lima puluh empat : Asumsi
Tara Givanka : Lo gila, ya?
Raka Tasena : Gila?
Tara Givanka : Ibu kaget banget, dia nanya ke gue berkali-kali, Lo serius atau nggak.
Raka Tasena : Terus lo jawab apa?
Tara Givanka : Menurut lo?
Raka Tasena : Tadi pagi gue ditelepon kakek. Ada kendala sama proyek di Pekan Baru. Gue harus secepatnya meresmikan pernikahan kita biar bisa handle kerjaan.
Tara terkekeh. "Lo mikir apa sih, Tar?"
Raka Tasena : Gue mau ke Makassar sama mami dan papi. Doain, ya.
🍩
Raka benar-benar tidak membuang waktunya. Setelah Senin pagi mereka berangkat subuh dari Bogor dengan terburu-buru, pada Selasa siangnya pria itu beserta kedua orang tuanya akan berangkat ke Makassar menemui Farhan. Sementara Sabrina ia titipkan pada Tara untuk dua hari ke depan.
Perjalanan menuju butik terasa lebih hidup karena Tara memutar lagu Fix You dari Coldplay—lagu yang kata Raka anak galau banget. Sepanjang perjalanan Tara memutar lagu itu dan ikut menyanyikan liriknya.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you
And high up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you never try you'll never know
"Just what you're worth," Tepat ketika Raka menyambung lirik itu, mobil sudah berhenti di depan Serafin Beauty. Ia tersenyum ke arah Tara, "Masih pagi udah galau aja," katanya.
"It's just a song," ucap Tara sembari mengedikkan bahunya. "Gue turun, ya," katanya. Namun, tangan Raka menahannya sebelum Tara membuka pintu mobil, membuat wanita itu menatapnya bingung. "Kenapa, Ka?"
"Gue titip Abin, ya."
Tara mengangguk.
Pria itu memajukan tubuhnya, menyentuh kedua sisi wajah Tara dengan kedua telapak tangannya, kemudian mengecup pelipis wanita itu dengan lembut. "Kalau ada apa-apa hubungi gue. Gue take off jam satu siang nanti."
Tara memegang tangan Raka yang menangkup wajahnya, ia tersenyum meskipun sedikit terkejut atas tindakan Raka barusan. "Hati-hati."
"Janji dulu."
"Untuk?"
"Selalu kabari gue."
"Iya." Tara mengangguk lagi.
"I love you."
Tara memalingkan wajahnya, kemudian segera keluar dari sana dengan terburu-buru tanpa membalas Raka.
Saat sudah sampai di lantai dua, Tara melihat teman-temannya berkumpul di meja Edo, saling berbisik entah soal apa. Lalu tatapan mereka langsung tertuju padanya yang menginjakan kaki dia anak tangga teratas.
"Kenapa?" tanya Tara.
"Pantesan aja postingan Rissa galau terus beberapa Minggu ini, ternyata lo balikan sama Raka, ya?" ujar Edo.
Tara tahu, cepat atau lambat, tanpa ia atau Raka yang memberitahu, semua orang di sekitar mereka akan menyadarinya. Semua terlihat jelas, dan tentu saja teman-temannya yang notabene-nya fans Rissa garis keras merasa harus tahu kebenarannya.
Namun, alih-alih menjelaskan, Tara membuang napas kasar, lalu mengangguk dan melanjutkan langkahnya.
"Lo pelakor, Tar?" tanya Dewi membuat Tara kembali berhenti.
"Gue nggak nyangka, sih," gumam
Wina.
"Gue kira lo pacaran sama mas-mas yang sering ke sini itu," tambah Lana.
"Lo tahu kan tahun lalu Rissa sempat bilang ke media kalau dia mau menikah tahun ini," kata Edo. "Jadi, maksudnya... lo ngerayu Raka biar dia putus sama Rissa dan balikan sama lo?" ujarnya memanasi situasi.
Sandra dan Lana tampak terkejut mendengar itu. Sementara Meri yang sejak tadi diam di tempatnya menggeleng pelan melihat drama pagi ini. Beruntungnya Sarah belum datang.
"Mbak Tara?" panggil Silvia meminta penjelasan.
"Apapun hal buruk yang kalian pikirkan tentang gue, itu semua nggak benar." Tara balas menatap mereka satu persatu-satu. "Tapi bagaimana gue dan Raka kembali punya hubungan juga itu bukan urusan kalian," kata lalu menutup pintu ruangannya.
Mereka saling tatap, lalu mendesah kesal. Silvia mengibaskan tangannya di udara. "Udahlah, bukan urusan kita juga," katanya.
Edo mendecih tak suka atas ucapan Silvia. "Gue tahu sih, lo bawahannya dia, tapi nggak bisa dibiarin juga kalau ternyata Tara jadi pelakor," katanya nyinyir.
"Tapi Mbak Tara bilang, itu semua nggak benar," sanggah Amiya.
Edo dan Sandra tertawa.
"Nggak ada orang jahat yang ngaku jahat, Miya," ucap Edo.
Dewi mengangguk setuju. "Mbak Tara ini semacam apa, ya? Dia PHP-in pak Vian dan memilih balikan sama Raka yang jelas-jelas pacaran sama Rissa."
"Maruk!" seru Sandra.
"Kelihatannya dia paling diem, nggak banyak tingkah. Kalau emang dia ngerebut Raka, sih, keterlaluan banget," timpal Lana.
"Jangan menilai dari covernya aja, guys," Edo berdehem. "Mantannya yang lawyer aja beberapa kali ngemis cinta sama dia, tapi nggak digubris. Apalagi kalau bukan masih ngarepin Raka?" tanya Edo sembari memainkan kuku jarinya yang dicat pink fanta.
Mereka saling tatap satu sama lain, menyatukan beberapa momen untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Tara dan Raka. Mereka setiap hari ada di ruangan yang sama, makan siang, lembur, curhat, dan hal-hal kecil yang mereka lakukan bersama membuat mereka mudah tahu segala hal. Terlebih lagi beberapa hari ini Tara selalu diantar-jemput oleh Raka, hal itu pasti menjadi perhatian lebih untuk mereka.
Sebelum di antara mereka kembali menyahut, suara Meri lebih dulu terdengar. "Kalian ini pagi-pagi udah bikin gosip! Kalau Sarah tahu kalian nggak langsung kerja dan sibuk dengan asumsi negatif kalian tentang orang lain, bisa marah seharian dia!" ujar Meri karena gerah mendengar obrolan mereka. "Mau Tara benar atau nggak, ya itu privasi dia. Bukan ranah kalian juga untuk tahu hal itu."
🍩
Ketika Tara datang menjemput Sabrina seorang diri, suster Novia terlihat mengernyitkan dahinya. "Pak Raka nggak ikut, Bu?"
"Lagi keluar kotak Sus," jawabnya lempeng.
"Wah... padahal baru tadi pagi ya nganter Abin," gumamnya. "Nyari suami emang harus kayak pak Raka, ya, Bu, rajin mencari rezeki."
Tara hanya membalasnya dengan senyum tipis. Setelah itu ia pamit untuk pulang karena taksi yang ia tumpangi menunggu di luar.
Tara tidak langsung pulang ke apartemen, ia mengajak Sabrina jalan-jalan lebih dulu mumpung ada waktu luang. Kasihan juga balita itu tidak diberi kesempatan untuk menikmati dunia luar karena orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Tara pun merasa harus mencari udara segar karena sejujurnya, obrolan teman-temannya pagi tadi cukup mengganggunya. Tara mendengar semuanya, termasuk peringatan Meri pada mereka jika terus melanjutkan obrolan itu dan beresiko dimarahi Sarah.
Tara jadi berpikir, apa selama ini mereka juga sering membicarakannya di belakang seperti tadi? Terlihat bagaimana mereka sangat tahu jika Vian sering datang dan menemuinya dan memberikan pria itu harapan palsu.
Mereka memasuki restoran cepat saji terlebih dulu sebelum bermain karena sudah memasuki waktunya Sabrina makan. Balita itu dengan semangat melahap makanannya. "Anak pintar..." Tara mengusap puncak kepala Sabrina dengan gemas. "Papi pasti senang kalau Abin makannya banyak."
"Papip?" Sabrina menatapnya bingung. "Mim, papip! Papip!"
"Papip lagi ada urusan. Kita jalan-jalan berdua dulu, ya, sayang."
Sabrina mengangguk, lalu membuka mulutnya kembali setelah makanannya tertelan di kerongkongan. "Aaa...."
Tara tertawa melihat tingkah menggemaskan Sabrina. "Makanan datang...."
"Tara?"
Tara menoleh.
Vian berjalan ke arahnya dengan kemeja abu yang masih terlihat rapih di tubuhnya meskipun waktu sudah mulai beranjak malam. "Sendiri?"
"Sama Sabrina," jawabnya.
Tatapan Vian berlatih pada balita gembul yang duduk di high chair.
Seolah tahu apa yang pria itu pikirkan, Tara berkata, "Anak angkatnya Raka."
Vian mengangguk. "Sama—" Ia kemudian menyisir pandangan ke arah lain. "—Raka?"
"Nggak. Berdua aja," jawabnya. "Mas Vian sendiri?"
"Saya ada janji sama teman."
"Ah, begitu."
"Di acara Tisha kita nggak sempat bertemu."
Tara mengangguk. "Mas Vian pasti sibuk."
Terdengar helaan napas kencang dari Vian. "Saya melihat foto kalian di handphone Tisha. Kamu selalu cantik, Tara," pujinya.
Tara tidak tahu harus merespon pujian itu dengan cara apa selain bergumam terima kasih.
"Saya juga dengar dari Tisha kalau kamu kembali berhubungan dengan Raka," ucap Vian dengan senyum tipis. "Saya ikut senang mendengarnya. Kalau itu pilihan kamu, artinya kamu percaya sama dia."
Tara mengangguk. "Sekali lagi, saya minta maaf karena nggak bisa memberikan mas Vian kesempatan."
Vian menggeleng tak setuju. "Kamu nggak perlu minta maaf, itu bukan salah kamu. Toh, selama beberapa bulan ini kita sama-sama merasa enjoy saat bertemu. Terlepas dari akhir cerita kita—kamu memilih untuk sama Raka, itu hak kamu. Nggak ada orang yang bisa menghakimi itu," ucapnya dengan tulus.
Ya, begitu. Keputusan ada di tangannya, dan ketika semua orang mengetahuinya, mereka tidak berhak mengatakan hal buruk padanya. Harusnya Tara tidak memikirkan ucapan Edo dan membuat fokus kerjanya terbagi seharian tadi.
"Makasih, Mas." Tara menatap Vian dengan lekat. "Makasih karena Mas Vian udah mengatakan hal itu dan buat saya merasa lebih baik."
"Kalau terus menyalahkan diri sendiri atas semua yang udah terjadi, itu artinya kamu ragu dengan keputusanmu, Tar."
🍩
Buat yang udah baca, nungguin kisah TARAKA 1 & 2, yang vote + komen di chapter-chapter sebelumnya, donat ucapin terima kasih banyak. Semua dukungan temen-temen salalu jadi moodboster donat tiap harinya. Notif dari kalian tuh bener-bener bikin donat semangattt 🥺💜
Berkat temen-temen semua TARAKA 2 masuk top 10 tag chicklit ⬇️
Terharu banget liatnya 🥺
Sebelumnya donat ngerasa nggak pede nulis genre chicklit-metropop karena nggak ada pengalaman, tapi donat sering baca-baca novel/komik metropop, nonton series/film genre romance-metropop 2021 lalu dan bikin donat merasa nggak ada salahnya untuk mencoba.
Sampai hari ini TARAKA 2 ada di chapter 54 aja donat masih nggak nyangka. Ini tuh hal yang enam tahun lalu donat mau pas donat masih kelas 9 SMP. Dan sekarang dream come true 🥺💜💜
Buat temen-temen semua, nggak ada salahnya mencoba hal baru dan melakukan apa yang kita mau. Meskipun nggak dapat dukungan dari orang lain, setidaknya kita harus mendukung mimpi kita sendiri. Semua akan terwujud ketika kita yakin atas semua usaha yang kita lakuin. 🤗💜
Jangan lupa vote + komen yang banyak di chapter ini yaaa!!! 🤗🤗
—Salam donat💜
13/01/23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro