Lima puluh : Memulai
"Tar lo serius nolak Mas Vian kemarin?" tanya Tisha dengan wajah terkejut dari layar ponselnya.
"Nolak gimana, ya, Sha? Gue cuma bilang kalau gue gak bisa lanjut pedekate sama dia," jawab Tara.
"Sama aja!" Tisha mendengkus. "Lo beneran gak mau nyoba sama mas Vian emang, Tar?"
Tara menggeleng. Niatnya menelpon Tisha karena ingin memberitahu bahwa undangan pernikahan yang kurir kirimkan ke butik sudah datang sejak tiga hari lalu, tepatnya hari Senin. Namun, Tara baru melihatnya hari ini saat Amiya mengatakan ada titipan di resepsionis untuknya. Bukannya marah karena Tara baru melihat surat undangannya tiga hari sebelum acara, kali pertama yang Tisha katakan adalah pertanyaan mengenai Vian.
"Kenapa, ih? Mas gue kurang apa? Mapan iya, cakep iya, nggak redflag, nggak banyak omong. Aduh! Mukanya kusut banget deh, pas sampai ke rumah!" seru Tisha dengan gemas.
"Kita masih bisa berteman kok."
"Ya elah, teman dia udah banyak!" Tisha mengibaskan tangan di udara. "Gue dengar-dengar dia mau dideketin sama teman sekolahnya dulu sama nyokap gue. Gue sih prefer sama lo, ya."
"Ya udah, dekat aja. Kalau sama teman sekolah pasti udah kenal lebih jauh dong, daripada sama gue."
Terlihat Tisha menatapnya tak suka. "Ya udahlah, lupain aja. Mas Viannya kurang gercep juga sih kemarin, terlalu banyak basa-basinya."
"Tapi selama gue jalan sama dia, gue menikmatinya kok. Dia benar-benar bikin gue nyaman pas sama dia."
"Tapi nyaman aja nggak cukup 'kan?" Pertanyaan Tisha tak mampu Tara jawab. "Ya, 'kan? Emang kalau hatinya masih nyaman sama yang lama susah."
"Maksudnya apa, nih?"
"Ya apa kek."
Tara memegang dua buah undangan di tagannya. "Makasih, ya, udah gue terima."
"Pokoknya lo harus datang nanti hari Minggu, ya! Dilarang dateng solo alias harus together with your boyfriend!" seru Tisha dengan senyum mengembang.
Tara merenggut kesal. "Sumpah, Sha, lo nggak dendam karena gue nggak bisa jadi kakak ipar lo 'kan?"
Terdengar tawa Tisha dari sana. "Nggaklah! Tapi emang sayang banget kalau lo datang sendirian, Tar. Atau mau datang sama Mas Vian? Sekalian ketemu keluarga besar gue. Siapa tahu berubah pikiran?"
"Gila kali lo, ya," gumam Tara. "Udah, deh, gue mau lanjut kerja. Jam istirahat udah habis," katanya sembari melirik ke arah pintu ruangannya, Silvia dan Amiya baru saja kembali dari luar.
"Oke, oke. Tapi gue gak bercanda, ya."
Tara tidak menjawab lagi, ia mematikan sambungan telepon dari Tisha. Ia tidak bisa melanjutkan hubungannya dengan Vian bukan karena pria itu tidak baik atau jauh dari kriterianya, namun, Vian jelas lebih berhak mencari wanita lain daripada menunggunya yang masih belum jelas perasaannya.
Terhitung sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, Vian tidak lagi menghubunginya. Ada perasaan lega di hatinya karena tidak ada rasa bersalah sudah memberikan pria itu harapan. Tara berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan yang tepat.
🍩
Tara baru saja menginjakkan kaki di lobi dan menyapa pak Muklis saat Raka keluar dari baseman dengan tas kerjanya dan menggendong Sabrina yang terlelap di bahunya. Melihat itu membuat Tara tertegun sejenak. Raka benar-benar serius dengan niatnya mengadopsi Sabrina.
Tara membantunya menekan tombol lift, mereka bersisian menunggu lift terbuka. "Baru pulang, Ka?" tanya Tara. Udara di sekitar mereka entah terasa menyesakan.
Raka tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tara tidak menghindarinya. "Iya. Jemput Sabrina dulu di daycare, terus makan malam sama Dirgantara. Lo sendiri? Dari butik jam segini?" Pria itu melihat arloji di pergelangan tangan kirinya menunjukan pukul sembilan malam.
"Iya. Lembur." Beberapa hari ini Tara memutuskan untuk beberapa jam menetap di butik setelah jam pulang tiba karena banyaknya pesanan yang masuk saat ia cuti kemarin.
Raka hanya ber-oh, dan suasana kembali hening.
Mereka sama-sama diam—bingung untuk memulai obrolan lain—sampai pintu lift terbuka dan mereka masuk dengan diam.
"Oh, iya, ada undangan dari Tisha. Hari Minggu acaranya. Di Jakarta." Tara mengeluarkan surat undangan berwarna silver di dalam tasnya.
Raka menerimanya dengan sedikit kesulitan. "Thanks. Gue pasti datang."
"Ketiga teman lo udah di kasih undangan online-nya sama Tisha," jelas Tara tanpa diminta.
"Ah, iya." Raka mengangguk. "Gue akan datang sama mereka."
Tara bergumam.
"Sesha udah siuman, Tar," ucap Raka.
Tara menghela napas lega. "Syukurlah. Gimana kabarnya?"
"Dia masih nggak mau ngomong sama siapapun."
"Kecelakaan itu pasti punya luka yang dalam buat Sesha."
Raka mengangguk membenarkan. "Sesha kayaknya masih butuh waktu buat sendiri."
"Lo sendiri gimana?" tanya Tara.
"Gue?" Raka terkekeh. "Baik."
Tara melihat dengan jelas bagaimana pria itu keluar dari baseman dengan wajah kusut, meskipun katanya dia baik-baik saja, Tara tahu banyak hal rumit yang sudah dilalui pria itu.
"Setelah dinner sama Dirgantara, lo merasa baik?" tanya Tara lagi.
"Ya... gitu. Namanya juga keluarga 'kan?" Raka masih menatap pantulan dirinya dan Tara di dinding lift saat mengatakannya.
Tara tidak pernah menghadiri acara keluarga besar bersama para sepupunya sejak perceraian kedua orang tuanya. Ia bahkan sudah lupa rasa hangatnya bertemu mereka bagaimana. Wanita itu sibuk dengan isi pikirannya sendiri hingga yang ia tahu, keluarga adalah kedua orang tuanya yang sudah berpisah dan juga adik-adiknya.
"Raka..."
"Hm?"
"Gue mau kasih kesempatan kedua." Katanya bertepatan dengan pintu lift terbuka. Tara melangkah keluar lebih dulu.
Raka segera menyusul Tara, menahan lengan wanita itu yang hendak menekan digit angka di pintu unitnya. "Serius, Tar?"
Tara mengangguk.
"Gue masih bisa nunggu, kok."
"Lo berubah pikiran?"
Raka menggeleng dengan cepat. "Bukan itu. Gue cuma nggak mau lo menyesal, Tar. Jangan merasa terpaksa."
"Gue serius, kok. Gue mau ngasih lo satu kali lagi kesempatan," jawab Tara dengan yakin.
"Makasih, Tar. Makasih udah mau percaya sama gue." Raka memeluk Tara dengan spontan, membuat Sabrina yang digendongannya terjepit di antara orang dewasa itu. Tara tidak membalas pelukan itu, ia mematung sampai Raka kembali melepas pelukannya. "Sorry."
Tara tertawa canggung. "Gue masuk dulu. Lo urus dulu Sabrina, kasihan kayaknya dia kecapean," ujar Tara sembari menekan digit angka agar pintu unitnya terbuka.
"Tara..."
"Ya?"
Raka maju satu langkah, meskipun barang bawaannya banyak, pria itu menyempatkan untuk mengusap puncak kepala Tara. "Kita mulai semuanya dari awal lagi." Kemudian Raka berbalik menuju unitnya di seberang.
Raka melepas semua barang bawaannya di sofa, masuk ke kamar untuk merebahkan Sabrina di sana, kemudian membersihkan tubuhnya di kamar mandi dengan waktu yang tidak terlalu lama. Ia harus mengabari ketiga temannya karena kabar baik ini membuat suasana hatinya yang seharian memburuk kini membaik.
Namun, gerakan jarinya mencari grup teman-temannya terhenti saat satu pesan masuk di bar notifikasinya.
Karissa : Udah bahagia kamu setelah mutusin aku? Setelah semua yang kamu lakuin ke aku, kamu pikir kamu bisa lepas dari aku?
🍩
Halooo!
Shipper TARAKA mana nih? Ini kan yang kalian tunggu?
Jangan seneng dulu ya, nggak semudah itu mereka balikan, Rissa masih dendam kesumat sama Tara meskipun Tara-nya nggak ngapa-ngapain 😌
Mereka juga putusnya salah paham dan harusnya Raka lebih gentle dong ya kaaan 😎
Vote + komen yang banyak ya!
—salam donat💜
03/01/23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro