empat puluh lima : Kejujuran
Pesta pertunangan Karina dan Nando berjalan dengan lancar. Banyak tamu undangan yang menduga keduanya akan segera menikah tahun ini karena hubungan mereka yang sudah cukup lama. Tak jarang juga beberapa orang yang Tara kenal menanyakan "kapan nyusul" padanya. Yang hanya ia balas dengan senyum tipis.
Tisha baru saja meninggalkan ballroom hotel bersama calon suaminya—Dewa—karena akan melakukan pingitan selama seminggu. Kanaya baru saja datang bersama Frans—suaminya—yang kebetulan baru saja menikmati waktu libur weekend-nya di puncak sebelum kembali bekerja besok pagi. Tara benar-benar mengapresiasi rasa cinta Frans terhadap istrinya. Mereka bahkan baru pulang babymoon, namun Kanaya yang ingin pergi jalan-jalan dengan kedok bawaan bayi langsung dituruti oleh suaminya.
Ia tersenyum tipis melihat Kanaya dengan lahap menyantap dessert yang baru saja Frans bawa. Terlihat jelas wanita itu menikmati pernikahannya.
Ya, nggak semua pernikahan berujung derita, Tar. Mindset lo emang rusak tentang pernikahan.
"Tar?" panggil Kanaya. "Nggak mau coba? Cake-nya enak banget, lho!" tawarnya dengan mata berbinar.
"Nanti gue ambil." Tara bahkan tidak selera menyantap makanan di saat pikirannya sedang penuh seperti ini.
"Lo balik kapan? Besok pagi? Atau malam ini?" tanya Kanaya.
"Kayaknya besok."
Kanya mengangguk dengan mulut penuh. "Nggak mau bareng gue aja sekarang?"
Frans menyentuh sudut bibir istrinya yang menyisakan cream cokelat dari cake yang dimakannya, kemudian ia menjilat jarinya.
Hal itu bukan hanya membuat Tara terkejut, tapi Kanaya juga. "Mas! Malu tahu ada Tara!" katanya.
"Tara juga maklum kali," ujar Frans.
Tara tersenyum kikuk. "Santai aja, Nay."
"Bukan apa-apa, Tara nih jomblo, lho, gak enak kalau kita tebar kemesraan." Kanaya tersenyum lebar.
Senyum di bibir Tara menyurut. "Gue sakit hati banget, lho, Nay."
"Bercanda!" Kanaya tertawa bersama Frans.
Tara menggeleng kepala melihat tingkah pasangan itu. Ia izin ke toilet sebentar untuk membenahi penampilannya.
Ia bercermin, menatap pantulan dirinya. Gaun tanpa lengan dengan warna lavender ini terlihat pas di tubuhnya. Namun, wajahnya tak bisa mengelak. Tidak ada pancaran bahagia di sana. Ia menambahkan warna lipstik di bibirnya agar tidak terlihat pucat, kemudian tersenyum. Ia tidak boleh terlihat murung di acara bahagia Karina dan Nando.
Langkahnya terhenti melihat sosok yang selama beberapa hari ini tidak ia temui bersandar di lorong toilet dengan kedua tangan yang disembunyikan di dalam saku celana hitamnya.
Raka menoleh padanya. Tidak ada senyum jenaka yang pria itu berikan, atau tatapan jahilnya. Pertemuan terakhir mereka membuat keduanya canggung selama acara tadi. Keadaan seolah berkonspirasi, mereka tidak diizinkan untuk berbicara barang sekata pun sejak acara dimulai karena sibuk dengan urusan masing-masing. Lebih tepatnya Raka. Banyak kenalan pria itu di sini dan seperti orang kaya kebanyakan, akan ada perbincangan bisnis untuk memperluas peluang perusahaan.
Raka berjalan mendekat. "You're so beautiful."
Tara membuang pandangan ke arah lain. Tidak tersipu dengan pujian itu.
Lorong ini sangat sepi sehingga tidak ada yang melihat interaksi keduanya.
"Apa kabar?" tanya Raka setelah menyisakan jarak sekitar satu meter di antara keduanya.
"Baik."
"Bagus." Raka mengangguk. "Nggak ada yang gangguin lo?"
Raut Tara berubah pasi.
"Tar? Sorry?"
"Ng-nggak. Nggak ada." Tara menggeleng kembali mengingat kejadian malam itu. Raka benar-benar tahu kalau Ganesh tidak menampakan wajahnya lagi.
Raka bernapas lega. "Kita perlu bicara, Tar."
Tara tidak menjawab, namun ia mengikuti langkah Raka keluar dari ballroom hotel. Mereka memasuki lift, pria itu menekan angka dua belas.
"Kita mau ke mana?"
"Kamar gue."
Tara beringsut menjauh ke sudut lift.
"Kita butuh tempat yang hanya kita berdua yang tahu, Tar." Raka dapat melihat gestur ketakutan itu. "Gue nginap di sini sejak kemarin. Sama Sabrina."
Mendengar nama balita itu di sebut membuat Tara bernapas lega.
Pintu lift terbuka, Raka memasukan kartu aksesnya pada salah satu pintu di sana. Ada remaja perempuan di sana yang sedang membaca buku di atas tempat tidur, di sebelahnya Sabrina sudah tertidur pulas.
"Tugas kamu selesai, Nat," ujar Raka.
Remaja itu menoleh. "Lama banget! Aku hampir mati kebosanan di sini," gerutunya. Ia merapihkan barang-barangnya ke dalam tas sembari memakai kembali sepatunya yang berada di bawah tempat tidur, bersiap pergi.
"Makasih, ya." Raka mengusap puncak kepala Nat dengan gemas. "Bimo udah di lobi nungguin."
"Iyaaa. Jangan macem-macemin kakaknya lho, ya!" seru Nat menatap Tara dengan senyum lebarnya. "Kalau kak Raka nakal, gigit aja telinganya!"
Tara terkekeh.
Pintu kamarnya kembali tertutup setelah Nat menghilang dari balik pintu. Tersisa mereka berdua berdiri canggung.
Raka bergerak mengambil botol minuman di atas meja. Ia duduk di sana, membuat Tara ikut duduk di sofa seberangnya.
"Mau lo dulu, atau gue?" tanya Tara.
"Ladies first." Raka mempersilakan Tara lebih dulu sembari menuangkan mocktail ke dalam gelas mereka.
"Apa tujuan lo bantu perkebunan papa tanpa sepengetahuan gue?"
Raka mengerjap beberapa saat. Tidak menduga pertanyaan itu keluar dari Tara.
"Apa maksud lo diam-diam sering ke Makassar ketemu papa?"
"Tar..." Raka mendadak gusar. "Ini kalau gue ceritain bakal panjang banget dan nyambung-menyambung menjadi satu film flashback," katanya mencairkan suasana.
Namun, Tara tak terpengaruh. "Ayo, jawab." Tara perlu tahu jawabannya karena mungkin, itu menjadi alasan Farhan keukeuh ingin Raka menjadi menantunya.
"Gue ke sana dulu... setelah resepsi pernikahan Kaila beberapa hari lalu. Gue berniat nyusul lo ke sana. Semua udah gue rencanakan," katanya.
"Bukan karena ada kerjaan di sana terus lo mampir?"
"Hah? Bukan." Raka menggeleng. "Gue bohong sama om Farhan."
"Kenapa? Apa yang lo rencanain?"
"Ego gue dipertaruhkan ini namanya."
"Lo masih mikirin ego?" Tara menatapnya tak percaya. "Sumpah, Ka, gue nanya serius, lho, ya."
"Gue mau ngelamar lo, Tar. Gue mau ngajak lo nikah saat itu," jawabnya dengan lantang.
Tara dibuat bisu.
Azraka Tasena ingin melamarnya? Jauh-jauh ke Makassar?
Tara mencoba mencari kebohongan dari tatapan Raka padanya saat ini. Matanya hitam, tajam, penuh keyakinan.
Hening.
Tara tidak tahu harus merespon bagaimana. Raka pun bingung akan lanjut menjelaskan atau menunggu Tara meresponnya. Karena jujur, hatinya berdebar tak karuan melihat Tara yang hanya diam menatapnya.
"Tara?"
Wanita itu akhirnya menghela napas kasar, lalu membuang pandangan ke arah lain. "Lanjutkan."
"Gue serius sama lo saat itu, Tar. Gue sengaja nunggu Kaila menikah karena gue nggak mau ada omongan jelek tentang lo. Gue nggak mau orang lain memandang lo buruk karena kita balikan. Padahal sebelumnya Kaila gagal move on lama banget dari gue, bahkan sampai bikin kalian berantem." Raka meraih jemari Tara di atas meja, menggenggamnya.
Ada perasaan hangat di dadanya mendengar penjelasan Raka mengenai alasannya menggantungkan hubungan mereka dulu.
"Rencana gue sudah matang banget buat ngomong sama om Farhan tentang lo. Tapi saat itu gue nggak jadi meluruskan niat gue, dan malah ngobrol banyak hal tentang om Farhan."
"Kenapa?" tanya Tara.
"Gue terlanjur ngelihat lo dilamar sama cowok lain."
🍩
Raka tuh aslinya baik. Dia gantungin perasaan Tara bukan karena dia jahat 😔 jangan suudzon dulu sama Raka gais, dia cuma korban dari kekejaman aku wkwk.
Tapi setiap kelebihan pasti ada kekurangan, ya itu dia, orangnya seneng nyari masalah wkwk.
SPOILER!!! beberapa part ke depan adalah alasan Raka atas sikapnya yang brengsek selama ini 😈
—Salam donat💜
20/12/22
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro