dua pulah tujuh : Menggantikan
Acara pertunangan Seila dan Budi berjalan lancar hingga akhir. Setelah mengantar Tara pulang, ia kembali ke hotel dan mengantar Luna pulang sembari membahas agenda mereka besok.
Harusnya Raka masih bergelung di dalam selimut dengan kamar terkunci, atau mengganggu Arlan bermain PS di ruang TV, atau kalaupun tidak malas ia akan mengunjungi Taraka's Bakery, apapun asal tidak bersama Shaluna dan keluarganya membahas perjodohan mereka di Minggu siang ini. Katanya, makan siang bersama di halaman belakang rumah, namun sejak tadi Raka memilih berdiri di tiang ring basket yang tak jauh dari tempat duduk para orang tua.
Sejak semalam ia memperkenalkan Luna pada keluarga, senyum formalitas tak henti Raka tebarkan hingga sudut-sudut bibirnya terasa pegal. Luna sendiri tampak sempurna di sisinya. Tanggap dalam bicara, berusaha tetap tenang di tengah gugup yang melanda melayani pertanyaan-pertanyaan ngawur keluarganya. Melihat itu entah kenapa begitu membuat Raka merasa de javu.
"Kak?" Luna memanggilnya.
Dengan malas Raka mengalihkan tatapannya dari ponsel pada gadis itu. "Kenapa?"
"Nggak pegel berdiri terus?" Luna yang duduk di pinggir lapangan mengadahkan wajahnya agar bisa melihat ekspresi Raka.
"Gue mau cabut."
"Cabut gimana maksudnya? Ini kan rumah kakak."
"Ya cabut deh, pokoknya."
Luna menggeleng. "Apa nggak mau nunggu makan siang dulu?"
"Lo tahu nggak kalau kita ini mau dijodohin?"
Wanita itu mengangguk.
"Lo punya pacar?"
"Nggak."
"Gue punya pacar."
"Jadi perjodohannya batal?"
"Nggak tahu." Raka menoleh pada tawa orang tua mereka.
"Kalau kak Raka nggak punya pacar, gimana? Aku boleh nunggu kak Raka sampai putus sama pacarnya?"
Raka terkekeh. "Kalaupun gue putus, gue nggak akan setuju."
"Kenapa?"
"Lo bisa gue anggap sebagai adik."
"Luna bisa nunggu kakak putus dulu."
"Lo inget Tara kan? Cewek yang dikenalin Mami semalam."
Luna mengangguk.
"Lo terlalu mirip sama dia. Gue nggak suka."
Dari caranya tersenyum, menjawab pertanyaan, menolak ajakan berkenalan pria lain, tangannya yang memegang gelas mocktail pun benar-benar sama. Bahkan, saat Raka dengan sopan membukakan pintu mobil untuknya, Luna hanya membalasnya dengan senyum tipis.
Ya... kalau gitu, kenapa nggak sama Tara aja?
"Dia pacar kak Raka?"
"Bukan." Mantan.
"Kak Raka benci dia?"
"Nggak."
"Masalahnya di mana?"
"Masalahnya, saat ini... kita lagi sama-sama pun gue tetep ngelihat lo sebagai Tara." Raka mengusap wajahnya gusar. "Gue nggak nyari istri yang mirip sama Tara."
"Alasan ditolak."
Raka mengernyitkan dahinya bingung.
"Alasannya nggak logis," ucap Luna.
"Ini bukan matematika yang harus rinci penjelasannya biar lo ngerti."
Luna mengangkat bahu tak acuh. "Aku nggak minta kak Raka putus sama pacar kakak, nggak minta setuju sama perjodohan ini juga. Kita baru hari ini ketemu, masih ada hari lain untuk tahu satu sama lain."
"Percaya diri banget lo." Raka terkekeh pelan. "Belajar aja yang bener."
Gadis itu mengeratkan remasannya pada sisi dress-nya, berusaha terlihat baik-baik saja, ia tersenyum simpul menanggapi ejekan pria di depannya. Ia pun tidak menyukai Raka, impresi pertamanya semalam tingkat sosialisasi Raka delapan puluh persen, berisik dan terlalu ramah.
"Aku mau mencoba."
"Sorry, gue nggak mau."
"Kenapa?"
Raka menghela napas kasar. "Susah ngomong sama bocah."
Luna terkekeh. "Aku dua puluh satu by the way, kita cuma beda beberapa tahun."
"Gue nggak mau bersikap kasar sama lo. Jadi gue memutuskan untuk nggak setuju dengan apapun yang direncanakan para orang tua dari sekarang." Setelah itu, Raka memasuki rumah tanpa menunggu sahutan Luna.
🍩
"Kok kamu ikut ke sini, sih? Sana temenin Raka lagi," ujar Citra pada Luna yang membantunya menyiapkan makan siang di dapur. Di halaman belakang tampak Kiera sedang merapikan piring di atas meja sembari bercengkrama dengan suaminya dan Willis.
"Mama kenapa setuju aku dijodohin sama kak Raka?" tanya Luna.
Citra menuangkan sayur lodeh ke dalam mangkuk besar sembari menyahut, "Kenapa nggak? Raka anaknya baik, family man, mapan lagi."
Terdengar decakan dari gadis itu. "Jangan dangkal gitu dong, Ma. Kita nggak bisa menilai seseorang hanya dari cerita keluarganya aja," ucap Luna.
Wanita itu justru terkekeh. "Dia sering dimintain jadi mantu sama temen-temen tante Kiera. Kita juga udah tahu keluarganya."
"Gimana kalau ternyata dia abusive?"
"Luna, mama nggak pernah ngajarin kamu bicara begitu." Citra menatap tajam anaknya.
Luna menghela napas. "Tapi, Ma..."
Citra tidak mengindahkan protesan anaknya, ia membawa makanan di atas nampan menuju halaman, meninggalkan Luna yang masih duduk di atas stool bar.
"Bagus juga akting lo."
Luna menoleh pada sumber suara.
"By the way, gue nggak abusive." Raka ikut duduk di atas stool bar di sebelah Luna. "Kalau lo nggak suka sama gue, kenapa harus nerima perjodohan ini?"
"Aku cuma nurutin maunya mama dan papa."
"Kita nggak cocok."
"Aku nggak bilang kita cocok."
"Ya udah batalin. Beres."
"Aku jadi penasaran kenapa kak Raka nekat dijodohin sementara di Jakarta kakak udah punya pacar." Luna menoleh pada Raka untuk melihat ekspresi wajah pria itu.
"Bukan urusan lo." Raka membuang pandangan ke arah lain.
Di sudut hatinya yang terkecil, Raka pun merasa bersalah. Ia tidak pernah setuju dengan perjodohan ini. Ia ingin memutuskan hubungannya dengan Rissa secepatnya dan mungkin mulai mencari wanita lain pelan-pelan. Asal tidak dengan gadis di sebelahnya ini. Seperti yang Tara bilang, perjodohan ini tak seharusnya terjadi.
🍩
"Gue nggak ngerti sama pola pikir nyokap lo. Obsesinya gede banget buat bikin kisah cinta lo sesuai skenario dia," ujar Jaffar sembari membaringkan tubuhnya di atas sofa.
Setelah makan siang, Raka meminta Jafar, Tian dan Nando datang ke rumahnya untuk menceritakan masalahnya. Akhir-akhir ini para sahabatnya masih setia mendukung apapun keputusannya.
"Yang lebih parahnya, tante Kiera berantem sama Tara. Rekor!" timpal Nando. "Tara kan anak kesayangannya banget."
"Itu dia, gue juga bingung apa yang ada di si Luna ini sampai mami keukeuh mau repot-repot bikin perjodohan konyol kayak gini!" seru Raka pada Nando dan Tian yang sibuk main PS.
"Attitude-nya oke?" tanya Tian dengan tatapan fokus pada layar TV.
"Oke banget, sih."
"Terus?"
"Ya gitu. Kayaknya anaknya flat juga."
"Contohnya?"
"Nurut banget sama orang tua."
"Bagus, dong?" Jaffar merebut kripik di tangan Raka. "Kayaknya bakal cocok."
"Dia mirip Tara banget."
Ketiga pria di sana menoleh bersamaan pada sumber suara. "Maksudnya?"
"Semuanya mirip. Gue bahkan berasa lagi sama Tara."
Hening seketika.
"Ka, kamu yang sopan dong sama tamu! Masa Luna kamu tinggalin gitu aja ke kamar!" Seru Kiera sembari membuka pintu kamar. "Mau ditaruh di mana muka mami di depan mereka?!"
Raka meringis. "Udah pulang?"
"Menurut kamu?!"
"Ya, maaf."
"Kamu udah dewasa, lho! Sebagai cowok harus gentle!"
Jaffar berusaha menahan tawa, sementara Tian terkikik geli mendengarnya.
"Kan Raka udah bilang Mi, Raka nggak setuju," sahut Raka.
"Yang minta persetujuan kamu siapa?! Kamu cukup diem, temenin Luna, bersikap baik di depan mereka. Susah banget?"
"Raka nggak suka Luna," ungkapnya.
"Bohong." Kiera mencibir. "Justru mami tahu, yang kayak Luna gini tipe kamu banget."
Pria itu menghela napas. "Mami sotoy."
"Dia ini duplikat Tara, Ka, masa kamu mau nolak?"
Raka menghampiri maminya yang masih berkacak pinggang di depan pintu. Membawanya ke balkon. "Mi? Mami sadar nggak apa yang mami ucapin?"
"Kenapa? Mami salah? Mami mau yang terbaik buat kamu. Kalau kamu nggak bisa nikah sama Tara, nggak apa-apa. Ada Luna yang sama persis kayak Tara. Mami kurang pengertian apalagi?!"
"Mi, stop talking about that!" seru Raka. "Karena dia sama dengan Tara, Raka nggak suka. Tara tetaplah Tara, nggak ada yang bisa menggantikan dia sekalipun itu Luna."
🍩
Lama ya?
Donat lagi revisi TARAKA 1 dan beberapa Minggu ini lagi fokus ke sana, nggak sempet ngelirik lapak ini huhu maafin T_T
Chapter ini nggak ada Tara dulu, disimpen buat chapter depan. Mau Vian sekalian nggak? 😆
Vomments yang banyak dulu xixi...
Bonus Raka yang bingung hidupnya makin gak tentu arah.
—Salam donat💜
28/05/22
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro