Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

empat : Bohong

"Kamu ngapain dari rumah sakit?"

Raka memasangkan seatbelt pada pinggang Rissa, sebelum membelah jalanan Jakarta yang sedang macet-macetnya. Rissa memintanya menjemput wanita itu setelah menyelesaikan pemotretannya untuk kerjasama brand kosmetik di kawasan Tebet, cukup memakan waktu lama dari rumah sakit ke sini. Itulah alasan Rissa kini menekuk wajahnya.

"Kamu nggak mau jawab?"

"Tara masuk rumah sakit. Maag-nya kambuh lagi."

"Kenapa harus kamu yang ke sana? Emangnya diang gak punya orang lain yang harus direpotin?" Terdengar dengkusan kasar dari wanita itu.

"Sayang... tadi bosnya Tara panik, jadi dia hubungin aku. Jangan marah, dong." Raka mengelus surai panjang pacarnya. "Mau langsung pulang?"

"Pulang aja. Aku males lama-lama ketemu sama kamu."

Raka mengecup puncak kepala Rissa dengan gemas. "Aku bikinin sate taichan mau?"

Wanita yang kini melipat tangan di dada itu tampak berpikir sejenak. "Kayaknya nggak perlu deh, aku—"

"Masih ada pemotretan?" potong Raka.

"Iya. Bikinin salad buah aja gimana?"

Raka mengangguk. Daripada marahnya berkelanjutan, lebih baik ia turuti saja kemauan wanita itu, "Kita beli dulu buahnya. Aku yakin kamu nggak ngisi kulkas minggu ini."

"Kan aku baru pulang, Sayaaang. Belum sempet."

"Iya, iya. Sekalian belanja buat kamu."

"Makasih, Sayang." Rissa mengecup sudut bibir Raka.

Mereka sampai di rumah Rissa saat langit sudah mulai menguning. Setelah memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas, Raka sibuk mencuci buah yang tadi mereka beli di supermarket sebelum ke sini, lalu memotongnya beberapa untuk dibuatkan salad pesanan pacarnya. Tidak butuh waktu lama karena Raka selalu cekatan dalam urusan membuat makanan. Pria itu membawa semangkuk salad pada Rissa yang sejak tadi melihat wajah Raka dari samping.

"Kamu nggak makan?" tanya Rissa yang mulai menikmati saladnya. "Ini enak banget!" 

"Aku udah makan siang."

Matanya langsung memicing. "Sama Tara?"

"Sama Ari. Aku abis dari sana sekalian nganterin bahan yang abis."

Ponsel Rissa berkedip-kedip, ada nama sang manajer menyembul di antara pesan yang masuk. "Oh, iya, kak Nita ngasih tahu, abis pemotretan minggu nanti, aku harus promo film yang tayang dua bulan lagi."

"Ke mana?"

"Jakarta, Bandung, Semarang, Surbaya, Medan sama Makassar. Kamu udah lihat trailernya kan?"

"Iya." Raka mengangguk. "Nanti aku nonton filmnya kalau udah keluar."

"Sama aku ya, nontonnya?"

"Kalau kamu nggak sibuk."

Rissa tergelak. "Aku bukan kamu yang super sibuk, ya."

Raka meringis. "Maaf."

"Nggak apa-apa." Ia menekan ikon speaker saat mendapat telepon dari Nita. "Halo, Kak?"

"Lo di mana? Udah cek email dari gue belum?"

"Belum. Kenapa?"

"Gue udah ngirim jadwal pemotretan lo yang baru, biar gak bentrok sama promo film nanti."

"Oke, nanti gue cek. Gue lagi makan dulu."

"Makan apa? Jangan yang bikin badan lo melar. Perlu gue bikinin jadwal makan lo juga? Ini ngaruh ke hasil pemotretan nanti, gue gak mau dapet komplain kalau.... "

Raka tidak mendengarnya lagi. Ia memilih beranjak dari meja makan menuju ruang tamu saat Kiera-sang ibu-menguhubunginya.

"Di mana kamu?!"

"Di rumah Rissa, Mi." Raka menjauhkan ponselnya dari telinga saat suara Kiera terdengar.

"Kamu pikir sekolah jauh-jauh ke luar cuma buat pacaran aja?! Om Petra udah uring-uringan kamu gak ke kantor seminggu ini!"

"Raka sibuk pembukaan kedai yang baru Mi, kemarin. Baru longgar hari ini."

"Alasan aja kamu! Nggak pernah bener kalau di kantor." Kemudian Raka dapat mendengar suara Bian yang menenangkan istrinya samar-samar. "Cepet pulang! Kasihan om Petra nungguin kamu."

Sambungan sudah dimatikan saat Raka baru akan menyahut. Ia kembali ke dapur menghampiri Rissa yang sudah selesai makan.

"Siapa yang telepon?"

"Mami. Biasa, belum afdol kalau sehari belum ngomel." Raka memasukkan ponselnya ke saku celana. "Aku pulang, ya."

"Kok cepet? Aku baru mau ngajak marathon movie," gerutunya.

"Aku mau ke kantor. Om Petra nyuruh ke sana. Kapan-kapan aja, ya?"

🍩

"Kamu akan dimasukan ke dalam proyek penginapan di Ubud, Ka. Itu keputusan mutlak."

Raka menghela napas kasar. "Oke."

"Kamu nggak bisa bolos-bolos lagi. Ini proyek penting."

"Iya, Om."

"Oh, iya, pembuatan maketnya baru setengah jadi, kamu bantu tim Rio buat beresin. Sayang banget skill kamu nggak dipake."

Tanpa banyak bicara Raka mengangguk sekali lagi. Dia memang keterlaluan akhir-akhir ini. Mengabaikan tanggung jawab sebesar ini hanya demi kesenangannya. Sebenarnya, bukan hanya kesenangan, namun sejak awal prioritasnya memanglah Taraka's Bakery. Lagipula, ia mengambil dua gelar sekaligus di Sydney-hal yang membuatnya lebih lama menetap di sana-arsitektur dan manajemen bisnis, dan semuanya ia gunakan dalam membuat Taraka's Bakery. Jadi tidak ada yang sia-sia.

"Jangan ngangguk-ngangguk doang, Ka."

"Iya, Om Pet, Raka ngerti. Besok Raka mulai masuk," ucapnya.

"Oh, iya, nanti jangan lupa beritahu Sesha untuk mengosongkan jadwal suaminya untuk akhir bulan. Sepupu mau tunangan kok malah pergi ke Belanda." Petra menggerutu.

Raka menatap malas omnya. Ia melirik jam di pergelangan tangannya kemudian beranjak dari sofa. Bukan urusannya jika suami Sesha tidak ikut menghadiri acara pertunangan keluarga mereka. "Raka pulang dulu."

Sebelum ia benar-benar menghilang di balik pintu, suara Petra masih terdengar samar. "Jangan lupa bawa pacar kamu juga nanti."

Pria itu mengemudikan Toyota Camry-nya meninggalkan gedung tinggi yang beberapa jam lalu membuatnya pusing itu. Jalanan masih padat meski hari sudah gelap hingga beberapa kali suara klakson menyadarkan Raka jika ia masih harus menempuh perjalanan panjang untuk pulang.

Beberapa kali ia memijit pelipisnya yang terasa pening karena kedai cabangnya masih butuh perhatian lebih, sementara ia harus sibuk di kantor untuk proyek barunya yang akan menguras waktu.

Seketika ucapan Petra membuatnya mendengkus geli. Pacar. Dirgantara akan meresmikan hubungan kedua insan di saat mereka bertemu dalam pertemuan keluarga besar. Sedangkan pernikahan adalah hal yang masih jauh untuk ia tempuh bersama Rissa. Jangan harap itu akan terjadi padanya dalam waktu dekat.

"Jeno aja gagal dalam pernikahan karena terburu-buru," gumam Raka saat mengingat sepupunya dari pihak ibunya bercerai saat usia pernikahan baru menginjak satu tahun.

Ia memelankan laju kendaraannya saat memasuki basemen, tatapannya memicing saat wanita bergaun putih polos tanpa lengan sedang berbincang di lorong lift.

"Tar." Raka menghampirinya. "Kok nggak telepon mau pulang?"

"Sekali lagi, makasih, Dok." Tara tersenyum pada pria di depannya tanpa mengindahkan Raka.

Pria yang disapa 'Dok' itu mengangguk. Ia melirik Raka sesaat sebelum matanya kembali menatap Tara. "Selamat malam."

Tara mengangguk. Ia memasuki lift saat pria itu menghilang dari pandangan.

"Bisa-bisanya lo nyuekin gue di depan cowok lain." Raka menyusulnya.

"...."

"Jangan diem mulu kek. Tadi siang gue udah bilang kalau mau balik kabarin dulu," gerutunya.

"Gue udah ngasih tahu di WhatsApp."

"Masa?" Raka mengecek ponselnya di saku celana. "Hape gue mati."

Tara meliriknya sekilas. "Lagian gue nggak apa-apa, kok. Besok juga udah kerja lagi."

"Terus yang tadi itu siapa?"

"Dokter."

"Dokter macam apa yang nganterin pasiennya balik?"

Pintu lift terbuka sebelum Tara menjawab. Wanita itu melangkah pergi dari jangkauan Raka lalu menutup pintu unitnya.

"Tapi kayaknya gue pernah lihat cowok itu. Di mana, ya?" Raka berdiri di depan unitnya sejenak. Saat melihat pintu sebelah, ia mengetuknya. "Tar, buka dong!"

"Ck, apalagi?" Tara menatap Raka dengan malas. "Gue mau istirahat."

"Dinner sama Moli, yuk."

Tara mendengkus. Orang gila mana yang mengajaknya makan bersama kucing? Ya, hanya Raka. "Nggak. Makasih." Ia benar-benar tidak punya tenaga untuk mendebat kosong kali ini.

"Kata lo makanan di rumah abis, makan di rumah gue aja."

"Gue udah makan."

"Sama dokter tadi?"

"Kalau iya kenapa?"

Raka terbelalak. "Lo nggak bisa menerima tawaran orang sembarangan. Itu bahaya!"

"Dia dokter yang nanganin gue tadi siang."

"Oh."

Pintu akan ditutup karena Tara sudah sangat ingin beristirahat. Ia masih sedikit mual dan lambungnya terasa perih kembali.

"Temenin Mol—TAR! JANGAN PINGSAN!"

Tara terkulai lemas di gendongan Raka. Laki-laki itu membopong Tara menuju kamar wanita itu yang beruntungnya tidak dikunci.

"Dasar pembohong. Jelas-jelas lo belom makan malam," gumam Raka.

🍩

Aloha!!!

Maaf banget donat gak bisa sering2 update TARAKA 2 karena di rl lagi hectic banget. BANYAK LIST DRAKOR YANG BELOM DI TONTON T_T

Nggak ding, becanda. Aku beneran hectic banget setelah lulus tahun lalu. Aku lagi fokus bikin naskah teenlit yang nantinya.... ya gitu, deh xixi. Belum lagi soal kerjaan, yang mana kalo udah sampe rumah tuh bawaannya pengen rebahan mulu sampe pagi:(

Btw, biar aku makin semangat updatenya boleh dong, votenya dinaikin lagi? Kalau rame aku double update 😚😚

-Salam donat💜
16/08/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro