dua puluh tiga : Jangan Berubah
Karina masih berat untuk melambaikan tangannya pada Tara yang berdiri tak jauh dari mereka. "Beneran nggak mau ikut?"
Tara menggeleng. "Iya. Udah, sana. Nando nungguin, tuh."
Sementara Nando yang berdiri di samping pintu kemudi masih sabar menyaksikan drama pacarnya. "Tara masih punya urusan mungkin, Babe," katanya.
Tatapan Karina membola. "Oh God! Sama mas Vian, ya?"
Wanita itu dibuat meringis. "Ya."
"Kenapa nggak bilang, sih? Gue tungguin sampai dia dateng, deh."
"Nggak usah. Bentar lagi juga sampai kok. Sana masuk, sebelum Nando bete sama lo," ujar Tara.
Yang disebut namanya malah terkekeh.
Karina melirik pacarnya sebentar, lalu kembali menatap Tara. "Ya udah deh, kabarin gue ya kalau mas Vian udah sampai."
Tara mengangguk.
Ia akhirnya rela melepas Tara di depan kafe, lalu Nando mulai melajukan mobilnya meninggalkan pelataran parkir di sana.
Mereka sepakat akan bermalam di rumah Nando di daerah BSD dan akan kembali ke Bogor mengantar Karina besok sore. Masih banyak hal yang harus mereka persiapkan untuk acara pertunangan keduanya. Berkali-kali Karina mendapati Nando melirik ke arahnya, seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan. Karina menyalakan radio agar mobil lebih bersuara karena Nando tetap diam.
Kali ini pacarnya menghela napas kasar.
"Kenapa, sih? Kamu mau ngomong apa?" tanya Karina.
"Tara punya pacar?"
"On the way."
Nando meliriknya sekali lagi. "Sama?"
"Kakaknya Tisha."
"What?" Nando menginjak rem saat lampu di depannya berubah merah. Ia menatap Karina dengan raut terkejut.
"Iya. Aneh nggak, sih, kita temenan bertahun-tahun tapi Tisha baru ngenalin kakaknya sekarang?" ucap Karina. "Bukan ngenalin, sih, tapi kebetulan dikenalin. Mas Vian tertarik sama Tara."
Nando mengangguk. "Tara emang keren, sih," gumamnya.
"Temen kamu aja yang bego. Cewek kayak Tara disia-siain. Udah hampir dapet malah kecantol cewek lain," ujar Karina.
Pria di balik kemudi itu akhirnya tertawa. Sebodoh itu memang Azraka Tasena.
Kalau dipikir-pikir, setelah pertemuan mereka beberapa hari lalu, Raka memang sebaiknya mencari wanita lain daripada kembali mengejar Tara lagi setelah nantinya putus dengan Rissa.
"Raka tuh masih mau main-main, Babe. Aku nggak tahu sih, pikiran dia gimana, udah lama tinggal di Aussie mungkin sering main cewek juga kan, terus kebiasaannya dibawa ke sini pas udah kerja," ujar Nando yang kembali melirik Karina. "Emang nggak jodoh aja kali mereka."
Karina tak menyahut, ia memilih memejamkan mata sampai mereka tiba di rumah. Tentu saja ia ada dipihak Tara bagaimana pun keadaannya. Karena bagi Karina, baik dulu maupun sekarang Raka tetaplah pria brengsek.
🍩
"Makasih, lho, Mas udah mau repot-repot jemput. Padahal jadwalnya lagi padat." Tara duduk di sebelah kemudi, lalu menyimpan tasnya di jok belakang.
Vian tersenyum tipis. "Kalau nggak gini kayaknya nggak ketemu, deh."
Tara tertawa. "Emang kenapa kalau nggak ketemu?"
"Nggak apa-apa, sih." Pria itu mengusap belakang lehernya. "Kalau udah ngopi malem bisa makan lagi nggak?" tanya Vian.
"Sejujurnya saya belum makan malam. Di rumah ada ayam fillet, rencananya mau masak," ucap Tara.
Vian melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah pukul sepuluh, lho, yakin mau masak?"
"Yakin." Tara mengangguk.
Kalau sedang rajin, mau itu pukul dua pagi pun Tara akan melakukan hal-hal yang ia inginkan. Seperti saat insomnianya menyerang karena kondisi sang ayah yang memburuk, Tara membuat desain gaun Candyta hingga pukul empat pagi padahal besoknya ada meeting pukul tujuh dengan klien Sarah.
"Mas mau join?"
Tawaran Tara sungguh menggoda. Namun, hari sudah terlalu malam untuk mampir. "Mungkin next time."
"Kenapa? Mas bilang gitu karena mau ngajak makan malam kan?" tanya Tara. "Saya nggak keberatan kalau mas mau join, sebagai tanda terima kasih karena mau jemput."
Kesempatan tidak datang dua kali benar adanya. Vian pun ingin berkunjung ke rumah Tara, namun ia tetap menggeleng. "Terlalu larut untuk saya berkunjung."
Tara mengangguk paham.
"Saya nggak bermaksud menolak. Kalau tawaran itu datang beberapa jam sebelumnya saya pasti nggak akan berpikir dua kali untuk bilang 'iya', Tar." Vian melirik pada Tara yang kini menatapnya juga.
"Nggak apa-apa, Mas. Saya ngerti kok."
"Mungkin kamu berpikir saya terlalu kolot."
"Nggak." Tara membantah. "Setiap orang punya aturan jam masing-masing. Mas juga harus istirahat setelah ada operasi hari ini."
"Thanks, Tar." Vian menoleh sekilas ke arahnya dengan senyum tipis.
"Mas mau beli makanan buat di rumah?" Tara mengganti topik mereka.
"Kamu ada rekomendasi?"
"Biasanya saya beli nasi goreng di sebelah tukang buah seberang SPBU. Di sana," Tara menunjuk gerobak nasi goreng di sebelah kanan yang tak jauh dari mereka.
🍩
Waktu sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam saat Tara bersiap untuk tidur. Ponselnya bergetar di atas nakas berkali-kali, nama Raka tertera di barisan paling atas dengan tiga panggilan tak terjawab.
Tara memutuskan untuk meneleponnya. "Halo, Ka?"
"Tar, udah tidur?"
"Belom. Kenapa?"
"Gue boleh ke rumah lo nggak?"
Tara menghela napas. Di saat Vian menolak ajakannya, Raka justru ingin datang dengan sendirinya. "Kenapa?"
"Gue laper. Mau makan."
"Emangnya gue masak?"
"Dari aromanya, sih, iya."
"Ngaco! Aroma apaan?"
Raka tergelak. "Gue yakin lo pasti masak, sih, Tar."
Tara tidak langsung menyahut. Ia ingin segera tidur, dan sejujurnya tidak ingin bertemu dengan Raka.
"Boleh, ya?"
"Gak usah masuk, lo tungguin depan pintu aja." Tara berjalan ke pantri, mengambil mangkuk di atas rak lalu menuangkan makanan yang tadi ia masak untuk Raka sementara ponselnya diapit di antara bahu dan telinganya.
Raka berdecak. "Ketakutan banget gue nambahin cucian piring di sana."
"Mau nggak?"
"Iya, iya." Terdengar gerutuan panjang dari pria itu yang tidak Tara hiraukan.
Bel unitnya berbunyi, menandakan Raka sudah ada di sana. Tara membukanya. "Nih."
Tatapan pria itu memicing sembari menerima mangkuk yang diberikan Tara.
"Apa?"
"Lo sembunyiin dokter itu, ya?"
Tara menatapnya jengah. "Mabuk lagi lo?"
"Terus kenapa gue nggak boleh masuk?"
"Bukan urusan lo. Sana pergi."
"Kok kayaknya lo menghindari gue banget, Tar?" tanya Raka.
"Masa?"
"Chat gue kemarin nggak dibaca, terus telepon gue tadi sore juga nggak lo respon, beberapa hari ini juga lo kayak nggak mau ketemu gue," katanya.
"Perasaan lo doang kali." Tara bersiap menutup pintunya.
"Wait!" Raka menahannya. "Kalau gue ada salah, kasih tahu aja. Biar gue intropeksi diri, Tar."
Tara hampir tertawa mendengarnya. Raka tidak pernah belajar dari kesalahan. "Lo mau makan di depan sini? Gue mau tidur," ujarnya.
Raka akhirnya mengalah. "Thanks makanannya." Ia berbalik menuju unitnya.
"Ka..."
Raka berbalik dengan cepat.
"Mau gue sembunyiin cowok atau nggak, itu bukan urusan lo. Gue juga nggak pernah ikut campur kalau Rissa nginep berhari-hari di tempat lo."
Setelah itu pintu tertutup rapat. Raka tercenung lama. Apa sikapnya berlebihan? Ia hanya tidak ingin Tara terkena arus bebas setelah mengetahui tanda merah itu.
"Tetap menjadi Tara yang gue kenal, Tar," gumamnya sebelum masuk ke unitnya.
Di balik pintu Tara masih setia menggenggam ponselnya di sisi tubuhnya dengan telepon mereka yang masih terhubung, mendengar suara Raka yang terdengar lirih.
🍩
Yeayyy akhirnya ngabuburead bareng TARAKA!!!
Gimana nih? Tara harus apa😩
—salam donat💜
13/04/22
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro