Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua puluh delapan : Celah

"Tara udah pulang dari pagi, Tante?" Raka menghentikan laju mobinya di pinggir jalan setelah mendapat jawaban di seberang telepon. "Beneran dianter sama supir sampai stasiun?"

"Iya, Ka. Emang Tara nggak bilang sama kamu?" tanya Eva.

Sejak semalam Tara tidak membalas pesannya. Wanita itu juga menolak saat ia mengajaknya pulang ke Bogor bersama. Namun, Raka tak ambil serius dan ia tetap akan bersama wanita itu. Tapi siapa sangka Tara betulan pergi lebih dulu tanpa Raka kira di waktu sepagi itu.

"Nggak, Tan," jujurnya. "Kalau gitu Raka langsung berangkat, ya. Makasih, Tante."

Ada yang aneh dengan sikap wanita itu dan Raka jelas sadar. Seminggu berlalu, ia pikir mungkin Tara sedang sibuk dengan pekerjaannya, namun, melihat Tara bisa pulang tenggo dan beberapa kali tak sengaja melihatnya pergi bersama Vian membuat Raka bertanya-tanya, salah apa dirinya?

Ia menghela napas kasar. Tara pernah tidak mau bertemu dengannya saat Ganesh baru saja menjadi pacar wanita itu tahun lalu dan Raka yang mengaku-ngaku sebagai calon suaminya. Saat itu ia memang berlebihan karena impresi pertamanya dengan Ganesh tidak berlangsung baik. Tapi kali ini... rasa-rasanya ia tidak melakukan kesalahan.

Nggak mungkin kan dia cemburu sama Luna?

Lamunannya buyar saat akan memasuki tol, ia menyalakan lagu di playlist-nya untuk mengusir kebosanan.

When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need

"When you feel so tired, but you can't sleep. Stuck in reverse." Raka mengikuti irama lagu. Ini adalah lagu favorit Tara. "Emang anaknya galau mulu," gumamnya.

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones

"And I will try to fix you—apaan, sih?" Raka berdecak saat lagu terhenti karena ponselnya berdering.

Rissa's calling

"Halo, Baby, how are u?" sapa Raka dengan santai, nada bicaranya berubah dengan cepat.

"Kamu di mana? Aku ke apartemen kamu kosong," tanya Rissa tanpa menjawab sapaan tersebut.

"Di Bogor. Besok aja ketemu di tempat biasa."

"Kamu... udah nggak marah?"

Dipikir-pikir, ini semua salahnya. Rissa jelas berharap hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius setelah Raka berjanji pada keluarganya.

Makanya, be gentle, Ka! "Nggak. Besok kita ketemu pas makan siang. Kamu free kan?"

"Iya. Ya udah aku pulang, ya?"

"Okay. See u, Baby." Raka mematikan sambungan telepon. Ia harus segera memutuskan hubungannya dengan Rissa karena bagaimana pun juga ia mencintai keluarganya dengan amat besar. Dan tidak seharusnya Rissa menjadi korban keegoisan maminya.

🍩

"Lho, aku kira om Vian datang sama kak Alistin," ujar seorang gadis belia yang membukakan pintu utama keluarga Baskara. Ia tampak menilai Tara dari atas hingga bawah.

Ditatap seperti itu membuat Tara kikuk.

"Kenalin, tante Tara, temennya tante Tisha." Vian merangkul bahu Tara dengan spontan, membuat gadis di depannya tak bisa menyembunyikan raut kagetnya.

"Halo, Tara," ia berinisiatif mengenalkan diri.

"Oh, hai Tante. Aku Rifa. Ayo, masuk. Oma sama opa lagi di kebun," balasnya. "Tante Tisha masih di tempat WO. Katanya ada masalah gitu, nggak tahu deh, nggak ngerti."

Vian menggeleng pelan melihat tingkah keponakannya, ia membawa Tara menuju kebun bunga yang letaknya di belakang rumah. Tara kira, mereka hanya akan bertemu orang tua Vian dan Tisha, namun ia salah. Di halaman belakang ada beberapa orang dewasa sekitaran usia empat puluhan atau mungkin lima puluh—entahlah, Tara tidak bisa memastikan, namun mereka pernah bertemu dengannya saat pemilihan desain dan fitting gaun. Beberapa anak remaja yang sibuk dengan ponsel tampak tak peduli dengan kehadirannya.

Sementara di kebun bunga terdapat sepasang suami istri dengan rambut yang tidak lagi hitam sedang mengatur letak bunga dan pot-pot yang tadi Vian bawa bersama tukang kebun. Raut bahagia jelas terpancar di wajah keduanya.

"Bawa siapa, nih, Vian," ujar salah satu pria dewasa di sana.

Kedua wanita di sana justru memekik girang. "Oh, ya ampun, Tara, apa kabar?"

Tara tersenyum kikuk. "Baik, Mbak."

"Ini loh, Tara yang buat gaun pengantin Tisha." Tampak para pria mengangguk. Mereka memang tidak ikut fitting, Tara hanya diberi data ukurannya saja.

"Wah, sayang banget Tisha masih ada urusan, independen woman banget emang anaknya, Tar, maklum ya," ucap salah satunya.

Tara tersenyum tipis, kemudian mengangguk. "Ah, iya, Mbak. Nggak apa-apa."

Vian berdehem. "Keluarga saya banyak, harap dimaklumi. Yang pertama itu kakak tertua saya, Mas Divon, yang kedua Mas Gavin, dan ini Mbak Nura. Nggak ikut fitting gaun karena baru pulang dari Maldives ngajak anaknya liburan. Selebihnya ada Mbak Nada dan Mbak Sita yang ikut fitting, kamu pasti udah kenal," jelasnya.

Beberapa anak remaja menghampiri mereka, kecuali gadis yang membukakannya pintu tadi. "Ini pacar om Vian, ya?"

"Cantik banget, om!"

"Halo, namaku Liliana!"

"Aku cuma mau bilang kalau gaunnya keren banget!"

Tara memberi senyum hangatnya. "Salam kenal semuanya."

"Kita ketemu orang tua saya dulu," Pria itu membawa Tara menghampiri tuan dan nyonya Baskara tanpa mendengar godaan kakak-kakaknya. "Ma, Pa..."

Mereka menoleh, senyum lebar Nilam membuat Tara sedikit rileks. "Sore Om, Tante..."

"Wah, akhirnya Tara ke sini juga. Gimana kabarnya? Sehat? Maaf lho, jadi ngerepotin nemenin Vian beli bunga."

"Baik, Tante. Gak apa-apa kok, Tara justru senang nemenin mas Vian."

Nilam terkekeh. "Pa, ini lho, yang bikin keluarga kita heboh. Tara ini orangnya. Cantik kan?"

Baskara tampak terlihat lebih kalem menanggapinya. "Senang bisa bertemu kamu. Istri saya setiap hari selalu minta Vian buat cerita tentang kamu."

Pernyataan itu membuat Tara tersipu. Ia menatap Vian yang kini menggaruk tengkuknya dan membuang pandangan ke arah lain. Tara penasaran apa saja yang pria itu bicarakan tentang dirinya pada kedua orang tuanya.

Nilam tertawa melihat tingkah laku anaknya. "Oke, oke, kita bebersih dulu. Vian, ajak Tara bergabung sama yang lainnya untuk makan malam."

🍩

"Nggak. Gue nggak lagi memanfaatkan ketertarikan Vian untuk membuat Raka cemburu. Gue nggak sedang memanfaatkan orang lain seperti gue memanfaatkan perasaan Tian dulu," gumam Tara pada dirinya sendiri jarinya mengetuk meja beberapa kali. "Gue juga nggak mendekati Vian karena mereka kaya."

Setelah makan malam selesai, mereka berlanjut pada obrolan ringan di ruang keluarga. Saat itu Tisha sudah datang dan Tara pikir ia bisa menghilangkan rasa canggung. Kakak ketiga Vian, Mbak Nura, jelas tidak menatapnya dengan ramah.

Saat yang lainnya sibuk membahas saham, investor dan proyek terbaru perusahaan mereka, Nura yang ia ketahui berprofesi sebagai obgyn justru berbisik padanya. "Saya akui, kamu pintar mencari celah."

Entah apa maksudnya, tapi itu sukses membuat Tara terjaga hingga pukul dua pagi.

Wanita itu menatap layar tab yang menyuguhkan gambar gaun Tisha yang ia potret Minggu lalu dengan pandangan kosong. Beberapa kali ia terus merapalkan pada diri sendiri bahwa yang ia lakukan sudah benar. Tidak ada unsur memanfaatkan. Di sini mereka sedang berbisnis. Kalau Vian tertarik padanya dan ia ingin mencoba, itu tidak ada sangkut pautnya dengan hasil kerjanya yang memuaskan.

Ya. Begitu. Tara tidak seharusnya memikirkan ucapan Nura. Wanita itu tidak tahu apapun tentangnya.

🍩

Huaaaa maaf temen-temen lapak ini dicuekin sebulanan T_T

donat lagi revisi TARAKA 1 dan alhamdulillah sekarang udah selesai, kemarin juga sempet drop saking diforsirnya tenaga karena pagi-sore donat kerja, baru pegang laptop malem dan waktunya juga bukan cuma buat revisi doang 🤧🤧

Tapiii.... donat sekarang bisa mulai lanjut sama TARAKA 2 dan doain yuk donat bisa namatin sebelum akhir tahun, hehe.


Mana vomments-nya? Ramein duluuuu biar kita cepet-cepet ketemu TARAKA di chapter depan, yeaayyy! 😆😆😆



-Salam donat 💜
11/07/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro