duduk di samping Raka.

"Chating sama siapa, sih?" tanya Raka.  "Sampai gue sama Abin dicuekin." Ia mulai menyendokan nasi ke piringnya dan memisahkan soto untuknya ke dalam mangkuk yang lebih kecil.

"Sama ibu. Katanya tadi makan siang sama mami buat bahas konsep pernikahan kita." Tara memberi Sabrina biskuit bayi agar tangan balita itu tidak menyentuh makanan lain. "Ibu kurang setuju sama tema yang gue mau."

Raka mengunyah makanannya dengan lambat. "Kenapa?"

"Katanya kalau garden party kesannya  terlalu private. Kalau di ballroom hotel masuk banyak tamu, nggak repot kalau ada perubahan cuaca, nggak harus nyiapin plan A atau B. Terus konsepnya juga nggak terlalu ribet." Tara menghela napas panjang. "Itu ada benarnya, sih. Gue juga setuju. Tapi... gue suka garden party."

Raka mengangguk. Ia masih sibuk menikmati makan malamnya. "Ini enak banget," katanya out of topic.

"Kita ubah tema aja, apa, ya?" tanya Raka.

"Hm...." Raka mengangguk. "Gue ngikut aja."

Tara berdecak. "Gue serius, ya, Ka."

"Gue ngikut, Tar. Terserah lo aja." Raka menelan makan di mulutnya dengan susah payah. "Kalau lo lebih suka garden party kita cari sendiri WO yang bisa."

"Tapi kan ibu sama mami yang mau ngurus, Ka."

"Ya udah garden party buat acara kita aja sama anak-anak. Yang indoor acaranya orang tua. Gimana?" usul Raka.

Tara menggeleng. "Boros biaya!"

Raka menghela napas kasar, lalu menatap plafon apartemen dengan serius. "Lo maunya gimana? Ngikut saran orang tua atau tetap garden party?"

"Ya udah indoor aja," ucap Tara pada akhirnya.

"Kenapa?"

"Gue nggak mau ngerepotin."

"Kalau nggak mau ribet di KUA aja, besok juga bisa," ucap Raka.

"Emang acaranya harus mewah? Nggak bisa sederhana aja?"

"Hmm..." Raka tidak juga tidak mengerti masalah itu. "Kalau dari sudut pandang gue, masalah pernikahan kita yang menentukan mau kayak gimana. Tapi beberapa orang perihal kayak gini melibatkan orang tua juga untuk kepentingan tertentu." Raka berdehem setelah meneguk airnya. "Lo tahu kan, di acara Seila kemarin dan nikahan Tisha banyak kolega bisnis. Nah, pernikahan salah satu ajang pamer dan menggait partner yang bagus. Makanya kebanyakan dari kami membuat acara yang nggak tanggung-tanggung."

"Jadi itu yang jadi ketidaksetujuan orang tua?" gumam Tara.

"Ya, bisa jadi."

"Keputusan ada di tangan lo, Tar."

"Kalau gue tetap mau garden party, gimana?"

"Of couse. Ini pernikahan kita, Tar, sekalian seumur hidup. Gue harus pastikan semua sesuai keinginan lo. Tema, konsep, printilan, katering, dress code, atau apalah itu harus sesuai sama yang lo mau. Kita wujudkan dream wedding lo. Gak perlu mikirin soal uang atau tenaga orang lain, kalau emang para orang tua nggak bisa, kita langsung yang kerjain."

Tara menatap Raka tak yakin. Pasalnya, kesibukan mereka makin padat. Raka bahkan sudah lama tidak ke berkunjung ke Taraka's Bakery jika itu bukan hal yang mendesak. Ia hanya menerima laporan via email dari kepala toko, selebihnya akan take away kue dari sana.

"Ya... kita sempatin untuk ngurus acara kita, Tar," sambung Raka.

"Jakarta-Bogor emang nggak jauh, Ka, tapi kalau lo tiap hari ke sana sementara pulang kerja aja di atas jam  empat, belum lagi ngurus Abin, segala macam. Apa bakal sempat?" tanya Tara. "Gue yang sering lembur aja ngerasa cape, apalagi kalau masih harus duduk berjam-jam di mobil bolak-balik?"

Raka terdiam.

"Nggak baik juga buat Abin kalau terus-terusan di luar. Dia butuh istirahat setelah seharian di daycare," tambahnya.

Raka mengangguk, ia beranjak dari stool bar, membawa piring kotornya ke kitchen sink. Ia masih membelakangi Tara saat kembali bicara. "Tapi pengorbanan itu akan setimpal dengan hasilnya 'kan?"

Tara menggeleng. "Pengorbanan itu terlalu banyak. Kita cari yang mudah aja."

"So?" Raka membalikan tubuhnya, kemudian kembali duduk di sebelah Tara. "Lo maunya gimana?"

"Ya udah indoor aja."

Raka tergelak. "Ini sekali seumur hidup loh, Tar, yakin nggak akan nyesel? Gue udah nawarin, lho."

"Ya... gimana? Karena acara ini sekali seumur hidup kita harus memanfaatkannya dengan baik 'kan? Lo juga pasti akan dikenalkan sebagai pewaris saat itu."

Tara tetaplah wanita pada umumnya. Sering merasa bimbang dengan pilihan yang mereka ambil dan butuh pendapat orang lain. Ya, setidaknya sikap kadang-kadang itulah yang membuat Raka merasa lebih baik. Ia mengusap surai wanita itu dengan gemas.

Sabrina merangkul lengan Raka, minta digendong. Balita itu tahu ayahnya sudah siap bermain dengannya.

"Bin, jangan gitu, nanti jatuh," ujar Tara menahan bobot Sabrina.

Raka menggendongnya, duduk di sofa di depan TV diikuti Tara. Seperti pasangan muda pada umumnya. Mereka saling melempar candaan dan tertawa bersama. Dengan Sabrina di tengah-tengah mereka, suasana hangat itu

"Hari Minggu nanti jalan, yuk?"

🍩

"Gimana sih, kalian ini? Mami sama ibu udah sempatin waktu buat ketemu WO di hari weekend, kalian malah mau jalan?" omel Kiera melalui sambungan video call. Di sana terlihat Eva dan petugas WO sedang berada di sebuah restoran dengan beberapa buku yang terbuka di atas meja.

Raka yang masih mondar-mandir di unitnya karena menyiapkan perlengkapan Sabrina, hanya menggumamkan kata maaf beberapa kali.

"Kalian mau ke mana, sih?" tanya Kiera.

Terlihat Tara baru saja keluar dari kamar Raka dengan Sabrina di gendongannya. Wanita itu menghampiri ponsel Raka di atas meja sebelah water dispenser. "Hai, Mi."

"Tar, kamu nggak dikasih tahu Raka kalau sekarang kita meeting online?" tanya Kiera lagi.

Tara menggeleng. "Nggak, Mi. Emang kenapa?"

Kiera terlihat menghela napas. Lalu menyerahkan ponselnya pada Eva yang sejak tadi berbicara dengan petugas WO.

"Tar, ibu sama mami lagi meeting sama WO-nya. Kita mau bahas tema sama konsep buat nikahan kalian," jelas Eva. "Tapi kalian kayaknya lagi mau keluar, ya?"

"Iya! Kita mau jalan-jalan," sahut Raka yang sibuk menuangkan makanan untuk Moli. Kucing itu bersembunyi di balik gorden karena merasa kurang perhatian beberapa waktu ke belakang.

"Kita bisa meeting dulu sebentar kok, Bu," kata Tara. Ia memindahkan Sabrina ke high chair, dan ia duduk di atas stool bar, memindahkan ponsel Raka.

"Ya, harus. Ini si mbaknya juga udah sempatin waktunya weekend gini," ucap Kiera bete.

"Maaf, ya, Mi."

Raka menatap wanita itu tak setuju. "Tar, kita udah telat banget lho, ini," bisiknya.

Tanpa mengindahkan Raka, Tara mulai ikut dalam obrolan kedua wanita paruh baya itu bersama WO. Mereka menunjukan beberapa contoh gambar konsep pernikahan padanya. 

"Coba kamu pilih, Tar, siapa tahu ada yang disuka. Udah ibu kirim gambarnya kalau kurang jelas," ujar Eva.

"Saran mami sih yang warna gold ini, Tar. Kesannya mewah," ucap Kiera.

Raka menangkap Moli setelah kucing itu  susah melepaskan cakarannya pada gorden, duduk di atas sofa dengan tubuh miring menatap punggung Tara. "Lihat tuh, mamim kamu Mol, malah sibuk meeting sama omah. Papip dicuekin, adik kamu juga didiemin, parahnya lagi kamu malah nggak dianggap sama sekali setelah ada Sabrina."

Moli mengeong, tapi tetap menyamankan dirinya pada Raka. Tipikal wanita yang mudah dibujuk.

"Tara tanya Raka dulu, ya?"

"Lho, iya, Raka mana? Dia masih ngapain, sih?" tanya Kiera.

Tara membalikan tubuhnya, tatapan mereka bertemu. "Ka, sini deh..."

Ketika perintah itu terdengar, Raka sudah merasa bahwa rencana mereka akan terhambat. Meeting sebentar itu tidak benar-benar sebentar seperti yang Tara katakan karena Kiera dan Eva akan terus mengajak Tara berdiskusi hingga mereka puas.

🍩

Sabar ya, Ka, ini juga demi nikahan kamu 😂

Maaf banget ya updatenya ngarettt, semoga tetap setia nungguin TARAKA 2 dan rajin vote + komen 🤗



—salam donat💜
29/01/23

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro