Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

empat puluh sembilan : Dirgantara

Raka baru saja keluar dari ruang meeting setelah banyak cekcok dengan klien untuk penginapan di Ubud. Maket akan mereka kerjaan Minggu ini tapi klien kali ini benar-benar membuat satu timnya banyak mengusap dada.

Beberapa kali Raka mencoba menenangkan dirinya, berucap dalam hati bahwa ini semua akan setimpal dengan hasil yang akan ia terima nantinya.

Seila baru saja keluar dari ruangannya dengan wajah ditekuk. "Ada kakek di dalam," katanya sambil lalu.

Raka mengeratkan pegangannya pada laptop miliknya, berusaha mengontrol emosinya.

Usia pria paruh baya itu berkisar tujuh puluhan. Rambutnya sepenuhnya putih, namun tak dapat dipungkiri bahwa aura dominan menguar kuat ke seluruh penjuru ruangan. Raka masih setia berdiri di depan pintu, memandang punggung kursi miliknya yang kini ditempati oleh sang kakek.

Ia bahkan belum sempat menyimpan laptopnya di atas meja saat kursi itu terputar dan balik menghadapnya. Senyum yang sering kali ditakuti oleh para cucunya kini tertuju pada Raka.

"Selamat siang, Raka," dan sapaan itu sudah jelas ke mana arahnya.

Raka mendudukkan bokongnya di kursi seberang. "Siang, Pak Dirga. Apa yang membuat anda datang ke ruangan saya siang ini?"

Pria paruh baya yang disebut Dirga itu mendelik. "Tidak sopan kamu sama saya!"

"Lho?"

"Kakek tidak mau basa-basi. Waktunya kurang dari satu minggu lagi, mana calon istrimu?"

"Om Petra bilang tenggat waktunya bisa diperpanjang kalau proyek Ubud sama mall pak Surya sukses. Ini pak Surya udah fix lho, Kek. Mana janjinya yang bilang kalau deadline nikah bisa diperpanjang dua tahun?" tanya Raka dengan sebal yang tak bisa tertahan.

"Siapa bilang dua tahun?" tanya Dirga.

"Y-ya... nggak ada, sih. Tapi pasti bakal diperpanjang kan?"

"Jadi satu bulan lagi," ucapnya.

Raka terhenyak. Gila! "Gak usah bercanda, Kek. Raka lagi males. Kerjaan lagi banyak."

"Kamu banyak kerjaan juga gara-gqra saya," kata Dirga. "Nanti malam ke rumah. Sama calon istrimu."

"Ya nggak bisalah, Kek. Raka belum ada calon istri," bantah Raka.

"Lalu, selama ini kamu ngapain aja? Saya sudah kasih kamu waktu Raka."

"Kek..."

"Ikut makan malam atau tidak usah bertemu saya lagi." Ucapan final itu menjadi penutup obrolan mereka siang itu dengan Dirga yang keluar dari ruangan Raka.

Setelah pintu tertutup, Raka melempar berkas kerjanya. "Anjing!"

Raka sudah mencoba bekerja dengan maksimal dan meminimalisir hal yang membuat Petra kesal. Namun, kenapa kakek tua itu datang membuat suasana hatinya memburuk? Sejak dulu, makan malam keluarga Dirgantara adalah hal yang menegangkan dan Raka membencinya.

Ia berdecak, lalu meraih ponselnya di saku celana yang bergetar. "Halo!"

"Yang sopan kamu sama orang tua!" sembur Kiera.

Raka meringis melihat nama si penelepon. "Maaf, Mi. Kirain bukan mami."

"Maafmu gak diterima! Bagus ya, kamu pulang ke Bogor tapi malah cek in di hotel dan nggak bilang sama orang tua sama sekali. Kamu tuh bikin mami kecewa, Raka!" katanya disusul suara tangis. "Cobalah sedikit aja turunin egomu. Minta maaf sama papi dan semua selesai. Kita bisa biacrakan ini baik-baik."

"Mi... Raka juga maunya begitu. Tapi nggak sekarang."

"Lalu kapan? Nunggu papimu terbujur kaku dan nggak bisa maafin kamu lagi? Mami sebagai orang tua merasa gagal karena menjadikan kamu anak durhaka gini."

Raka menghela napas. Entah ini hanya drama Kiera agar ia terbujuk untuk pulang atau betulan rasa kecewanya sangat besar padanya.

"Papi udah kasih kamu waktu buat berpikir. Kamu masih nggak mau pulang juga?"

"Ya udah, nanti Raka pulang," katanya pada akhirnya.

"Mami tunggu, Minggu ini ya!"

"Iya, Mi, iya."

"Jangan titipin Sabrina ke Seila. Mami mau ketemu cucu mami."

Raka tersenyum lebar. Sejak Kiera datang subuh-subuh ke unitnya dan membantu Sabrina pagi itu, maminya bisa menerima Sabrina karena balita itu sangat menggemaskan.

Tak lama sambungan telepon dimatikan olehnya setelah mengiyakan keinginan sang mami, Raka kembali pada sisa pekerjaannya.

🍩

Setelah menjemput Sabrina di daycare, Raka segera melajukan mobilnya menuju kediaman Dirgantara di daerah pondok indah. Rumah besar itu terdengar ramai dari arah taman belakang membuat perut Raka dilanda mulas tiba-tiba.

Ah, tidak. Jangan sekarang. Ia benar-benar tidak punya tenaga untuk berdebat dengan siapapun di sana.

"Itu dia bintang utamanya," ujar Seila yang membuat atensi mereka teralihkan padanya.

Raka menggendong Sabrina, mata bulat balita itu berbinar melihat lampu-lampu taman yang menyala terang di tiap sudut juga keramaian di sana.

"Hai, Bin, sini sama Tante Seila." Seila mengambil alih Sabrina dari Raka.

Di meja sebelah kiri ada Anna dan Petra, Seila, Selia dan suaminya juga anaknya, di sebelah kanan ada Ayra dan suaminya, juga Natya di tengah-tengah mereka. Dan di kepala meja ada sang kakek—Dirga—yang menatapnya dengan senyum penuh arti.

"Ka? Kok bengong?" Suara di belakangnya membuat Raka menoleh. Ada Kiera dan Bian yang baru saja sampai.

"Mami datang?"

"Lho, kamu ini gimana sih, hari ulang tahun kakek harus pada datang semua! Tapi Arlan lagi ujian, dia belum pulang les tadi sore," jelas Kiera. "Ayo gabung!"

Bian melengos melewatinya.

Raka akhirnya ikut bergabung, duduk di sebelah Bian.

Mereka ramai, mulai makan malam, Sabrina juga tampak menikmati. Harusnya, Raka ikut senang, namun, rasa mulas di perutnya membuat Raka tidak bisa untuk tidak gelisah. Bahkan ia tidak menyimak obrolan mengenai Dirgarsiteam.

"Gimana, Ka?" tanya Petra.

"Hm?" Raka menoleh pada omnya, dan semua pandangan tertuju padanya.

Bian berdecak. "Semuanya mau kamu cepat ambil keputusan."

"Raka masih harus fokus sama dua proyek yang lagi jalan sekarang," jawab Raka.

"Jawabannya nggak sesuai harapan," ujar Dirga.

"Jawaban seperti apa yang papa mau?" tanya Bian.

"Yakinkan kami kalau Raka memang sanggup menjalankan tugasnya." Nada dingin itu membuat semuanya diam.

Raka mengepalkan jarinya di atas lutut. "Raka sanggup. Tapi semua butuh waktu. Nggak semuanya berjalan dalam satu waktu."

"Semua bisa berjalan dalam satu waktu kalau kamu nggak main-main dengan wanita," tukas Dirga.

"Ah, really?" Raka menatap kakeknya dengan jengah. "Itu hidup Raka. Mau berhubungan dengan siapapun, sama sekali nggak ada urusannya dengan pekerjaan."

"Lihat didikan kamu, Bian. Apa begini caramu memberitahu dia tanggung jawabnya sebagai Dirgantara?" tanya Dirga mencemooh.

"Raka masih butuh waktu. Mencari calon istri yang tepat nggak sekadar dia mau dan siap jadi istri aja. Raka harus tahu keluarga dan sifatnya juga. Seperti yang kita tahu, tidak bisa sembarang orang masuk ke Dirgantara," jelas Bian dengan tenang. "Selama ini kami sudah cukup menyeretnya dalam hal bisnis. Biarkan dia memilih istrinya sendiri. Kami juga baru saja kehilangan salah satu keluarga. Itu cukup membuat kami harus lebih hati-hati lagi."

Ada perasaan hangat saat Bian membelanya di depan keluarga besar.

"Kamu terlalu membebaskan dia. Jangan kira papa tidak tahu beberapa bulan ini dia jarang masuk kantor dan sibuk dengan bisnis kuenya itu. Anak ini harusnya lebih ditekan lagi untuk bisa disiplin!"

"Pa...." Anna mengusap bahu ayahnya yang bergetar. "Jangan marah dulu, bicarakan baik-baik."

"Sejak dia lahir, dia sudah bertanggung jawab untuk keberlangsungan hidup semua orang yang bekerja di bawah Dirgarsiteam. Kalian sebagai orang tua harusnya mendidiknya dengan benar!" seru Dirga.

Sabrina menangis mendengar seruan itu. Seila bangkit, pergi ke dalam rumah membawa Sabrina. Melihat itu, Raka segera bangkit menyusul, namun Bian mencegahnya.

"Selesaikan ini dulu." 

Raka kembali duduk. Semua mata tertuju padanya.

"Anakku juga manusia, Pa. Dia berhak menentukan hidupnya sendiri dan memilih jalan apa yang harus dia ambil." Kiera angkat bicara.

"Petra sudah tidak bisa ke kantor sejak minggu lalu, sekretarisnya juga kewalahan, dan semuanya akan hancur. Kalian jatuh miskin kalau terus membelanya!"

Raka mendengkus kesal. "Kakek hanya perlu diam, duduk di singgasana kebanggaan kakek dan lihat apa yang akan Raka lakukan. Tidak semua orang bisa menuruti keinginan kakek sekali pun itu kakek sendiri. Boneka keluarga ini akan menunjukan hasilnya nanti." Setelah itu Raka masuk ke dalam menyusul Seila. Ia tidak peduli lagi apa yang akan kakeknya bicarakan di depan keluarga yang lain.

Langkahnya berhenti di kamar tamu yang pintunya terbuka lebar. Di sana sepupunya sedang menidurkan Sabrina di salah satu kamar tamu di lantai bawah.

"Gimana? Menang?" tanya Seila.

Raka duduk di sisi tempat tidur. "Kakek sialan, apa nggak bisa sedikit aja dia biarin gue bernapas?" katanya.

"Lo butuh waktu berapa lama?"

"Untuk?"

"Menikah."

"Gue masih nunggu jawaban Tara," gumamnya.

"Akhirnya ke Tara juga?" Seila menatapnya tak percaya. "Ego lo yang setinggi langit ini turun ke mana? Dengkul?"

Raka tak membalas ejekan itu, ia bergerak untuk menggendong Sabrina dan membawanya pergi.

"Kakek nggak akan melepaskan lo gitu aja setelah hari ini, Ka." Seila mengingatkan bahwa Raka tidak bisa lagi menghindar.

🍩


Happy new year! 🥳🥳

Katanya 2022 terlalu satset-satset dilewati, padahal untuk beberapa orang tahun ini menjadi tahun terberat, sulit untuk bertahan tapi menyerah juga nggak bisa. Semoga setelah semua hal yang kita lewati dengan penuh perjuangan ini akan datang kabar-kabar baik di depan menanti kita.

Kalau mau istirahat dulu gapapa, recharge energy lalu semangat lagi! 🤗🤗

—Salam donat💜
31/12/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro