Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

She's Gone

Aku tidak bisa menentukan kehidupan seperti apa yang kuinginkan. Hari-hari yang telah kulalui inilah, yang menjadikan siapa diriku saat ini.

- Orchidia Valerie -


🍭🍭🍭

Awan kelabu senantiasa berbaris di angkasa biru. Membiaskan dunia Orchid, menaunginya di bawah payung sendu berhias ribuan bulir permata bening. Walau segalanya sudah terlanjur menjadi runyam, namun Orchid tetap terus bergerak maju. Benaknya turut menyerukan satu suara; bertahan sedikit lagi, Cit, nggak lama lagi lo udah cabut dari MHS, kok!

Sudah nyaris sebulan Orchid mengulang kalimat itu di dalam kepala. Semua semata-mata demi membuatnya tetap waras dan tidak mendapat serangan panik ketika berada di lingkungan sekolah—meski sebagian besar waktunya hanya dihabiskan di ruangan khusus untuk murid-murid bermasalah. Orchid hanya ingin melewati masa-masa terakhir SMA-nya dengan damai, dan tak ingin membiarkan tatapan mrngerikan serta cacian tak menyenangkan dari para siswa mengacaukan keinginan itu.

Hari ini, Orchid kembali menyendiri. Seperti biasa, ia duduk di salah satu kursi ruang BK yang paling ujung sambil menjatuhkan kepalanya di atas meja. Gading belum datang mengunjungi. Mungkin, masih melaksanakan prosedur harian seperti absen dan lain-lain.

Dilihatnya jam di dinding yang tengah bekerja. Masih pukul delapan pagi. Tapi rasanya... Orchid sudah mulai menemui kata bosan. Biasanya di momen seperti ini, otak sialannya akan membangkitkan ingatan-ingatan buruk yang sudah ia coba untuk pendam dalam-dalam. Membuatnya harus kembali berjuang melewati masa kritis akibat overthinking, dan berujung melamun.

Tak jarang pandangan Orchid terlihat hampa. Kosong. Seperti rumah mewah yang tak berpenghuni. Terapi kognitif yang dijalani beberapa waktu belakangan juga tidak berpengaruh banyak. Rasa cemas, takut, dan gelisah masih setia membayangi langkahnya. Bahkan kini semakin parah. Ia makin takut untuk bergerak, karena tidak siap untuk kembali dihujani kata-kata kasar. Dari siapa pun.

"Kapan ya, gue bisa bebas dari nasib buruk kayak gini? Gue capek, overthinking terus," kicau Orchid di sela lamunannya. Ia mendesah lelah. Ingin rasanya Orchid membubarkan divisi yang berisikan sel-sel terkutuk, yang membuatnya mudah untuk berpikiran negatif. Tetapi hal itu tentu mustahil untuk dilakukan. Sebab otaknya bukanlah sebuah perusahaan yang bisa saja ditutup jika ada kesalahan fatal terjadi.

"Allah tuh, tahu nggak, sih, seberapa capeknya gue ngerepotin orang lain terus?" Satu telunjuk Orchid mengetuk permukaan meja dengan ritme teratur. Kelopak matanya turut mengedip dalam tempo yang agak lamban. Sebenarnya ia mengantuk. Sudah berminggu-minggu jam tidurnya terganggu. "Gue capek dibenci terus. Capek dimaki sana-sini. Juga capek bikin orang-orang di sekitar gue harus selalu worry dan ngehibur gue mulu. I'm... tired of everything. For sure," keluhnya lagi.

Di tengah aksi tak menentu tersebut, tiba-tiba terbesit dua nama dalam kepala Orchid. Nama-nama yang pernah melukiskan warna-warna indah di antara halaman gelap dan usang miliknya. Angels dan Lyan.

Orchidia menghela napas besar setelahnya.

Di satu sisi Orchid bersyukur karena keempat sahabatnya itu, Angels, tidak terlibat lebih jauh dalam permasalahan hidupnya yang semakin rumit. Namun di lain sisi, ia tahu persis bahwa keempat sahabatnya kini juga sedang terjebak dalam kesibukan masing-masing. Jadi, Orchid memutuskan untuk tidak mencurahkan isi hati kepada Angels, yang jelas-jelas hanya akan menambah beban untuk mereka nantinya. Orchid cukup tahu diri.

"Makasih banyak, Yul, lo udah simpan rapat-rapat masalah ini dari Angels. I owe it all, for everything you've done to me."

Sementara itu, sosok yang cukup berharga selain Angels, yakni Lyan, justru kian menunjukkan sikap menghindar secara terang-terangan. Orchid tahu bahwa dirinya bukan gadis yang baik. Tapi, ia sungguh tidak menyangka jika laki-laki yang semula membelanya mati-matian itu, kini malah berbalik arah dan ikut andil dalam memberinya sanksi sosial. Tanpa penjelasan dan kepastian, begitu saja Lyan membangun jarak. Sikapnya yang berubah menjadi dingin membuat Orchidia takut, bahkan hanya untuk sekadar menatap wajah.

Pernah beberapa hari lalu, secara tidak sengaja Orchid bertemu dengan Lyan di lantai empat gedung tua milik sekolah, yang terletak paling ujung dan jauh dari jangkauan para siswa. Tempat yang menjadi favorit keduanya... dulu.

"Gue enggak akan datang ke sini lagi. Lo bisa pakai ruangan ini sesuka hati lo. And, save it all for yourself."

Kalimat-kalimat sarkas hari itu masih teringat segar di benak Orchid. Begitu dingin, menusuk, dan diucapkan oleh Lyan tanpa ekspresi berarti. Ditambah lagi, momen saat Lyan mengatakan agar Orchid menyimpan semua tanghulu-nya yang tersusun rapi di salah satu meja dengan lirikan tajam—alih-alih dengan gestur lainnya yang lebih manusiawi—membuat netra sayunya otomatis basah.

"Apa lagi sih, Yan, yang harus gue lakuin supaya lo bisa maafin dan mau dengerin penjelasan gue?"

🍭🍭🍭


Sore ini, Orchidia sedang bersiap untuk menunaikan tugas harian. Seragamnya masih terbalut rapi, meski sudah satu jam berlalu sejak ia tiba dari sekolah. Dua tangannya kini sibuk menjepit ponsel pada stand holder, menyalakan, lalu mengaktifkan fitur kamera depan. Orchid berniat untuk membuat video singkat di mana ia harus menceritakan apa saja yang sudah dilaluinya hari ini, berterimakasih pada diri sendiri, serta memuji atas keberhasilannya bertahan sampai sejauh ini—sesuai dengan yang sudah Dokter Hazel anjurkan, agar perlahan ia bisa memaafkan masa lalu dan mengembalikan rasa percaya terhadap diri sendiri.

Walaupun isi dari video-video tersebut terasa sangat templat, tetapi Orchid tetap melakukannya sebagai bukti bahwa ia telah berusaha untuk kembali mendapat kesembuhan.

Namun, di tengah aksi persiapan kecil itu, tiba-tiba Orchid dikejutkan oleh suara pintu kamar yang dibuka secara paksa. Bahkan saking terkejutnya, jari telunjuk Orchid tanpa sengaja menekan tombol record. Ia lekas berdiri, mensejajarkan tubuh dengan mamanya—yang mendadak datang dengan raut menegangkan.

"Ada apa—"

Plak!

Tamparan tanpa aba-aba seperti ini sudah biasa Orchid dapatkan sejak kecil. Jadi, ia hanya bergeming ketika detik ini sebelah pipinya kembali diberi rasa sakit oleh orang yang sama. Dengan cepat, pikiran Orchid menyisir memori. Mengingat-ingat lagi, kesalahan apa yang sudah ia lakukan hingga membuat mamanya menjadi murka.

"Ada apa, Ma?"

Orchid menyerah. Ia memutuskan untuk menyuarakan ulang pertanyaannya, meski mati-matian menahan air mata agar tidak terjatuh. Orchid tak boleh cengeng hanya karena satu tamparan, bukan? Karena ia sudah terbiasa dengan hal itu. Sangat.

"ADA APA KATAMU?" Orchidia kembali terlonjak kaget, sementara Lucy memiringkan kepala. Wajahnya memerah, seperti sedang menahan emosi.

"HEY! JUSTRU KAMU YANG ADA APA! KENAPA SELALU MEMBUAT MASALAH DAN MEMBUAT SAYA SEMAKIN MALU MENYANDANG STATUS SEBAGAI IBU KAMU, HAH?!"

Orchid ingin bersuara. Tetapi lidahnya mendadak kelu.

Plis, Cit, jangan nangis, ya. Jangan takut. Jangan panik juga karena lo belum tahu apa penyebab kemarahan Mama kali ini, peringat Orchid dalam hati.

"Saya enggak peduli, kalau kamu hancur dan menjadi bulan-bulanan orang lain! Tapi, bagaimana bisa kabar tentang pembunuhan Erwando olehmu itu tersebar luas di sekolah, Orchidia? Coba jelaskan!"

Oh, jadi Mama udah tahu? Berarti... tinggal nunggu waktu aja sampai Genta oppa ngesidang gue juga, kan?

"Kamu bisu? Jawab pertanyaan saya!!"

Sekali lagi tamparan keras mendarat di pipi Orchid yang mulai kehilangan kesegaran. Rasanya perih. Pun setitik rasa getir berbau anyir menembus bibir hingga lidah. Sudut bibirnya berdarah.

"Miss Zeta yang kasih tahu Mama?"

Lirih, hanya sebaris kalimat itu yang mampu Orchid gaungkan. Kepalanya tertunduk lesu. Ingatannya otomatis tertuju kepada guru BK cantik yang pernah berkali-kali membujuknya untuk memberitahukan masalah besar itu pada pihak keluarga.

Lucy berdecih. Dua tangannya sigap bersedekap. Seolah sedang menegaskan siapa yang sedang berkuasa di sini. "Kamu pikir berapa lama bangkai yang disembunyikan bisa bertahan, Orchidia? Sepintar apapun menutupi masalah yang kamu buat, pada akhirnya saya pasti tahu meski bukan dari mulut guru yang nggak kompeten itu!"

Bukan Miss Zeta? Lalu siapa? Lagi-lagi Orchid dibuat bingung karena tebakannya salah.

Jangan nangis. Jangan takut. Jangan panik.

"Maaf, Ma. Cichy nggak bermaksud buat—"

Belum tuntas jalinan kata terajut, tiba-tiba sebagian kulit kepala Orchid dijalari rasa perih. Ternyata Lucy tengah menjambak segenggam penuh helai-helai rambutnya dengan keras. Orchid mengerang kesakitan. Ia berusaha untuk melepaskan diri. Cukup sulit memang, jika dilakukan seorang diri dengan tenaga yang tidak sebanding.

Beruntung. Cengkeraman erat itu bisa segera terlepas tak lama kemudian. Semua berkat Vandhi yang berhasil mengamankan Lucy dari tindakan brutal.

"Sayang, tolong jangan seperti ini. Kamu sudah janji untuk nggak menyakiti Ochi lagi, kan?" peringat pria itu dengan sabar.

Jujur saja, sudah biasa bagi Orchid untuk mendapatkan panggilan yang berbeda-beda dari orang-orang di sekitarnya, tetapi tidak dengan Ochi. Nama sapaan yang Vandhi berikan itu masih terdengar sangat asing untuknya.

Tetapi tampaknya, hal itu mulai tidak berlaku lagi hari ini. Sebab entah mengapa, mendengar nama Ochi disebut dengan lembut oleh Vandhi, untuk pertama kalinya Orchid merasa tenang. Seakan-akan ia sedang dilindungi. Tulus sekali.

Haruskah Orchid berterimakasih dan mulai menerima kehadiran ayah tirinya itu sekarang?

"Diam kamu, Mas! Jangan ikut campur!" teriak Lucy garang. Wanita itu belum juga bisa tenang.

"No! Kali ini aku enggak bisa biarkan kamu menyakiti putri kita lagi, Sayang. Sudah cukup amarahmu untuk Ochi selama ini."

Lucy berdecih kasar. Wanita itu nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Putri kita? Mas! Orchidia bukan anak kamu! Stop bela dia! Anak kurang ajar ini enggak pantas untuk kamu pedulikan!"

"Jaga kata-katamu, Lucy! Berapa kali harus kubilang kalau aku enggak peduli tentang fakta biologis di antara kami? Bagiku, Orchidia itu anakku! Putriku! Titik!"

"Mas!"

Melihat perdebatan sengit antara Lucy dan Vandhi membuat kepala Orchid berdenyut hebat. Bulu kuduknya meremang, tidak tahu harus berbuat apa selain mengusap noda darah di bibir yang sudah agak kering. Terlebih, kini timbul perasaan bersalah terhadap Vandhi yang ternyata sudah menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Sedangkan Orchid? Ia malah tidak pernah menganggap pria itu sebagai ayah sambungnya.

Di tengah situasi yang sudah tidak kondusif ini, tiba-tiba suara khas balita menginterupsi. Membuat tiga kepala orang dewasa yang ada serentak menoleh ke sumber suara. "Mami, jangan mawrah. Jangan pukul Kak Ochi, Mi," katanya.

Di sana, tampak seorang bocah dengan tinggi selutut Orchid sedang berdiri ketakutan di ambang pintu, lengkap dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Jangan mawrahi Kak Ochi, Mami," ucap bocah itu lagi.

Melihat air mata yang siap menetes di wajah Rion, Lucy pun tak sampai hati. Dia lekas menghampiri si putra bungsu, lalu membawanya ke dalam pelukan. "Rion Sayang, Mami enggak marah, kok. Mami cuma bantu Kak Ochi bersihkan rambut saja. Iya kan, Kak?"

Mau tidak mau, suka atau tidak, Orchidia mengangguk. Hatinya ngilu bagai dihunus sebilah pedang. Melihat perbedaan sikap ini, cukup untuk membuat Orchid kehilangan kata-kata.

Andai Lucy tahu, betapa Orchid juga ingin merasakan pelukan hangat itu.

Setelah beberapa saat dihabiskan Lucy untuk membujuk Rion, wanita itu kemudian berbalik pada suaminya dan berbisik, "Rion sudah tenang, Mas. Tolong bawa dia jalan-jalan, dan biarkan aku menyelesaikan sendiri urusanku."

Vandhi terlihat tidak setuju dan hendak menolak, tetapi saat pandangannya tak sengaja jatuh pada Orchid, putrinya itu justru mengangguk samar diiringi seulas senyum tipis. Seolah menegaskan bahwa ia tidak apa-apa ditinggal berdua saja dengan Lucy. Dan dengan langkah berat, Vandhi pun berbalik. Menuntun Rion pergi dari arena pertarungan.

Selepas memastikan bahwa suami serta putranya sudah meninggalkan rumah, Lucy kembali menaruh atensi pada Orchid. Sementara Orchid, hanya bisa berpasrah untuk apa yang akan diterimanya setelah ini.

"Tujuh puluh persen wali murid di Megantara merupakan kolega bisnis saya. Jadi, coba kamu pikir. Bagaimana mungkin saya enggak tahu tentang kekacauan apa yang sudah kamu perbuat di sana?" Lucy mulai membuka suara. Tenang, tapi menusuk. "Semua orang mengadu, bertanya tentang kebenarannya. Bahkan sebagian sudah mengolok saya," sambungnya.

Udara terasa semakin dingin. Bahkan lebih mencekam daripada film horor yang pernah Orchid lihat. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan situasi ini. Tapi nyatanya, amarah Lucy selalu berhasil membuatnya menciut.

"M-maaf, Ma. Tapi... beneran bukan Cichy yang nyebarin aib itu. Mungkin ada murid yang enggak suka sama Cichy dan nyebarin kabar itu—"

"—dan kamu mengkambinghitamkan siswa tersebut? Menyalahkan dia karena sudah membongkar aibmu, begitu?"

Lucy yang masih berselimut emosi menghendaki tangannya untuk mendorong kepala Orchid berkali-kali. Tanpa ampun. Tak peduli jika putri satu-satunya itu terus menggali luka dalam diam.

Jangan nangis. Jangan takut. Jangan panik. Adalah tiga kalimat yang terus diulang Orchid dalam hati, bak sebuah mantra.

"Semua kegaduhan ini terjadi bukan karena salah orang lain, Orchidia! Tapi salah kamu sendiri! Kamu yang bodoh dan nggak bisa menjaga diri, sehingga aib itu bocor dan menyebar! God, damn it! Bisa-bisanya kamu selalu membuat hidup saya berantakan!"

Sebanyak apa pun kalimat penguat dirapalkan untuk mendoktrin diri, pada akhirnya tetap Orchidia-lah yang akan tertuding sebagai penyebab dari semua masalah yang membuat Lucy marah. Selalu begitu, meski terkadang kenyataan berkata sebaliknya.

"Maaf, Ma."

Satu pukulan keras dari Lucy yang menjadi jawaban. Gadis itu akhirnya tumbang. Jatuh tersungkur, dengan kedua tangan tergerak sigap melindungi kepala dari benturan keras.

"Apa dengan satu kata maaf bisa membuat reputasi saya yang sudah kamu injak ini bangkit lagi, Orchidia?"

"Ampun, Ma."

"Apa air matamu itu bisa membuat nama saya kembali bersih, Orchidia? Dan apakah semua yang kamu tunjukkan saat ini sanggup membebaskan saya dari gunjingan para rekan bisnis?"

Lagi. Rasa nyeri menyerang beberapa bagian tubuh Orchid. Tidak hanya pukulan, beberapa kali Lucy juga menendang area perut bahkan kepala. "Ampun, Ma, ampun," racau Orchid berkali-kali.

Kejadian ini... bukan lagi dé javu. Orchid benar-benar seperti ditarik kembali ke masa lalu. Masa di mana ia pernah dihajar habis-habisan, sesaat setelah kabar kepergian Endo sampai di telinga Lucy.

Lalu, apakah kali ini Orchid akan kembali mendapat banyak luka dan menghilang selama beberapa bulan untuk menjalani pemulihan seperti dulu?

Apalagi kini di kakinya yang tidak tertupi rok seragam, mulai terasa perih di beberapa titik. Sekilas, terlihat goresan benda tumpul. Orchid sempat mengintip, benda apa yang digunakan Lucy untuk menyakitinya—yang ternyata sebuah pajangan akrilik panjang berbentuk buah tusuk kesukaan Orchid, berhiaskan lampu warna-warni pada setiap buahnya. Hadiah dari Lyan di ulang tahunnya yang ke delapan belas.

Maaf, Yan. Gue enggak bisa jaga tanghulu dari lo.

"Seandainya bukan kamu yang terlahir. Pasti hidup saya nggak akan sesengsara ini!" gumam Lucy setelah aksinya berakhir. Wanita itu membuang pajangan yang dijadikannya senjata tadi ke sembarang tempat.

Meskipun hanya gumaman kecil, tapi telinga tajam Orchid mampu menangkapnya dengan baik. Membuat tantrum di dalam hati kian meningkat, meski tangis di mata mulai mereda.

Orchidia berusaha meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Dadanya terasa pengap. "Boleh Cichy tanya sesuatu, Ma?"

Lucy tidak menjawab. Nama panggilan untuk Orchid yang dulu kerap dia dengar dari bibir Veganta, mengusik indra perungunya.

"Kalau seandainya dia masih ada, apa Mama enggak akan cerai sama Papa? Apa Mama juga enggak akan benci sama Cichy?"

"...maksud kamu?"

Orchid menimbang. Haruskah ia menyuarakan isi hatinya ini atau tidak. Tetapi setitik rasa ingin mendapat konfirmasi yang sudah lama ditahan, nyatanya sudah tak kuasa lagi untuk ditahan. Sesegera mungkin Orchid ingin mendapat kepastian tentang benar atau tidaknya informasi yang sudah ia dengar.

"Lucann Orchardi Valerio," jawab Orchid parau. "Saudara kembar Cichy yang meninggal dalam kandungan. Apa... Mama bisa sayang sama Cichy kalau seandainya waktu itu Lucann bisa bertahan dan ada di sini sekarang?" imbuhnya kemudian.

Mendengar pertanyaan itu membuat Lucy otomatis mendengkus. Tatapannya yang semula garang, seketika berubah menjadi remeh. "Jadi, kamu sudah tahu? Rupanya, Papa kesayanganmu itu sudah buka suara, ya?"

Orchidia menggeleng kuat. "Bukan Papa yang kasih tahu, Ma. Bukan."

Lucy tidak peduli tentang siapa yang sudah seenaknya membocorkan informasi tersebut kepada Orchid. Sebaliknya, dia malah ingin berterimakasih. Berkat aksi lancang itu, setidaknya Lucy bisa menekan Orchid dalam perasaan bersalah yang semakin besar.

"Kamu tahu, kan, alasan kenapa janin Lucann enggak bisa berkembang di dalam rahim saya dulu?"

Lamat-lamat Orchid menelan saliva. Perasaannya jadi tidak enak. Orchid hanya mengangguk, sebab ia sudah tahu apa penyebab dari kekalahan janin saudara kembarnya dulu.

"Dia meninggal karena kamu! Bayi laki-laki yang nggak bersalah itu gugur akibat keserakahan kamu!" Amarah Lucy, kembali menguap.

"Seandainya saya cuma mengandung Lucann dan bukan bayi kembar, pasti saya masih bisa bahagia walau nggak mencintai ayahnya! Kamu itu memang biang masalah, Orchidia! Sumber bencana! Nggak seharusnya kamu ada!" tusuk Lucy dengan tajamnya.

Wanita berumur awal empat puluhan tersebut berteriak gusar, lalu mengalihkan pandangan pada objek lain untuk meredam emosi. Di sisi lain, Orchidia, gadis malang itu, hanya terpaku dalam tangis. Berkali-kali logikanya memperingatkan untuk tidak menaruh harapan kepada siapapun. Tetapi lihat? Pada akhirnya ia selalu dihancurkan oleh harapannya sendiri bukan?

Waktu terus berjalan tanpa berniat untuk berhenti. Selama itu pula, baik Orchid maupun Lucy sama-sama larut dalam pemikiran masing-masing. Lucy dengan kebenciannya yang begitu besar, dan Orchid dengan segala rasa sakit yang mulai meluap.

Tidak ada penengah dalam pertarungan batin ini. Keduanya justru semakin sibuk memperdalam luka. Entah sampai kapan pasangan ibu dan anak itu akan terus dibentangkan jarak.

"Jadi, ada atau enggaknya Lucann tetap nggak ngaruh, ya, Ma?" ucap Orchid tiba-tiba. Hatinya hancur. Tidak bisa digambarkan lagi seperti apa rasa sakit yang kian menggerogoti mental dan fisiknya.

"Kenapa sih, Mama cuma benci sama Cichy?"

"Masih tanya? Jelas karena kamu itu Orchidia! Karena kamu adalah putri dari Veganta! Dan karena kamu juga... dua anak laki-laki saya mati sia-sia di usia muda!"

Tuduhan itu membuat Orchidia merenung. Apakah terlahir menjadi anak perempuan Lucy dan Vegan memang harus semenyakitkan ini?

Padahal... Lucynta Orchidia Valerie tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Bahkan ketika Orchid masih berupa butiran embrio pun tidak bisa memilih ingin dilahirkan dalam kondisi keluarga seperti apa dan siapa orang tuanya.

Lalu, kenapa hanya Orchidia saja yang seumur hidupnya harus menanggung kebencian sebesar ini?

"Yang bersalah itu Tante Luna, Ma. Dia yang dulu putus sekolah karena salah pergaulan, dan berakhir hamil di luar nikah. Dia yang ngecewain Mama, kan? Tapi kenapa malah Cichy yang harus menuai semua getahnya, Ma? Kenapa cuma Cichy yang Mama benci?"

Pertanyaan itu mengalir seiring dengan tak kuasanya Orchid menemukan kata sabar. Hari ini juga ia ingin menuntaskan segalanya. Dengan begitu ia bisa mengambil langkah yang tepat untuk keberlangsungan hidupnya nanti.

"Mungkin benar. Apa yang Tante Luna lakuin di masa lalu itu salah. Tapi apa pantas kalau Mama ngebenci anak kandung Mama sendiri, cuma karena Cichy ini seorang perempuan?

"Cichy tahu. Sejak saat itu, Mama bersumpah untuk nggak pengin punya anak perempuan karena takut hal yang sama terulang lagi, kan? Tapi... apa tepat... Mama jadiin Cichy sebagai sasaran atas segala kesalahan yang nggak pernah Cichy lakuin? Ditambah lagi... Cichy enggak pernah minta untuk dilahirin sebagai anak perempuan."

Luapan air mata kembali menghujani wajah layu Orchid. Tidak peduli sudah semerah dan sebengkak apa matanya.

"Cichy nggak salah pergaulan kayak Tante Luna. Cichy juga nggak ngehilangin nyawa Lucann dan Endo. Tapi kenapa Mama benci? Kenapa?"

Lucy bergeming. Semua yang sudah putrinya ungkap barusan memang benar adanya. Alasan terbesar mengapa dia membenci buah hatinya itu adalah karena Orchidia terlahir sebagai perempuan. Lucy tidak ingin dikecewakan lagi di kemudian hari oleh seorang perempuan, seperti apa yang sudah dulu adiknya lakukan padanya.

Di sela tenaga yang masih tersisa, sekali lagi Orchid bertanya, "kalau Cichy mati... apa Mama bakal sedih kayak waktu kehilangan Lucann dan Endo dulu?"

"Dengarkan saya baik-baik, Orchidia."

Lucy berbalik. Memunggungi putrinya, lalu berkata, "kamu enggak pernah berarti apa-apa buat saya. Jadi, kalau kamu ingin mati, so, go ahead. Sekali pun saya enggak akan menangisi kepergianmu, kecuali jika lenyapnya eksistensimu itu dapat membawa Lucann dan Endo kembali dalam pelukan saya."

Dan begitulah cara Lucy memutus satu-satunya harapan Orchid yang terginggal. Menenggelamkan seluruh sinar sang gadis, layaknya mentari yang direnggut paksa oleh kegelapan malam.

🍭🍭🍭

Sekumpulan anggota tim basket Megantara High School, baik senior maupun junior, dikejutkan oleh pintu lapangan indoor yang dibuka kencang oleh seseorang hingga menimbulkan dentuman keras antara badan pintu dengan tembok di sisinya.

"Sori, agak bar-bar," kata Gading dengan napas yang tersengal. Wajahnya membentuk gradasi merah muda dan putih, dihiasi beberapa bulir keringat di sekitar pelipis. Tampaknya dia habis berlari dari jarak yang jauh menuju kemari. "Finally I found you, Peachia," lanjutnya.

Merasa namanya disebut, Cia siap merespons. Tetapi pergerakan bibirnya kalah cepat dari Eivmin yang sudah terlebih dulu menyela. "Oh my days, serius lo nyariin si Cia? Nggak takut disikat sama pawangnya lo?"

Celetukan itu bersambut tawa dari seluruh siswa, kecuali Peachia dan Fabian yang sama-sama kompak berdecih sebal.

"Hish! Diem lo, Cungkring!" cerca Cia galak.

Sobat Angels yang pertama bagi Orchid itu lantas meletakkan bola basket yang sempat dimainkan ke lantai. Kemudian sepenuhnya memusatkan perhatian pada Gading.

"Ada apa, ya, Kak... Gading? Apa pasal nih, nyariin gue?" tanya Cia penuh percaya diri meski sempat terbata mengucap nama Gading—karena harus melihat name tag pemuda tersebut lebih dulu.

"Kamu lihat Orchidia, nggak?" Gading balik bertanya, tanpa bada-basi. Sangat sesuai dengan tujuannya datang ke lapangan megah kali ini.

"... oh, Cicit. Today, gue belum ketemu, sih, Kak. Tapi harusnya sih, dia ada di ruang BK sekarang. Kenapa emangnya?"

"Dia enggak ada di sana, Peachia."

"Tahu dari mana? Kan, nggak ada yang boleh masuk ke ruang BK selain Miss Zeta?"

Gading menghela napas sejenak dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Sejujurnya, aku menemani Orchid di ruang BK setiap hari. Enggak pernah lama memang. Paling lama tiga puluh menit. Tetapi hari ini, saat aku ke sana, Orchidia enggak ada. Makanya—"

"HEH, WHAT? NEMENIN? JINCHAYO? KOK BISA?"

"Bisa."

"Gimana cara? Kan, Miss Zeta selalu standby di ruang BK?"

"Lewat jendela. Saat beliau pergi."

"HAH? LEWAT JENDEEH, BENTAR, BENTAR. Ini gimana sih, konsepnya? Jadinya, lo, Kak Gading, lompat dari jendela buat masuk ke ruang BK pas Miss Zeta nggak ada, gitu?!"

Melihat Gading yang mengangguk, membuat Cia bersemangat untuk menilang kakak kelas yang entah sejak kapan jadi akrab dengan Cicitnya itu.

"Wah, mesti gue P1 nih, lo, Kak," ujarnya seraya mengeluarkan mini notebook dari saku jas, bersiap menulis nama lengkap pelaku penerobosan.

Gading yang tahu bagaimana sikap Cia pun hanya bisa bersabar. Dia tidak masalah jika harus terdaftar di buku pelanggaran minggu ini. Karena baginya, ada hal yang jauh lebih mendesak ketimbang sebuah pelanggaran kecil.

"The thing is... Orchidia enggak ada di mana-mana, Peachia. Nggak di kelas, ruang BK, lab tata boga, di mana pun. Karena kamu sahabatnya, kupikir mungkin aja Orchidia kasih kabar ke kamu," jawab Gading polos.

Cia yang lagi-lagi terlambat untuk menjawab pun harus rela kembali disela oleh orang lain. Kali ini bukan Eivmin, melainkan Ardo.

"Dan kenapa lo seingin tahu itu tentang keberadaan Orchidia? Lo enggak sungkan, nih, sama cowoknya?"

Lyan selaku sosok yang baru saja di-mention oleh Ardo pun tersedak air berkarbonasi yang tengah diteguknya. Sejenak, Gading bisa melihat jika salah satu pentolan siswa idaman di MHS itu terkejut. Sepertinya tidak menyangka jika dirinya akan dilibatkan dalam obrolan kali ini.

"Well. Aku tahu ini terasa janggal untuk kalian, di mana aku dengan terang-terangan mencari Orchidia di depan kekasihnya. Tetapi, hal yang lebih penting di sini adalah Orchidia. Bukan yang lain." Gading mencoba meyakinkan semua orang, bahwa situasi saat ini sangat darurat.

"Penting kenapa, sih? Ada apa sih, sebenarnya?"

Gading memejam mata selama empat detik. Memijit pangkal hidungnya sebentar, sebagai pertanda bahwa dia sedang cemas. Dia butuh jeda sejenak.

"Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Orchidia."

Dan saat semua mata sudah memusatkan perhatian padanya, Gading pun menambahkan. "Pagi ini, aku bertemu Orchidia di apotek. Wajahnya pucat, terlihat sedikit kurusan, dan sorot matanya tampak lelah. Ada beberapa luka juga yang belum kering sempurna di kakinya yang enggak tertutup rok seragam.

"Dan yang membuat aku lebih khawatir adalah... kenyataan bahwa Orchidia pergi ke apotek di pagi buta... hanya untuk membeli dua botol obat tidur."

🍭🍭🍭

Allo, Yorobunsss!
Apa kabar? Semoga semuanya dalam keadaan sehat jaya jaya jayaaa, yaaaa. Hehe. Maafkan diriku yang suka ilang-ilangan dan berakhir ngegantung Cicit. Tidak bermaksud demikian, tapi yaa gitu deh. Wkwk.

Well, aku mau sedikit berpesan, isi dari bab ini sampai selanjutnya bakalan mayan panjang. Semoga ga lelah dan bosan bacanya, ya. 🙈🙈🙈

Again, thank you for always be patient and pay attention on this story.
I purple y'all 💜💜💜💜💜


Malang, 17 Maret 2023
All Rights Reserved
15.41 WIB
Pialoey 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro