Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima puluh dua : Orang tua

"Tar, makan, yuk!" ajak Sarah yang tiba di ruangannya.

"Belum istirahat mbak." Tara melihat jam di ponselnya baru menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh tujuh menit.

"Biarin. Yang lain udah pada nungguin," katanya.

"Ada acara apa?"

"Lho, mbak Tara gak tahu? Hari ini anniversary pernikahannya bu Sarah sama pak Aksel," ucap Silvia.

Tara menatap Sarah dengan rasa bersalah karena tidak mengetahui hal itu.

"Makanya jangan sibuk kerja terus! Lo nggak dengar kemarin gue bilang apa?" tanya Sarah ketus.

Mendengar nada Sarah yang sudah kesal, Tara mulai membereskan pekerjaannya. "Sorry, gue nggak tahu."

Amiya merangkul bahu Tara, lalu bergumam,"Jangan dibawa panik, Mbak."

Tara meringis. Mungkin karena belakangan ini ia sibuk dengan pekerjaan, Tara jadi mengabaikan hal-hal lain yang menurutnya tidak penting, termasuk ajakan Sarah yang ia sendiri pun tidak tahu kapan mendengarnya.

Mereka makan siang di restoran sushi di dekat butik, jaraknya hanya sepuluh menit naik kendaraan. Edo dan Dewi menyambut kedatangan Aksel dengan heboh.

"Wah, pak bos kita juga dateng!" seru Edo.

"Kan dia yang mau bayarin!" sahut Sarah. Ia merangkul suaminya menuju meja mereka.

Karyawan yang lain mulai diam dan membuat suasana menjadi nyaman untuk bosnya agar tidak ada sesi Sarah marah-marah dan berujung tidak ajdi ditraktir. Dewi dan Sandra memberi isyarat untuk mereka tersenyum manis dan bersikap sopan.

"Dasar penjilat," gumam Silvia melihat tingkah kedua temannya.

Saat semuanya sibuk dengan buku menu dan saling tanya akan memesan apa, tatapan Tara justru tertuju pada pintu masuk restoran. Seorang pria menghampiri meja di sudut ruangan yang sudah diisi oleh wanita dengan penampilan tertutup.

"Raka?" gumamnya. Tara membuka ponselnya, mengirim pesan pada pria itu.

Tara Givanka : Udah ada rencana makan siang?

Tak disangka balasan itu cepat ia dapat.

Raka Tasena : Udah. Lo mau makan siang apa?

Tara Givanka : Sushi. Gue lagi di Sushi Tei.

Pria itu sontak menyapukan pandangan ke seluruh penjuru restoran, kemudian tatapannya bertemu dengan Tara. Terlihat jelas bahwa pria itu tampak terkejut.

Raka Tasena : Itu elo? Sama temen-temen  di butik?

Tara Givanka : Iya.

Raka Tasena : Sorry, gue lupa bilang tadi pagi, gue ngajak Rissa ketemu buat beresin masalah kita sebelumnya. Gue nggak akan biarin dia membenci lo atas apa yang terjadi kemarin. Ini murni salah gue.

Raka Tasena : Jangan cemburu, ya.

Raka Tasena : Jangan fokus sama hp terus, pilih menu dulu.

Raka Tasena : Atau mau makan siang sama gue?

Tara mendengkus geli.

"Tar? Mau apa? Kok diem aja?" tanya Meri.

Wanita itu akhirnya mengalihkan atensinya dari ponsel sebelum membalas pesan dari Raka. "Samain aja kayak yang lain aja, Bu," katanya.

Tara Givanka : Oke.

Raka Tasena : Oke apa, nih?

Tara Givanka : Gue maafin.

Raka Tasena : Kirain mau makan siang bareng.

Tara Givanka : Gue nggak yakin sih bakal makan siang, kayaknya urusan lo memakan waktu yang cukup lama.

Raka Tasena : Hm, okay. Have fun for ur lunch.

Tara Givanka : Lo juga.

Raka Tasena : Dibilang jangan cemburu.

Tara Givanka : U wish.

Lengannya disikut dari samping oleh Sarah. "Gue lihat tadi pagi lo diantar Raka," bisiknya.

Tara mengangguk. "Iya, Mbak."

"So?"

"I choce him."

Sarah terkekeh. "Harusnya dari dulu gak, sih?"

Tara ikut terkekeh. "Ya. Harusnya."

🍩

"Udah beres?" tanya Tara.

"Hm?" Raka menautkan alisnya mendapat pertanyaan itu saat Tara baru saja memasuki mobilnya. Namun, fokusnya tetap pada padatnya jalan raya yang mulai kembali ramai.

"Sama Rissa."

Ada helaan napas yang keluar dari pria itu sebelum bergumam, "Dia harusnya bisa ngerti lebih awal kalau hubungan kami nggak bisa diteruskan."

"Lama, ya?"

"Apanya?"

"Makan siangnya."

"Seperti dugaan lo. Itu bukan makan, sih. Makanan cuma jadi formalitas aja." Raka terkekeh. "Cukup lama untuk membuat Rissa mengerti," katanya.

"Dia bilang apa?"

Raka menggeleng. Semua perkataan Rissa siang tadi membuatnya marah. Ia tidak akan memberitahu Tara karena itu akan menyakiti perasaan wanita itu.

"Gimana kalau aku perjelas lagi sama dia? Kalau posisi dia sekarang nggak lebih dari alat di hidup kamu, sementara perasaan kamu cuma buat aku?" ujar Rissa setelah mendengar penjelasan Raka bahwa Sabrina adalah anak temannya dan ia akan mengadopsinya bersama Tara.

Saat itu Rissa datang ketika Raka sedang menidurkan Sabrina. Wanita itu marah karena melihat ada bayi di kamar Raka. Saat Raka mengatakan ingin mengakhiri hubungan mereka, Rissa justru menuduhnya selingkuh dan memiliki anak dari wanita lain.

Raka mendengkus. "Jangan terlalu percaya diri, Rissa."

"Oh, ya? Kalau dia lihat foto ini gimana, ya? Dia masih mau sama kamu?" Rissa membuka ponselnya, memperlihat gambar dirinya dengan Raka di atas tempat tidur apartemen pria itu dengan keadaan half naked karena mabuk.

Raka tidak tahu kapan foto itu diambil. "Itu masa lalu."

"Apa dia bisa tidur sama kamu setelah lihat ini? Kamar yang akan kalian tempati sudah lebih dulu menjadi saksi gimana kita tidur di sana," ucapnya dengan senyum mengembang.

Raka mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, berusaha meredam amarahnya. "Cara rendahan kayak gitu nggak mempan buat Tara."

"Karena Tara lebih rendah, ya? Diperalat sama kamu atas dasar cinta?" Rissa terkekeh geli. "Cinta kamu sama dia itu cuma cinta monyet."

Raka masih diam, menumpuk kesabarannya karena hari ini terlalu menyenangkan untuk ia pakai bertengkar dengan Rissa.

"Wanita jalang itu pasti sekarang lagi merasa di atas awan, ya?" Rissa mendecih sinis.

"Kamu nggak berhak berkomentar apapun tentang aku dan Tara. Itu urusan kami. Dan aku tegaskan sekali lagi, Tara nggak salah apa-apa di sini," ujar Raka dengan dingin. "Aku menemui kamu karena mau meluruskan kesalahpahaman ini. Terakhir kali kalian bertemu kamu menamparnya dan berkata kasar atas apa yang nggak Tara lakukan. Aku tunggu permintaan maafmu buat Tara."

"Setelah apa yang kalian lakukan di belakang aku?" Rissa menatapnya tak percaya. "Lalu gimana dengan janji kamu di depan mamaku? Kamu bohongin kami!"

"Aku akan meminta maaf secara pribadi pada beliau."

"Semudah itu?" Rissa menggeleng. "Aku pastikan hubungan kamu dengan wanita itu nggak akan bahagia!"

Raka masih tetap melajukan mobilnya dengan tenang, meskipun ancaman wanita itu tidak bisa ia anggap remeh.

"Ka?"

"Kenapa, Tar?"

"Dia bilang apa?"

Raka tersenyum lembut pada Tara. "Udah gue pastikan kalau dia nggak bisa membenci lo lagi, Tar. Dia nggak berhak punya perasaan itu buat lo."

Tara akhirnya mengangguk meskipun dirinya tidak yakin dengan kalimat penenang itu.

Raka meraih tangannya, menggenggamnya erat, seolah tahu kegelisahan wanita itu. "Lo aman sama gue, Tar."

Tara balas menatapnya. "Gue harap begitu."

"Hari Minggu nanti mau ikut jenguk Sesha nggak?" Raka membelokan topik ke arah lain.

"Mau."

Raka tertawa mendengar jawaban cepat itu. "Okay. Abis dari Tisha, kita ke Bogor."

Mobil yang dikendarai mereka mengarah ke daycare untuk menjemput Sabrina. Balita itu sudah menunggu mereka dengan antusias, bahkan Sabrina meloncat ke gendongan Tara saat mereka sampai.

Raka mengusap dadanya karena terkejut, beruntungnya Tara menangkapnya dengan cekatan.

"Wah... Abin gak sabar banget ya ketemu mamim." Novia tertawa melihatnya. "Dia kelihatan ceria banget lho, Pak, Bu, seharian ini. Sudah mulai main juga sama teman-temannya yang lain."

"Kemajuan yang bagus. Makasih ya, Sus," ucap Raka dengan tulus.

"Sudah tugas saya, Pak," balas Novia.

"Saya merasa Abin lebih dekat dengan suster daripada saya," ujar Tara sungkan.

Novia tertawa. "Wajar, Bu, Sabrina sama saya seharian. Asalkan di rumah waktunya buat Sabrina full, pasti bakal dekat juga. Usia segini emang harusnya didampingi orang tua karena banyak hal yang baru bisa dilakukan dan harusnya orang tua yang menjadi orang pertama yang tahu," jelasnya.

Tara dan Raka saling tatap. Mereka kemudian membuang pandangan ke arah lain. Ya, seharusnya sebagai orang tua mereka tidak hanya memberi fasilitas dan uang yang cukup, tapi juga perhatian dan kasih sayang. Orang tua berperan penting dalam pembentukan karakter anak. Membuat anak merasa nyaman, aman, lebih percaya diri dengan apa yang dilakukannya bersama orang tua.

Perkataan Novia terus berputar di kepala Raka bahkan sampai mereka tiba di apartemen. Apa keputusannya menitipkan Sabrina di daycare pilihan yang salah?

Setelah lebih dulu Tara membersihkan diri di unitnya, ia membantu memandikan Sabrina, memberikan balita itu camilan dan bermain dengannya, juga membersihkan apartemen Raka sementara sang tuan rumah membersihkan tubuhnya dan menyiapkan makan malam.

"Lo masih sempat masak?" tanya Tara setelah menutup pintu kamar Raka.

Raka menoleh sebentar. "Hm? Abin udah tidur?"

"Udah."

Raka menyimpan piring berisi udang asam manis di atas meja pantri. "Nggak tiap hari. Lagi pengin aja. Kebetulan lo juga bantu jagain Abin, jadi gue bisa masak," jelasnya sembari ikut duduk di samping Tara di stool bar. "Ayo, Tar, makan dulu."

"Abin pasti bangga banget punya papi kayak lo," gumam Tara.

"Dan gue bangga sama lo, udah mengesampingkan ego dan perasaan lo, buat gue dan Abin. Buat masa depan kita." Raka tersenyum menatap Tara.

🍩


Rissa emang minta ditimpuk pake batu bata gak sie? Wkwk

Namanya juga cinta ya kaaan, dia ga bisa terima gitu aja kalau Raka lebih memilih Tara daripada dia wkwk. Sabar, ya, sabar... 🤗🤗

Kita ketemu lagi sama TARAKA & Abin secepatnya, asal vote + komennya rame, oke? Yang belum vote dia chapter sebelumnya, langsung vote yuk 😘😘

—Salam donat💜
07/01/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro