delapan belas : Dinner Date
"Intinya sih, lo harus mendiskusikan ini dengan Rissa," ucap Sesha.
Telepon mereka sempat terjeda saat Raka dimintai masuk ke ruangan Petra, berdiskusi mengenai proyek barunya dan kembali ke rumah setelah pukul delapan malam. Setelah mengecek Tara belum pulang ke apartemennya, Raka kembali menelepon Sesha. Tentang masalah yang selama ini ia simpan sendiri.
Raka merasa enggan. "Rissa tuh—"
"Meskipun awalnya cuma buat having fun, lo udah ada janji sama orang tua dia, lo harus bertanggungjawab atas itu. Cowok itu yang dipercaya ucapannya!"
"Iya, makanya banyak cewek cantik nemploknya sama buaya!" balas Raka.
"Kayak elo! Rissa nyantolnya sama janji lo 'kan!" sembur Sesha balik. "Orang tua Rissa nungguin lo, Ka! Kalian disscus bareng apa inti masalahnya, obrolin lagi apa yang bikin hubungan kalian nggak maju. Bener kata temen-temen lo, yang namanya Raka emang goblok!"
Raka jelas merasa dirinya tidak begitu. Mulutnya sudah terbuka untuk menyanggah, namun urung saat suara kembali terdengar di seberang sana.
Sesha kembali berbicara. "Lo udah basah, nyemplung aja sekalian! Masa selama pacaran nggak pernah sedikit pun lo cinta sama dia?!"
Cinta! Gue cinta sebelum beban itu datang! ia membatin.
"Kenapa, sih, hal itu harus dijadiin beban?" tanya Errash pada akhirnya.
"Nggak tahu! Aneh banget dia, Rash! Harusnya dijadiin motivasi biar lo semangat memperbaiki hubungan kalian, Ka."
"Karena gue tahu Rissa nggak bisa jadi istri gue," jawabnya.
"Nggak bisa atau nggak mau?"
"Pokoknya nggak. Rissa nggak masuk ke mami."
"Lo harus jelasin juga dong sama tante Kiera, banyak pasangan di luar sana yang childfree, kayak gue sama Errash gini. Pernikahan itu nggak harus ada anak."
Raka menghela napas. "Gue capek."
"Gue juga. Susah banget dikasih tahunya lo," sahut Sesha.
"But, thank for you two udah mau dengerin curhatan gue. Saran lo bakal gue pikirin lagi, Sha."
"Jangan frustasi, dong! Lo harus yakin sama apapun keputusan lo," seru Errash.
Raka berusaha tertawa. "Thanks, Bro."
🍩
Tara tersipu malu mendapati tisu mampir di sudut bibirnya. "Biar saya aja, Mas."
"Oke. Sorry kalau itu bikin kamu nggak nyaman," ujar Vian yang menjauhkan tangannya dari wajah Tara.
"Nggak apa-apa. Cuma nggak biasa aja."
Vian tersenyum tipis melihat Tara membersihkan sisa eskrim di sudut bibirnya. "Saya kira kamu tipe orang yang suka makan makanan manis. Kalau tahu nggak suka es krim, kita ngopi aja tadi."
Wanita itu menggeleng. "It's okay. Saya bukan nggak suka, cuma nggak biasa aja."
Awalnya Tara berpikir dinner mereka akan romantis, setelah makan di restoran berbintang akan pergi nonton film atau mampir ke toko buku membahas buku Percy Jackson yang sempat mereka bicara di mobil saat di perjalanan tadi. Namun, Vian malah membawanya ke Candycrush, camilan serba manis yang ia ketahui milik sepupu iparnya Sarah--Candyta yang akan melangsungkan pernikahannya dalam waktu dekat.
"Katamu tadi di butik lagi hectic karena asisten kamu yang satunya ngambil cuti beberapa hari karena sakit, saya rasa butuh makanan manis untuk menaikan mood," jelas Vian.
Setelah pendaharan yang dialami Amiya tempo hari, wanita itu mengatakan bahwa ia keguguran dan butuh bed rest beberapa hari, sehingga ia dan Silvia cukup kewalahan.
"Kamu nggak akan sakit perut cuma karena es krim kan? Atau lagi diet?" tanyanya.
Pertanyaan Vian sontak mengundang tawa wanita itu. "Nggak, mas. Tenang aja. Kayaknya saya bakal sakit perut kalau makan di All is Ten, deh. Makanannya pedes semua di sana," jelasnya.
Vian meringis. "Ada yang manis kok. Nanti kita pesan udang asam manis, ya."
"Itu menu favorit Alistin juga?"
"Urutan sepuluh, sih."
Tara mengangguk, lalu lanjut menghabiskan es krimnya sebelum mencair.
"Kamu suka Alistin?"
"Nggak, sih. Temen-temen yang suka. Saya jadi ikut lihat profilnya dan dia strong women banget. Mandiri dan berkarisma." Tatapan Tara menerawang jauh dengan senyum tipisnya. "Dia itu... sosok yang menginspirasi banget buat wanita di luar sana."
"Dan kamu..."
"Salah satunya."
Vian mengangguk. "Kamu bisa lebih dari dia."
"Saya nggak yakin bisa seperti Alistin."
Alis pria itu bertaut, tidak suka mendengar keraguan itu. "Dengan kemampuan yang kamu punya, kamu harus yakin bisa. Nothing impossible."
"Topiknya mulai mellow, ya?"
Vian tertawa. "Kamu lucu juga, ya? Saya kira kamu tipe yang serius gitu."
"Saya bisa kok mas diajak serius."
Keduanya saling tatap, mengerjap beberapa kali, kemudian Tara lebih dulu menyadari perkataannya bisa saja disalahartikan.
"Maksudnya, ngobrol serius, mas," ralatnya.
"Iya, Tar. Tahu." Vian mengusap belakang lehernya sembari terkekeh. "Eh, es krimnya meleleh!"
Tara cepat-cepat meraih tisu di atas meja karena lelehan eskrim mengenai tangannya. "Kayaknya saya nggak bakat makan es krim, deh."
"Makan es krim aja harus punya bakat?" Vian tak bisa menahan tawanya, ia pun membantu Tara menuangkan es krim cone itu ke dalam gelas.
"Saya emang nggak suka makan makanan manis, mas. Mungkin jarang...," katanya. "hampir nggak pernah kalau di situ ada makanan pedas juga. Jarang makan sih sebenernya."
"Pantesan aja maag-nya udah lumayan parah. Dari dulu?"
"Iya. Dari pas masih sekolah." Sejak ibu kembali bekerja dan ia tidak lagi memerhatikan pola makan. Lebih sering belajar di kamar bahkan mengabaikan Dio sebagai pengalihan atas perceraian kedua orang tuanya.
Vian sedikit memajukan tubuhnya, tertarik dengan cerita Tara. "Tapi kata Tisha kamu jago masak."
Ia meringis. "Nggak jago, cuma bisa aja."
"I see. Kamu pasti sibuk banget. Apalagi kalau kliennya bawel kayak saya dan Tisha. Repot. Jangankan untuk masak, nafsu makan aja langsung hilang."
Tara hanya meringis sembari mengaduk es krim cairnya menggunakan sendok. Salah satu alasan maag-nya kambuh memang seperti itu. Ia terlalu giat bekerja dan malas makan.
"Yang Tisha dan pak Dewa bilang itu... nggak sepenuhnya benar, mas. Saat itu saya lagi dipromosikan—mas kok ketawa?" Ia mengernyit bingung saat suara tawa Vian terdengar lebih keras.
"Kalau saat itu kamu berpikir lagi dipromosikan, ya nggak apa-apa. Tapi saya memang tertarik saat kamu dan maaf, temanmu yang di IGD itu ngomel-ngomel bertengkar. Saya berpikir, orang waras mana yang sarapan dengan asinan?" katanya sembari terkekeh.
Tara menggeleng cepat. "Saya makan asinan sekitar jam sepuluhan, mas. Udah nggak masuk sarapan."
"Iya, tapi perutmu kosong dari pagi kan?"
Tara kalah. Ia salah saat itu karena sudah terbujuk Sarah di cuaca panas dengan perut kosong.
"Kebiasaan buruk memang sulit dihilangkan, sering kali orang di sekitar kita pun mengabaikan pola makan. Tapi ketika kamu mencoba untuk love yourself, kejadian seperti itu nggak akan terulang lagi."
Tara mengangguk. "Memang sulit. Saya pun nggak ngerti kenapa rasanya malas untuk makan dan seringnya menahan lapar."
"Kayaknya harus saya ingatkan terus, ya?"
Wanita itu hanya tertawa menanggapi candaan dokter muda di depannya.
"Biar sehat, Tar. Saya yakin, dalam seminggu berat badan kamu naik lima kilo," lanjutnya.
"Perlu dicoba, mas," sahutnya.
Kini Vian yang tertawa. "Sejujurnya saya pun nggak selalu makan makanan sehat, asalkan pola hidupnya dijaga."
"Mas nge-gym juga?"
"Nggak, saya olahraga bela diri."
"Oh, ya?" Tara tampak tertarik.
Vian mengangguk. "Muay Thai. Nggak terlalu sering, sih, tapi karena teman saya yang punya tempatnya, jadi bisa ke sana kapan pun saya bisa."
"Cewek juga ada?"
"Ada dong. Banyak. Kamu tertarik?"
Tara diam untuk beberapa saat. Sejak masih sekolah hingga bekerja, olahraga tidak ada dalam jadwal rutinnya. Tara lebih suka mengerjakan soal-soal dan menikmati film daripada melatih fisiknya seperti Karina.
"Gimana, Tar?"
Wanita itu menggeleng. "Untuk saat ini belum kepikiran, sih. Saya masih sibuk di butik."
Ia teringat gaun pengantin milik Candyta yang masih di ruangannya. Minggu lalu mereka sempat bertemu dan wanita muda itu mengatakan belum ingin mengambilnya. Mungkin nanti, mendekati hari pernikahan. Belum lagi gaun milik Tisha yang masih dalam tahan pemasangan payet.
Vian mengangguk paham. "Nggak semua perempuan suka olahraga. Itu pilihan mereka. Kamu juga sibuk dengan pekerjaan sampai larut."
"Vian?" Wanita kisaran tujuh puluhan menghampiri mereka dengan tas mahal di tangannya. "Kamu sama siapa?"
Vian bangkit dari kursi, menghampiri wanita baya itu, lalu menuntunnya duduk. "Mama sama siapa ke sini?"
🍩
HAIIIUUUU DONAT DATANG LAGI!!!
Maaf banget karena updatenya lama T_T
Yakin masih tim TARAKA, nih?
Kalau masih sayang TARAKA votes juga dong chapter 16-nya, sedih banget di situ sedikit yang vote padahal udah update cepet. ☹️
Biar makin semangat dan menunggu keputusan Raka mari vomments banyak-banyak! 💜💜💜
Bonus pict Tara si positif vibes
—Salam donat💜
03/03/22
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro