Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14

Happy reading...

Nicholas memijit-mijit keningnya seperti orang yang sedang pusing, Matanya terpejam dan kepalanya menyandar ke sofa. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Apakah dia sakit? Atau mungkin Nicholas sedang banyak pikiran? aku tidak tahu.

Sejak dia datang, Nicholas tidak banyak bicara. Dia hanya memberiku bungkusan berisi ayam penyet yang dia janjikan tadi siang kemudian menyuruhku menaruhnya ke piring untuk kami nikmati bersama.

Saat makan malam tadi pun Nicholas kebanyakan diam, pertanyaan basa-basi jefry hanya dijawabnya sekedar saja. Memang, saat baru sampai tadi Nicholas menciumku di bibir, tapi rasa ciumannya tidak seperti biasanya, dia berbeda malam ini.

Sebenarnya apa yang Nicholas sembunyikan dariku?

Saat ini, aku, Nicholas, Melisa dan juga Jefry sedang menonton Tv. Melisa dan Jefry sangat serius menonton, karena acara yang sedang tayang adalah acara favorit mereka berdua. Nicholas sendiri kadang mencoba serius pada acara yang sedang tayang, tapi aku tahu pikirannya tidak disini. Tubuhnya duduk di sampingku tapi pikirannya berkelana entah kemana.

Aku mendengar Nicholas menghela napas---yang entah sudah keberapa kalinya---sejak kami pindah ke ruang menonton TV. Meski otakku terus berpikir mencari tahu apa yang mungkin menjadi penyebab Nicholas tampak resah, tapi satu kemungkinan pun tidak kutemukan. Tadi siang saat Nicholas pulang, kami tidak bertengkar. Kami bahkan menghabiskan waktu yang sangat menyenangkan. Lalu apa?

"Kau kenapa, Hhmm?" tanyaku pelan padanya, mulai putus asa menebak-nebak suasana hatinya.

Nicholas menatap ke arahku. Untuk sekejap aku melihat pandangan matanya yang sedih, tapi aku tidak yakin. Mungkin itu hanya perasaanku saja. "Memangnya aku kenapa?" Dia balik bertanya, tapi kemudian dia langsung mengalihkan tatapannya kembali ke arah TV, Nicholas tidak berani menatapku.

Ada apa dengannya?

"Nicholas....?"

"Aku tidak apa-apa, sayang." gumamnya, dia menggenggam tanganku dan membawanya ke bibirnya.

Walau begitu, aku masih belum tenang karena dia mengatakannya tidak dengan menatap mataku.

Oh, Tuhan. Rasa cemas ini membunuhku. Apa yang membuat suasana hatinya malam ini sangat buruk. Apakah dia sudah tahu tentang niatku pada tanahnya?

Tidak. Itu tidak mungkin. Nicholas tidak mungkin sudah tahu.

"Nicholas, please!" Kataku lembut. "Jangan buat aku cemas, sebenarnya ada apa?"

Akhirnya dia menoleh ke arahku, matanya menatapku sangat dalam dan penuh arti. Nicholas mencium keningku cepat kemudian berdiri, membawaku ikut berdiri bersamanya.

"Tidak di sini. Ayo kita bicara di tempat lain." Katanya, sambil menggandengku berjalan menuju keluar rumah.

"Hey, kalian mau kemana?" Jefry bertanya saat melihat kami yang sudah hampir sampai di pintu.

"Cari angin sebentar." Nicholas, tanpa menoleh menjawab pertanyaan Jefry.

***

Nicholas melajukan mobilnya berputar-putar entah kemana. Sudah setengah jam berlalu sejak kami keluar dari rumah, tapi Nicholas tidak juga memberhentikan mobilnya.

kemana kami akan pergi dan apa yang ingin di katakannya?

Sebenarnya aku sudah ingin menyuruhnya berhenti, tapi aku membatalkan niatku itu. Nicholas sangat terlihat sedang menenangkan dirinya, dia berusaha mendapatkan banyak waktu untuk mempersiapkan diri untuk mengatakan apa pun yang ingin di katakannya.

Apakah seberat itu, sampai-sampai dia harus berputar-putar tak tentu arah seperti ini?

Setelah beberapa menit kemudian, Nicholas membelokkan mobilnya ke arah tanah kosong di pinggir jalan. Kami berhenti di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit, aku melihat tidak ada rumah di sekitar sini, Nicholas membiarkan lampu mobilnya tetap hidup untuk menghalau gelapnya malam. Kupikir setelah mobil berhenti Nicholas akan mengatakan apa yang mengganggu pikirannya malam ini, tapi ternyata aku salah. Dia tetap diam dan matanya menatap lurus ke depan, entah apa yang dia lihat.

"Jadi apa?" Setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama, akhirnya aku bertanya. Aku tidak tahan dengan kebisuan yang seakan mencekikku ini.

Dia menghela napas, matanya masih lurus ke depan kemudian dia melepas safety beltnya. "Tadi siang orang tuaku datang ke rumah," gumam Nicholas memulai, "mereka tidak setuju dengan keputusanku membatalkan pertunangan dengan Mala."

"Bukannya kemarin kau bilang kau sudah membicarakan masalah ini dengan orang tuamu? Kenapa sekarang mereka jadi berubah pikiran?" tanyaku bingung. Aku mengira semuanya telah selesai tapi nyatanya aku salah.

Nicholas mengangguk, "awalnya mereka sudah setuju," gumamnya pelan. Aku menunggu kalimat selanjutnya, tapi Nicholas malah diam.

"Tapi?" aku bertanya, mulai gugup dengan kelanjutannya. Tanganku memilin-milin celana tidur panjangku.

Dia menghela napas, tangannya menggosok-gosok wajahnya frustasi. "Tapi kemudian Mala memburuk-burukkanmu di depan orang tuaku, dia mengatakan kalau kau itu...kau..
Kau...perempuan yang...Ah...sial." Nicholas tidak melanjutkan kalimatnya, tanggannya dengan kuat memukul setir mobil. Dia terlihat sangat marah sekali.

"Perempuan yang tidak benar?" tanyaku pelan. Hatiku sakit membayangkan kalau kami akan berpisah.

"Kau bukan perempuan seperti itu!" Nicholas menggeram marah.

"Jadi sekarang bagaimana?" gumamku lirih, Aku sekuat tenaga menahan agar suaraku tidak bergetar.

"Orang tuaku memaksa agar aku segera menikah, aku adalah satu-satunya anak laki-laki di keluargaku. Dan usiaku juga sudah sangat mapan untuk menikah."

Aku mengangguk lemah. Nicholas tidak mungkin menikah denganku, orang tuanya membenci wanita sepertiku. Meski Nicholas mengatakan mencintaiku, apakah itu cukup? Pada akhirnya kami terpaksa harus berpisah.

Tanpa terasa air mata turun membasahi pipiku. Apakah ini akhirnya? Baru tadi pagi kami tersenyum dan tertawa bahagia, tapi kini kesedihanku saat akan berpisah dengannya sungguh tak tertahankan.

Aku hanya mampu diam, tidak sanggup bersuara. Apa yang bisa kulakukan, selain menerima kenyataan menyedihkan ini. Tidak ada satu pun kebahagiaan yang layak kuterima. Tidak ibuku, tidak ayahku, tidak juga pria yang kucintai.

"Katakan sesuatu!" gumam Nicholas lembut, dia membawa kedua tanganku dalam genggamannya yang hangat.

Oh, Nicholas. Seandainya kau tahu betapa sesaknya hatiku sekarang. Apa yang kau harapkan akan aku katakan?

"Selamat. Aku berdoa semoga kau bahagia bersama dengan Mala...."

"Apa-apaan kau ini," bentaknya sambil melepaskan genggaman tangannya. "Kau ingin aku menikah dengan wanita lain? Apakah kau tidak benar-benar mencintaiku?"

"Nicholas, aku...." tangisku pecah. Hatiku sakit mendengarnya meragukan cintaku. Aku sangat mencintainya, sampai-sampai aku rela melakukan apa pun untuk tetap bisa bersamanya. Tapi dia dengan mudahnya mengatakan kalau aku tidak sungguh-sungguh mencintainya. Aku hanya sangat takut kehilangannya, membuatku tidak mampu berpikir lagi dan keluarlah kata-kata yang seharusnya tidak kuucapkan.

Aku tidak menyangka hari ini akan seperti ini. Kemana kebahagian yang kami rasakan tadi pagi. Dalam sekejap hilang tak bersisa.

Menutup wajahku dengan kedua tangan, aku tidak sanggup lagi menahan isak tangis keluar dari bibirku.

Tiba-tiba, Nicholas mengangkat tubuhku dan meletakkanku di pangkuannya. "Sssttt...maafkan aku, sayang. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membentakmu." gumam Nicholas lembut menenangkanku, tangannya mengelus-elus rambutku.

Tanganku memeluk lehernya dengan erat dan kepalaku kusurukkan ke lehernya yang harum dan hangat. "Aku mencintaimu Nicholas. Tega sekali kau berkata seperti itu padaku!"

"Maafkan aku. Aku hanya sedang kesal" Dia menciumi rambutku sambil mengusap-usap punggungku dengan lembut.

Aku mendongakkan kepalaku kemudian menatap matanya dengan wajah yang basah karena air mata, "jangan tinggalkan aku Nicholas. Aku tidak mau berpisah darimu," gumamku dengan nada suara bergetar.

Nicholas menatapku lembut, tangannya menghapus air mata di kedua pipiku, "tidak akan. Aku tidak mungkin bisa hidup tanpa satu-satunya wanita yang kucintai. Jadi jangan menangis lagi, ya!"

Nicholas mencium bibirku cepat tapi sangat lembut. "Aku sangat mencintaimu, Tania," gumamnya dalam sambil menyingkirkan rambutku yang basah karena air mata ke balik telingaku, tatapan matanya penuh kasih sayang.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanyaku padanya.

"Menikahlah denganku!"

"Nicholas, Apa...yang...." aku sangat terkejut mendengar lamarannya yang tiba-tiba. "Lalu bagaiman dengan Mala? Orang tuamu?"

"Aku tidak peduli dengan Mala. Dari awal dia sudah tahu aku tidak mau menikah dengannya. Dan untuk orang tuaku, aku akan menentang keinginan mereka. Aku pria dewasa, bisa menentukan apa yang terbaik untukku, dan aku ingin menikah dengan wanita yang kucintai, dan itu kau."

"Apakah menurutmu ini tidak terlalu terburu-buru? Aku...kau...kita baru saling mengenal." Meski aku mencintainya, tapi rasa takut untuk menikah dan hidup bersama dengan seorang pria masih menghantuiku. Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya. Ini benar-benar pilihan yang sangat sulit untuk kupilih.

"Aku tahu lamaranku sungguh sangat tidak romantis, tapi hatiku tulus ingin menikahimu."

Aku mengerang. "Bukan soal lamaranmu yang tidak romantis, Nicholas, tapi...."

Nicholas menangkupkan pipiku dengan kedua tangannya dan memaksaku menatapnya. "Apakah kau mencintaiku?"

"Kau tahu aku mencintaimu."

"Kau tidak ingin kita berpisah, kan?" Dia bertanya lagi.

Aku mengangguk keras, "ya, Nicholas."

"Satu-satunya cara agar kita tetap bersama adalah dengan menikah. Tidak ada cara lain. Kalau tidak, orang tuaku akan semakin memaksaku untuk menikahi Mala karena usiaku yang sudah sangat pantas untuk menikah."

"Tapi...."

"Tidak perlu menjawabnya sekarang. Pikirkanlah malam ini! Besok baru beri jawabanmu." Katanya kemudian meletakkanku kembali ke kursiku dan menjalankan mobilnya.

"Kau belum mengenalku Nicholas," gumamku berusaha membujuknya. Bagaimana pun, perkenalan kami masih sangat singkat. Kami belum terlalu mengenal satu sama lain.

"Aku sudah cukup mengenalmu, Tania," katanya keras kepala. "Duduk manis sajalah, aku akan mengantarmu pulang. Supaya kau bisa segera memikirkannya."

Oh, Tuhan. Dia mengatakan kalau aku adalah wanita yang keras kepala, padahal dia bahkan lebih keras kepala lagi.

***

"Kumohon, Pikirkanlah," katanya lembut, setelah mobilnya sampai di depan rumah Melisa. Sorot matanya sangat berharap.

Aku menghela napas, "baiklah, akan coba kupikirkan." Aku tahu keputusanku ini sangat berbahaya. Bagaimana kalau nanti Nicholas sampai tahu siapa aku? Siapa ayahku? Oh, God.

"Terima kasih," gumamnya serak. Nicholas mencium bibirku lembut, melumat bibir bawahku bergantian dengan bibir atasku.

"Hhmm." Erangan lolos dari bibir kami berdua. Ada bau tembakau di mulut Nicholas.

Apakah dia merokok sebelum datang menemuiku tadi?

Nicholas semakin serius menciumku. Ciumannya sudah kembali, tidak seperti ciumannya saat baru datang tadi. Bibirnya dengan menyeluruh menghisap dan mencecap rasa manis yang ada pada bibirku. Tangannya di tenggukku, menahan kepalaku agar tidak bergerak kemana-mana kemudian semakin memperdalam ciumannya. Setelah beberapa menit dan kami berdua hampir kehabisan napas, Nicholas menarik bibirnya menjauh dari bibirku---yang aku yakin sudah bengkak sekarang---kemudian tanpa mengucapkan apa-apa, turun dan membukakan pintu mobil untukku.

"Masuklah!" Katanya pelan.

"Oke. Kau hati-hati, ya! Jangan ngebut-ngebut!"

"Iya sayang. Aku senang kau sangat perhatian padaku," gumamnya geli, dia menggodaku.

"Aku serius, Nicholas."

"Aku tahu." Nicholas mencium keningku lembut, "masuklah, udara di luar sangat dingin."

"Baiklah, aku masuk," kataku, kemudian mulai berjalan ke arah rumah.

Saat bersama Nicholas, perasaan sedih dalam sekejap bisa berubah menjadi bahagia. Seperti sekarang, aku sudah tidak sesedih saat berada di mobil tadi. Wajahnya yang tampan dan kata-katanya yang menggoda, sangat menghibur hatiku.

"Tania." Tiba-tiba terdengar Suara Nicholas memanggilku. Aku membalikkan badan dan memandang ke arahnya. "Apa?" tanyaku padanya.

"Aku mencintaimu. Ingatlah itu, sebagai bahan pertimbangan kau mengambil keputusan."

Aku tersenyum. "Oke."

Kemudian Nicholas pergi, tapi dia tidak tahu kalau hatiku juga ikut bersamanya.

***

Terima. Enggak. Terima. Enggak.
Oh, sial. Itu cara yang sangat konyol dalam menentukan pilihan.

Aku berbaring di atas tempat tidurku sambil menatap langit-langit kamar.

Aku sangat mencintai Nicholas dan aku tidak ingin berpisah darinya, Tapi apakah harus menikah supaya kami tetap bisa bersama? Tidak bisakah kami seperti ini saja, menjalin kasih tanpa adanya ikatan pernikahan. Aku bahagia dan aku juga bisa melihat kalau Nicholas juga bahagia.

Tapi bila menikah adalah jalan satu-satunya, aku harus sanggup melakukannya. Apa pun resikonya di kemudian hari, aku harus bisa menerima. Demi bersama dengan Nicholas aku akan berusaha semampuku.

Oh, Tuhan. Semoga keputusan yang kuambil ini tidak menjadi bumerang bagi diriku sendiri.

Ponsel di sampingku tiba-tiba bergetar. Ada pesan masuk.

Dari Nicholas. Mau bilang apa dia? Aku mengambil ponselku dan membaca pesannya.

"Aku baru sampai di rumah dan aku sudah merindukanmu."

Aku tersenyum membaca pesannya, tapi tidak membalasnya. Biarkan saja.

"Kau sudah tidur?" Satu lagi pesan darinya yang tidak ku balas.

"Tania?" Lagi.

"Sayang?" Lagi.

"Kenapa tidak membalas pesanku?" Lagi.

Kemudian ponselku berdering. Siapa lagi kalau bukan Nicholas.

"Ha...."

"Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa kau tidak membalas satu pun pesanku?" Gumamnya tidak sabaran.

"Kau sendiri yang menyuruhku memikirkan lamaranmu tadi. Dan itulah yang sedang ku lakukan sebelum kau meneleponku dan memberondongku dengan pertanyaanmu itu."

"Oh. Hhmm. Jadi....apakah kau sudah memutuskan?" tanyanya tidak yakin, nada suaranya takut-takut.

"Bagaimana ya? Sekarang aku jadi tidak yakin."

"Tidak yakin kenapa?" tanyanya dengan nada penasaran.

"Kau!"

"Ada apa denganku?"

"Ternyata kau pria yang tidak sabaran dan aku tidak suka pria yang seperti itu. Aku tidak yakin kau bisa menjadi suami yang baik nantinya." Kataku pura-pura kesal padanya.

"Ya, Tuhan, jangan marah, Tania. Maaf soal yang tadi. Aku hanya kesal kau tidak membalas pesanku, aku tidak tahu kalau kau sedang memikirkan lamaranku. Kalau kau mau menikah denganku, aku berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu."

"Entahlah Nicholas, aku bingung." Balasku, berlagak sok cuek. Ya, ampun. Kenapa mudah sekali mengerjainya. Aku hampir tidak bisa menahan tawa keluar dari bibirku.

"Tania...."

"Aku sudah ngantuk Nicholas, aku matikan teleponnya, ya?"

"Tidak. Tidak. Jangan dulu...."

"Dah, Nicholas."

"Tania....sayang...."

Tut tut tut.

Aku mematikan telepon, kemudian tertawa senang mendengar suaranya yang cemas dengan keputusanku. Aku tidak akan pernah bosan untuk menggodanya.

Ponselku kembali berdering nyaring. Nicholas terus menghubungiku tapi kuabaikan, Biar saja dia stres malam ini.

Aku membaringkan tubuhku dengan nyaman di atas ranjang dan tetap mengabaikan ponselku yang tidak pernah berhenti berdering.

Aku terlelap sambil mengharapkan aku akan bermimpi indah bersama Nicholas. Oh, Nicholas. Aku benar-benar mencintaimu.

***

Aku terbangun saat mendengar suara ayam jantan berkokok. Ternyata sudah pagi. Aku bangun dengan tubuh yang sangat segar. Tidurku sangat nyenyak sekali, aku benar-benar bermimpi indah tadi malam.

Aku tersenyum mengingat percakapanku dengan Nicholas di telepon tadi malam. Aku tidak tahu sampai berapa lama dia menghubungiku karena aku langsung tidur dan terbawa mimpi.

Aku mengambil ponselku dan sangat tercengang melihat apa yang di tampilkan di layar ponselku.

120 panggilan tak terjawab. Dan semua itu dari Nicholas.

Sial. Apakah dia sekhawatir itu?

"Oh, Tuhan."

Bersambung...

Selamat malam, author datang lagi bawa up date-an baru. Semoga kalian suka dengan part ini.

Jangan lupa vote dan coment ya!

Thank you

Love you

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro