Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua puluh satu : Tengah malam

"Semalam gue mabuk berat, nyasar ke unit Tara, nginep di sana dan bangun kesiangan," jelasnya pada Seila saat mereka baru saja duduk di kantin kantor.

Semalaman Seila menghubunginya terus-menerus, namun namanya orang mabuk, ia jelas tidak menghiraukan suara berisik ponselnya. Sepupunya itu akhirnya membuat temu di kantin saat jam makan siang.

Wanita itu mengangguk mengerti, membuat rambut curly-nya bergoyang ke sana-ke mari dengan tak beraturan. "Tapi lo nggak macem-macem kan?"

"Maksudnya?"

"Iya, elo sama Tara," katanya. "I mean, kalian udah sama-sama dewasa, masa nggak ada nafsu gitu?"

Raka menatap Seila dengan horor. "Gila kali lo, ya!"

"Kenapa? Gue nanya serius, lho!" Seila balas menatap sepupunya dengan dahi berkerut.

"Gue menghormati Tara sebagai perempuan. Dia harus diperlakukan sebagaimana mestinya."

Seila memutar matanya dengan malas. "Tapi kayaknya lo nggak menghormati dia dengan keadaan mabuk semalam."

"Sotoy!" Raka mendengkus keras. Ia sudah berbaik hati menerima ajakan Seila makan siang dengan alasan ada yang harus mereka bicarakan mengenai minggu depan.

Dia yang tunangan, gue yang dikejar-kejar cepet nikah.

"Terserahlah. Yang penting kerjaan lo semalam yang ditinggal gitu aja karena pacar lo udah rewel, tadi pagi udah beres."

"Gue profesional."

Seila mendecih.

"To the point aja, lo mau bahas apa? Apa nggak sebaiknya kita ngobrol di ruangan gue aja?"

Wanita itu mengabaikan tawaran Raka yang lain. "Gue dapat bocoran untuk minggu depan, selain acara pertunangan dan bahas tanggal pernikahan, katanya, kakek bakal umumin pewaris utama DirgarsiTeam secepatnya. Dia akan ngasih clue gitu ke kolega-kolega bisnisnya minggu depan karena bokap gue liver-nya makin parah."

"Makin gila hidup gue!" Raka mengusap wajahnya frustasi.

Bahkan, sejak mereka duduk di sana, makanan bukan lagi menjadi minat keduanya. Karena menjadi bagian dari Dirgantara ternyata berat. Hal ini karena sedikitnya populasi mereka.

"Belum berakhir masalah gue sama Rissa, om lo udah punya rencana jodohin gue sama anak temennya. Parahnya lagi, dia masih koas! Gak masuk akal banget kan!" Raka memijit dahinya yang makin terasa pening karena efek alkohol sepertinya masih tersisa.

Seila tertawa keras. Hal itu membuat sebagian penghuni kantin menatap ke arahnya. Mereka tahu, kedua sepupu itu tidak begitu akrab di kantor apalagi sampai harus tertawa, meskipun sebenarnya, tawa yang Seila maksud adalah ejekan.

"Nggak lucu sama sekali." Raka menatap sepupunya dengan sebal.

Seila menyurutkan tawanya, kemudian berdehem dan menatap Raka dengan serius. "Gue bilang juga putusin Rissa secepatnya. Lo susah banget, sih, dibilanginnya!"

"Lo bukan satu-satunya orang yang nyuruh gue putusin Rissa."

"Terus? Apalagi masalahnya? Mereka jelas satu suara sama gue untuk membuat beban hidup lo berkurang. Setidaknya kuncinya sama Rissa dulu. Ketika hubungan kalian selesai, lo bisa melanjutkan misi mencari calon istri sebelum dua bulan itu habis."

Dua bulan sialan.

"Tapi kata om Petra, kalau proyek gue lancar, dua bulan itu bisa jadi enam bulan."

"Bukan berarti lo santai-santai kan? Proyek lo paling kelar juga dua bulan itu."

Raka termenung sesaat. "Gue boleh resign aja nggak, sih? Kayaknya bikin adonan roti lebih enjoy daripada bikin maket proyek."

Seila menatap iba pada sepupunya. Masa depan mereka berada di tangan keluarga, untuk urusan cinta pun semuanya sudah diatur.

🍩

"Mi, maaf banget, boleh nggak Raka sendiri dulu? Di kantor lagi hectic banget, Raka mau fokus beresin. Masalah si Luna-Luna itu kita nggak usah bahas dulu. Hubungan Raka sama Rissa aja masih jalan."

"Udah dari awal Mami bilang, putusin cewek itu! Kamu ngelawan mulu, sih!"

Iya, iya. Salahkan saja dirinya.

"Raka bakal beresin ini secepatnya. Janji. Fokus Raka nggak boleh terbagi. Kita beresin satu-satu masalahnya, ya?"

"Mami nggak suka dijanjiin begitu."

Raka menghela napas kasar.

Kalau kayak gini caranya, gue bakal cepet tua nggak, sih? 

"Kita bahas hari Minggunya, ya? See you, Mami sayang!" Raka segera mematikan sambungan telepon, lalu menghempas tubuhnya ke sofa. Pukul satu malam, di saat tubuh lelahnya harus tertidur pulas, isi kepalanya justru penuh dengan semua masalah yang dihadapinya.

Kuncinya memang memutuskan hubungan dengan Rissa, namun janjinya terhadap orang tua wanita itu tidak bisa ia ingkari seenaknya. Lagi pun, ia merasa akan sangat jahat ketika memberi wanita itu harapan palsu dan memutuskan hubungan begitu saja.

Ssbenarnya, kemarin malam bertepatan dengan telepon Seila saat dirinya mabuk, ia mendapat pesan dari nomor tak dikenal, isinya makin membuat Raka merasa serba salah.

Malam, Raka. Ini tante Mita.

Udah lama ya nggak ketemu, kamu sibuk? Akhir-akhir ini Rissa juga sering marah-marah dan nggak mau ketemu tante. Kalian lagi ada masalah?

Tante harap, apapun yang sedang kalian hadapi, semua bisa diselesai dengan baik. Kamu nggak lupa sama janjimu kan?

"Apa kalau gue hilang ingatan semua masalah akan dibebaskan?" katanya setelah kembali membaca isi pesan itu.

Bel unitnya berbunyi, membuat ia melirik sekilas ke arah pintu. Siapa yang bertamu tengah malam begini? Orang mabuk?

Dengan malas ia beranjak dari sofa, kemudian membuka pintu unitnya. Ia mengernyit bingung saat tetangga seberang unitnya menggendong wanita dengan wajah cemas. Dari yang ia lihat, postur tubuhnya sama seperti Tara. "Kenapa Mas Daru?"

"Tara pingsan di minimarket bawah. Bisa tolong bukain unitnya?"

Raka kembali memerhatikan wanita di gendongan Daru, kemudian terbelalak. "Masuk aja, Mas." Ia membuka pintu unitnya lebar-lebar.

Meskipun kebingungan Daru tetap menurut. Ia membaringkan Tara pada sofa bed yang tadi sempat Raka tiduri.

"Makasih, Mas."

Daru mengangguk. "Nggak apa-apa Tara di sini?"

Pria itu tercenung mendengar pertanyaan Daru. Ia memicingkan mata pada tetangganya. "Mas Daru nggak berpikir kalau gue bakal macam-macam kan?"

Daru tergelak. "Sorry."

"Gue bahkan kenal Tara pas kita masih kinyis-kinyis pubertas."

"Oke, oke. Jadi gue bisa pulang kan? Lo bisa urus Tara."

Raka mengarahkan tangannya pada pintu yang masih terbuka. "Pintunya masih dibuka, Mas," katanya masih tersinggung dengan isi otak Daru.

Karena merasa tugasnya selesai, dan sepertinya Raka pun butuh istirahat sembari menunggu Tara, Daru pun akhirnya pulang.

Raka menatap pintu yang sudah tertutup dengan sebal. Ia duduk di sebelah Tara sembari memerhatikan gurat lelah wanita itu. "Gue tahu banget sepolos apa Tara dulu. Ya kali gue—" tatapannya berpindah pada Tara yang kini menggerakan tubuhnya mencari posisi yang nyaman. Ceruk lehernya yang putih mulus terdapat tanda merah yang tadi pagi ia curigai sebagai perbuatan dokter Vian. Raka menggeleng samar. "Kenapa lo berbuat kayak gitu, sih, Tar?"

Tara terusik saat wajahnya terasa diusap. Ia membuka mata dan langsung mendudukan tubuhnya. "Lo ngapain?!"

Mendapat pertanyaan begitu membuat Raka mendengkus. "Lo yang ngapain tidur di minimarket malem-malem."

"Tidur?"

"Mas Daru gendong lo ke sini, katanya lo pingsan di minimarket bawah," jelasnya. "Tapi gue rasa lo tidur, sih."

Tara mengusap wajahnya. "Sorry."

"Ngapain sih, ketiduran di sana? Lo lagi ngapain? Mana masih pakai baju kerja," tanyanya keheranan.

Kalau ketiduran di kafetaria ya... its okay. Masih wajar. Tapi ini... supermarket 24 jam banget? Raka menggeleng pelan. 

"Gue nunggu antrian di sana, karena pegal jadi nyari tempat yang enak buat duduk," katanya.

"Tapi nggak sampai ketiduran juga, dong, mentang-mentang bukanya dua puluh empat jam. Mbak-mbak di sana bingung kan jadinya ngiranya lo pingsan. Untungnya ada Mas Daru. Panik banget dia."

Tara tak bisa mengelak, ia menghela napas kasar. Seharian berkutat di ruangannya dan melewatkan waktu istirahat membuat tubuhnya lelah karena terus duduk berjam-jam.

"Capek banget, ya, hari ini?" Raka kembali bertanya.

Tentu saja. Tara berusaha sesibuk mungkin hari ini agar tidak teringat kejadian kemarin malam.

"Lo ngantuk banget, ya? Ya udah tidur aja di kamar gue," usulnya melihat Tara tak kunjung menjawab.

"Gue pulang aja," katanya.

"Udah di sini aja."

"Nggak apa-apa pulang aja."

"Bandel banget, sih, dibilanginnya." Raka berdecak.

"Rumah gue di sebelah, Ka." Hanya beberapa langkah dan ia bisa tidur dengan aman.

"Ya udah."

Tara bangkit dari sofa bed, ia memakai sandalnya lalu menekan angka-angka agar pintu utama terbuka. Sebelum ia benar-benar keluar, suara Raka kembali menginterupsi. Ia menoleh dengan pandangan bertanya.

"Kissmark-nya tutupin. Kayaknya mas Daru lihat."

🍩


Selamat menunaikan ibadah puasa gais🤗🤗
Tadinya mau update tadi sore cuman donat mikir2 lagi 😩

Gimana kalo lusa update lagi sekalian nemenin ngabuburead? Harus rame ya! 💜💜💜💜

—salam donat 💜
03/04/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro