What a Long Day for Her
Selamat tahun baruuuuuu~
((Telaaaaatttt wooooyyy!! Wkwk))
Iyap, postingan pertama di tahun 2021 nih, uhuyyy~
Meski angka keempat berubah dari nol ke satu, tapi Manteman enggak lupa buat pencet tombol bintang dulu sebelum baca kisah Cicit hari ini, kan?
Hehe. Udah?
Thank you,
Happy reading, Fellas~~!
🍭🍭🍭
Kamu tidak dilahirkan untuk selalu menyenangkan hati orang lain.
Juga tidak semua orang bisa suka bahkan menerimamu.
Namun ingatlah satu hal.
Bahwa akan ada seseorang yang benar-benar menyayangimu.
Tanpa syarat, tanpa kompromi.
Salah satunya ... aku.
- Avlyan S. Gazala -
🍭🍭🍭
Selepas insiden tidak menyenangkan yang diciptakan oleh Ella, Orchidia belum bisa menenangkan dirinya sendiri walau Lyan setia menemani. Pertama, karena ide lipsync yang sedang dipermasalahkan oleh banyak orang itu adalah murni buah pemikirannya, bukan Cia!
Tetapi fakta bahwa semua orang tengah menyudutkan gadis penyuka buah persik tersebut, membuat Orchid semakin sibuk merutuki kebodohannya.
Seandainya saja ia tidak mencetuskan ide lipsync malam itu. Seandainya, ia tidak mengiyakan permintaan Cia. Bila saja waktu itu Orchid lebih memilih untuk tidak menggubris rengekan si bungsu dan menganggapnya sebagai angin lalu.
Mungkin, kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi.
Namun kini Orchid bisa bernapas lega lantaran Cia mampu membuktikan bahwa sesungguhnya dia juga bisa bernyanyi. Bahwa suaranya masih enak untuk dinikmati. Meski cemooh 'tukang lipsync' belum mudah untuk dihentikan sepenuhnya, setidaknya mereka tahu bahwa Cia tidak memiliki niatan buruk atas penampilan sebelumnya.
Ya, terkadang Orchid lupa bahwa Peachia bukanlah gadis yang lemah dan mudah pesimis dalam menghadapi suatu masalah seperti dirinya.
Kedua, mengenai tudingan Caramella yang menyebut Orchid sebagai seorang pembunuh. Pernyataan tersebut tidak bisa Orchid tentukan benar dan salahnya. Sebab, beberapa orang memercayai bahwa dialah penyebab kematian dari Erwando—adik tiri sekaligus putra pertama mamanya bersama Vandhi. Sekeras apa pun Orchidia membela diri, tidak akan ada yang mau memercayainya. Bahkan mereka semua melarang Orchid untuk dekat-dekat dengan Rion karena takut kejadian serupa akan terulang.
Peristiwa pahit itu pulalah yang menjadi titik puncak dari perubahan sikap Orchidia. Maka tak heran apabila ia selalu merasa takut untuk mendapati tatapan tajam dari orang lain seperti yang sudah-sudah.
"Feeling better?" tanya Lyan setelah hampir tiga puluh menit terlewati dengan aksi saling diam. Bukannya Lyan tidak mau menghibur atau melakukan hal semacamnya. Hanya saja dia tahu bahwa Orchidia perlu waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.
Berdasarkan pengalaman pribadi Lyan, untuk bisa meredakan segala macam bentuk gejolak negatif yang bertubi-tubi menghantam mental seseorang, maka harus ada jeda serta masa tenang sebelum orang tersebut kembali berinteraksi dengan dunia sekitar. Ya, setidaknya itulah yang selalu Lyan terapkan sesuai ajaran sang ibu sedari kecil.
"I don't think so. But, thank you so much, Lyan. Thank you for saving me from her. Also being by my side even the time passes in silence." Orchidia bersungguh-sungguh. Bahkan rasanya kata terima kasih saja tidak cukup untuk menggambarkan betapa ia bersyukur atas kehadiran Lyan hari ini.
"Dan soal apa yang Ella bilang di akhir itu—"
"Sssssttt! Nggak usah diceritain dulu kalau lo belum siap, Cit. Gue nggak nuntut penjelasan apa pun dari lo, kok. Gue percaya kalau lo itu bukan orang jahat. Ellanya aja kali yang terlalu dengki."
Lyan mengalihkan arah pandangnya menuju wajah Orchid yang tampak sayu. Dengan senyum hangat dia menatap gadis itu lebih dekat.
"Lagian mana mungkin sih, lo tega nyakitin adik sendiri di saat lo aja tahu gimana rasanya disakiti sama orang lain?" ungkapnya, "tapi, kalau yang lo aniaya itu sebangsa tepung, daging, ikan, gitu-gitu sih, ya gue seratus persen percaya kalau lo tega. 'Cause making good foods with all of heart is your biggest passion, right?" imbuh cowok berbahu lebar tersebut sembari menaik-turunkan alis tebalnya.
Orchidia tidak menjawab. Namun, bibir tipisnya spontan menelurkan tawa kecil tepat setelah Lyan berhasil menamatkan kalimatnya. Entah mengapa, ada secuil rasa damai yang sudah lama tidak Orchid rasakan. Bahkan ia sendiri nyaris tidak ingat kapan dan bagaimana rasanya memiliki banyak teman—yang terkadang gemar menyanjungnya, terutama jika soal makanan.
Alasannya sederhana. Karena sejak kecil Orchidia sudah terbiasa mengacak-acak dapur bersama Genta, dan turut didampingi Bi Marsih, untuk membuat makanan ringan, yang selanjutnya ia bagikan kepada teman-teman di sekolah.
"Again, thank you so much for come into my life."
Biasanya saat seseorang mengutarakan rasa terima kasih pasti dibalas dengan untaian kata tidak masalah. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Lyan hari ini. Cowok itu justru bereaksi di luar dugaan. Sampai-sampai Orchidia tidak tahu harus merespons dengan apa lagi selain gelak tawa.
"Dih, makasih-makasih mulu lo kayak caleg baru menang pemilu. Gue aja yang akhirnya bisa menangin hati lo, nggak pernah tuh, tebar makasih sana-sini."
Bibir Lyan bergerak khas orang yang sedang nyinyir. Persis seperti yang diperagakan oleh salah satu chef kenamaan yang biasa Orchidia lihat suka bertingkah nyeleneh baik di layar kaca maupun di sosial media. Entah mengapa hal sesepele itu terlihat lucu di matanya.
"Jadi, lo juga enggak berterimakasih sama Allah karena Dia-lah yang udah bukain pintu hati gue buat lo?" goda Orchid secara spontan. Diam-diam ia ingin sedikit menikmati waktu bersama pemuda itu dengan santai dan terbuka. Sama seperti yang biasa ia lakukan dulu, saat mentari masih berbaik hati untuk membingkai dunianya.
"Heeee, sembarangan! Allah itu pengecualian ya, Cit. Kapan pun, di mana pun, dan apa pun yang gue dapat, bersyukur is a must! Wajib! Nggak boleh enggak," ujar cowok itu cepat.
"Emang ya, Yan. Lo tuh, selalu bijak pada waktunya."
"Oho, ya jelas. Siapa dulu? Avlyan gitu lho! Eh tapi tunggu, deh. Barusan lo bilang apa? Yang? Sayang? Lo manggil gue sayang?" tanya Lyan yang tiba-tiba salah fokus.
Sebenarnya dia hanya bergurau. Telinganya dengan jelas mendengar bahwa bukan kata itu yang Orchid ucapkan tadi, melainkan hanya sebuah kependekan dari namanya saja.
Tetapi, Lyan sengaja membelokkan fokus demi mempertahankan senyum dan tawa di wajah ayu milik kekasihnya. Menurutnya, jika beberapa menit lalu sudah Orchidia habiskan dengan rasa takut, sedih, juga air mata, kini tiba saatnya bagi gadis itu untuk menyembuhkan hati. Dan jika senda gurau adalah obat yang paling mujarab, maka dengan senang hati Lyan akan membantu memberikan penyembuhan secara cuma-cuma.
"Ih, ngadi-ngadi! Gue nggak bilang gitu tahu!"
"Bodo amat, wleee. Pokoknya gue anggap barusan lo manggil gue sa-yang." Avlyan kukuh pada opininya, selaras dengan gelak yang masih bertahan di bibir Orchid.
Udah jadi tukang palak, pemaksa pula. Untung sayang-wait. Am I loving him that easily?
Selang beberapa detik, Lyan pun kembali mengajukan pertanyaan. "Oh iya, Cit. Tahu, nggak? Nasi, nasi apa yang bisa bikin gue bahagia?"
Orchid menghentikan tawanya. Sekadar untuk menanggapi pertanyaan random yang tiba-tiba Lyan cetuskan.
"Sekarang lo lagi ngajak gue main tebak-tebakan?" Cowok di depan Orchid kini mengangguk. Tanpa disadari, reaksi itu dengan sendirinya menuntun Orchidia untuk mengabsen satu per satu jenis makanan, yang sekiranya menjadi hidangan favorit cowok penggemar ajang balap Moto GP tersebut.
Mulai dari nasi goreng, nasi padang, hingga risotto. Semuanya tidak luput dari bibir mungil Orchidia. Sayangnya, salah menjadi kata yang selalu Lyan ucapkan sesaat setelah gadis itu menyebutkan praduganya. Lyan sendiri jadi semakin bersemangat ingin memuluskan ide gilanya kali ini. Dia sangat yakin bahwa Orchidia tidak akan mampu memberikan jawaban yang tepat.
"Nyerah?" tawar cowok itu dengan nada jumawa. Orchid yang mulai putus asa pun lantas mengangguk dengan tempo agak cepat. Pertanda bahwa ia benar-benar kehabisan stok jawaban di otak imutnya.
"Well, nasi yang bisa bikin gue bahagia itu adalah ..." Lyan sengaja menggantung ucapannya agar sensasi tegang yang tercipta semakin menguar dj dalam hati Orchid. Lalu dia membasahi bibirnya sendiri sebelum meneruskan kalimat yang sempat tertunda. "... When nasi your face, there's not a thing that I would change. 'Cause you're amazing just the way you are."
Dengan suara berat khas seorang Avlyan, cowok itu melantunkan bagian reff dari salah satu lagu popular milik Bruno Mars sebagai jawaban. Meski ia sengaja memelesetkan kata 'I see' menjadi 'nasi', nyatanya hal itu sukses menghadirkan semburat merah di wajah Orchidia.
Lyan menyukai momen ketika dirinya berhasil membuat Orchidia tertunduk malu dengan senyum yang tak bisa dicegah. Rona merah di wajah gadis itu seolah menjadi pertanda bahwa memang ada tempat khusus di dalam hati Orchid yang sengaja diluangkan untuknya.
"Asu."
Satu kata yang Orchid ucapkan dengan tiba-tiba itu sukses melunturkan senyum yang telah menghiasi paras rupawan milik Lyan. Timbul perasaan tersinggung juga sedih di hati pemuda itu, walau sebagian dari dirinya berharap bahwa Orchidia tidak serius memaknai kata tersebut.
"Katanya nggak ngerti bahasa Jawa? Kok malah ngatain gue kayak gitu, sih?"
"Emangnya ngerti, asu itu apa?" balas Orchid secepat kilat.
"Ya, ngerti lah! Asu kan, gukguk!"
Melihat cowok itu yang seketika memberengut sambil menukikkan alisnya bagai angry bird, Orchid langsung melipat bibirnya ke dalam. Mati-matian ia berusaha menahan tawa agar tidak pecah. Di relung hati ia juga bersumpah. Jika Lyan sudah berhasil menjailinya lebih dulu, maka ia pun bisa melakukan hal yang sama detik ini juga.
"Nah! Lo sendiri kan, yang sering nasihatin gue buat nggak berprasangka buruk duluan? Terus kenapa sekarang lo udah suudzon?"
"Ya terus? Kalau bukan gukguk, apa dong?" tuntut Lyan tidak sabaran.
"Asu, tuh kepanjangan dari ..."
Gantian Orchid yang kini mulai mengulur waktu. Gadis itu benar-benar tahu bagaimana cara menikmati gestur lucu yang sedang Lyan perlihatkan saat ini. Tersinggung, berharap akan hal baik, tetapi juga penasaran. Semuanya berbaur menjadi satu.
"... aku sayang kamu," jawab Orchidia pada akhirnya. Biarlah jika ia dibilang tidak waras, namun untuk sekali ini saja dia ingin menyenangkan hati milik pemuda yang sudah dengan tulus menyayanginya tersebut.
Di lain sisi, blushing adalah reaksi alami yang pertama kali Lyan suguhkan. Diikuti senyum malu-malu a la bucin, tangannya kemudian secara otomatis terulur untuk mengacak puncak kepala Orchid dengan gemas.
"Asu kembali, Orchidiaku."
🍭🍭🍭
Puncak perayaan Dies Natalis Megantara High School belum berakhir. Selepas rangkaian pentas seni yang ditutup apik dengan penampilan tidak terduga dari Orchid dan Cia tadi siang, kini acara berlanjut pada malam kebersamaan antara penduduk Megantara. Baik itu anggota komite, kepala sekolah, donatur, para guru, staf, dan juga seluruh siswa.
Pada sesi malam ini pula, semua orang diwajibkan untuk menggunakan pakaian formal layaknya sebuah pesta besar milik para pejabat tinggi. Orchid sendiri hadir dengan balutan two-tone mini dress dengan motif plaid serta black peep to shoes yang sukses meng-highlight kaki jenjangnya bak kaki milik boneka.
Riasan di wajahnya juga tetap mengusung konsep natural sesuai dengan kepribadiannya. Beberapa waktu yang lalu Tante Rea-lah yang telah membantunya bersiap-siap. Katanya, beliau ingin sekali mewujudkan mimpinya untuk mendandani seorang anak perempuan.
Di tengah acara, Cicit mengingat kembali momen paling mengharukan di sepanjang hidupnya. Yakni tentang sikap berani Peachia yang berdiri tegak melawan dunia dan mengungkap eksistensinya yang selalu tersaput kabut duka.
Dimulai dengan desakan Cia yang memintanya untuk menemani gadis periang tersebut mencari keberadaan sosok Fabian Khasava. Kemudian berlanjut menuntunnya meniti satu per satu anak tangga menuju panggung dan berakibat pada hatinya yang berdebar kencang karena harus mendapati berbagai macam pandangan yang sukar untuk ia terima. Menjadi pusat perhatian bukan lagi hal yang bisa Orchidia terima dengan mudah, sehingga di menit-menit awal ia harus bersusah payah menyembunyikan wajah dengan satu tangannya.
"Of course, I'm not you. Enggak perlu jadi gue untuk bisa melindungi diri sendiri, Cit. Gue tahu, sangat-sangat tahu kalau lo bisa sabar ngehadapin semua orang yang ngehujat lo. Even, gue pun tahu sabar itu enggak ada batas maksimalnya, tetapi lo juga harus bisa pakai logika. Realistis sama hidup, Cit. Jangan mau terus-terusan diinjak. Kalau lo menganggap diri lo enggak berharga, nggak masalah. Namun setidaknya, harga diri lo harus tetap terjaga."
"And at least, you are giving him a beautiful memories here, Orchidia."
Dua hal yang Cia ucapkan itu terus menggema dalam benak Orchid. Jujur saja hati kecilnya merasa tercubit atas perkataan bijak itu, yang nyatanya berasal dari seseorang yang berusia lebih muda darinya. Pelan tapi pasti, kecemasan dalam diri Orchid berangsur luruh tergantikan oleh rasa percaya diri yang ingin melambung.
Dengan genggaman hangat yang Cia tawarkan, Orchidia pun meyakini bahwa tak ada salahnya untuk sesekali melampaui batas yang dia buat. Bahwa bukan masalah serius untuk bernyanyi lantang di depan banyak orang yang sejauh ini sudah menilai rendah dirinya. Sekali ini saja Orchid ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia ada. Ia berhak untuk mendapat pengakuan serta bahagia walau hanya sekejap.
Seiring berlalunya bait demi bait lagu So Am I yang ia dan Cia lantunkan, juga netra dinginnya yang menemukan cara pandang berbeda dari orang-orang atas dirinya, membuat relung hati Orchid semakin gencar bersyukur juga berterima kasih. Jika bukan karena keberanian sosok Peachia, mungkin hingga detik ini ia masih setia bersembunyi di balik hamparan padang kecemasan serta bilik ketakutan akan pendapat orang lain mengenai dirinya.
Diam-diam Orchid telah berikrar. Ia akan merekam setiap detail kebahagiaan kecil yang tercipta hari ini dalam ruang ingatnya sampai akhir hayat.
Thank you, Yul, udah nyadarin gue tentang betapa pentingnya mencintai dan menghargai diri sendiri. Cemas, boleh. Takut, juga boleh. Tapi enggak seharusnya gue lupa bahwa setiap manusia diciptakan berbeda-beda. Dan perbedaan itulah yang harusnya bisa gue hargai. Makasih udah hadiahin lagu ini buat gue.
"Ututututut, pacar gue udah cantik begini tapi kok masih aja ngelamun, sih? Minta dihalalin dulu ya, biar fokusnya selalu terjaga buat gue?"
Teguran halus sekaligus gombalan receh yang Lyan gaungkan sukses membuyarkan sesi lamunan panjang Orchidia. Gadis itu mereaksi dengan cebikan keras untuk menyamarkan sapuan panas yang membuat dua pipinya kini bersemu merah jambu.
"Yan, kelas lo bukan di sini. Balik sana!"
"Gue diusir nih, ceritanya? Kok kayak ada bunyi kretek-kretek ya, di dalam kokoro gue?"
"Nggak gituuu! Tapi kan, acaranya belum bebas? Lo mesti ada di lingkup kelas lo sendiri sekarang, bukan di sini." Orchidia masih berusaha sabar menghadapi sikap keras kepala Lyan. Ia tidak mau menimbulkan kegaduhan.
Tetapi cowok itu tak jua pergi. Dia justru menjatuhkan kepalanya di bahu Orchid dengan santai. Tanpa beban. Sedangkan gadis yang tengah jadi sandarannya kini justru diserang panik. Meski Orchid dan Lyan tengah duduk di kursi paling belakang, bukan berarti tak ada yang akan memperhatikan gerak-gerik mereka, kan?
"Lo gila, ya?!" pekik Orchid tertahan. Matanya bergerak liar, kalau-kalau ada yang memergoki perbuatan nekat Avlyan terhadap dirinya kali ini.
"I went crazy over you! Over you, only you!" jawab Lyan sembari menengadahkan pandang dan menusuk-nusukkan jari panjangnya di pipi Orchid.
Oke. Kalimat itu terdengar bernada, namun Cicit alias Orchid segera menepisnya dengan berkata, "gue serius, Yan. Lo harus balik ke barisan kelas lo sendiri sekarang. At the very least, di barisan sesuai jurusan lo. Jangan di sini. Lagian, habis ini mau seserahan piagam sama tanda jasa buat seluruh anggota tim basket, kan?"
Lyan menghela napas pasrah. Tidak ada gunanya mendesak Orchid untuk membiarkannya duduk di sisi gadis itu dalam damai. Saat Lyan baru saja hendak mengutarakan unek-uneknya, sebuah suara telah menginterupsi tanpa permisi.
"Thanks for your understanding, Chid. Kalau lo enggak stop paksa, ini anak nggak bakal berhenti buat nge-bucin sementara kita-kita keburu jadi bujang lapuk nungguin dia kelar."
Baik Orchid maupun Lyan, keduanya kompak menoleh ke belakang. Sudah ada Ardo yang bersedekap di belakang ditemani Jordan yang memandang dua insan itu penuh curiga.
"Wait! Lo bilang apa barusan, Do? Ngebucin? Emang mereka jadian?" tanya Jordan bingung. Pasalnya, dia tidak pernah melihat kedekatan antara best buddy-nya itu bersama Orchidia. Lalu bagaimana bisa Ardo menyimpulkan Lyan sebagai salah satu oknum budak cinta?
"Kalian seriusan pacaran? Orchidia, answer me, please? Is that true? Are you in love with him?"
Orchid yang masih belum pulih dari rasa keterkejutannya pun hanya bisa bungkam. Otaknya mendadak buntu dan tak ada stok jawaban yang bisa ia persiapkan di sana.
"Duh, Paijo! Nggak usah kepo kayak gitu, deh! Gue aja nggak pernah tuh, ngusik lo pas lagi bucinin si Painem," sergah Lyan kemudian.
Bisa jadi Jordan tidak masalah jika dirinya dipanggil demikian oleh Lyan. Sebab empat kawan lainnya juga mendapat julukan semena-mena dari cowok pemuja budaya Jawa tersebut sejak mereka terpilih menjadi anggota inti tim basket Megantara. Yakni Paido untuk Ardo, Paibi untuk Fabian, Paimin untuk Eivmin, dan juga Pecel Lele untuk Axel. Tapi akan menjadi sebuah pengecualian bagi Jordan, jika Lyan memelesetkan nama kekasihnya menjadi Painem.
"Thousand times I've told you, Avlyan Halu, her name is Aghatta Visylnema, not Painem!"
"Whatever!"
Orchidia selaku orang luar hanya bisa menekan bibirnya kuat-kuat. Jangan sampai ledakan tawanya merusak momen langka yang jarang dia dapati ke depannya.
Di samping itu, sekarang Orchid jadi tahu satu hal baru. Bahwa sosok yang sedang menjalin hubungan spesial dengan dirinya tersebut tidak hanya hobi memaksa atau menciptakan suasana menyenangkan saja, tapi juga suka mengubah nama orang lain sesuka hati.
"Bisa stop nggak, sih? Kasian nih, Orchidia jadi canggung dengar argumen un-faedah kalian yang nggak ada ujungnya itu!"
Ardo yang mencium aroma perdebatan panjang pun segera menengahi. Sebab jika keduanya dibiarkan malah semakin lepas kendali. 'Keren outside, bobrok inside' adalah motto yang dipegang teguh oleh Lyan juga Jordan di dalam siklus pertemanan mereka. Kadang Ardo sendiri merasa malu menjadi teman dari dua pemuda idaman sejuta perempuan tersebut.
"Well, sebagai sosok yang paling waras saat ini, gue mau minta maaf karena udah ganggu waktu lo bareng Lyan, Chid. But as you said before, we have to go for receiving an achievements. And our team has been waiting him for so long," ujar Ardo penuh wibawa. "So, can we take your boyfriend away for a while, Orchidia?"
"Take away, take away. Lo kira gue ayam geprek di-take away segala?" protes Lyan dengan wajah sekeruh air selokan. Dia sedih, momen quality time-nya dengan Orchidia harus berakhir karena ulah dua teman baiknya tersebut. Ardo tidak menjawab keluhan Lyan, ia justru menoyor kepala sahabatnya itu tanpa sungkan.
Senyum manis bermekaran menghiasi paras cantik Orchidia. Adegan lucu yang ia saksikan barusan mengingatkannya kepada Secret Angels. Sudah lama kelimanya tidak berkumpul bersama, membuat gadis itu hanyut dalam buaian rindu. Tidak lama, kesadarannya pun segera pulih. Dengan mantap ia mempersilakan Ardo dan Jordan untuk membawa Avlyannya pergi.
"Big thanks to you, Orchidia. You're so beautiful tonight," puji Ardo tulus.
"Yes, you are! Enjoy the show ya, Chid. See you later," sambung Jordan.
Kepergian tiga siswa popular tersebut membuat Orchid kembali berteman dengan sepi. Tidak apa-apa. Malam ini ia akan mencoba untuk menikmati kesendiriannya dengan pertunjukkan-pertunjukkan yang tersaji di depan sana. Setidaknya, khusus hari ini Orchid tidak benar-benar sendirian.
Sesi penyerahan piagam telah usai. Bahkan para anggota tim basket baru saja selesai menyuguhkan bakat terselubung mereka sebagai anak band. Mereka juga berduet dengan Peachia. Orchidia merasa sangat terhibur atas pertunjukkan itu. Tangannya tak henti bertepuk tangan, juga senyumnya enggan terbenam. Rasanya Orchid ingin menghentikan waktu supaya ia bisa menikmati saat-saat bebasnya ini sedikit lebih lama lagi.
Nyaris satu jam Orchidia duduk di barisan kursi penonton. Akhirnya ia pun memutuskan untuk beranjak sebab ia butuh pergi ke toilet.
Langkahnya urung dilaksanakan kala indra penglihatannya menangkap kehadiran seseorang dari arah koridor timur. Seorang wanita berusia hampir seumuran mamanya tengah menatap dirinya dengan binar tertahan dari arah berlawanan.
"Orchidia? Is that you?" sapa wanita itu ramah. Dari nada bicaranya, terdengar ada rindu yang mendesak ingin diutarakan. Tapi tak ada yang bisa Orchid lakukan selain mematung, bahkan hingga wanita itu telah menangkupnya dalam sebuah pelukan erat.
"Bagaimana kabar kamu, Honey? Sudah lama sekali kita enggak bertemu, kan? Kamu sehat?"
Serbuan pertanyaan itu masih Orchidia abaikan. Dia benar-benar tidak tahu mengapa bisa semesta menghendakinya untuk bertemu sosok tersebut di sini, di pesta milik sekolahnya.
"I guess you are pretty fine. Yeah, I think so." Wanita misterius tersebut melepas peluknya. Diraihnya pipi semi tembam milik Orchid dalam tangkupan, mengusapnya pelan untuk merasakan perubahan yang ada dalam diri gadis itu. "Bisa kita bicara berdua, Honey? Hitung-hitung sambil melepas rindu."
🍭🍭🍭
Sepanjang perjalanan pulang, Orchidia memilih untuk diam, bersandar pada kursi yang ia tempati seraya menikmati pemandangan Kota Jakarta di waktu petang. Tanpa Orchid sadari, kebungkamannya telah berhasil menimbulkan tanya dalam benak Lyan yang kini tengah membagi fokusnya untuk menyetir.
Entah hanya perasaan saja atau bukan, Lyan merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri Orchid. Gadis itu mendadak jadi pendiam setelah bertemu seorang wanita yang tidak dia ketahui identitasnya beberapa menit lalu di hall Megantara.
Siapa wanita tersebut? Mengapa Orchidia tampak mengenalnya walau keraguan tidak bisa dihilangkan dari sorot mata gadis itu? Dan apa yang tadi mereka berdua bicarakan?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Lyan.
"Kenapa?" tanya Orchid saat tangan kirinya digenggam tiba-tiba oleh Lyan. Lelaki itu tidak segera menjawab. Dia tetap memusatkan atensinya pada jalanan di depan sana dengan senyum terkembang bak bunga sakura di musim semi.
"Nggak apa-apa, kok. Cuma pengin pegangan aja biar romantis. Nggak boleh?"
Orchidia tahu bahwa segala bentuk sikap yang Lyan tunjukkan pasti memiliki maksud tersendiri. Maka dari itu ia memilih untuk tetap diam dan menunggu cowok itu bersuara dengan sendirinya.
"Gue enggak tahu siapa ibu-ibu yang lo temuin di sekolah tadi dan apa yang kalian bicarain, Cit. Tapi satu hal yang mesti lo ingat. I am right here, besides you." Lyan menoleh sekilas. "Kapan pun lo butuh sandaran, gue selalu siap jadi tumpuan. Dan jangan lagi simpan kegundahan lo seorang diri, oke? Ingat, gue ini perisai pelengkap setelah bokap sama paman lo. Hehe."
Orchidia tersenyum. Tulus sekali. Saking tulusnya bahkan Lyan pun tidak menyadari jika senyum itu merupakam satu-satunya respons yang bisa Orchid berikan. Otaknya sudah kenyang menerima semua hal yang sudah didapatinya hari ini.
Tidak lama berselang, keduanya telah tiba di depan sebuah hunian yang ditinggali oleh Orchidia. Sebagai pemuda yang memiliki sikap gentle, Lyan pun bergegas turun dan membukakan pintu untuk sang permata hati. Dia bahkan mengulurkan tangan seperti yang dilakukan para pangeran di negeri dongeng, dan beruntungnya uluran itu disambut dengan baik oleh si putri raja.
"Huft! Kenapa sih, tiap lagi sama lo tuh, waktu jalannya jadi cepet banget? Tahu-tahu udah sampai, terus puasa ketemu lagi. Ck!" gerutu Lyan penuh percaya diri. Meski begitu, Orchidia tidak keberatan. Bahkan genggamannya di jemari milik cowok itu semakin kuat.
"Kan, besok ketemu lagi?"
"Iya, ya. Bener juga." Lyan kontan menyengir saat ingatan tentang janji untuk menemani Orchidia menjemput tantenya yang akan tiba dari Korea Selatan mencuat.
"Ya udah, kalau gitu abis ini lo istirahat ya, Cit. Jangan mantengin si Cendol mulu. Sesekali bucin-in gue dong, meski cuma di mimpi. Bisa?"
Keduanya tertawa kecil. Menikmati sedikit waktu sebelum kembali ke rumah masing-masing dan beristirahat. Sebelum benar-benar berpisah, Orchid meminta satu hal yang sukses membuat Lyan terpaku di tempat.
"May I hug you before I go to sleep?"
Lyan tergagap. Tidak tahu harus berkata apa ketika Orchidia merengkuh tubuhnya tanpa aba-aba. Bahkan nyaris semenit berlalu dia belum juga bangkit dari rasa kaget dan belum jua membalas pelukan gadisnya tersebut.
"One-sided hug, huh?" ujar Orchid pelan. "Katanya bakal selalu jadi tumpuan gue? Mana? Minta hug aja, enggak dikasih!"
Gotcha! Sindiran yang Orchid layangkan membuat kedua tangan Lyan otomatis tergerak untuk membalas pelukannya. Tidak terlalu lama, namun cukup untuk menyatukan kepingan-kepingan perasaan Orchid yang tengah berserakan tak beraturan.
Setelah saling melepaskan diri, Lyan pun akhirnya pamit undur diri. Ia juga menyempatkan diri untuk melisankan sederet salam sebelum tidur, begitu pula dengan Orchid. Selepas mobil milik Tante Rea membawa Lyan lenyap di tikungan, Orchidia lekas melenggang masuk ke dalam bangunan megah yang sudah menjadi tempatnya berteduh selama beberapa tahun terakhir.
Kala pintu utama berhasil ia buka, pemandangan gelaplah yang menyambut kedatangan Orchid. Semua orang sudah tidur, sebuah hal yang sudah teramat biasa baginya. Dia selalu mengerti bahwa tak akan ada orang yang menunggu kepulangannya. Kecuali Bi Marsih, yang selalu Orchidia kirimi pesan untuk tidak menunggu jika ia pulang terlambat.
Baru saja sebelah kakinya menginjak anak tangga pertama, Orchid dikejutkan oleh sebuah pertanyaan dari arah ruang keluarga yang tak berbias sedikit pun cahaya.
"Dari mana jam segini baru pulang?"
- To be Continued -
🍭🍭🍭
Oho! Terasa kayak udah lama banget aku enggak update, ya?
Sekalinya dateng eh, panjang banget kayak kenanganku bersamanya. Eaaaaa wkwkwk.
Bab ini isinya hampir 3K++++ words. Sengaja nggak dibagi dua biar momen ultah MHS cepet kelar dan move on ke cerita berikutnya. Ehehe.
So, gimana pendapatnya tentang bab ini?
Satisfying or nah?
Boleh tulis tiga kata buat kelakuan Orchid dan Lyan di bab ini?
Penasaran juga nggak sih, siapa wanita yang nemuin Cicit dan apa yang mereka bicarain?
Sabar. Semua bakal dikupas satu per satu. Jadi, sampai ketemu nantiii~~
Malang, 14 Januari 2020
All Rights Reserved
21.45 WIB
Pialoey.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro