Part 6
"Kau yakin akan tetap memakai itu? Apakah menurutmu rokmu tidak terlalu pendek?"
Untuk yang entah keberapa kalinya Melisa bertanya pertanyaan yang sama. Dan jawabanku tetap sama. Tidak.
"Pantatmu hampir kelihatan Tania," katanya, sambil terus memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah. "Lagi pula...di luar uadaranya dingin kalau malam, kau tidak takut masuk angin?"
Yah, malam ini kami akan pergi ke pasar malam, seperti rencana kami tadi siang. Dari tadi Melisa tidak henti-hentinya mengoceh tentang rokku yang terlalu pendek. Kuakui rokku memang pendek, tapi dijakarta aku sudah biasa berpakaian seperti ini. Mungkin bagi gadis polos sepertinya, belum pernah perpakaian yang terbuka seperti yang kukenakan saat ini. Apalagi kakaknya, Jefry, pasti akan murka bila itu terjadi.
Tapi ini aku. Tania Robert. Si wanita jalang yang sudah tidak perawan sejak berusia 18. Selalu melakukan apa pun yang disuka, tidak peduli sekalipun itu hal yang terlarang.
Aku memeriksa penampilanku sekali lagi di cermin. Kemeja warna merah muda yang ujungnya kuikat sehingga memperlihatkan sedikit kulit pinggang dan perutku yang putih mulus, rok jins yang kata melisa terlalu pendek---hampir dua jengkal di atas lutut, rambut panjang sepinggang-ku kubiarkan tergerai, sedikit make-up di wajah, dan yang paling penting sepatu bot sexy-ku.
Yeah, penampilan yang sangat fantastis. Memang sedikit berlebihan hanya untuk pergi ke pasar malam. Tapi peduli setan dengan itu semua. Aku punya firasat kalau Nicholas akan ada di sana malam ini. Dan akan ku pastikan dia terpesona pada pandangan pertama padaku.
"Jangan khawatirkan aku, aku akan baik-baik saja. Di jakarta aku sudah biasa berpakaian seperti ini," kataku padanya. Sekarang gantian aku yang memperhatikan penampilannya.
Tidak jauh-jauh dari penampilan gadis remaja biasanya. Kaos longgar biru muda dipadukan dengan celana jins serta flat shoes. Yah, walau begitu dia tetap manis.
Beberapa menit kemudian, setelah Melisa menyerah dengan argumennya, kami siap berangkat. Jefry sudah menuggu kami di luar, dia berkeras untuk mengantar. Satu lagi manusia yang sangat berlebihan. Setelah kalimat ''tidak aman bagi wanita berkendara di tengah kesunyian ladang" keluar dari mulutnya, aku berpikir tidak ada gunanya berdebat.
Jefry tidak dapat menyembunyikan reaksi terkejutnya saat melihat penampilanku, tapi dia lebih pintar dari adiknya. Dia memutuskan tetap menutup mulutnya dan tidak berkomentar apapun. Kata Melisa, abangnya itu sudah punya tunangan dan akan menikah tiga bulan lagi. Selamat untuknya.
***
Tidak lama kemudian, akhirnya kami sampai. Setelah berjanji akan menelepon Jefry bila kami mau pulang, kami turun dari mobil dan Jefry pergi. Katanya ingin menemui tunangannya.
Saat sudah turun dari mobil, angin malam langsung terasa berhembus menerpa tubuhku. Ternyata Melisa tidak bohong, udaranya memang dingin.
Pasar malam-nya tidak seperti perkiraanku sebelumnya. Banyak pedagang menjual berbagai barang dagangan yang memenuhi setiap sudut tempat. Berpasang-pasang pria dan wanita bergandengan tangan, anak-anak berlarian, ada juga yang naik wahana. Suara bising musik entah darimana membaur dengan suara berisik orang-orang, menjadikan tempat itu benar-benar ribut. Kalau dilihat dari sunyinya kampung ini, aku tidak percaya bahwa suasananya akan seramai ini. Benar-benar ramai sekali.
Melisa nyengir-nyengir di sebelahku, tampak sangat antusias melihat keramaian di sekitarnya. "Ini malam minggu, semua orang keluar untuk menikmati pasar malam ini. Orang-orang yang ada di sini bukan hanya berasal dari kampung ini saja, tapi banyak juga yang datang dari kampung sebelah," gumam Melisah, menjawab keherananku.
Saat kami mulai berjalan ke tengah-tengah kerumunan, berpasang-pasang mata menoleh pada kami. Aku tidak tahu siapa yang jadi objek penglihatan mereka. Tapi, bila menilai dari penampilan kami berdua, penampilankulah yang paling mungkin menjadi sorotan. Banyak pria yang memandang terang-terangan dengan tatapan yang tidak senonoh. Walau sudah ketahuan, tetap tidak mau mengalihkan tatapannya.
Dasar buaya.
"Semua orang memandang kita," Melisa berbisik, masih sambil berjalan dan semakin mendepetkan tubuhnya dengan tubuhku dari samping karena merasa tidak nyaman.
"Jangan pedulikan mereka, tetaplah berjalan. Perhatikan langkahmu, jangan sampai terjatuh," kataku datar, mencoba menenangkannya. Bagiku, keadaan seperti ini---menjadi bahan sorotan, sudah biasa, apalagi dengan penampilan yang mirip wanita sialan haus belaian ini. Namun berbeda dengan gadis di sebelahku ini.
"Kau mau minum?" tanyaku padanya, kemudian menarik tangannya menuju stand penjual minuman. Kami menduduki salah satu meja yang kosong, ada empat kursi di setiap meja.
Aku memandang ke sekitar, ada tiga meja di stand ini dan hanya tersisa meja kami yang kosong, selebihnya telah berisi. Semuanya para pria yang sedang asik mengobrol, menikmati akhir pekan mereka.
"Kau mau minum apa? Biar aku belikan," tawarku pada Melisa. Dia masih terlihat kurang nyaman dengan perhatian berlebihan orang-orang yang di arahkan pada kami. Tapi, aku bisa melihat dia berusaha mengontrol dirinya.
Ck, Jefry seharusnya tidak terlalu mengekang adiknya. Melisah menjadi gadis yang kurang percaya diri sekarang, padahal dia bukan gadis yang jelek. Tampaknya, aku harus segera merubah hal itu.
"Terserah padamu saja, kupikir soft drink, juga boleh."
"Oke," aku berdiri dari kursiku dan berjalan untuk memesan minuman. Aku melangkahkan kaki indahku tanpa memperdulikan tatapan pria-pria yang semakin berani ke arahku. Saat aku baru akan memesan, seorang pria yang tadi ngobrol di meja sebelah kami tiba-tiba sudah ada di sebelahku, berdiri terlalu dekat.
"Hai," pria itu memandang ke arahku dengan senyuman yang lumayan menawan.
"Hai juga," balasku datar, tidak terlalu tertarik dengannya. Aku menyebutkan minuman yang kuinginkan pada wanita pemilik stand.
"Aku baru pertama kali melihatmu di sini, apa kau orang baru?" tanyanya, kemudian menyebutkan minuman yang ingin dibelinya saat wanita pemilik stand bertanya minuman apa yang mau di belinya.
Aku mengangguk. "Gadis itu," aku menunjuk dengan daguku ke arah Melisa, yang sedang melihat ke arah kami dengan serius dan ingin tahu. "Kau kenal dia?"
"Ya. Dia Melisa adiknya Jefry, kan?"
"Dan aku sepupunya."
"Oh." Matanya mulai memandang ke bawah, berlama-lama di pahaku yang terbuka karena rok pendekku, kemudiam dia menggaruk selangkangannya.
Dasar bajingan. Buaya.
Saat aku akan membayar minumanku, pria di sebelahku sudah lebih dulu membayarkannya untukku. Katanya sebagai salam perkenalan.
Salam perkenalan apaan?
Tapi lumayan, dapat minuman gratis.
"Terimakasih....,"
"Denis, namaku Denis."
"Oh, oke, Terima kasih Denis," kataku, sambil melontarkan senyuman manis ke arahnya, sengaja menggigit bibir bawahku dengan gaya menggoda biar dia makin on. Kemudian aku melihat dia menjilati bibirnya.
Uh, oke. Cukup sudah.
Aku kembali ke meja kami, menyerahkan satu minuman pada Melisa.
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Tidak ada yang penting". Aku membuka minumanku, kemudian meminumnya. Melisa juga melakukan hal yang sama.
Dia meneguk minumannya kemudian berkata, "kelihatannya dia menyukaimu." Dia kembali meneguk minumannya.
"Tentu. Dia ingin masuk ke celana dalamku," kataku datar, aku melihat ada anak lelaki kecil, kira-kira 4 tahun di depan kami, menangis karena tidak di izinkan naik wahana kapal-kapalan oleh ibunya. Saat aku tidak mendengar suara apapun dari Melisa, aku mengarahkan tatapanku ke arahnya. Ternyata dia sedang menganga.
"Aku tidak mengerti," jawabnya melongo. Mungkin syok mendengar kata celana dalam disebutkan.
Aku tertawa melihat reaksinya. Dia benar-benar masih polos. "Kau tidak perlu mengerti, bukan hal yang menarik untuk dibahas." Melisah mengangguk, lalu melanjutkan meminum minumannya.
Beberapa saat setelah meletakkan kaleng minumannya yang sudah kosong di atas meja, Melisa kembali melongo. Tapi kali ini bukan karena ucapanku, melainkan karena sesuatu yang ada belakangku. "Dia datang," gumamnya pelan. "Dia benar-benar keren."
Apaan sih?
Aku hendak membalikkan badan, ingin melihat siapa yang dimaksud oleh Melisa, tapi Melisa menarik bahuku---mencegahku menoleh ke belakang.
"Jangan melihat ke belakang. Sekarang Dia sedang menatapmu dengan sangat intens," bisiknya dengan nada suara yang lirih.
"Memangnya siapa yang sedang melihat ke arahku?" Aku benar-benar penasaran. Kalau Melisa sampai melongo, itu berarti orang ini sangat penting. Soalnya dari tadi sudah banyak yang menatap ke arahku, dan dia tidak menunjukan sikap lain selain ketidaknyamanan dan tidak suka.
"Bang Nicholas."
"WHAT?" Kataku dengan suara melengking. Tidak bisa megendalikan tubuhku, aku menoleh ke belakang, tidak memperdulikan peringatan Melisa di depanku.
Dan di sanalah dia, berdiri di depan meja stand pembelian minuman tempat aku membeli minuman tadi. Berdiri menghadap ke arah kami, matanya memandang tepat ke arahku tanpa merasa canggung sama sekali. Seolah dia memiliki stok pengendalian diri yang tak terhingga. Melisa benar, tatapannya intens, seakan ingin menyelidiki seluruh bagian tubuhku hanya dengan sebuah tatapan.
Tiba-tiba, udara malam yang sebelumnya tidak terlalu terasa kini seakan menusuk hingga ke tulang-tulangku. Dialah Nicholas, pria tampan di dalam mimpi erotisku. Cahaya lampu di tempatnya berdiri sangat terang, sehingga aku bisa melihatnya secara keseluruhan dengan jelas.
Dia sialan tampan. Bahkan lebih tampan dari yang ada di mimpiku.
Masih belum memutuskan kontak mata kami, dia mengambil minumannya kemudian membayar, gayanya sangat elegan. Dia terlihat sangat nyaman dengan dirinya, terlihat berkuasa dan angkuh.
Sama seperti saat aku selesai bermimpi dulu, aku merasakan semacam ikatan dengannya. Seperti maghnet yang terus tertarik olehnya. Apakah perasaan ini normal?
Malam ini dia mengenakan kemeja dark blue, lengannya digulung sebatas siku, memperlihatkan lengan kecoklatannya yang berotot. Tubuhnya benar-benar kekar, kakinya panjang terbalut celana jins warna hitam.
Oh, Nicholas. Kenapa kau harus setampan ini?
Setelah sekian menit yang terasa sangat lama, dia akhirnya memalingkan wajah dan pergi dari meja stand.
Aku menghembuskan napas yang tanpa sadar kutahan dari tadi, kemudian kembali menatap ke arah Melisa. Dia tersenyum-senyum, senyumnya sangat lebar.
"Bagaimana? Dia tidak buncit, kan....dan tentu saja dia tidak terlihat tua."
Melisa benar. Aku jadi merasa sangat konyol saat bertanya seperti itu kemarin.
Melisa menepuk paha dengan kedua tangannya, kemudian berdiri. "Baiklah. Cukup sudah acara terpesona-terpesonanya untuk saat ini. Aku ingin naik wahana-wahana yang ada di sini, kau mau ikut?"
Aku menggeleng, masih belum pulih dari keterpesonaanku, "kau saja duluan, nanti aku menyusul."
"Dia ganteng, kan?" Melisa mengerlingkan matanya padaku, menggoda, kemudian pergi berjalan ke wahana yang ingin di naikinya.
Setelah Melisa pergi, aku mengedarkan pandanganku ke sekitar untuk mencari keberadaan Nicholas. Dimana dia? Sudah ke seluruh sudut mataku mencari, tapi dia tetap tidak kelihatan.
Apa dia sudah pergi?
Tapi tiba-tiba terdengar suara berat dan serak di depanku, "Apakah kau mencariku?"
Mendengar suara itu, aku langsung menoleh ke depan dan memandang tepat ke manik matanya. Tampaknya aku ketahuan sedang mencari-carinya. Tiba-tiba udara seakan menipis di sekitarku, aku sulit bernapas. Aku tidak siap dengan itensitas tatapan matanya yang begitu dekat dan tajam.
Sialan. Ada apa dengan tubuhku?
Tapi kemudian aku berhasil mengendalikan diriku, berusaha terlihat tidak terpengaruh dengan keberadaannya di dekatku. Aku benci dengan tubuhku yang berkhianat, saat logikaku menyuruh pergi dan meninggalkannya sebelum semuanya bertambah runyam. Aku melihat Melisa sedang berada sangat jauh dariku, dia tidak mungkin bisa mendengar suaraku walaupun aku berteriak.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"Apa maksudmu?" Bagus. Aku berhasil membuat nada suaraku sangat datar.
Dia tersenyum sinis padaku, "Jangan coba pura-pura tidak tahu. Aku sudah mendengar apa yang kau lakukan pada pekerjaku tempo hari di tanah milikku."
Apa dia bercanda? Memangnya apa yang telah kulakukan pada pekerjanya?
Oh, 'binatang berhenti di tengah jalan' itu ternyata pekerjanya? Yah, aku hanya sedikit merayunya supaya kami bisa lewat.
"Aku sangat tahu sifat wanita sepertimu. Kau memakai pakaian kurang bahan yang bahkan belum selesai di jahit," katanya mencemooh ke arahku, kemudian melanjutkan "kau merayu pria untuk membelikanmu minuman, melihat ke arahku seakan ingin memakanku."
Apa tidak salah? Bukannya dia yang seperti itu tadi?
"Dan kau mencari-cariku tadi. Jangan menyangkal! Sekarang tatap mataku dan katakan apa yang kau inginkan dariku?" Dia sangat tegas dan terkendali. Aku jadi ragu akan keberhasilan misiku ini.
Sialan.
Seperti perintahnya, aku menatap kedua matanya---yang sangat gelap, sama seperti yang di dalam mimpiku. Tapi, ternyata menatap matanya adalah tindakan yang salah. Bola matanya yang hitam segelap malam membuatku semakin teringat dengan mimpi itu, sorot matanya saat mengatakan 'ingin merasakan bibirku di bibirnya' terulang-ulang di benakku, membuatku membisu tak mampu berbicara.
"Katakan!" Dia mendesak.
Sebelum otakku bisa berpikir normal, bibirku sudah terlebih dulu berbicara,
"Aku ingin bercinta denganmu."
Mendengar kata-kataku, bukan hanya dia yang terkejut, aku juga sangat terkejut. Kalimat itu keluar dari mulutku dengan nada yang pasti dan tak tergoyahkan. Sepertinya aku ingin bumi menelanku sekarang juga.
Oh, sialan. aku malu sekali.
"Apa kau mabuk?"
Brengsek. Aku juga berharap begitu.
Vote dan coment di tunggu.
Thank you
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro