Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

delapan : pertanyaan

"Lo beneran mau married, Tish?"

"Beneran, dong!"

"Gila! Akhirnya bisa go public!"

"Gak mungkin gue backstreet mulu sampe mampus."

"Eh, Tish, tapi lo beneran mau bikin seribu undangan?"

Tisha nampak bingung di seberang sana. "Gue sebenernya agak worry gitu, sih, pas pak Dewa bilang bakal undang semua temen, kolega bisnis dan rekan-rekannya di sekolah. Tapi ya... gimana? Nggak enak juga gue nolaknya. Itu kan hak dia. Belum lagi bonyok gue sama bonyok dia bakal undang temen-temen mereka juga. Jadi gue pasrah aja, deh."

Karina mengangguk. "Udahlah, sekarang terimain aja kalau bentar lagi lo bakal jadi mangsanya guru Adipura yang jadi saksi gimana sebelnya elo sama pak Dewa semasa sekolah."

Wanita itu memalingkan wajahnya karena malu. Pipinya merona, sangat kontras dengan kulitnya yang putih langsat. "A-apaan, sih, Na!"

Sementara mereka sibuk adu mulut, Tara justru memilih diam sejak percakapan itu dimulai setengah jam yang lalu. Perihal menikah memang selalu jadi hal yang panas bagi kaum single yang diteror kapan-nikah. Salah satunya Tara. Iya, wanita itu diam-diam memikirkan perkataan ibunya pagi tadi di telepon, juga nasihat ayahnya semalam mengenai pernikahan.

Kanaya yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, Karina yang sebentar lagi akan melangsungkan prosesi lamaran, Tisha yang akan menikah dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, hanya dirinya yang masih sendiri menikmati karir.

"Eh, iya, Tar, gue minta nomor butik lo, dong." Ucapan Tisha membuyarkan lamunan Tara. "Gue mau bikin gaun di butiknya mbak Sarah. Tapi lo yang urus, ya?"

Tara mengangguk sambil tersenyum tipis. "Congrats, ya."

"Elo kapan, nih?" tanya Tisha.

"Gak usah nanya. Tara masih mikir nungguin yang itu putus atau cari yang baru," balas Karina.

"Wah, parah, sih, kalau lihat beberapa tahun ke belakang." Tisha berdecak malas. Meskipun tidak sempat berteman langsung dengan Tara karena wanita itu keburu pindah ke Makassar, tapi Tisha tahu betul bagaimana sengsaranya Raka tiap kali mendapat sindiran dari Karina. Mulut ketoprak karet 2 itu tidak segan membuat Raka mati kutu dan menyesal.

"Emang!" Karina mengangguk setuju. "Kemaren mantannya masih ngejar dia tolak habis-habisan." Yang dimaksudnya adalah Ganesh.

Tara memberi kode agar Karina tidak meneruskan ucapannya. Namun, yang namanya Karina jelas tidak akan menurut. Ia menjelaskan bagaimana nasib Ganesh dan bunga yang dibawanya, membuat Tisha menggeleng pelan.

"Ganesh tuh lawyer senior, lho, Tar. Gajinya oke, muka nggak jelek-jelek amat, usia udah matang. Lo mau cari yang gimana lagiii, coba?" tanya Karina.

"Yang kayak—"

"Gue tutup, ya. Mau jemput Dio di lobi." Tara segera mematikan sambungan video call di ponselnya, lalu menghela napas kasar.

Ponselnya menampilkan nama Dio bertepatan dengan suara bel di unitnya.

"Halo?"

"Bukain dong, gue di depan pintu."

"Ngapain?"

"Buka aja dulu."

Tara mengernyit heran saat melihat adiknya berdiri di depan pintu dengan wajah keruh. "Kenapa lo?"

Dio berjalan masuk, melepas sepatunya, kemudian berjalan ke arah kulkas untuk mengambil sekotak susu stoberi yang memang sengaja Tara sediakan untuknya.

"Dari Bekasi ke sini cuma ngambil susu doang?" Tara melipat tangan di dada melihat tingkah adiknya.

"Tadinya mau jemput Anya di Dufan. Ada acara kantor gitu katanya, tapi dia baru aja ngabarin kalau bareng sama temennya."

"Kenapa nggak dari pas lo mau jemput aja bilangnya? Udah jauh-jauh lo ke sini dan hasilnya..." Tara menelan ludah susah payah melihat Dio mengeraskan rahangnya. "Oke, bukan itu masalahnya."

"Temennya ngebet banget sama Anya."

"Ngejar-ngejar?"

Dio mengangguk.

"Terus kenapa lo diem aja?"

"Ya lo tahulah Anya gimana. Batu kalau dibilangin. Gue udah telepon kalau gue bakal tetep jemput tapi dia sengaja nggak bales WhatsApp gue, telepon juga di-reject, tahu-tahu dia bales katanya udah di tol jalan pulang," jelas Dio dengan wajah makin keruh.

"Anya nggak mungkin naksir balik kan?"

"Nggak. Dia cuma cinta sama gue." Pernyataan itu sontak membuat Tara memutar matanya dengan malas. "Tapi gue yakin temen-temennya yang lain yang bikin Anya ikut."

"Kenapa lo yakin banget?"

"Karena mereka sering bilang Anya lebih baik sama cowok itu yang jelas-jelas siap nikahin dia ketimbang gue yang masih naikin karir. Secara umur juga dia emang kelewat siap, sih."

Oh my God! Kenapa nasib pria malang ini sama dengannya? Tara menghela napas sebelum menatap adiknya dengan seksama. "Tempo hari gue bilang kan Di, lo bisa langkahin gue. Gue tahu lo sebenernya siap, cuma nunggu gue aja 'kan? Gue nggak apa-apa."

"Gue udah bilang nggak, Tar." Dio balas menatap kakaknya dengan tajam. "Bagaimana pun juga lo kakak gue. Dan gue bakal nunggu itu."

"Jangan batu, deh, Di. Kalau misal gue baru nikah lima tahun kemudian gimana? Hubungan lo sama Anya udah bisa cicil rumah."

"Apaan, sih? Gue ke sini biar dingin, biar perjalanan gue nggak sia-sia. Bukan malah debat sama lo." Dio melengos ke sofa di depan TV.

Tara duduk di samping Dio, lalu memejamkan matanya sejenak. "Gue beneran nggak punya calon, Di."

"Terus kenapa? Gue nggak minta lo cepet nikah biar gue bisa nikahin Anya."

Tara tidak lagi membalas. Pikirannya penuh. Ia menjadi penghalang hubungan antara Dio dan Anya.

"Apapun yang ada dipikiran lo, jangan berani-beraninya ngomong. Gue mau tidur, bisa minggir, nggak?" Dio melepas dua kancing kemeja teratasnya karena mulai kegerahan.

Tara berdecak.

"Bangunin jam empat, ya."

Tara akhirnya beranjak saat suara bel apartemennya berbunyi.

Raka dengan wajah sama kusutnya seperti Dio melengos masuk, plastik berisi makanan ia simpan di pantri, kemudian matanya menyipit melihat ada sosok lain di sofa.

"Dio." Tara berbisik. "Jangan diganggung."

Pria itu mengangguk. "Makan, gih."

"Nggak laper."

Raka duduk di pantri. "Setelah minggu lalu kita ke nikahan Endru, gue denger Tisha mau married juga sama pak Dewa," ujarnya.

"Terus?"

"Acaranya di Jakarta 'kan?"

Tara terdiam.

"Acaranya Tisha," jelas Raka.

"Nggak tahu. Tisha nggak bilang. Ada masalah?"

"Tentu ada. Kalau acaranya di Bogor, gue pasti balik dan mami bakal semakin rewel. Seminggu ini mami udah neror gue terus, ditambah kemarin balik, kacau," katanya.

Tara tidak menduga sebelumnya, di usia seperempat abad ini pertanyaan 'kapan nikah?' ternyata lebih horror dibanding omelan bos di akhir bulan. 

"Lo sih, gampang, nikahin Rissa, masalah beres," ujar Tara.

Raka kontan menggeleng. "Butuh banyak pertimbangan, Tar. Nggak segampang kelihatannya."

"Kalian nggak ada niat balikan, apa?"

Pertanyaan itu berasal dari balik sofa yang hanya menunjukkan kaki panjang berlapis kaus kaki menjutai ke bawah. Sejak tadi Dio mendengar obrolan mereka. Dan saat suara itu terdengar, Raka dan Tara jelas memandang horror sofa itu. 

"Kenapa? Gue kan cuma nanya," ucap Dio karena tidak mendapati respon dari keduanya.

"Gila lo, ya," gumam Tara.

🍩

Donat update lagiiii!!!!
Vomments yang banyak yaw biar makin semangat nulisnya! Dio si ganteng mulut emang suka kelepasan, tapi suka bener, sih. 👍🤣

Yok gimana jawaban Raka dan Tara, harus vomments yang banyak dulu, yok!


—Salam donat 💜
11/11/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro