Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

empat belas : Usia seperempat abad

"Nggak aneh, sih. Modelan Tisha dari zaman sekolah udah lumayan tenar di tiap angkatan. Pas tahu dia deket sama pak Dewa aja semuanya heboh. Wajar bikin banyak undangan. Kalah gue juga cucu yang punya sekolahan," gumam Raka sembari memutar gelas miliknya.

"Ya gimana, dong, lo tenar juga gara-gara berantem sama Tian!" seru Tara dengan kesal.

Pria itu terbahak. "Iya, ya... rebutin cewek ranking satu pararel, tapi nggak ada yang dapet. Abis itu lo tiba-tiba pindah, heboh deh satu sekolah."

Ia menggeleng samar sembari memerhatikan tawa Raka yang perlahan surut, kemudian balas menatapnya. Tara tidak akan lupa hari itu. Hari di mana semua terjadi begitu cepat dan keputusan impulsifnya mengubah rencana masa depannya.

"Kangen Adipura nggak, Tar?" tanyanya.

Tara mengedikan bahu tak acuh. "Nggak, tuh."

"Isinya kan nggak cuma hal memalukan doang. Ada indahnya juga pas sama gue," ucap Raka percaya diri.

"Ya adaaa," ada sakit hatinya juga. "tapi biasa aja. Emang lo kangen?"

"Kangen." Raka menyeruput kopinya. "Kangen orang-orangnya. Sayang banget nggak sampai lulus kita satu almamater. Nggak punya kenang-kenangan."

Tara tersenyum kecil mendengar penuturan mellow pria itu. Tidak terlalu penting sebenarnya. Toh, kini setiap hari mereka bertemu.

"Kita kayaknya nggak punya foto bareng deh setelah putus, Tar," ujarnya sembari merogoh saku celana bahannya mencari ponsel. "Nggak ada kan?" Raka menggulir galeri ponselnya dan tak menemukan satu pun.

"Oh, ya?" Tara ikut melihat layar ponsel Raka. "Kayaknya tiap opening Taraka's Bakery kita selalu foto, deh."

Jemarinya berhenti menggulir ponsel, lalu menatap Tara. "Di kamera Nando?"

"Kayaknya iya."

"Harus kita cetak, kita pajang di Taraka's Bakery, Tar!"

Tara beranjak dari pantri tanpa menyahuti, ia kembali ke kamar untuk mencari ponselnya. Makin malam isi otak pria itu seperti sisa separuh akibat terbagi dua antara pekerjaan di kantor dan kedai rotinya. Untuk apa juga dicetak dan dipamerkan ke seluruh pengunjung kedai? Ia tidak punya campur tangan apapun—kecuali nama mereka yang sengaja Raka pakai untuk nama kedainya. Selebihnya? Tara hanya menjadi pelangganan tetap di kedai roti milik mantannya itu. Kadang ia akan datang jika Raka mengundangnya di acara grand opening cabang Taraka's Bakery seperti bulan lalu.

Tak lama Tara kembali, ia duduk di sofa dengan posisi membelakangi Raka. Ia sibuk mengetikan sesuatu di ponsel. Pria itu yakin, pasti ada urusan pekerjaan. Entah Sarah atau Tisha? Ia juga tidak ambil pusing.

Lima menit berlalu. Merasa diabaikan, Raka berdecak dan ikut bergabung di sofa bersamanya. "Tar!"

"Hm?"

Melihat respon Tara yang masih bergeming membuat Raka melihat layar ponsel wanita itu. "Siapa, sih?"

"Dih, kepo lo." Tara menjauhkan ponselnya dari jangkauan Raka.

"Gue dicuekin."

Kini mereka duduk berhadapan.

"Lo nggak penting, sih," katanya. "Sana pulang, udah malem. Gue mau tidur."

"Beneran tidur?"

"Menurut lo?"

"Nyari jodoh di Tinder?"

Tara melempar bantal tepat ke wajah mantan kurang ajarnya.

Suara tawa pria itu makin membuat Tara kesal. "Gue nggak semenyedihkan itu, ya!"

"Iya, iya." Raka tahu, mudah bagi Tara mendapatkan pasangan, hanya saja mantannya yang satu itu memang masih ingin sendiri.

"Oh, iya, lo waktu itu nanya tempat resepsinya Tisha. Acaranya di Jakarta. Keluarga Tisha banyaknya di Jakarta." Tara kembali membawa Tisha dalam obrolan mereka.

Raka mengangguk. "Bagus, deh. Aman gue."

"Masih aja direcokin? Lo sibuk di kantor karena kerjaan atau sengaja sok sibuk aja?" tanya Tara.

"Menurut lo mami bakal puas kalau cuma diiming-imingi janji manis?" balas Raka dengan pertanyaan.

"Nggak, sih." Tara tahu sifat Kiera yang keras.

"Tadi lo lagi telepon sama Tisha kan? Sama Karina?"

Tara mengangguk.

"Bahas kerjaan?"

"Iyalah. Apa lagi? Bridesmaid dia nambah lima. Belum sama dresscode keluarga inti," jelasnya. "Curhat juga sih, sedikit."

"Kerja mulu, duitnya buat apaan sih?" Raka menggeleng heran dengan semangat kerja Tara yang tak ada habisnya meskipun memiliki atasan seperti Sarah.

"Lo kira hidup nggak perlu makan? Apartemen, nih, cicilan. Gue juga kan banyak mau. Beli ini-itu."

Meskipun sang ayah masih memiliki penghasilan dari pekerjaan dan bisnisnya, juga ibunya yang menikah dengan orang berada, Tara jelas tidak mau hanya duduk manis menunggu jodohnya datang. Ia masih muda dan berkompeten di bidangnya, memang sudah seharusnya bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri. 

"Awas aja ya sampai telat makan terus masuk UGD lagi. Nggak gue susulin lo," ancam Raka yang langsung mendapat dengkusan kasar dari empunya.

"Eh, iya, dokter yang nanganin gue di UGD itu kakaknya Tisha. Yang urus nikahannya Tisha juga, Ka."

"Oh?" Raka menaikan sebelah alisnya, dengan tatapan seolah ia tidak peduli. Ya, memang bukan urusan pria itu, sih. Ini hanya informasi tambahan saja.

Tara menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Lo nggak mau pulang?"

Usiran halus itu membuat Raka akhirnya beranjak dari sofa. "Good night, Tar. Kopinya selalu pas."

🍩

"Taaar!" Edo menghadang jalannya saat akan memasuki ruangan. "Mbak Sarah diopname!"

"Serius?"

Edo mengangguk. "Aquarius!"

Silvia datang dari ruangannya dengan meteran baju yang ia kalungkan di lehernya. "Pagi, Mbak Tar."

"Pagi, Sil. Kerjaan lagi hectic kemarin, sorry belum sempet jenguk," ucap Tara sembari melangkah ke ruangannya melewati Edo.

"Tar? Kok lo nggak kaget, sih, Sarah diopname?"

"Emang pucet sih kemarin juga. Lo coba kontek orangnya deh. Kali aja dapet kerjaan baru," ujar Tara sembari mengecek email yang masuk.

Edo langsung membuka ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada bosnya. Hitung-hitung cari perhatian juga. 

"Sil, ini desain dan ukuran bridesmaid yang nambah, coba kamu cari dulu di lemari bahannya." Tara menyerahkan notes pada Silvia. "Kemarin Amiya baru beresin yang ini," jemarinya menunjuk beberapa desain yang sudah diberi stabilo hijau.

Asistennya tampak mengangguk. "Oke, Mbak."

"Tar! Sarah kena tipes. Terus katanya lagi hamil dua bulan." Suara Edo kembali terdengar. "Nih," ia menunjuk gambar yang dikirim Aksel, mengambil gambar Sarah terbaru di brangkar dengan wajah pucat.

Hamil.

Tatapan Tara tertuju pada perut Sarah dibalik selimut rumah sakit. Masih belum terlihat. Ia dikelilingi orang yang sudah menikah, akan menikah, akan punya anak, sudah punya anak dan... dirinya masih sendiri.

Tidak ada pacar, teman kencan atau sekedar iseng mengiriminya pesan. Kecuali Ganesh yang akhir-akhir ini sudah jarang menghubunginya. Isi ponselnya berisikan bahasan dengan klien dan diskusi dengan Sarah.

Apa melajang di usianya saat ini begitu berat?

"Tar! Amiya pingsan!" seruan Edo dari gudang membuatnya menoleh.

Tara segera menghampirinya, lalu membantu Edo dan Silvia memboyong Amiya ke sofa.

"Panggil dokter, Tar! Malah bengong lagi lo!" ujar Edo.

"Nggak nunggu bangun aja? Mungkin cuma pingsan biasa?"

Edo berdecak. "Lo gak lihat dia pendarahan gitu?"

Tatapannya dan Silvia tertuju pada kaki Amiya yang mengeluarkan darah.

"Amiya keguguran, Mbak?" tanya Silvia.

"HAH?! KEGUGURAN?!"

🍩

Cepet kan? Iya, dong. Takutnya besok gak bisa update karena keasikan marathon series 🤧🤧🤧

Selamat tahun baru, semoga yang tahun ini masih jadi impian, tahun depan bisa jadi kenyataan.

Untuk hal-hal yang kurang baik di tahun ini, semoga tahun depan jadi lebih baik lagi.

Ketika 'gapapa' banyak kecewanya, bukan berarti kita menyerah begitu aja. Yang namanya proses selalu beda tiap orangnya. Sedih dulu nggak pa-pa, istirahat dulu sejenak. Nanti dimulai lagi.

Semangat! <3

—Salam donat💜
30/12/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro