Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20

Sial.

Kenapa cepat sekali waktu berjalan?

Buru-buru aku merapikan kue ke dalam kotak kertas kemudian masuk ke dalam kamar untuk mulai bersiap-siap. Aku ingin tampil secantik mungkin untuknya.

Setengah jam waktu terbuang hanya untuk mengobrak-abrik isi lemari pakaianku, tetapi tetap tidak menemukan satu pun pakaian yang bagus untuk kupakai. Semuanya hanya celana jins pendek dan kaos, memang ada satu gaun, tapi itukan sudah kupakai saat kencan pertama kami. Aku menyesal tidak membawa satu pun gaunku dari jakarta, sekarang apa yang harus kulakukan? Kalau mau beli mana sempat, dan tidak mungkin aku memakai celana pendek kekurangan bahan itu. Bisa-bisa nanti Nicholas bukannya senang malah semakin marah padaku.

Huft, aku terduduk lemas di atas tempat tidur, kemudian menatap seluruh kekacauan yang kutimbulkan dan hal itu membuatku tambah pusing.

"Ya Tuhan. Apa yang terjadi di sini? Apakah terjadi gempa lokal di kamarmu?" Melisa dengan memegang cemilan di tangannya bertanya sambil berjalan masuk ke kamarku dan terkejut dengan apa yang dilihatnya. Baju-baju berserakan dan tampak sangat kacau, sekacau hati dan pikiranku saat ini.

"Tidak ada yang bisa kupakai," bisikku lirih menatap kearahnya.

Melisa mengambil satu-satunya gaun yang ada di atas tempat tidur, dan melebarkannya. "Yang ini cantik".

"Itu sudah kupakai pada saat kencan pertama kami," kataku tidak berselera.

"Hhmm...sebentar ya, aku punya satu," gumam Melisa tidak jelas kemudian keluar dari kamarku. Beberapa saat kemudian dia datang dengan membawa sebuah gaun di tangannya.

"Ini. Pakailah supaya wajahmu tidak cemberut lagi," ucapnya sambil memberikan gaunnya padaku.

Kemudian aku melebarkannya di depanku lalu tersenyum senang, gaunnya sangat manis. Berwarna cream lembut, berpotongan ketat di pinggang dan melebar di bagian bawahnya, ada beberapa bunga mawar kecil di sekitar leher mempermanis gaun yang panjangnya selutut ini. Tapi masih ada label merk-nya?

"Gaun ini masih baru?" tanyaku padanya dengan nada sedikit tidak percaya.

"Aku membelinya untuk kencan dengan pacarku, tapi kalau karena gaun itu masih baru kau jadi merasa tidak enak kau bisa menggantinya nanti. Tidak masalah buatku," katanya sambil tersenyum.

Aku melompat-lompat kegirangan. Akhirnya. Akhirnya aku bisa bertemu dengan Nicholas dengan gaun yang cantik.

"Hei, kau jangan loncat-loncat. Kau sedang hamil, Tania."

"Ups," gumamku malu dan berhenti loncat-loncat, tapi senyum bahagia tidak bisa hilang dari bibirku. "Terima kasih, kau malaikat penyelamatku," gumamku sambil memeluknya.

"Aku senang bisa membantu, cepatlah bersiap kalau kau tidak mau kemalaman."

Saat Melisa sudah pergi aku masuk ke dalam kamar mandi kemudian berendam dengan sabun yang baunya sangat harum buatku, harum bunga mawar yang sangat memikat. Aku ingin Nicholas melihatku dalam penampilan terbaiku apalagi Saat kami bercinta nanti.

Aku memainkan buih-buih sabun sambil tersenyum membayangkan percintaan yang akan kami lakukan nanti, wajahnya yang puas setelah mendapatkan pencapainnya sudah mampu membuatku terangsang. Apalagi saat hamil sekarang, rasanya aku ingin sekali merasakan Nicholas di dalamku, mencumbuku, membelaiku dan membawaku ke puncak kenikmatan.

Setelah selesai berendam aku memakai gaun yang diberikan Melisa tadi. Sangat pas di tubuhku karena aku dan Melisa memiliki ukuran baju yang hampir sama, dan aku bersyukur akan hal itu.

Aku duduk di kursi untuk mulai merias wajahku, tapi aku sedih melihat penampakan wajahku yang ada di cermin. Wajahku pucat dan raut kelelahan terlihat jelas. Aku berusaha menutupinya dengan memakai riasan, berharap dapat menghilangkan semua itu. Aku memakai anting mutiara kecil yang menggantung indah di telingaku dan kalung emas yang manis di leherku yang putih kemudian tidak lupa cincin pertunanganku---cincin yang Nicholas berikan untukku. Rambutku kubiarkan tergerai karena sudah tidak sempat untuk menatanya.

Setelah selesai aku memakai sepatu bertumit rendah yang bertali-tali, tali-talinya melingkar indah di kakiku yang mulus.

Kemudian aku mengambil tas tangan yang warnanya sesuai dengan gaun yang kupakai, lalu sekali lagi aku memeriksa penampilanku di depan cermin.

Tanganku mengelus pelan gaun yang kupakai, aku sedih melihat bagaimana aku terlihat di dalam cermin. Padahal aku sudah berusaha membuat penampilanku menarik, tapi tampaknya tidak terlalu berhasil. Aku baru menyadari kalau tubuhku bertambah kurus dan terlihat sangat menyedihkan. Apakah Nicholas masih mau dengan wanita sekarat sepertiku?

Tapi buru-buru aku menepis pikiran burukku itu, Nicholas tidak mungkin meninggalkanku, kan? Lagipula saat ini aku sedang mengandung anaknya, perasaan cintanya pasti akan bertambah untukku.

Aku menghela napas panjang. Kuharap juga begitu.

Tidak mau lama-lama melihat diriku yang sakit di depan cermin, aku melangkahkan kakiku keluar kamar. Aku menuju dapur untuk mengambil kue yang sudah kumasukkan ke dalam kotak sebelumnya beserta dengan lilin ulang tahun di dalamnya.

"Kau sudah akan pergi?" tanya Melisa.

"Hhmm," aku mengangguk. "Bagaimana penampilanku?" tanyaku pelan. Aku tahu seharusnya tidak perlu bertanya lagi, aku sendiri sudah melihat. Tapi meski begitu aku ingin mendengar seseorang mengatakan padaku walau aku tampak kacau tapi tetap memesona, karena kalimat itu akan memberiku semangat lebih untuk bertemu dengan Nicholas.

"Kau pucat, Tania," kata Melisa pelan.

"Aku tahu," bisikku sedih.

"Tapi itu tidak masalah, Kau yakin mau naik motor? Tidak lebih baik kalau bang Jefry saja yang mengantarmu?"

Satu hal lagi yang menjadi perdebatan kami, keputusanku untuk naik motor malam ini. Jefry dan Melisa sangat tidak setuju dengan keputusanku itu. Mereka khawatir terjadi sesuatu padaku, selain aku yang sedang dalam keadaan kurang sehat aku juga tidak terlalu pandai naik motor. Tapi aku tetap pada keputusanku, aku ingin pergi sendiri. Kalau aku naik motor aku bisa pulang sendiri, kalau-kalau Nicholas tidak menerimaku lagi.

"Kalau kau sudah memutuskan, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang penting kau harus hati-hati, jangan sampai terjadi hal seperti yang kau alami dulu."

"Baiklah aku akan hati-hati."

Kemudian aku meletakkan kotak kueku dibawah, kebetulan motor Melisa punya ruang yang datar tepat di tempat pijakan kaki. Hingga memungkinkan meletakkan barang di sana. Lalu aku naik ke atas motor dan menyesuaikan letak dudukku supaya nyaman kemudian mulai menjalankan motorku.

aku melaju dengan lambat dan kaku karena kue yang ada di dekat kakiku. Udara malam musim dingin terasa menusuk ke tulang-tulang, membuatku mengigil. Jalanannya sedikit becek karena diguyur hujan tadi pagi, dan untuk menghindari genangan air aku sudah beberapa kali hampir jatuh.

Sebuah mobil melaju kencang dari arah depan, mobil itu tidak memelankan lajunya meski sudah ada peceran di depannya sehingga membuat air itu muncrat ke arahku. Sontak aku berhenti karena ulah pengendara sialan itu, tapi tanpa rasa bersalah mobil itu terus berjalan.

Kemudian aku melirik kotak kueku. Oh, tidak.

Ada percikan air dikotaknya, buru-buru aku membersikan noda yang ada. Karena tidak membawa saputangan, aku menggunakan bawah gaunku untuk melapnya. Biarlah gaunku sedikit kotor daripada kuenya yang kotor. Aku tidak mau kue yang sudah kubuat capek-capek jadi rusak.

Setelah selesai aku melajukan motorku kembali, masih dengan perasaan yang sedikit kesal pada pengendara mobil tadi. Tapi beberapa saat kemudian aku berusaha menghilangkan kekesalanku itu karena sebentar lagi aku akan tiba di rumah Nicholas.

Setelah sampai di pintu gerbang rumah Nicholas aku berhenti untuk bertanya pada satpam apakah Nicholas ada di rumah. Dan jawaban pak satpam membuatku senang karena katanya Nicholas tidak keluar satu harian ini---dia ada di rumah.

Beberapa saat kemudian aku sampai di depan rumah Nicholas, keadaannya masih sama seperti saat aku pertama kali datang ke sini. pekarangannya masih sangat indah ditumbuhi bunga-bunga yang cantik.

Mematikan mesin motor, aku membawa kueku ditangan kanan dan tas di tangan kiri, tapi karena terasa repot kemudian aku meninggalkan tasku di dalam bagasi.

Hanya dengan membawa kue di tangan aku melangkah kearah pintu kemudian menekan bel.

Aku tidak tahu kenapa aku sangat gugup saat akan bertemu dengannya. Padahal kami sudah sering bercinta dan sebentar lagi akan ada bayi di antara kami, tapi kenyataan itu tetap tidak bisa menghilangkan kegelisahan di dalam hatiku.

Bagaimana nanti reaksi Nicholas saat melihatku? Saat mengetahui kehamilanku? Apa yang akan kulakukan saat sudah bertemu dengannya? Dan bagaimana kelangsungan hubungan kami, aku takut memikirkannya.

Tiba-tiba semua pikiran positif yang ada di pikiranku menguap, aku sedikit mual karenanya.

Kemudian pintu terbuka, memperlihatkan mbok Sum pembantu-nya Nicholas. Aku mengernyit bingung, bukannya mbok Sum datang setiap pagi dan pulang saat soreh? Kenapa sampai malam dia masih ada di sini.

"Mbok, Nicholas ada di rumah?" Meski aku sudah bertanya pada satpam tapi aku perlu memastikan sekali lagi.

Untuk waktu yang sangat singkat wajahnya terlihat terkejut melihatku tapi kemudian wajahnya kembali seperti semula.

"Ada Non, satu harian ini mas Nicholas tidak keluar dari kamarnya." Gumamnya sambil menyuruhku masuk.

"Nicholas sakit?" tanyaku khawatir.

Dia menggeleng. "Mbok tidak tahu, Non. Akhir-akhit ini Mas Nicholas sangat aneh, kerjanya mabuk-mabukan terus. Sedikit-sedikit marah dan melemparkan barang-barang. Sudah banyak sekali barang yang dipecahkannya."

Aku sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Mbok Sum, ada apa dengan Nicholas. Aku sudah sangat ingin bertemu dengannya, rasa rinduku sudah tidak tertahankan lagi.

"Apakah tidak ada yang tahu ada apa dengan Nicholas?" tanyaku pelan.

"Tidak ada, Non. semalam saja waktu ibu dan Bapak datang untuk melihatnya, dia malah marah-marah. Non Mala juga datang semalam membawa kue ulang tahun karena Mas Nicholas tidak mau diajak keluar untuk makan malam bersama."

Deg.

Nama itu lagi. Mala.

Ternyata dia datang tepat di hari ulang tahun Nicholas, bukan sepertiku yang sudah sangat terlambat.

"Itu Non bawa apa?" tanya Mbok Sum sambil melirik ke arah kotak kue yang kubawa.

"Oh, ini kue untuk Nicholas." ucapku malu sambil tersenyum.

"Ya udah, Non langsung masuk saja pintunya tidak dikunci karena Mas Nicholas setiap menit selalu saja ada yang dimintanya. Kalau tidak minuman keras ya rokok, mbok sedih melihat Mas Nicholas sekarang."

Napasku tercekat. Ya, Tuhan. Apa yang sudah terjadi pada laki-lakiku. Apa yang membuatnya seperti ini? Nicholas bilang dia merokok hanya kalau sedang stres. Apakah saat ini dia sedang stres? Tapi kenapa dia stres.

Saat berada di depan pintu kamar Nicholas aku menguatkan hatiku untuk menerima apa pun yang akan terjadi di dalam. Aku akan memberinya penjelasan dan meminta maaf atas kesalahan yang telah kuperbuat, walau menurutku sebenarnya aku tidak salah, aku tidak menghianatinya. Tapi demi cintaku padanya biarlah aku meminta maaf.

Aku menekan handle pintu kemudian mendorongnya perlahan, setelah masuk aku menutup pintu di belakangku. keadaan di dalam kamar Nicholas sangat membuatku terkejut. Botol-botol minuman beralkohol dan puntung-puntung rokok berserakan di seluruh kamar. Banyak dari botol itu yang sudah pecah dan meninggalkan serpihan-serpihan beling yang sangat berbahaya.

Hatiku sesak melihat semua ini, aku merasa seperti kekasih yang sangat tidak berguna. Priaku menjadi tak terkendali seperti ini tapi aku sama sekali tidak tahu. Dan dadaku semakin perih saat melihatnya terbaring di atas tempat tidur, sebelah tangannya menutupi matanya dan sebelah lagi memegang botol minuman keras. Apakah dia sesakit ini? Apakah semua ini karenaku? Apa yang telah kulakukan padanya?

"Nicholas...," bisikku lirih, aku memeluk kueku dengan erat di perutku. Sekuat tenaga aku menahan tangis, aku tidak sanggup melihatnya seperti ini.

Dengan sangat perlahan Nicholas mengangkat tangan dari kepalanya. Dia menoleh ke arahku kemudian duduk, pandangan matanya sangat dingin padaku.

"Akhirnya kau datang." katanya dengan nada yang sangat datar, tidak ada cinta di dalam suaranya. Tidak lagi ada cinta di matanya.

Aku terkesiap melihat wajahnya yang sangat....aku tidak bisa mengatakannya. Matanya merah dan tampak sayu, wajahnya kusut dan rambutnya sangat berantakan. Bibirnya juga bertambah coklat sejak terakhir aku melihatnya. Oh, Nicholas. Berapa banyak rokok yang telah kau hisap?

Aku sangat ingin memeluknya, memberi sedikit kekuatan yang kupunya. Aku meletakkan kueku di atas meja kemudian dengan tergesa-gesa melangkah ke arahnya.

"Berhenti. Jangan coba mendekat padaku," katanya dengan penuh kesinisan.

Langkahku terhenti mendengar perkataannya. "ke...kenapa Nicholas?" Bisikku lirih, air mata sudah membasahi pipiku. "Aku ingin memelukmu."

"Jangan!"

Aku tidak memedulikan larangannya, kembali kulangkahkan kakiku mendekat padanya, pada cintaku yang sudah sangat kurindukan.

"KAU TULI SIALAN? KUBILANG JANGAN MENDEKAT PADAKU. AKU TIDAK SUDIH KAU SENTUH DENGAN TUBUHMU YANG KOTOR."

Napasku menjadi sesak, hatiku seakan terpilin pisau yang sangat tajam. Nicholas membentakku dengan penuh kebencian yang hampir tidak sanggup kuterima.

"Kenapa Nicholas? Apa salahku?" suaraku sudah tidak jelas akibat isak tangis yang keluar dari bibirku.

"Tidak. Bukan kau yang salah, akulah yang salah karena mencintai wanita murahan sepertimu."

Sungguh, seandainya ada yang menusuk jantungku rasa sakitnya pasti tidak sebanding dengan apa yang dikatakan Nicholas barusan. Tubuhku seakan mati rasa, aku mematung dan membisu.

"Kenapa diam? Kau sudah puas tidur dengan semua laki-lakimu?
"Apa yang kau katakan Nicholas? Aku tidak mengerti?"

Aku terkesiap saat Tiba-tiba Nicholas melemparkan botol yang ada di tangannya ke dinding, botol itu pecah dan isinya berceceran membasahi dinding juga lantai.

"KAU JANGAN PURA-PURA TIDAK TAHU."

Detik berikutnya tangisku pecah, jari-jariku memilin-milin gaunku. "Kumohon jangan berteriak padaku, Nicholas. Aku takut."

"Aku tidak akan tersentuh dengan air matamu. Kau benar-benar perempuan ular, sengaja merayuku untuk mendapatkan tanahku. Tapi sekarang aku sudah tahu siapa kau sebenarnya dan kuharap kau tahu diri. Aku menyesal pernah mencintaimu."

"Aku tidak tidur dengan siapa pun sejak bersamamu, aku tidak bohong Nicholas," tutur lemah diiringi tangis. Aku takut, aku sangat takut kehilangannya. Kenapa Nicholas bisa berpikir seperti itu tentangku.

"Kau mau menyangkal kalau kau datang ke sini untuk mendapatkan tanahku???"

"Pada awalnya...memang...."

"Cih, pada awalnya kau bilang? Oh, aku tahu. Pada awalnya kau ingin mendapatkan tanahku kemudian setelah kau melihat hartaku yang lain, kau menginginkannya juga??"

"Nicholas...kata-katamu sangat melukaiku," gumamku pilu, apa yang harus kulakukan untuk melembutkan hatinya kembali. Siapa yang telah mengotori pikiran Nicholas-ku. Sekarang dia tidak seperti Nicholas yang kucintai, pria ini berbeda.

"KAU...KAU YANG SUDAH SANGAT MELUKAIKU, SIALAN. Aku terus meneleponmu tapi tidak sekalipun kau angkat. Kau tidak tahu kan betapa takutnya aku saat itu, aku seperti orang tolol mencemaskanmu sampai-sampai aku menghancurkan ponselku. Aku setengah mati merindukanmu, tapi kau seakan tidak peduli. Kenapa? Kau sibuk dengan mangsa barumu?? Jadi tidak sempat mengangkat telepon dariku?"

"Nicholas...aku akan menjelaskan..."

"Tidak perlu, Aku sudah mengetahui semuanya. Sebaiknya kau pergi dari rumahku, hubungan kita selesai."

Apakah aku tidak berarti sedikitpun untuknya? Kenapa dengan mudahnya dia mengatakan ingin berpisah setelah semua yang kami lakukan dan lewati bersama. Apakah kata-kata cintanya hanya bagian yang semu saja.

"Kau tidak tahu yang sebenarnya Nicholas, aku akan menjelaskan semuanya. Aku...aku mencintaimu Nicholas." Ucapku memohon, semua kata-katanya terasa seperti sebuah tusukan pedang yang sangat menyakitkan untukku. Perutku tiba-tiba sakit. Bayiku, bayi kami. Sekarang aku ragu untuk mengatakan tentang kehamilanku padanya, apakah dia akan percaya kalau bayi yang saat ini kukandung adalah anaknya atau Nicholas akan semakin mencaciku sebagai perempuan murahan?

"Kau melupakan hari ulang tahunku, apa seperti itu caramu mencintaiku?" Katanya sinis dan menatapku tajam, pandangan matanya yang dingin membuatku menggigil kedinginan. "Bahkan satu ucapan pun tidak ada darimu sangkin sibuknya kau dengan bajingan bernama Alex itu."

Aku juga menyesal tidak bisa berada di sampingmu saat itu Nicholas. Tapi itu bukan yang kusengaja, aku sakit. Aku lemah karena sangat merindukanmu, batinku lirih.

"Maafkan aku," kataku lemah. "Tapi...sekarang aku membawa kue untukmu, sebentar ya." Aku berusaha menghapus air mata dari pipiku sambil berjalan ketempat kue yang kuletakkan. Nicholas mengatakan dia juga merindukanku, mungkin hubungan kami masih bisa diperbaiki. Sekuat tenagaku aku akan berusaha mempertahankan Nicholas. Aku sangat mencintainya, dia adalah ayah dari bayi yang kukandung dan Nicholaslah harapanku satu-satunya untuk bersamaku. Dia satu-satunya yang kupunya, aku tidak sanggup bila harus berpisa darinya. Membayangkan kehidupanku tanpa Nicholas membuatku mual.

Aku membawa kueku ke dekatnya, aku duduk dilantai kemudian mulai membuka kotak kue hingga kuenya terlihat. Meski perasaanku masih terasa pilu akibat semua perkataannya tapi aku berusa tersenyum padanya. Aku meletakkan lilin yang kubawa di atas kue, kemudian aku ingat kalau tidak membawa korek.

"Aku lupa membawa korek, sebentar aku ambil korek dulu, ya. Aku tidak akan lama." Dengan tergesa-gesa aku berlari keluar kamar menuju dapur.

Setelah menemukan korek aku buru-buru kembali ke dalam kamar, aku tidak ingin Nicholas menunggu lama. Tapi apa yang kulihat sungguh menghancurkan hatiku, Nicholas benar-benar telah menghancurkannya sampai tak bersisa.

Kueku yang sebelumnya berada di dekat Nicholas kini telah berada jauh darinya. Kotaknya rusak dan kue yang ada didalamnya sudah setengah menyentuh lantai dan lilinnya sudah tidak terlihat. Apakah dia yang melakukannya?

Napasku tercekat, aku berjalan dan mendekat padanya. "Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" tanyaku sedih.

"Aku tidak tahu entah apa yang sudah kau masukkan ke dalam kue itu," katanya tanpa perasaan. "Aku tidak mau mengambil resiko."

"Aku...aku membuatnya sendiri Nicholas. Aku tidak mungkin mencelakaimu, aku...aku sungguh-sungguh mencintaimu." Jawabku terisak.

"Aku tidak percaya lagi padamu, dan aku tidak ingin melihatmu lagi."

"Tidak. Tidak kau juga, Nicholas. Jangan tinggalkanku, hanya kau satu-satunya yang kumiliki di dunia ini. Aku tidak sanggup bila berpisah denganmu, kumohon...jangan suruh aku pergi. Aku...aku..."

Tidak sedikitpun Nicholas peduli pada kesedihanku, dia berjalan dan mengambil botol minuman keras yang lain kemudian membuka lalu meneguknya langsung dari botol.

"Ayahku meninggal," bisikku lirih, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Kuharap Nicholas berhenti menatapku dengan penuh kebencian seperti yang sedang dilakukannya sekarang.

"Bagus. Kenapa tidak sekalian kau ikut dengan ayahmu yang sialan itu ke neraka, Bilang padanya kalau aku tidak bodoh hingga bisa terperdaya oleh wanita sepertimu."

Apakah Nicholas tidak bisa berhenti menyakitiku dengan semua perkataannya yang seakan menyayat hatiku. Kenapa dia terus menambah luka perasaanku? Tidak adakah kesempatan untukku menjelaskan, untukku berada di hatinya.

"Sakit Nicholas, rasanya...sakit sekali."

"ITULAH YANG KURASAKAN SAAT MELIHATMU TIDUR DENGAN PRIA LAIN. Melihat wanita yang sangat kucintai mendapatkan kepuasan dari laki-laki lain, apakah kau tahu bagaimana rasanya? KAU PASTI TIDAK TAHU, aku sangat ingin membunuh laki-laki itu, Tania. Membunuhnya karena berani menyentuh milikku."

"Nicholas...." gumamku lembut.

"Kau bahkan masih memakai cincin yang kuberikan, benar-benar tidak tahu malu."

"Cukup...cukup Nicholas. Aku tidak mengerti apa maksudmu, aku tidak melakukan seperti yang kau tuduhkan."

Tiba-tiba Nicholas berjalan kearah lemari lalu mengambil sebuah map kemudian mengeluarkan isinya dan melemparkannya ke arahku.

"Lihat itu. Kau masih belum mengerti? Kau mau berbohong lagi??"

Wajahku bertambah pucat melihat foto-foto yang berserakan di lantai, dan juga sebuah kaset. Itu foto telanjangku bersama Ryan, di dalam kaset itu juga pasti berisi diriku yang bersama Ryan.

Oh, Tuhan.

"Da...darimana...kau mendapatkan ini?"

Nicholas tertawa mengejek. "Kenapa? Kau tidak bisa membela diri lagi? Kau tidak perlu tahu darimana aku mendapatkan semua itu, yang penting sekarang aku sudah tahu wanita seperti apa kau ini. Dan aku ingin kau menjauh dariku, jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku lagi."

"Itu foto dan video lama, pasti ada seseorang yang ingin menjebakku Nicholas. Kau harus percaya padaku, aku tidak pernah sekalipun tidur dengan laki-laki lain sejak aku mengenalmu. Kumohon...." gumamku memohon putus asa. Aku takut waktuku tidak akan lama lagi untuk menjelaskan semuanya padanya, Nicholas terlihat sudah sangat ingin mengusirku.

Tapi apa yang bisa kulakukan jika Nicholas sudah merasa jijik melihatku. Aku tidak bisa menyalahkannya, bila aku berada di posisinya mungkin aku juga akan merasakan hal yang sama. Tapi itu hanya masa laluku, semua orang pasti punya masa lalu, kan?

"Aku tetap tidak percaya padamu, sudah terlalu banyak kebohongan yang keluar dari mulutmu. Dan aku sangat muak melihat wajahmu yang pandai bersandiwara itu, sekarang sebaiknya kau pergi dari kehidupanku."

Aku mengangguk lemah, meski sudah berusa menahan, tapi isakan yang sangat pilu tetap keluar dari bibirku yang bergetar.

"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku akan pergi dari kehidupanmu, kau tidak akan melihatku lagi. Tapi aku tidak terima kau mengatakan aku pembohong," gumamku sambil menangis, Nicholas pasti tidak tahu betapa sulitnya untukku kembali berbicara. "Aku selalu jujur padamu. Dan...sebelum aku pergi kau harus tahu kalau...kalau aku sungguh sangat mencintaimu."

Dengan langkah yang sangat perlahan aku berjalan menjauh darinya---menjauh dari satu-satunya pria yang akan kucintai seumur hidupku.

Tidak akan ada pernikahan.
Tidak akan ada Nicholas di sampingku.
Tidak akan ada lagi kebahagiaan di hidupku.

Dengan lemah aku menekan handle pintu kemudian membukanya.

"Tunggu." Tiba-tiba terdengar suara Nicholas.

Aku membalikkan badan dan menatap kearahnya, kumohon jangan suruh aku menjauh darimu," batinku memohon di dalam hati.

"Bawa kuemu itu. Aku tidak sudi memakannya." Gumamnya datar sambil menatap ke arah kue yang kubuat dengan tatapan jijik.

Kalau sebelumnya hatiku terasa sakit kini Nicholas menambah sakitnya beribu-ribu kali lipat.

Air mata terus mengalir di pipiku, aku berjalan dan membawa kue itu ke dalam pelukanku kemudian berlari dengan kencang keluar dari kamarnya.

Aku tidak memedulikan Mbok Sum yang memanggil-manggilku, aku terus berlari keluar dari rumah Nicholas. Yang kuinginkan hanya pergi dari sini, pergi dari tempat yang membuat hatiku terasa sakit tak tertahankan.

"Ayah, ibu....,"

Ternyata memang tidak ada kebahagiaan yang layak kuterima, semua orang yang kucintai pergi meninggalkanku. Aku sendiri dan aku sangat kesepian.

Setelah sampai di luar, aku langsung meletakkan kueku ke tempat sebelumnya saat aku datang tadi. Aku memandang sedih ke arah kue yang kubuat, tidak dihargai sedikitpun. Dengan semangat aku membuatnya sampai tidak memedulikan tanganku yang terluka bakar, tapi berakhir dengan dibuang seakan sesuatu yang kotor dan tak layak untuk dilihat.

Aku menghapus air mataku kemudian naik ke motor dan pergi dari kehidupan Nicholas seperti yang dia inginkan.

Tubuhku terus bergetar karena menangis, pandanganku mengabur karena air mata hingga aku tidak melihat mobil yang melaju sangat cepat di depanku.

Detik berikutnya tubuhku melayang kemudian terhepaskan dengan sangat kuat. Dengan pandangan lemah aku melihat mobil itu pergi menjauh, dari kepalaku terasa ada susuatu yang mengalir sangat deras. Pada awalnya aku tidak merasakan apa-apa, tapi kemudian rasa sakit yang tak terkatakan mendera seluruh tubuhku. Perutku, kepalaku, lengan dan kakiku, semua tubuhku terasa sakit.

Apakah ini akhirnya?
Nicholas sudah tidak menginginkanku lagi, jadi untuk apa aku bertahan.

Sekarang aku benar-benar akan pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Ibu, tidak akan ada pernikahan bahagia untuk putri kecilmu ini.

Ayah, kenapa tidak ada pria yang benar-benar mencintaiku?

Nicholas, kau tidak akan pernah tahu aku sedang mengandung anakmu. Aku sangat mencintaimu.

Tubuhku terbaring lemah, disini di pinggir jalan di malam yang sangat gelap. Tidak ada ibu, tidak ada ayah, tidak ada Nicholas, tidak ada siapa pun. Aku sendirian.



Bersambung...



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro