Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tanpa kata

Selalu ada pertemuan setelah perpisahan

Seperti pertemuan uap dan air yang menjadi awan

Seperti aku dan kamu yang akhirnya melahirkan hujan

Tapi tidak akan ada pelangi setelah hujan dalam pertemuan kita

Karena rantai pengikat bahkan tidak pernah ada

Bagai kutub magnet yang saling bertentangan bukan saling menyatukan kekuatan.

Pagi yang indah di kota yang meriah. Bus-bus yang berlomba menjejalkan penumpang tanpa memikirkan bagaimana sulitnya berdiri berdesakkan. Beruntung aku mendapat tempat duduk jadi tidak perlu berhimpitan dengan penumpang lain.

"Blok M... blok M..."

Karnet bus lagi-lagi berteriak tanpa melihat kondisi di dalam bus yang sudah penuh sesak. Tak lama seorang ibu-ibu paruh baya dan wanita hamil naik dan berdiri diantara penumpang lain. Aku kasihan pada ibu itu yang memaksakan diri naik padahal sudah tidak ada tempat duduk. Aku bangkit dari tempat duduk dan menyuruh ibu hamil itu duduk ditempatku tadi.

"Silahkan duduk, bu." Kata seorang pria yang duduk di sebelahku tadi. Ku pikir dia tidak akan bangun tapi sepertinya dia masih punya hati untuk tidak membiarkan ibu-ibu tua berdiri.

Bus masih melaju dan sesekali menurunkan penumpang. Sebentar lagi giliranku turun, aku mulai mengambil ancang-ancang dengan berjalan semakin ke depan.

"Kiri Bang... Kiri..." teriaku. Tapi si abang sopir tidak berhenti juga, kepanikan mulai melandaku karena di depan sana tempat tujuanku. Akupun mulai berteriak lagi tapi, sialnya suara tape lebih kencang dari suaraku.

"Bang kiri."

Pria tadi menepuk pundak si kernet bus dan otomatis si bus pun berhenti. Dalam hati aku berterima kasih karena aku bisa sekalian turun.

Aku dan pria itu turun di tempat yang sama, dan bus langsung melaju lagi mengejar penumpang. Akhirnya bisa turun juga walaupun sudah lewat dari tujuanku seharusnya. Itulah yang menyebabkan aku malas naik bus, biasanya aku lebih suka mengunakan angkutan umum lebih mudah untuk turun.

Pria tadi berjalan di depan dengan arah yang sama denganku. Yang membuat aku dengan luluasa melihat Punggungnya  yang lebar dan pelukable, sangat nyaman jika bersandar di sana. Aku menepuk kepalaku yang tiba-tiba memikirkan tokoh dalam novel favoritku yang tak bisa ku peluk.

"Ngelamun bae." Kata bang Syamsul tepat saat aku sampai di depan ruko miliknya.

"Suka-suka," kataku cuek. Dan bang Syam begitu panggilannya hanya mendengus dan melanjutkan pekerjaannya semula.

Aku mulai membersihkan etalase toko dan menata ulang barang yang berjajar diatas lemari kaca. Sambil sedikit bernyanyi-nyanyi mengisi pagi. Inilah rutinitas yang ku jalani saat ini. Bekerja dengan samangat empat lima sambil menunggu seseorang yang menjadi vitaminku.

"Ehm." deheman seseorang membuatku mengalihkan mata dari etalsee pada si pemilik suara. Ini dia pria yang kadang kedatangannya bikin hatiku cekot-cekot tak karuan.

Namanya Farish putra, lahir di kota yang terkenal dengan pempeknya, kalau dihitung umurnya baru dua puluh lima tahun. Kenapa aku bisa tahu, karena dia pernah fotokopi KTP di tempat bang Syam. Dan secara sengaja aku membaca tanggal lahir dan statusnya. Ya aku bekerja di sebuah tempat fotokopi dan Farish adalah seorang asisten dosen di kampus yang letaknya tak jauh dari tempat ku bekerja. Entah darimana mulainya Farish sekarang menjadi penyemangatku. Dulu sebelum mengenal Farish penyemangatku adalah poster-poster besar di dinding kosanku. Tapi semejak dia datang, diam-diam aku sering memperhatikan dia dan kebiasaannya.

"Eh, mas Farish," sapaku dengan senyum tanpa malu-malu. Sudah menjadi agendaku setiap pagi menyapa dia.

Farish seperti biasa balas senyum dan dia duduk di bangku plastik depan toko. Ditangannya sebungkus gorengan dan secangkir kopi hitam yang mengepul asapnya. Farish selalu membeli kopi di warteg sebelah dan meminumnya di tempatku. Hal itu sudah dia lakukan semenjak dua bulan lalu. Awalnya aku diamkan saja, tapi karena penasaran aku tanya juga dia. Dia bilang di warteg tempatnya membeli kopi tvnya selalu menayangkan chanel gosip sedangkan tv di tempat bang Syam selalu ramai dengan berita pagi. Jadi istilahnya dia numpang nonton sambil ngopi ganteng ditemani gorengan dan Mei yanti yang hatinya deg... deg... ser.

"Mas Farish enggak ngopi disana aja, kan lebih enak bisa liat yang bening-bening," kataku, karena kemarin yang aku lihat pelayan warteg sebelah baru ganti, dan kelihatan bening.

"Air putih bening Mei."

Bang Syam menyahut dari belakang dan diamini oleh manusia di depanku dengan tawanya yang membahana. Maksud hati ingin mengoda gagal sudah.

"Mei... kamu ini ada-ada saja, ya udah saya duluan ya."

Begitulah Farish, langsung tancap gas setelah menghabiskan kopi juga gorengannya. Aku mengangguk dan mulai memakan gorengan yang dibelikan Farish untukku. Ini cuma gorengan bukan emas berlian kenapa hatiku seakan melayang.

***

Farish hari ini kelihatan tidak enak badan, dia dari tadi mondar-mandir sambil bersin sana sini. Katanya semalem dia begadang menyelesaikan tugas dari atasannya.  Aku membuatkan teh anget dari dapur bang Syam.

"Udah minum obat?" Tanyaku.

"Udah, tapi masih bersin-bersin." Keluhnya aku jadi kasian, hidung mancungnya terus disumpal pakai tisu supaya tidak mengeluarkan lendir.

"Mending ke dokter," kataku memberi solusi. Bahaya jika dia terus sakit kan, apalagi dia orang merantau sama sepertiku yang jauh dari keluarga. Jika sakit tidak ada yang mengurus jadi sebelum bertamba parah mending ke dokter.

"Saya enggak tahu dokter daerah sini Mai."

Duh ini orang enggak bisa baca ya, kan rumah sakit banyak atau kelinik banyak. Tinggal masuk priksa dan bayar, masa gitu aja enggak tahu gerutuku.

"Maksud saya dokter yang bagus, kalau rumah sakit sih emang banyak." Katanya seperti bisa membaca pikiranku.

"Masnya cenayang ya?" Ucapku sebal.

"Cenayang apaan sih Mei?" Dia terlihat bingung dengan istilahku.

"Bukan apa-apa."

Aku menyebutkan nama dokter dan klinik yang biasa aku datangi saat sakit. Dia tampak mangut-mangut, entah paham atau malah bingung.

"Ngerti?"

"Enggak"

Tuh kan dia enggak paham. Akhirnya aku mengambil kertas dan mulai mengambar denah menuju kelinik berikut rambu-rambu jalan supaya dia tidak bingung dan berakhir nyasar.

"Sudah ngerti belum," kataku.

"Udah, makasih ya, Mei."

Aku mengangguk dan dia langsung pergi bersama motornya. Walau motor bebek kalau yang mengemudi dia terlihat keren.

"Elap ilernya Mai," kata Bang Syam usil.

Aku hanya senyum-senyum tidak jelas menanggapi ucapan bang Syam. Apa aku terlalu kelihatan memperhatikannya?

***

Gara-gara kehujanan saat pulang kemarin badanku jadi sakit dan tidak masuk kerja selama tiga hari. Dan hari ini setelah benar-benar sembuh aku baru menampakan diri di toko bang Syam. Tiga hari tanpa menyapa dia membuatku merasa ada sesuatu yang kurang. Kurang ya kurang waras kau Meiyanti. Aku tertawa sendiri dalam hati.

"Bang ini bungkusan siapa?" Tanya ku pada Bang Syam, saat membersihkan etalase tadi aku menemukan plastik berlogo minimarket di seberang jalan, tidak mungkin milik bang Syam karena yang aku tahu bang Syam jarang berbelanja di sana. Jadi itu milik siapa?

"Mana Mei?" Aku menunjuk plastik yang teronggok dipojok meja.

"Itu buat kamu Mei, dari si Farish, kemarin kamu sakit jadi titip aja."

Mulutku pun menganga tidak percaya. Dan membuka plastik ada lima batang coklat didalamnya. Saat itu aku hanya bercanda meminta bayaran karena sudah memberikan informasi dokter terbaik yang aku tahu, tapi dia benar-benar memberikannya padaku.

Aku pun mengambil hape disaku celana dan membuka aplikasi Bbm. Aku langsung mengetikan ucapan terima kasih dengan emoticon smile yang menandakan aku suka coklatnya. Lima menit aku pandangi layar hape tapi dia belum membaca pesanku. Mungkin dia sibuk aku pun menaruh kembali hape ku dan melanjutkan bersih-bersih.

Gerimis mulai datang sore hari, tapi aku sudah sedia payung jadi tidak takut kehujanan seperti kemarin. Sejam lagi toko tutup dan aku bisa pulang.

"Udah sembuh, Mei?" Tanya Farish.

Huh dia datang sore begini tumben sekali.

"Iya udah sembuh, makasih ya coklatnya," ucapku karena pesanku hanya dibaca olehnya.

"Sama-sama, saya kan sudah janji jadi saya belikan untuk kamu," ucap nya dengan senyum lebih lebar dari biasanya.

Jantung dan hatiku bertambah berdebar melihat senyum Farish yang seperti itu. Bahkan coklah rasanya kalah manis dari senyum Farish kali ini. Ada apa dengannya, kenapa terlihat sangat senang.

"Lagi seneng ya?" tanyaku penasaran. Kadang apa yang terpikir oleh otakku langsung meluncur dimulutku tanpa terkontrol. Aku terlihat seperti orang yang selalu ingin tahu.

"Kok tahu sih, Mai cenayang ya? Saya sudah tahu cenayang itu apa Mai," ucapnya bangga sekali.

Aku tertawa menanggapinya. Apa segitunya dia sampai mencari tahu cenayang itu apa, dasar aneh.

"Eh Rish udah dateng, si Mei bukan bilangin malah anteng aja." Bang Syam datang dari belakang dan langsung menegurku.

"Ye, Mei kan enggak tahu bang Syam nungguin mas Farish," ucapku pada bang Syam.

"Tumben emang ada apa sih?" Tanyaku penasaran, karena tidak masuk tiga hari aku jadi ketinggalan berita seperti ini.

"Nih Rish udah jadi."  Bang Syam memberikan setumpuk undangan pada Farish.

"Makasih bang."

"Undangan?" Tanyaku bingung. Untuk siapa Farish mencetak undangan.

"Baca dong Mei," ucap Farish menyerahkan satu undangan padaku.

Mulutku mulai mengeja huruf yang tertera pada depan undangan dengan benar. Aku tidak salah, mataku tidak sedang bermasalah, undangan itu milik Farish, berarti Farish akan menikah, karena itu bukan undangan sunatan atau akikah. Oh rasanya Meiyanti ingin pingsan di tempat.

"Mei, bantuin ya." Farish mengeluarkan stiker yang sudah ditulisi nama dan alamat yang akan di tempel pada muka undangan.

"Mei kamu denger saya, atau kamu sudah mau pulang?"

"Rish biar gue yang bantuin, si Mei mau gue suruh pulang kasian bentar lagi ujan," kata bang Syam.

Dalam hati aku berterima kasih pada bang Syam yang mewakili penolakanku. Apa jadinya jika aku berlama-lama dengan Farish sedangkan hati sudah tak karuan. Biasanya aku menikmati cenat-cenut hatiku saat bersamanya. Tapi saat ini aku justru ingin mengeluarkan seluruh isi perutku.

"Oh Mei mau pulang, saya antar ya Mei."

"Eh enggak usah, Mei bisa pulang sendiri."

Dan setelah itu aku mengambil tas ku dan langsung berpamitan pulang, biar bang Syam nanti yang menutup toko. Aku tidak lagi menatap Farish yang terlihat bingung dengan sikapku. Kalau Farish itu cenayang harusnya dia tahi ada apa dengan diriku saat ini. Namun sayannya Farish hanya seorang manusia biasa yang terlewat sempurna dimataku.

Hanya karena kebaikannya aku kira dia sama denganku. Ternyata dia hanya pria yang terlalu ramah dan keramahannya disalah artikan olehku susahnya menjadi perempuan yang selalu menggunakan perasaan dan berpatok pada novel-novel roman. Mungkin selama ini aku mengaguminya hingga tak sadar sudah kebablasan yang berakibat fatal untuk hatiku.

Embun yang sudah menumpuk di pelupuk mataku pun jatuh, meski sudah kutahan sekuat tenaga. Aku tidak mau menjadi tontonan penumpang kendaraan umum yang saat ini ku naiki.

Kenapa rasanya lama sekali sampainya? Aku ingin segara mengeluarkan emosiku di kamar kosan ku yang sempit namun nyaman. Air mata bodoh ini juga terus turun tanpa jeda, membuatku malu saja. Tiba-tiba sebuah sapu tangan terulur padaku. Saat ku dongakan kepalaku, dia tersenyum. Dia pria yang punggungya pelukable yang sempat ku kagumi.

"Makasih mas, enggak usah," tolakku halus, sambil mengeluarkan tisu dari dalam tas.

Pria itu mungkin sama dengan Farish yang terlalu ramah, aku tidak mau menjadi korban perasaan ku sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro