enam puluh lima : After Breakfast
Di chapter ini ada adegan 18+ nya, yang belum cukup umur bisa skip pas bagian itunya, ya.
Happy reading! 💜
🍩
Raka dan Tara duduk berisisian di ranjang hotel tempat acara dilaksanakan. Mereka sudah selesai berganti pakaian dan sekarang duduk bersandar pada headboard dengan kikuk tidak tahu harus melakukan apa.
Ada jeda sekitar sepuluh menit untuk mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing sampai Raka lebih dulu memecah keheningan. "Kita mau langsung tidur?" tanya pria itu.
Tara menoleh. "Mungkin kita bisa pillow talk?"
Raka tertawa. Tapi tak urung ia mengangguk.
Mereka mengambil posisi tidur. Tara sudah memeluk guling yang menjadi pembatas untuk mereka. "Derio ngomong apa sebelum gue datang?"
"Nggak penting. Cuma masalah kerjaan."
"Maksud dia memudahkan itu apa?"
"Dia udah lama suka sama Rissa."
Tara melotot.
"Saat itu gue bilang kalau dia harusnya bisa mengejar Rissa. Mungkin sekarang dia lagi mempertimbangkannya." Raka mengubah posisi tidurnya yang tadinya telentang kini menghadap Tara. Ia mengusap rambut istrinya yang menghalangi wajahnya. "Kamu cantik banget."
"Lo udah bilang itu." Tara menahan tangan Raka yang mengusap wajahnya.
"Emang salah bilang berkali-kali?" Raka terkekeh. "Kamu tuh cantik banget. Cantik banget, Tar. Gemes tahu, gak?"
Tara menggigit pipi bagian dalamnya, menahan senyumnya. "Oh, ya?"
"Ibu Eva—" Raka tertawa. "Akhirnya gue bisa manggil ibu juga, ya."
Tara ikut tertawa.
"Ibu Eva pasti dulu ngidamnya ketemu princess, makanya anaknya cantik gini," ucap Raka.
"Bisa nggak, nggak sampis?" tanya Tara.
"Nggak bisa." Raka menyingkirkan guling yang dipeluk Tara, lalu memeluk istrinya. "Mana bisa sih gue berhenti memuji istri gue yang cantik ini?"
Meskipun sudah tak terhitung berapa kali Tara mendapat gombalan receh dari pria ini, tapi dulu Tara masih bisa menahan salah tingkahnya. Dulu ia masih remaja labil yang terbilang cuek dengan pujian. Namun, kini statusnya sebagai istri dan Tara tidak perlu menahan rasa senangnya. Ia balas memeluk Raka dan terkekeh.
"Rasanya kayak mimpi ya, Tar," ucap Raka sembari menciumi puncak kepala istrinya. "Kayaknya baru kemarin gue frustasi didesak menikah dan bingung cara mutusin Rissa gimana, tahu-tahu sekarang kita malah jadi suami-istri."
Tara menghirup aroma tubuh Raka yang bercampur dengan wangi sabun hotel. "He'em. Apalagi gue yang nggak berniat menikah di tahun ini."
"Lo sama dokter Vian gimana?" tanya Raka sembari memegang rahang Tara, ia ingin melihat ekspresi wanita itu. "I mean, setelah di acaranya Tisha, kayaknya dia nggak muncul di hidup lo selain tadi siang datang?"
"Ya iyalah nggak. Emangnya ada keperluan apa dia datangin gue lagi?" Tara balik bertanya. Siang tadi Vian datang bersama surat undang yang ia titipkan pada Tisha Minggu lalu. Pria itu baik-baik saja dan selalu terlihat menawan. "Kata Tisha sih dia lagi dekat sama teman lamanya. Gue pernah beberapa kali ketemu dia. Ya udah, kayak nyapa biasa aja."
"Terus tadi kok sendirian? Ngeles aja kali itu dekat sama temannya," ucap Raka.
"Gue nggak ngurusin, sih. Dia datang aja udah sebuah kehormatan, tahu."
Raka mendecih.
"Lo nggak ngundang Tisha, ya?" Pertanyaan yang sejak kapan tahu baru bisa Tara tanyakan pada suaminya.
"Udah gue kasih ke Derio, kok. Tapi gue bersyukur dia nggak datang." Ada helaan napas lega yang keluar dari mulut Raka. "Gue nggak yakin Rissa nggak bakal tantrum."
Tara bergumam setuju.
"Oh, iya, gue mau nanya ini. Sebenarnya baru kepikiran pas diungkit sama Nando dan Jaffar kemarin." Raka menahan wajah Tara yang sempat tertunduk agar kembali menatapnya. "Saat gue mabuk dan salah unit, apa gue bersikap kurang ajar?"
Raut Tara berubah. Senyum teduhnya digantikan dengan kerjapan dan pipinya bersemu merah.
"Tar?"
"I-itu..."
"Apa sebenarnya kissmark itu gue yang buat?"
Tara hanya mampu mengangguk.
"Oh, God!" Raka kembali merengkuh tubuh istrinya. "Sorry gue udah nuduh lo yang nggak-nggak padahal itu hasil perbuatan gue sendiri. Sumpah, Tar, gue beneran nggak ingat! Gue udah berasa yang paling suci aja padahal dosa gue lebih banyak."
"Ka..." Tara menepuk-nepuk lengan suaminya. "gue juga salah kok. Gue nggak mencegah lo saat itu padahal gue tahu lo masih jadi pacarnya Rissa."
"Itu dorongan naluriah, Tar. Harusnya gue bisa mengendalikan diri biar nggak mabuk."
"Iya, Ka. Udah gak pa-pa. Lagipula itu udah berlalu kok. Gue juga udah lupain."
"Lupain ciumannya?" tanya Raka.
Tara mengangguk.
Raka mendekatkan wajahnya pada Tara, menahan tengkuk istrinya lalu menempelkan bibir mereka cukup lama sebelum kembali melepasnya. "Yang ini nggak akan bisa dilupain." Ia kembali mendekat, memiring wajahnya lalu mengecup bibir Tara, memagutnya dengan gerakan pelan, menghisap bibir bawah istrinya hingga Tara membalasnya. Mereka bertukar Saliva, lidah saling membelit, dan Tara melenguh saat tangan Raka mulai menjalar ke bawah. Meremas dadanya yang masih terbalut baju tidur berkancing.
Raka berpindah menjadi di atas istrinya dengan sebelah tangan yang menopang tubuhnya, ciuman pria itu pindah ke leher, menghisapnya kencang hingga membuat Tara memekik dan meremas rambut Raka. "Nghh... Ka..."
Tangan Raka perlahan membuka kancing piayamanya satu persatu, lalu menyelinap ke belakang dan melepas kaitan branya. Ia menatap pemandangan di depannya dengan takjub, kemudian membenamkan wajahnya di dada Tara, dan bergumam lirih, "Cantik."
Tepat saat lirihan itu tertuju padanya, ponsel Tara berdering. Raka mengerang, namun masih membenamkan wajahnya di dada istrinya. "Ka, ada telepon."
"Biarin." Raka mengeratkan pelukannya.
"Ka..."
"Tar, udah nanggung banget," gumamnya.
Namun, Tara tetap melepaskan pelukannya, ia membenarkan pakaiannya kembali dan mengangkat teleponnya di atas nakas. "Halo, Sha?"
"Tar, sorry banget gue ganggu waktu kalian. Tapi Abin nggak bisa tidur sejak tadi, dia terus merengek manggil mamim."
Raka langsung menegakkan tubuhnya.
"Dan sebenarnya gue udah di depan kamar kalian."
🍩
Setelah sarapan dengan keluarga inti dengan sedikit drama dari Raka yang bangun kesiangan, pria itu mengantar Farhan di lobi hotel menunggu Dio datang. Sementara Tara masih di kamar karena membantu ibu tirinya membujuk Ahza untuk pulang. Adik kecilnya itu tidak mau berpisah dengan Tara.
"Papa titip Tara ya, Ka. Dengan kamu sebagai suami Tara, papa yakin Tara akan selalu bahagia. Jangan kecewakan dia. Di luar dia kelihatan tangguh dan bisa melakukan semuanya sendirian, tapi sebenarnya Tara tetaplah wanita pada umumnya. Dia juga butuh seseorang yang bisa menjaganya dan mengerti perasaannya." Farhan mengusap bahu menantunya, ia tersenyum tipis. "Papa nggak bisa terus menjaga Tara dengan kondisi seperti ini."
Raka mengangguk. "Makasih Pa, udah mau mempercayakan semuanya sama Raka. Tara akan selalu aman sama Raka. Papa yang sehat di sana, nanti Raka dan Tara berkunjung ke Makassar."
Farhan terkekeh. "Kamu kan sibuk. Urusi dululah kerjaan di sini. Papa aman kok asal lihat kalian bahagia."
"Kami bahagia, Pa," ucap Raka yakin.
Tepat setelah itu Tara dan Gita berjalan ke arah mereka dengan Ahza di gendongan ibunya. Juga mobil Dio yang berhenti tepat di depan mereka bersama Anya di kursi sebelah kemudi. Wanita itu ikut turun dan menyapa.
"Maaf nggak bisa ikut nganter," gumam Tara pada Farhan.
"Hei," Farhan mengusap wajah Tara dengan lembut. "nggak perlu minta maaf. Emang Dio yang mau nganter. Kalian juga kan belum check out dan masih harus mengurus hal lain."
Gita memeluk Tara. "Kami pulang, ya."
Tara mengangguk. "Hati-hati."
Mereka memasuki mobil, lalu Ahza melambaikan tangannya di pangkuan Anya. "Daaah!"
"Daaah!" Tara melempar senyum pada adiknya.
Setelah mobil Dio tidak terlihat dari pandangan mereka, Raka dan Tara saling tatap. Pria itu memeluk Tara. "I love you."
"I love me too."
Raka tergelak. "Okay. Mari kita jemput Abin di kamar mami, check out, lalu jemput kado spesial."
Tara melepas pelukan suaminya, lalu menggandeng lengan Raka memasuki lobi. "Okay."
"Atau kita titipin Abin aja di Bogor? Kan kita nggak jadi honeymoon, Tar."
Tara mencubit pinggang Raka. "Enak aja! Kamu nggak ingat semalam Abin nangis nanyain mamim karena seharian nggak digendong dan cuma bisa lihat mamim sama papipnya dari jauh?"
"Oh, iya, kita nggak foto bertiga sama Abin, ya?" tanya Raka. Kemarin ia memang tidak sempat menyapa putrinya karena sibuk dengan tamu undangan, terlebih lagi tidak ada yang boleh mengetahui kalau Sabrina adalah anak angkatnya sebelum pernikahan mereka resmi di mata hukum.
Tara mengangguk sedih. Mereka memasuki lift lalu menghela napas kasar. "Harusnya ada satu foto kita bertiga."
"Nanti kita foto lagi." Raka mengecup pelipis istrinya. "Abin harus ada di setiap momen kita."
Di sela hening yang sebentar itu, ponsel Raka di saku celana tiba-tiba berdering. Pria itu mengangkat panggilan dari kakek Dirga. "Halo, Kek?"
"Kalian udah check out?"
"Belum." Raka melirik Tara melalui ekor matanya. "Kenapa?"
"Pemindahan saham akan segera kakek urus setelah urusan kalian selesai, tapi ingat, setelah itu kamu tidak boleh lari tanggungjawab sesuai perjanjian. Masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan."
Raka berdecak. "Iya." Pria itu merapatkan tubuhnya pada Tara, merangkul pinggang istrinya dengan erat. "Udah ya, Kek. Ini masih bisa diurus nanti. Raka masih mau berduaan sama istri," katanya sembari mengecup sudut bibir Tara.
"Ka! Ini di lift!" Wanita itu kontan melepas rangkulan tangan Raka.
"Azraka?!"
Raka terkekeh. "Iya Kakek. Bawel banget. Kurang nurut apalagi, sih, Raka?"
"Jangan macam-macam sama istri kamu di tempat umum."
"Di lift cuma ada kami berdua," gumam Raka dengan seringai jahilnya untuk Tara.
"Dasar sinting," balas Tara.
Raka meraih rahang wanita itu dengan satu tangannya, lalu menunduk, memagut bibir Tara dengan lembut. Raka bahkan tidak lagi menghiraukan sambungan telepon yang masih terhubung, ia mengantongi ponselnya ke saku celana dan memeluk pinggang istrinya agar tubuh mereka merapat.
🍩
Halooo!!!
Yang udah vote di chapter sebelumnya makasih banyak! Chapter ini harus lebih rame lagi, ya sayang-sayangku 💜
Chapter depan masih kisah uwu-nya TARAKA setelah menikah, langsung vote + komen biar donat cepet updatenya 😍😍
—Salam donat💜
01/03/23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro