Tara
Disclaimer
Cerita ini tak berniat menyinggung pihak maupun agama manapun.
****
Suara mirip decakan memenuhi ruangan, diiringi dengan kedua tangan di atas kepala dan jemari yang digerakkan. Sembari memandang orang-orang yang membentuk lingkaran, kuhembuskan napas panjang.
"Berisik, ya?" pertanyaan dari orang di sampingku tak segera kubalas. Meski begitu, agaknya dia tak berniat berhenti berbicara. "Tapi bukankah tarian ini terlihat indah, Tara?"
Mendengus saat mendengar ucapam tersebut, pada akhirnya aku memandang lurus ke arah lawan bicara. "Indah? Yang ada aku merinding melihatnya," ujarku. Jemariku kemudian menunjuk kepada seorang pria yang berada di tengah lingkaran. Dirinya sedang melakukan sebuah gerakan dalam cerita Ramayana. Suara gemerincing terdengar setiap langkahnya berganti, berasal dari kerincingan yang terikat di kaki.
Sosok itu tertawa, tak ada sorot tersinggung dalam bola matanya. Tangannya kemudian mendarat di atas kepalaku, mengelusnya lembut. Tak ada kata-kata lagi darinya, kendati demikian seakan ada sebilah belati yang mengiris hatiku.
****
Terbangun dengan perasaan nyeri membuatku memandang platfon kamar lama. Warnanya yang sengaja kucat biru sejak tahun lalu sedikit memberikan rasa aman. Merasa lebih baik, akhirnya aku bangkit dan menyeka air yang sejak tadi berada di wajah. Mimpi tentang percakapanku dan kakek dua tahun yang lalu kembali menghantui, mungkin karena sebentar lagi peringatan kematiannya.
Tak ingin terlarut dalam kesedihan, lantas aku bersiap untuk pergi sekolah. Sangat disayangkan tak ada tanggal merah di bulan ini, mengikis kesempatan untuk berlama-lama di atas tempat tidur. Sesampainya di sekolah, tak ada hal baru yang kujumpai. Kendati demikian, perasaanku tak enak, seakan-akan ada sebuah badai yang hendak datang.
Pada akhirnya, perasaanku menjadi kenyataan. Sebuah tugas seni budaya; tarian kecak. Entah siapa yang memberikan ide ini, tetapi guru memberikan nama tarian itu di urutan pilihan. Ditambah dengan kesepakatan para murid laki-laki untuk menampilkan tarian berkelompok beranggota banyak, pada akhirnya tarian kecak menjadi pilihan.
Aku memperhatikan saja saat mereka mulai menentukan siapa yang akan menari di tengah lingkaran-enggan terlibat terlalu jauh-. Teman sekelas bersemangat ingin berada di tengah lingkaran, dengan wajah ceria mereka mulai menata hal-hal yang harus dilakukan. Kendati perasaan tak nyaman masih menguasai, aku hanya membalas seadanya saat mereka menanyakan pendapatku.
****
Seminggu berlalu setelah diskusi pertama dan aku masih merasa ada sesuatu yang janggal. Kali ini bukan tentang tak kesukaanku dengan tarian yang dipilih. Ada sesuatu yang aneh dan tak terasa berada di tempat yang semestinya. Sebuah hal yang terasa tak lengkap.
"Apa yang kaulamunkan? Kita udah mulai latihannya lagi." Suara dari arah belakang membuatku menoleh. Memfokuskan atensi kepada seorang gadis.
"Cepat amat," protesku. Kendati demikian langkah kaki berjalan mendekati sang gadis.
"Yah, masih banyak yang harus kita lakukan, tarian ini kan rumit, Ra," balasnya.
Aku yang mendengar hanya terkekeh. Kami berjalan ke arah kelas, samar kudengar suara-suara yang saling bersahutan, pun suara narasi dari sang pembaca cerita; Mereka sudah berada di adegan Dewi Sita diculik oleh Rahwana.
Kami berdua masuk dengan pelan, duduk di tempat masing-masing. Jika boleh jujur, telingaku terasa panas mendengar suara-suara yang memenuhi ruangan. Meski begitu, aku hanya bisa mengikuti gerakan teman-temanku, menelan rasa ingin kabur dari tempat itu saat ini juga.
Pada akhirnya latihan yang terasa seperti berabad-abad selesai, aku lantas menjauh dari kerumunan. Telingaku sakit mendengar suara yang saling bersahutan belum lagi tanganku yang pegal. Mengambil air mineral di tas, pada akhirnya aku menegak tandas isi botol tersebut. Suasana kelas masih tetap riuh, rata-rata isi percakapan terpusat pada gerakan dan persiapan tarian.
"Nyudut ae, nanti diculik wewe gombel baru tau rasa." Suara yang tak asing membuatku menoleh. Gadis yang memanggilku sebelumnya.
Kupandang dia lama, entah perasaanku saja atau wajahnya terasa asing?
"Kamu siapa, ya? Murid baru?" Pada akhirnya aku bertanya. Gadis itu memandangiku lama, kemudian terkekeh.
"Ei, mana mungkin pula aku murid baru. Aku Tia, masa kamu lupa sama temen sekelasmu sendiri? Wah, parah. Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan? Terbentur barang seperti di film?" Tia menjulurkan tangannya, sontak kepalaku menghindari uluran tangannya.
"Aku sehat-sehat saja. Yah, mungkin aku lagi tak enak badan, maaf," tukasku. Aku segera berdiri meninggalkan gadis bernama Tia.
Rasanya ada sesuatu yang hilang, tapi apa?
Latihan berjalan lancar, hampir seluruh anggota mau bekerja sama. Di antara para penari, Tia menjadi sorotan paling banyak. Gadis itu mudah berbaur ke semua orang, bahkan diriku yang tak sering berinteraksi dengan anak kelas. Namun, terkadang Tia akan memandangiku lama. Gadis itu terasa seperti mengamati tiap gerak-gerik yang kulakukan.
Perasaanku tak enak. Agaknya ada sesuatu dibalik tiap pandangannya.
Pagi ini, ada sebuah surat di depan rumahku. Tak ada nama pengirim pun tujuan. Hanya ada sebuah tulisan dengan kode yang kupelajari saat pramuka.
"-•--••-•• •--•-••- -•••• -•-••-•••-•••"
Aku tertawa, menyelipkan surat tersebut di saku seragam.
Kira-kira, siapa yang mengerjaiku? Memangnya, ada orang yang mau?
Dengan pertanyaan itu aku bertolak ke sekolah. Jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Sepi menyapa saat aku berada di gerbang sekolah, satpam menyapaku dari balik posnya. Sekali lagi, aku terkekeh, memangnya siapa pula selain sang satpam yang ada di sekolah sepagi ini?
Langkahku bergema di lorong antar kelas, suasana hening ini entah kenapa memberikan stimulan kepada otakku. Berbagi adegan muncul di kepala; bagaimana jika hantu muncul di ujung lorong? Bagaimana jikalau tiba-tiba ada zombie yang menerjang dari belokan menuju tangga? Bagaimana ... jika seseorang muncul di hadapanku dan memegang pisau yang berdarah? Memikirkan berbagai skenario itu membuatku tanpa sadar sudah berdiri di depan pintu kelas. Aku terdiam sejenak, entah kenapa tanganku enggan untuk membuka kenop pintu. Meski berpikir begitu, pada akhirnya tubuhku lebih dulu bertindak; aku membuka kenop pintu, mendapati ruangan gelap di depan mata. Sembari meraba kucari sakelar yang berada di tembok. Terdengar bunyi klik dan cahaya silau, butuh persekian detik untuk bisa menormalkan pandangan.
Di tengah ruangan, duduk seorang gadis yang kukenal, Tia. Jemarinya meliuk gemulai, seperti sedang melakukan sesuatu. Dia kemudian memandang lurus ke arahku yang berada di ujung kelas. Senyumnya merekah, kendati demikian aku hendak mundur.
"Mau ke mana, Tara? Mau main kabur aja," ujarnya tenang. Dia masih berada di tengah ruangan, salah satu tangannya memegang besi panjang. Melihat pantulan dari benda tersebut, aku berbalik dan hendak membuka pintu. Namun entah bagaimana, pintu kelas tak dapat terbuka. "Oh, itu pintunya nggak bisa dibuka sebelum kamu menerima penawaranku, Tar." Suara tenang Tia kembali terdengar, meski begitu rasa takut tak membuatku bisa berpikir jernih.
Tak lama rasa dingin menyentuh leherku. Bilah yang berada di genggaman tangan Tia hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Dengan kaku aku melirik Tia, gadis itu menunjukkan senyum lebarnya.
"Nah, gitu dong, dari tadi harusnya kamu udah mau mendengarkan aku," ujarnya.
Aku menelan ludah, rasa dingin dari bilah di leher masih terasa jelas. "M-memangnya mau ngomong apa?" Suaraku bergetar pun dengan seluruh tubuh. Kakiku terasa bisa kapan saja ambruk, kendati demikian aku memaksa diri untuk terlihat baik-baik saja.
Tia memandangku lama kemudian menarik belatinya menjauh. Aku menghela napas, membuat gadis itu terkekeh.
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" Ulangku kemudian, berusaha tenang dan tak terlihat takut.
Tia diam sejenak, gadis itu memainkan ujung belatinya sejenak. "Mau bermain denganku?" tawarnya. Kunaikkan alisku, bingung akan ajakannya. Melihat responku Tia kemudian melanjutkan, "ayo kita memainkan sebuah game petak umpet. Aku akan mencarimu sedangkan kau harus bersembunyi selama waktu yang ditentukan. Selagi kau tak kutemukan sampai waktu habis, kau akan jadi pemenangnya, bagaimana?"
Aku mendengus mendengar jawabannya, tanganku melambai di depan wajah Tia. "Nggak, untuk apa juga aku main game itu. Dah, aku mau pulang aja kalau gitu. Lagipula sekolah hari ini jam masuknya lebih lama daripada biasanya karena rapat," ucapku kemudian. Namun, tangan Tia menarik lenganku kuat, membuat pandangan kami saling bertemu.
"Siapa yang bilang kau bisa pergi? Taruhanmu tak main-main, loh."
****
Dua setengah jam dari tiga jam. Waktu yang ditentukan oleh Tia untuk permainan petak umpetnya. Gadis itu mengancamku dengan nyawa keluargaku. Jujur saja, aku tak ingin percaya dengan ancamannya, tetapi rasa nyeri di tangan yang kudapatkan sebelum memulai permainan dan wajah tanpa eskpresinya sebelum memulai permainan menyadarkanku, bahwa dia tak main-main dengan ucapannya.
Peraturan darinya mudah. Aku bisa bersembunyi di manapun selagi masih berada di gedung kelas. Waktu permainan adalah tiga jam, dan jikalau aku tertangkap olehnya aku hanya memiliki dua pilihan. Kabur atau mati di tangannya dan dia akan segera mengincar nyawa keluargaku.
Jujur saja, aku sudah berada di ambang batas. Tia seakan-akan tahu tempatku bersembunyi, entah sudah berapa kali aku menghindar dari cengkramannya. Gadis itu selalu menyenandungkan suara-suara dari tarian kecak. Kadangkala dia pun mengucapkan narasi Ramayana.
Entah kenapa pula, tak ada seorang pun selain kami yang mendekati gedung kelas. Ditambah dengan ponselku yang kehilangan sinyal padahal tempat ini bukan wilayah yang jarang ada sinyal.
Hanya setengah jam lagi kurang, aku hanya harus bertahan selama itu.
Dengan tekat demikian aku memacu kakiku lagi. Rasa penat yang meliputi tubuh tak kupedulikan. Entah sisa beberapa puluh menit lagi, aku hanya berharap bisa kabur dari Tia. Gadis itu sudah tak waras. Saat hendak berbelok, mataku memandang sosok Tia. Gadis itu berdiri di ujung lorong. Belatinya masih tetap di tangan, meski jarak kami jauh, aku dapat melihat gadis itu mengulas senyum. Langkahnya bergema, bermula dari jalan kemudian langkahnya semakin cepat.
Aku yang sempat terpaku lantas memacu kaki. Tak kutoleh ke belakang, tawa gadis itu terdengar melengking di telingaku. Tubuhku gemetar, kendati demikian hanya ada satu pikiranku saat ini-lari keluar dari gedung kelas. Persetan dengan peraturannya, nyawaku dan keluarga yang lebih utama. Daripada terpaku pada peraturan, harusnya aku melapor saja ke pihak berwajib dari awal. Kalau tak ada sinyal, bukankah lebih baik lari ke kantor polisi langsung?
Dengan pikiran itu aku mempercepat laju lari. Tia masih cekikikan di belakangku, samar aku mendengar suara dari arah depan. Bersamaan dengan suara itu, kudengar Tia menjerit-jerit, kemudian sebuah bilah mendarat di pundakku. Rasa nyeri menyerang hingga membuatku ikut berteriak dan terjungkal. Suara yang samar-samar terdengar makin mendekat. Mataku terasa berat, kendati ingin bangkit dan kabur dari Tia yang mungkin saja mendekat, aku malah memejamkan mata lama.
****
Saat terbangun, aku mendapati diri terbaring bangsal rumah sakit. Pandanganku sempat kabur sebelum aku dapat melihat siapa-siapa saja di ruangan tersebut. Ada beberapa teman sekelas, dan orangtuaku. Tubuhku seketika gemetar, aku melotot ke seluruh arah, mencari sosok Tia.
Orang-orang di sekitarku mendekat, berusaha menenangkan. Kendati demikian aku masih gemetar hebat, di tengah situasi itu, suaraku yang bergetar keluar. "Di mana Tia? Dia nggak melukai kalian, kan?" Ucapanku membuat mereka saling melirik. Tak ada balasan, membuatku semakin tak tenang. "Jawab, dia nggak ngapa-ngapain kalian, kan?!" Masih tak ada jawaban, membuatku frustasi dan mengusap wajah kasar.
Mama yang berada di sampingku menepuk bahuku, membuat atensiku teralihkan kepadanya. Dengan wajah kebingungan, dia berkata padaku. "Siapa itu Tia? Nggak ada murid kelasmu yang punya nama Tia, Tara."
Terdiam kaku, aku memandang Mama lama. Tawaku sontak keluar, membuat satu ruangan memandangku lama. "Nggak mungkin, jelas-jelas tadi aku lari dari kejaran Tia, Ma. Dia tiga jam yang lalu mengancam akan membunuhku dan keluarga kalau tak bermain dengannya." Tak ada balasan dari Mama, membuatku makin tertawa keras. "Kalian bercanda, kan? Kalian takut aku trauma, ya? Tenang aja. Aku nggak trauma, aku harus tau gimana dia sekarang. Pasti udah ditangkap oleh polisi, kan?"
Masih tak ada jawaban. Aku memandang mereka lama, kemudian angkat suara. "Lihat, dia sampai melukai lengan dan bahu-" ucapanku terhenti saat aku meraba lengan dan bahu yang terkena belatinya. Dengan rasa tak percaya aku meraba lokasi luka berada. Tak ada luka apapun di tubuhku.
Kupandang sekali lagi Mama, meminta penjelasan. Wanita paruh baya itu memandangku lama sebelum bersuara. "Kamu di temukan di samping gedung kelas, Tar. Tak sadarkan diri setelah tiga hari hilang. Tak ada gadis bernama Tia di kelasmu, semua anak kelas sudah memberikan kesaksiannya bahwa selema beberapa minggu sejak latihan tari kecak, kamu acap kali berbicara sendiri. Sekali lagi, tak ada gadis bernama Tia, Tara."
End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro