Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 19

"Meski saat ini Ryan sudah ditahan, aku ingin kau tetap berhati-hati. Ryan bukan orang yang lemah, anak buahnya ada di mana-mana dan sangat berbahaya. Langsung hubungi aku kalau ada apa-apa, mengerti?"

"Aku mengerti, Alex. Meski kau sudah bosan mendengarnya aku tetap akan mengatakan terima kasih, karena kau sudah sangat baik padaku."

"Tidak masalah. Bila kau butuh aku untuk menjelaskan kesalapahaman dengan Nicholas, jangan ragu untuk meneleponku. Aku siap membantu."

Aku mengangguk. "Baiklah, aku pergi." Gumamku sambil mulai berjalan karena pesawatku akan segera take off.

Saat aku sudah beberapa meter jaraknya dari Alex, kudengar dia berteriak. "Jangan lupa mengundangku di pernikahanmu, ya."

Aku tidak menoleh padanya, hanya melambaikan tanganku ke atas sebagai pertanda aku mendengarnya. Saat acara pernikahanku mana mungkin aku tidak mengundangnya, dia sudah kuanggap sebagai kakaku dan sepertinya aku sudah mulai menyayanginya sebagai kakak.

Selama di dalam pesawat, pikiran dan hatiku selalu tertuju pada Nicholas. Pada senyuman dan tawanya, pada wajahnya yang kesal dan cemberut, pada godaan dan senyum nakalnya. Semuanya. Semua yang ada padanya sangat kurindukan. Meski saat ini dia seakan menjauh dariku tapi aku berharap saat aku bertemu dengannya nanti, senyum kebahagiaanlah yang terlukis di bibir sexi-nya, bibir yang sudah sangat kurindukan mencium bibirku dengan lembut.

"Nicholas, aku datang. Tunggu aku," bisikku pelan pada diri sendiri.

***

Hampir 4 jam perjalanan dari bandara menuju rumah Melisa, dan aku rasanya sudah mau pingsan. Jalannya berbatu-batu dan tidak rata, untung kali ini aku naik taxi yang nyaman dan ber- AC dan bukannya naik mobil bobrok Jefry yang kutumpangi saat pertama kali aku datang ke sini.

Sebenarnya aku sudah sangat ingin langsung bertemu dengan Nicholas, tapi aku takut dengan kemungkinan Nicholas masih marah padaku. Jadi aku memutuskan untuk menguatkan hatiku dulu, apa lagi lusa adalah hari ulang tahunnya, aku ingin menemuinya saat itu dan memberinya kejutan. Aku tersenyum membayangkan reaksi Nicholas saat melihatku nanti.

Setelah memberi ongkos pada supir taxi, aku melangkah ke pintu rumah. Sama seperti saat aku pergi ke jakarta yang tidak membawa apa pun selain diriku sendiri, kali ini pun hanya tas selempang yang kubawa.

Aku sudah akan mengetuk saat pintu tiba-tiba terbuka dan muka Melisa keluar dari dalam. Setelah melihat aku yang datang, tiba-tiba dia langsung memelukku sambil menangis.

"Aku ikut berduka untukmu, Tania. Maafkan aku tidak bisa ada untukmu di saat-saat sedihmu." Dia bergumam sambil terisak di pelukanku.

Aku juga membalas pelukannya, satu lagi orang yang peduli padaku. Kuharap Nicholas pun akan menjadi penghiburku, sama seperti yang Melisa dan Alex lakukan.

"Sekarang aku sudah tidak apa-apa. Tapi...dari mana kau tahu ayahku meninggal?"

Melisa melepaskan pelukannya kemudian dia menatap ke arahku sambil menghapus air matanya. "Kau lupa kalau bang Jefry adalah mandor ayahmu? kami baru mendengarnya pagi ini dari pak Alex, katanya mulai sekarang dia yang akan mengurus semua aset ayahmu sampai keadaanmu pulih."

"Kalau kau tidak capek, bisa kita berbicara? Ada sesuatu yang ingin kukatakan." Tiba-tiba Jefry sudah ada di belakang Melisa. "Melisa sebaiknya kau buatkan teh untuk Tania, dia terlihat lelah." Katanya dengan nada yang tidak dapat kuartikan.

Melisa tahu kalau dia sedang diusir hingga dia pergi kedapur tanpa membantah sedikitpun, sesekali dia masih menghapusi air matanya.

"Apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku saat kami sudah duduk disofa ruang tamu, Jefry duduk di depanku dengan wajah yang sangat serius. Belum pernah aku melihatnya seserius ini, hingga membuatku takut dengan apa pun yang ingin di katakannya. Sudah terlalu banyak masalahku saat ini, aku tidak ingin dia menambahnya lagi.

"Sebelumnya aku turut berduka atas meninggalnya ayahmu. Kau bisa tidak percaya tapi aku ikut sedih, karena beliau adalah orang yang sangat baik, khususnya padaku dan Melisa. Tapi yang ingin kubicarakan bukan tentàng kebaikan pak Tony melainkan tujuan kedatanganmu ke sini."

"Aku tidak mengerti," kataku jujur, aku benar-benar bingung darimana dia tahu tentang masalah tujuanku kesini. Aku ingin liburan, hanya itulah yang kukatakan pada mereka, tidak pernah mengatakan hal yang lainnya.

''Sebenarnya tujuan pak Tony menyuruhmu ke sini bukan untuk mendapatkan tanah Nicholas, melainkan untuk membuatnya jatuh cinta padamu."

"Apa maksudmu? Darimana kau tahu semua itu?" tanyaku tidak percaya. Jadi ayah bukan ingin mendapatkan tanah Nicholas tapi orangnya?

"Aku tahu karena aku juga disuruh ikut membantumu, pak Tony banyak bercerita tentangmu. Tania, ayahmu sangat menyayangimu sehingga dia ingin kau bersama dengan Nicholas.  Beliau percaya Nicholas bisa menjaga dan mencintaimu, sekali bertemu, ayahmu langsung menyukai Nicholas."

Aku tidak tahu harus berkata apa, semua ini sangat mengejutkan. Meski aku tidak pernah akur dengan ayahku dan dia cenderung selalu menyalahkanku, tapi aku menyadari dan sangat merasakan perlindungan yang dia berikan untukku. Aku tidak pernah kena tilang polisi walau selalu ngebut di jalanan, dulu aku sering memaki-maki dan menghina orang tapi tak seorang pun berani mendebatku. Meski aku selalu berpakaian sangat terbuka, tapi tidak ada pria yang berani menyentuhku tanpa seizin dariku. Dan semua itu karena ada ayah di belakangku, aku bebas melakukan apa pun tanpa takut pada siapa pun. Dan sekarang ayah telah tiada, siapa lagi yang akan selalu berada dibelakangku untuk melindungiku.

Seolah ayah sudah tahu kalau dia tidak akan lama lagi bisa menjagaku, dia mencari seseorang untuk menggantikan posisinya. Dia pasti sangat menyayangiku sampai sudah memikirkan segalanya. Tanpa terasa air mataku jatuh saat mengingat semua kelakuanku yang selalu membuatnya marah,
Aku selalu membantahnya.

"Ayahmu pernah bilang kalau dia bersyukur diberikan Tuhan putri sepertimu, dia menganggap dirimu adalah kado terindah yang pernah didapatkannya dan dia juga sangat bangga padamu."

Tangisku pecah saat mendengar perkataan Jefry. Oh, Tuhan. Apa yang membuat ayah bisa merasa bangga pada putri sepertiku? Tidak ada satu pun perbuatanku yang patut dibanggakan. Sekarang aku menyesal tidak pernah menyenangkan hatinya, dan kesempatan itu sudah terenggut untuk selama-lamanya. bahkan saat dia sudah meninggal tapi dia masih terus memberiku perlindungan.

"Ayahmu tidak pernah mengatakan kalau beliau menyayangimu, itu karena dia merasa tidak layak untuk itu. Ayahmu merasa bersalah kau kehilangan ibumu karena dirinya, jadi dia berjanji pada dirinya sendiri kau tidak akan mengalami nasib seperti ibumu. Sepanjang hidupnya, beliau selalu mengkhawatirkanmu, Tania."

"Kenapa...kenapa kau bisa tahu semua ini?" tanyaku berbisik. pipiku saat ini sudah dibanjiri airmata.

"Saat ibumu meninggal, ayahmu sering datang ke sini untuk menenangkan diri. Tidak ada yang tahu betapa terpuruknya beliau saat kehilangan istrinya. Aku menjadi pendengar setianya saat  menceritakan betapa dia sangat mencintai istrinya, hanya saja sudah terlambat untuk memperbaikinya."

Oh, Ayah. Ternyata aku salah menilai selama ini. Kupikir hanya aku yang kesepian sejak ditinggal ibu, tapi ternyata kau juga merasakan apa yang kurasakan. Kita berdua sama-sama kesepian, kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku?

Aku benar-benar seorang anak yang tidak berguna, aku telah menyia-nyiakan kasih sayang ayah yang tulus untukku.

Tiba-tiba perutku terasa sakit sekali, seperti melilit dan terasa perih.

"Tania....tania kau kenapa?" Terdengar suara Jefry yang sangat panik.

"Perutku...perutku sakit sekali." Aku terus merintih kesakitan sambil memeluk erat perutku. Sesaat kemudian penglihatanku memudar kemudian gelap, dan aku tidak sadarkan diri.

***

Aku terbangun saat merasakan sentuhan di keningku. perutku tidak sesakit tadi tapi sekarang kepalaku yang terasa pusing, dan seluruh badanku terasa panas. Melisa duduk diatas tempat tidur di sebelahku yang sedang berbaring, wajahnya sangat cemas.

"Aku pingsan lagi." Kataku memecah keheningan.

Melisa terus menatapku seolah ada tiga mata di wajahku, pandangannya sangat serius.

"Maaf, aku pasti merepotkan kalian, kan?" tanyaku lirih, semakin hari semakin banyak orang yang susah karena kehamilanku.

"Apakah itu anaknya bang Nicholas?" setelah sekian lama akhirnya Melisa mengeluarkan suara, tapi pertanyaannya sungguh membuatku terkejut. kenapa dia bisa tahu?

"karena panik kau pingsan, bang Jefry memanggil dokter dan dokter bilang kau pingsan karena efek kehamilanmu. Apakah bang Nicholas sudah tahu kalau kau hamil?"

Aku menggeleng lemah. Bagaimana Nicholas bisa tahu kalau dia terus mengabaikanku, aku tidak pernah bisa menghubunginya.

"Sekarang Kau harus segera memberi tahunya, dia harus tahu kau sedang hamil," ucapnya sambil menekan-nekan nomor di ponselnya, Melisa pasti mau menelepon Nicholas.

"Nomornya tidak aktif. Sudah lebih dari satu minggu ponselnya tidak bisa dihubungi," kataku sedih.

"Kalau begitu biar aku yang pergi ke rumahnya untuk memberitahunya."

"Aku ingin dia mengetahuinya dariku, Melisa. Biar aku yang mengatakan padanya."

"tapi kau sedang sakit, kau demam tinggi."

"Besok hari ulang tahunnya. Aku ingin memberitahunya di saat Nicholas merayakan ulang tahunnya bersamaku. Berita ini akan menjadi kadoku."

"Baiklah, terserah padamu tapi kau harus istirahat agar bisa bertemu dengannya. Kau tidak mungkin pergi menemuinya dengan wajah memerah karena demam, kan?"

Aku mengangguk mengiyakan perkataannya.

"Sebentar, aku mau menyiapkan bubur untukmu makan supaya kau bisa meminum obat," katanya sambil turun dari tempat tidur.

Melisa sudah akan keluar saat aku menghentikannya.

"Boleh aku minta tolong sesuatu?"

"Yah, katakanlah."

"Aku ingin membuat kue ulang tahun untuk Nicholas tapi aku tidak ada bahan-bahannya. Bisakah kau membelinya untukku?"

"Tapi kau sedang sakit, Tania. Bagaimana caramu membuat kue?"

"Melisa please, aku akan istirahat dan pasti sehat sebentar lagi," kataku meyakinkannya, padahal saat ini badanku terasa sakit semua. Tapi tidak tahu kenapa aku sangat ingin membuatkan kue ulang tahun untuk Nicholas sekaligus sebagai permintaan maafku padanya.

"Oke. Oke. Tapi kalau demammu tidak turun-turun, kau tidak boleh melakukannya. Sekarang bukan hanya tentang kau saja, pikirkan bayi yang sedang kau kandung," gumam Melisa tiba-tiba bijak.

Meski kepalaku terasa sakit sekali, tapi aku tetap tersenyum kearahnya supaya dia tidak terlalu khawatir. "Terima kasih."

Melisa hanya menghela napas kemudian melangkah pergi.

***

Keesokan harinya demamku bukan menurun tapi malah semakin parah. Seluruh tubuhku seperti tersulut api, rasanya sangat panas sekali.

Padahal aku sudah meminum obat dan vitamin, aku istirahat total karena aku ingin segera sembuh. Hari ini hari ulang tahun Nicholas sedangkan aku terbaring lemah di sini, tidak berdaya walau hanya bergerak sedikit saja.

Dokter kembali didatangkan dan aku diberi suntikan agar demamku bisa segera turun.

Melisa menyarankan agar memanggil Nicholas ke rumahnya tapi dengan keras aku menolak ide itu. Aku mana bisa menemuinya dalam keadaan sekarat, bukan seperti ini aku ingin merayakan ulang tahun Nicholas. Kue ulang tahunnya juga belum sempat kubuat, aku tidak mau membuat Nicholas kecewa.

Di malam harinya aku memuntahkan semua makanan yang kumakan, bahkan saat perutku sudah kosong aku tidak berhenti muntah sampai perutku terasa sakit. Aku menangis karena rasa sakit yang kurasa. Di saat-saat seperti ini seharusnya ada Nicholas yang menjaga dan merawatku. Tapi kenyataannya tidak ada dia di sampingku.

Meski Melisa selalu ada di sampingku seperti sekarang, tapi bukan itu yang kubutuhkan. Hanya Nicholaslah yang kuinginkan.

Saat sudah tidak ada lagi yang bisa kumuntahkan, Melisa membantuku kembali ke tempat tidur. Kemudian aku mengambil ponselku dari atas nakas dañ mencoba lagi menghubungi Nicholas, dan kembali operator yang menjawab.

Tubuhku bergetar karena menangis, kenapa Nicholas melakukan ini padaku?

Melisa memelukku dan menenangkanku dengan kata-kata penghiburan. Setelah beberapa saat kami berpelukan, aku menyuruhnya pergi karena aku ingin sendiri dan istirahat.

Saat Melisah keluar, aku membaringkan tubuhku yang terisak. Kemudian aku memutar kembali pesan suara yang dikirimkan Nicholas untukku, karena hanya dengan itulah aku bisa mendengar suaranya yang sangat kurindukan. Lalu aku terlelap dengan memimpikan Nicholas yang memelukku dan bayi kami dengan sangat erat.

***

Saat pagi berikutnya tubuhku sudah terasa lebih baik, meski wajahku masih terlihat pucat. Aku sudah memutuskan, kalau hari ini aku akan membuat kue ulang tahun untuk Nicholas.

Aku tahu aku sudah terlambat, tapi seperti kata sebuah kalimat 'lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali'. Jadi meski melisa terus mengoceh khawatir, aku tidak menghiraukannya. Aku juga tidak mau menerima bantuannya, karena aku ingin tanganku sendiri yang membuat kuenya tanpa campur tangan orang lain.

Dengan perlahan aku mengeluarkan semua bahan-bahannya dan meletakkannya di atas meja dapur. Kepalaku masih sedikit pusing tapi aku tidak peduli, semuanya pasti akan terbayar setelah Nicholas memakannya nanti.

Bayangan wajah bahagia Nicholas saat mencicipi kue buatanku membuatku semangat dan melupakan semua sakit ditubuhku. Aku mengelus perutku dengan lembut kemudian berbisik 'Jangan rewel dulu ya sayang, soalnya kita akan membuat kue untuk ayahmu'.

Ternyata membuat kue itu tidak gampang, aku sudah melakukan seperti yang tertulis di buku resep tapi hasilnya sangat mengerikan. Ada yang gosong, tidak matang di tengahnya tapi gosong di atas, ada juga yang keras sekali---kalau dilempar ke jendela akan membuat kaca pecah. Huf, aku sudah hampir putus asa.

Jam sudah menunjukan pukul 13.20 tapi tidak ada satu pun kue yang berhasil kubuat. Karena sudah sangat lelah, aku duduk di lantai dan menghela napas.

"Saat kau bilang kau ingin membuat kue, kupikir kau memang bisa membuatnya. Tapi ternyata? Ya ampun Tania, jangan terlalu memaksakan diri. Beli saja di toko kan bisa," kata Melisa sambil berjalan kedekat kue-kueku yang hancur, dia menatap kue-kueku dengan pandangan horor "Sudahlah, beli yang sudah jadi saja."

"Tidak. Aku tetap akan membuatnya sendiri. Aku hanya butuh istirahat sebentar," kataku tidak mau menyerah.

"Baiklah, kalau itu maumu. Aku di depan kalau-kalau kau membutuhkan bantuanku."

Aku bangkit berdiri dan kembali mencoba. Aku yakin setelah salah berulang kali pasti akan membuahkan hasil selama aku mau terus berusaha.

Saat aku berhasil membuat satu kue yang matangnya sempurna, aku sudah sangat kelelahan. Aku mengolesi coklat di sekeliling kue kemudian menyimpan lilin ber-angka 31 yang kusuruh di beli Melisa tadi pagi. Oke, akhirnya selesai. Aku tersenyum memandangi kue buatanku, seumur hidup baru kali ini aku memasak kue. Meski harus mendapat beberapa luka bakar di telapak tangan, tapi aku tidak perduli. Semua ini kulakukan untuk Nicholas, berharap dia akan tersentuh dengan kerja kerasku kemudian menciumku dengan mesra dan mengatakan kalau dia sangat mencintaiku.

Aku menatap jam yang ada di dinding dapur.

"Sial"

Sudah jam lima soreh.


Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro