Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Trying to Understanding

Mengamatimu dari kejauhan, bagaikan musim dingin bagiku.
Mengenal dirimu, ibarat musim semi di mana harapan baru mulai bermekaran.
Mendekatimu, seperti bertahan di musim panas. Tidak mudah dan harus bersabar.
Namun tiba-tiba badai menyapa.
Aku takut,
jika harapanku akan berjatuhan.
Layaknya bunga di musim gugur.

- Avlyan Shaluca Gazala -


🍭🍭🍭

"Untung dia masih di halte, huh!" ujar Peachia lega saat melihat sosok gadis yang sedang dia dan Avlyan buntuti masih berada di bangku halte dekat sekolah. Siapa lagi jika bukan Orchidia Valerie.

"Iyo, tapi ... sek, deh. Itu Cicit lagi nangis? Atau gue yang salah lihat?" balas Avlyan ketika netra hitamnya menangkap pergerakan Orchid yang terlihat sedang menghapus jejak air mata di kedua pipi putihnya. Peachia pun ikut menjatuhkan pandangannya ke arah objek yang sedang diperbincangkan. Benar. Orchidia tengah menangis.

Gadis yang akrab dipanggil Cia itu spontan membuka pintu mobil hendak menghampiri sahabatnya, namun berhasil dicegah oleh Lyan. "Mau ke mana lo?"

"Nyamperin Cicit, lah! Nggak lihat dia lagi nangis gitu? She needs a shoulder now. She needs her friend to be there!" jawab Cia gemas. Dia tidak mengerti, mengapa hal sederhana seperti itu tampaknya sulit sekali untuk dipahami oleh kaum laki-laki.

"Lo nggak lupa kan, kalau kita lagi dalam misi buat nganterin dia pulang diem-diem alias ngebuntutin dari belakang? Jangan gegabah. Ntar bukannya bisa mastiin dia pulang dengan selamat, yang ada malah cek-cok season dua lagi," peringat Lyan.

Cowok kelahiran Bordeaux belasan tahun silam tersebut melepaskan cekalannya di lengan Cia saat siswi satu tingkat di bawahnya itu terlihat ingat pada misi rahasia mereka. "Oh iya, bener juga. Untung lo waras. Tararengkiyu!" jawab gadis itu seraya mengeratkan lagi pintu mobil.

"Dasar Ayicip bucin! 'No gesrek no life' banget emang."

"Heh! Ngomong apa Anda barusan? Ayicip? Paan tuh?" Cia memprotes kakak kelasnya tersebut sambil bersedekap. Tidak ketinggalan pula raut wajah yang dibuat seolah sedang menantang musuh.

Lyan yang melihat sikap agresif fans berat Fabian tersebut hanya mengembuskan napasnya singkat. Kemudian ia menjelaskan, "Nama lo kan Peachia, dibaca Pi-ci-ya. Ya udah, tinggal dibalik aja, kan? Gitu aja nggak ngerti. Ckck."

Cia yang mulai memahami makna dari kata Ayicip pun memutar bola matanya jengah. Merasa kesal sekaligus prihatin untuk Orchidia, mengapa sahabat terbaiknya itu memiliki pengagum semi rahasia yang alay macam Avlyan Shaluca Gazala.

"Hoileh, dasar Bule Medok! Sekate-kate banget!" balas Cia pada akhirnya. Gadis bermata seindah bulan sabit tersebut pun menambahkan, "Well, oke, even gue nggak suka dengan nama singkatan dari lo yang aneh itu, tapi serah lo deh, mau manggil gue apa. Yang jelas sekarang lo kudu jelasin ke gue gimana bisa Cicit main ke rumah lo, dan ngapain aja kalian di sana. Se-mu-a-nya!"

Avlyan yang mendengar ocehan adik kelasnya tersebut pun memilih untuk segera menjelaskan semuanya sambil melajukan mobil dan mengikuti taksi online yang Orchid tumpangi. Ia menceritakan seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi hari itu, mulai dari Orchid yang tiba di rumahnya hingga mengantar gadis itu pulang.

"Ciyeee, one step closer, nih! Uhuk!" Adalah respons Cia saat seniornya telah selesai bercerita. Dia tidak menyangka bahwa rekan satu tim Fabian di klub basket tersebut akan bertindak senekat itu dengan ancaman yang menurutnya kekanakan. Dan bodohnya, Orchidia, partner in crime-nya dalam tubuh Secret Angels itu malah mengiyakan permintaan Lyan secara cuma-cuma hanya karena tidak mau persahabatan mereka diketahui oleh seluruh siswa Megantara High School.

"Udah dapet lampu ijo tuh, dari nyokap lo, Kak. Ntar jangan lupa PJ ya, kalau dah official!"

Selanjutnya, perjalanan mengikuti Orchidia pun diselimuti keheningan. Baik Lyan maupun Cia, keduanya sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Lyan berfokus pada jalanan di depan sembari mencemaskan kondisi Orchid, sementara Cia sibuk mempertanyakan alasan mengapa Orchid terlihat marah kepadanya.

Setibanya mereka di kompleks perumahan Orchidia, Lyan bergegas menepikan mobil di depan sebuah bangunan yang berjarak tiga rumah dari kediaman gadis tersebut. Tetap menjaga jarak adalah kunci supaya keberadaan mereka berdua di sana aman.

"Alhamdulillah, she's safely arrived at home." ujar Lyan memecah keheningan.

"Lebih alhamdulillah-nya lagi Cicit nggak nyadar kalau kita udah ngikutin dia, sih. Pinter juga lo jaga jaraknya, Kak. Udah biasa, ya? Awas, hati Cicit ikut berjarak juga! Hihihi," timpal Cia dengan candaan yang tidak Lyan inginkan untuk terjadi.

"Ngomong dobol ae terus¹!"

"Plis deh, jangan pakai bahasa Jawa dulu bisa kan? Degem nggak ngerti, nih!"

Lyan menghiraukan aksi protesan Cia. Ia lebih memilih untuk memajukan mobil. Berhenti tepat di seberang rumah Orchid saat sosok gadis tersebut menghilang di balik pagar besi serta taksi online yang telah berlalu. Sementara Cia membuka ponselnya yang menyerukan sebuah pesan masuk.

"Cia, gue nanya. Biasanya kalau Cichy lagi down tuh, dia bakal ngapain aja?"

Cia yang baru selesai membalas pesan dari Miss Zeta pun menjawab, "Yang pasti sih, nangis. Heran. Gampang banget dia tuh, meweknya. Liat adegan sedih di drakor aja, bisa nangis bombay sampai mata bengkak! Pernah waktu itu—"

Lyan memotong ucapan Peachia tanpa permisi. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa gadis periang itu tidak menyadari situasi dan terus berceloteh tentang kebiasaan buruk Orchidia. "Peachia Canna Indiahe, gue serius!"

Cia yang mendengar namanya kembali diubah oleh Lyan pun memprotes, "Indica! Sembarangan banget lo ganti-ganti nama gue! You couldn't change my fullname easily! Kalo lo masih sayang nyawa, sih." Canna Indica adalah nama pemberian dari sang ayah. Dan Cia sangat menyayangi ayahnya tersebut meski beliau sudah berpulang ke rumah Sang Pencipta. Maka tak heran jika dia sebal mendengar namanya diganti sembarangan.

"Well, selain nangis, biasanya Cicit kalau lagi sedih tuh, bakal makan yang manis-manis. Kalau nggak gitu, rebahan sambil mikirin masalahnya, terus nge-drakor atau fangirling-in si Canyul! That's what she will do to erase all of her sadness tho." sambungnya.

"Do you think that she'll do one of them right now?"

"I think so. Why?"

"Apa biasanya Cichy suka nutup jendela kamar kayak barusan kalau udah nyampe rumah?" tanya Lyan saat ia melihat Orchid menutup jendela kamar beserta gordennya beberapa detik lalu.

Cia mendongak. Menatap salah satu sudut bangunan luas di hadapannya yang merupakan tempat Orchidia menghabiskan banyak waktu dan beristirahat. Air mukanya berubah sendu saat dilihatnya jendela kamar tersebut tertutup rapat.

"She's not okay. Literally not," ungkapnya singkat. Dia juga menambahkan sebuah pernyataan yang merupakan fakta baru bagi Lyan. "Cicit paling suka kalau jendela kamarnya dibuka lebar. Bahkan kadang dia sering kelupaan buat nutup dan berakhir diomelin sama Imo."

"Imo? Siapa?"

Peachia mendesah pelan. "Bibi yang ngasuh dia dari kecil. You know, Cicit nggak pernah disentuh sama nyokapnya sendiri sejak dia lahir."

Ironis. Lyan tidak ingin membahas hal yang sangat sensitif tersebut. Karena hal itu membuatnya mengingat dengan sempurna betapa rasa sedih dan kecewa tergambar jelas pada wajah ayu milik Orchid. "Hmm, let's skip about this part. Back to the window. Gimana lo bisa tahu kalau dia suka banget jendelanya kebuka lebar?"

"Please, deh. Gue sama Cicit tuh, temenan bukan baru sehari dua hari doang! Tapi udah dua tahun and still counting!" Heran, adalah kata yang terpahat besar dalam benak Cia. Bisa-bisanya dia mendapat pertanyaan tidak berbobot dari Lyan.

"Kita udah sering nginep di rumah masing-masing. Dari situ gue tahu, baik di rumahnya sendiri atau di rumah gue, Cicit paling suka kalau jendela kamarnya dibuka. Katanya sih, biar angin bisa masuk dengan bebas dan jaga mood dia biar nggak gampang down." imbuh gadis itu tanpa ragu.

Lyan sepenuhnya sadar bahwa situasi yang ada saat ini cukup pelik. Ia bisa merasakan bahwa gadis yang diam-diam mulai disukainya tersebut tengah berjuang seorang diri dalam menghadapi badai yang Caramella ciptakan di sekolah. Gadis itu, Orchidia, membutuhkan support system yang besar, yang sayangnya tidak dia dapatkan dari keluarganya sendiri.

Lyan jadi bertanya-tanya, jika ibu gadis itu sendiri bersikap abai, lalu apakah Orchid akan berbagi keluh kesahnya pada ayah kandung atau ayah tirinya? Dan bagaimana sikap kedua pria tersebut terhadap putri mereka selama ini?

"So, what can we do for her?" tanyanya pada Peachia. Sedangkan siswi pemegang sabuk hitam karate di sampingnya kemudian menggelengkan kepala.

"Nope. Sekeras apapun kita berusaha, dia nggak bakal mau denger. Apalagi kayak sekarang. Nggak cuma sama Ella doang masalah yang dia hadapi. Dia juga lagi ada salah paham sama KaEn—owner kafe BobaMoza yang juga bagian dari Secret Angels. Gue tahu, pasti berat banget buat Cicit. But all we can do is just giving her lots of time to be alone. Let her by herself for a while."

🍭🍭🍭

Avlyan telah memarkirkan kendaraan roda empat milik Peachia di parking hall yang tersedia. Dia juga telah mengembalikan kunci mobil tersebut kepada pemiliknya. Mereka berdua sepakat untuk kembali ke sekolah setelah beberapa menit menghabiskan sisa waktu izin mereka di depan rumah Orchidia tanpa bertamu.

"Thanks ya, Kakak BuMed, udah jadi sopir yang baik hari ini. Makasih juga udah perhatian sama Cicit. Let's believe that she'll be fine sooner. So, gue ke kelas duluan, yaw. Paipai!" pamit Peachia yang langsung melesat menuju kelasnya di lantai tiga gedung KBM tanpa menunggu respons dari Avlyan.

Sementara cowok dengan tinggi 184 sentimeter tersebut kini hendak kembali menuju lapangan basket indoor, mengingat urusannya di klub tadi belum selesai. Saat ia akan meninggalkan area parkir, tanpa sengaja ia melihat Caramella tengah berjalan ke arah mobil pribadinya. Tanpa pikir panjang, Lyan pun memutuskan untuk menghampiri gadis pembuat onar tersebut.

"Caramella!" panggilnya dengan suara lantang. Yang dipanggil pun menoleh dan buru-buru memasang senyum terbaiknya untuk menyambut sang pujaan hati.

"Eh, Pangeranku! Kok di sini? Lagi ngapain?" sambut gadis itu dengan gestur manis yang berlebihan.

Lyan merotasi bola mata mendengar sapaan dari Caramella alias Ella. Terdengar sangat memuakkan di telinga gagahnya. Cowok tersebut bukan tipikal orang yang senang berbasa-basi. Maka ia dengan tegas mengutarakan isi hatinya.

"Gue nggak tahu apa alasan lo benci sama Orchidia. Tapi cara lo memperlakukan dia kayak tadi tuh keterlaluan banget. Lo udah ngehukum orang yang nggak salah apa-apa."

Ella menekuk wajah ketika mendengar sapaannya berbalas pahit. Dia ingin membuat momen manis bersama Lyan. Bukan membahas orang lain yang notabene perusak suasana hatinya. "Tuh, kan. Nama dia baru disebut aja hawanya langsung nggak enak gini. Males deh, dengernya."

"Emang bener, kan? Hati kecil lo sekarang lagi ngerasa bersalah karena udah ngelukai orang yang nggak punya salah apa-apa sama lo. Makanya lo auto ngerasa nggak nyaman waktu denger nama Orchidia," pancing Lyan dengan cerdiknya.

"Gimana nggak salah? Tuh cewek udah dosa besar ya, sama gue!" seru Ella tidak terima. Jiwanya menggeliat saat mendengar Avlyan secara blak-blakan membela rival abadinya, Orchidia Valerie.

"Emang dosa apa yang udah dia perbuat?"

"Gini ya, Avlyan sayang. Cewek nggak tahu diri itu udah lancang deketin dan ngerayu gebetan gue. Dan gebetan gue itu lo! Iya, lo. Avlyan Shaluca Gazala. Everybody knew that fact! Cuma lo doang yang masih nggak mau ngakuin itu." Ella memasang raut sedih di depan Lyan saat mengingat bahwa cintanya selama ini belum berbalas. "Dan selama lo nggak bisa gue miliki, maka nggak ada satu cewek pun yang boleh deket-deket sama lo," imbuhnya.

Pernyataan yang terucap dari bibir Ella tersebut sontak membuat Lyan mendengkus keras seraya membuang muka. Ia merasa geli juga kasihan kepada Ella yang hidup dalam dunia khayalannya sendiri. Lyan berkacak pinggang. Ditatapnya lagi gadis di hadapannya itu dengan sorot mengejek.

"Just for your information, Caramella. Tubuh, jiwa, dan hati gue ini cuma milik Tuhan sama nyokap gue doang. Bukan punya lo. Jadi, lo nggak ada hak sama sekali buat ngelarang gue deket sama siapa pun, termasuk sama Orchidia. Apa yang lo rasain ke gue itu bukan cinta, juga bukan rasa sayang. Melainkan obsesi. Dan obsesi lo itu udah bikin lo buta serta mati perasaan," tembak Lyan. Tepat sasaran. Sebab emosi Ella kini berhasil terpancing. Terlihat dari kepalan tangan yang tercipta di kedua sisi.

"Berani-beraninya ya, lo ngatain cinta gue ini sebagai obsesi! Lo nggak tahu aja, gimana gue tersiksa harus nanggung rasa ini sendirian!!"

Anggota tim basket bernomor punggung sembilan tersebut tertawa kencang. Menurutnya Ella cukup berbakat menjadi pelawak. Terbukti dari perkataan yang selalu berhasil membuatnya tertawa.

Tertawa geli dan miris.

"Gue tahu kok, gimana rasanya. Karena gue sayang sama Orchid. Sayang banget. Tapi dianya nggak nyadar soal perasaan gue ini. Actually, I want to make her as mine, tapi gue tahu. Cinta itu nggak bisa dipaksa. Lebih baik kalau hubungan kita sebatas teman tapi bisa terus deket. Daripada koar-koar nggak jelas, malah bikin cinta jadi jauh. Ya, kayak lo gini, lah. Dan ... kalau gue boleh saran, be realistic aja, Caramella. Bucin boleh, goblok jangan." Avlyan puas dengan kalimat panjangnya barusan. Orang-orang seperti Ella memang perlu disembuhkan dari penyakit halu.

Sedangkan gadis yang baru saja diumpati oleh Lyan itu memekik geram. Harga dirinya tercabik saat cowok yang dia sukai justru menyerangnya dengan kata-kata kasar hanya demi gadis kurang ajar bernama Orchidia. "Sialan! Lo barusan ngatain gue bego? Berani banget, hah? Denger ya, Avlyan, jangan pernah macem-macem sama gue atau lo bakal—"

"Apa?" potong Lyan dengan gesit.

"Lo bakal nyesel. Karena sewaktu-waktu lo bisa aja angkat kaki dari MHS! Nggak cuma lo doang, tapi si bunga bangke itu juga!" Ella mengancam Lyan sambil menunjuk-nunjuk dengan kilat amarah. Namun bukan Lyan namanya jika cowok tersebut menyerah begitu saja.

"Ya, ya, ya. Cuma mau ngingetin aja, sih. Bukan cuma lo doang siswa MHS yang terlahir dari keluarga kaya raya. Tapi 93% siswa di sini juga berstatus sama kayak lo. So, jangan bersikap seolah-olah bokap lo adalah orang yang paling berkuasa di yayasan."

Avlyan pun berlalu. Meninggalkan si gadis berbisa yang tengah menendang-nendang ban mobilnya penuh emosi.

Kapok ora umak? Salahe, ngelarani Cichy. Yo, tak emplok ta².

Semula Lyan berniat untuk kembali bergabung dengan tim basket yang sedang mengadakan rapat inti. Namun sejak mata elangnya bertemu dengan sosok yang tak ia sukai dan hatinya yang terus menyesal lantaran tak ada di samping Orchid saat gadis itu dilukai, langkahnya jadi tidak menentu. Mood-nya pun otomatis berubah. Rasanya malas menghadapi kawan-kawan serta pelatihnya dengan perasaan yang berkecamuk seperti ini. Maka dengan gontai ia memilih menuju markas yang hari ini belum ia kunjungi.

Sesampainya di sana, Lyan menempati spot favorit milik Orchid yang sudah ia hapal dengan baik. Ia mendesah keras. Memijat pangkal hidungnya dengan lembut. Berharap semua masalah ini bisa segera berakhir dan hubungannya dengan Orchid membaik seperti sedia kala.

Sebelah tangannya meraih ponsel dari dalam saku. Jemari kurusnya bergegas mengetik banyak hal kepada satu nama.

To: My Candy Girl
Chy, are you okay?
Gimana sama bahu lo?
Udah diganti perbannya?
Udah mendingan belom?
Chy, gue tau semua ini nggak mudah.
Tapi, plis jangan lo simpan sendiri. Ada gue.
Lo bisa luapin semua rasa sakit lo itu ke gue. Mau lo nonjokin gue juga nggak apa, kok. Asal jangan diem kayak gini.

Dipandanginya deretan pesan tersebut yang tak kunjung mendapat balasan. Beberapa kali juga Lyan mencoba untuk menelepon namun nihil. Berdering tapi diabaikan, tidak dijawab. Cowok beralis tebal itu pun kembali menghela napasnya.

Ora popo lek aku mok friendzone, Chy. Sing penting aku sek iso nyopo awakmu koyok biasane. Iso ndelok senyummu. Ora meneng-menengan koyok ngene³.

Di saat sulit seperti ini, hanya satu yang dapat membuat pikiran Lyan tetap berada pada jalur yang benar. Yakni mamanya. Maka dengan sigap ia men-speed dial nomor milik wanita kesayangannya tersebut.

"Assalamualaikum. Heh! Awakmu mbolos yo? Kok jam yamene nelpon Mama i lo⁴?" Suara di seberang mendadak beringas sesaat setelah mengucap salam. Wajar, sekarang masih terhitung jam efektif belajar, namun putra semata wayang Anggreana malah menelepon.

Lyan tertawa pelan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa mamanya tak akan berbicara santai jika mendapati dirinya tengah berbuat melenceng.

"Waalaikumsalam. Enggak kok, Ma. Lyan lagi kumpul sama tim basket. Ini lagi rehat bentar," jawab Lyan setengah jujur, setengah berbohong.

"Oalah. Kirain bolos kelas. Ya udah, anak gantengku ini ngapain telepon? Ada apa?"

"Ma, kalau cewek lagi sedih tuh, biasanya diapain ya, biar nggak sedih lagi?"

"As usually, My Boy, to the point like his father," sahut Rea sambil terkikik. Wanita berusia hampir kepala empat tersebut pun melanjutkan, "Lagi marahan sama Calon Mantu Mama, ya? Gini, Yan. Apa pun masalah yang bikin kalian berantem, kamu harus paham sama dua hal. Bahwa cewek butuh waktu untuk sendiri, dan kamu harus nyoba buat ngertiin dia. Kalau Cichy lagi marah, ya diemin dulu. Dia lagi badmood, biarin dulu. Jangan dikejar terus karena dia nanti bakal risih sama kamu.

"Coba Mama tebak, pasti kamu abis neror chat sama telepon ke Cichy, kan? Boy, you should have to stop it now. Let her take a time to healing. And all you gotta do is just waiting. Berdoa aja, semoga dia marah atau sedihnya nggak lama-lama. Mama yakin, kok, Cichy bukan tipe cewek yang tega ngediemin orang lama-lama. Sabar ya, Le," tutur Rea panjang lebar. Jujur, Lyan bersyukur memiliki ibu yang sangat peka dan perhatian seperti Rea. Ia tidak bisa membayangkan jika ia terlahir bukan dari rahim beliau.

"Thanks, Ma. Mama emang yang paling dabest! Doain ya, biar Lyan sama Cichy cepet baikan."

"Anytime, Bayi Gedenya Mama. Doa terbaik deh, pokoknya. Tapi inget, nanti kalau udah baikan, cuss ajak Calon Mantu ke rumah, ya. Mama kangen, nih."

Rengekan Rea tersebut kontan menciptakan tawa renyah dari bibir mungil Lyan. Pasalnya, sikap unik mamanya tersebut setara dengan tingkah bocah yang masih berusia lima tahun. Ajaib tapi Lyan sayang.

Setelah dirasa cukup, Lyan mengakhiri panggilannya. Mendengar nasihat dari sang mama, ia akhirnya memutuskan untuk mempraktikkan saran tersebut. Dia akan memberi waktu pada Orchidia untuk menenangkan diri. Dia akan menunggu. Setidaknya, meski hatinya masih gundah, logikanya telah mengambil keputusan yang tepat agar tidak membuat suasana semakin runyam.

Take your time, Chy. Gue bakal nunggu sampai lo siap ketemu gue lagi.

-To be Continued-



🍭🍭🍭



Yeaaay! Alhamdulillah nggak mepet lagi wkwkwkwk.
Gimana? Suka nggak bab ini dikuasai sama Lyan?
Mayan kan, diajarin bahasa Jawa khas Malangan lagi sama doi 😂
Kangen Cicit? Sabar. Minggu depan ketemu lagi, ya.
Btw, tanggal 5 Agustus kemaren dia ulang tahun loh. Officially 18 tahun 😂
Main yuk, ke instagram dia @orchyeolli .

Dan makasih, karena masih setia ngikutin kisah dia dan kasih taburan bintang.
Lafyuuuu 💜💜

Footnote.
1) Ngomong kampret aja terus!
2) Kapok nggak, lo? Salah sendiri udah nyakitin Cichy. Ya gue lahap, lah.
3) Nggak apa-apa, Chy, kalo gue lo friendzone-in kayak gini. Yang penting gue masih bisa nyapa lo kayak biasanya. Bisa liat senyum lo. Nggak malah diem-dieman kayak gini.
4) Heh! Kamu bolos, ya? Kok jam segini nelfon Mama?


Bonus.





Copyright ©2020, TANGHULU by Pialoey || All Rights Reserved

Malang, 6 Agustus 2020
22.57 WIB
Pialoey 💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro