Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Memories That She Won't to Remember

Eiyooow~

Terima kasih udah bertahan sampai saat ini dan selalu bersabar menghadapi keterlambatan up-ku. Terima kasih juga buat teman-teman yang selalu rajin tinggalin bintang serta komentarnya.

Kalian ruaaarrrr biazaaahhh 💜💜

Warning!
3000+ kata, semoga nggak mabuk. Wkwkwkwk.
Selamat bacamem 😘

🍭🍭🍭


Seharusnya aku tidak terkejut.
Bahwa semesta gemar memberi kejutan
Yang tak pernah kuduga sebelumnya.
Tetapi, bisakah Tuhan membuat dunia berpihak sebentar padaku?
Aku belum siap jatuh, untuk yang kesekian kalinya.

- Orchidia Valerie -

🍭🍭🍭

Akhir pekan yang ingin Orchidia skip kehadirannya pun telah tiba. Gadis yang masih nyaman merebahkan diri di atas kasur empuknya tersebut tengah menggeliat resah. Bahkan selimut yang biasanya ia dekap erat-erat kini telah terlempar jauh dari tubuh. Berkali-kali ia menengok pada jam di nakas yang terus berganti angka. Tiga jam sudah Orchidia terjaga.

Ia masih merenungi percakapannya dengan Cia dua hari lalu di BobaMoza, mengenai pentas seni di sekolah yang berujung pada aksi Orchid mengiyakan permintaan gadis itu—meski ada syarat tertentu yang sudah ia ajukan sebagai kesepakatan.

Walau Orchidia berkata demikian, tidak menutup fakta bahwa dirinya terus dirundung rasa cemas.

Apakah orang-orang akan mengenali suaranya? Kira-kira apa tanggapan mereka jika tahu bahwa yang bernyanyi bukanlah Peachia melainkan dirinya? Apakah mereka akan menyukainya, atau justru mulai iri lalu ikut membenci?

Orchidia terlalu takut jikalau keputusannya untuk menyumbang suara dalam puncak perayaan HUT Megantara High School akan menjadi sebuah kesalahan dan menimbulkan masalah besar nantinya.

Sejauh ini, hanya segelintir orang saja yang tahu mengenai keunikan suara yang dimiliki Orchid saat sedang bernyanyi. Dia juga sama sekali tidak berniat untuk menjadikan suara khasnya sebagai konsumsi publik. Maka, ketika dua orang terdekatnya—yakni Cia dan juga Lyan—memaksa untuk tampil, apa yang bisa dia perbuat selain menyanggupi?

Di sisi lain Orchid juga sepenuhnya sadar, bahwa tidak semua orang bisa ditipu, terutama Lyan. Sejak gadis itu mengabari cowok tersebut bahwa ia akan turut serta mengisi acara dan disambut antusias, satu pertanyaan kritis mulai memenuhi ruang di setiap rongga kepalanya.

Apa yang harus ia lakukan jika nantinya Lyan kecewa lantaran dirinya hanya bernyanyi dari balik layar, sementara Cialah yang sedang berdiri di atas panggung?

Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban pasti tersebut sukses membuat Orchidia semakin kusut di balik guling, hingga mampu mengabaikan suara ketukan di pintu kamarnya. Siapa lagi yang rajin menyambangi Orchid tepat di pukul lima pagi jika bukan Bi Marsih?

"Aduh-aduh, ini kenapa selimutnya bisa sampai jatuh ke lantai sih, Neng? Nggak kasihan sama Mas Ganteng? Kedinginan lho, ini," ucap wanita baya tersebut sembari meletakkan selimut ganteng milik Orchid pada tempatnya.

Iya. Selimut tebal nan hangat favorit Orchidia tersebut memiliki motif bergambar wajah Park Chanyeol yang sangat besar di bagian luar dan dalam kainnya.

Sementara itu, Orchid masih tidak bersuara. Netra sendunya menatap Bi Marsih penuh pengharapan.

"Imo, sini," ujarnya pelan.

Wanita yang sudah merawat Orchidia sejak lahir seperti anak sendiri tersebut pun paham. Ketika Orchid sudah memanggilnya sedemikian rupa, berarti si bayi besar sedang dilanda gelisah atas sesuatu hal. Dan yang selalu Bi Marsih lakukan adalah mendekati cucu semata wayang keluarga Valerio tersebut lalu mendekapnya erat penuh kasih.

Tanpa sungkan, kegelisahan yang Orchid rasakan mengalir begitu saja. Dengan sabar Bi Marsih mendengar ceritanya. Bahkan wanita itu memberi saran juga ketenangan yang  Orchidia butuhkan. Hingga sebuah kalimat mampu menerangkan lorong gelap dalam benak gadis itu.

"Satu hal yang mesti Neng Chy pahami, bahwa yang nggak pernah tampil menonjol bukan berarti nggak punya keistimewaan atau hak yang setara. Mungkin selama ini Neng Chy memilih diam di zona nyaman. Tapi, nggak ada salahnya buat mencoba dan nunjukin ke semua orang bahwa Neng nggak seperti yang mereka pikirkan selama ini."

🍭🍭🍭


Selepas mencurahkan isi hati kepada Bi Marsih tadi pagi, Orchid merasa bahwa perasaannya sekarang jauh lebih ringan. Ditambah lagi ia hanya mengenakan setelan kemeja bermotif stripes, dipadupadankan dengan rok denim bewarna gelap, serta sepatu casual yang nyaman. Tidak mencolok namun tetap stylish adalah gaya berbusana gadis itu.

Orchid semakin merasa lega karena kini ia tengah bersama Peachia di taman belakang yang nyaris tak pernah dikunjungi oleh para siswa. Mereka berdua tengah melakukan geladi bersih agar gerakan bibir Cia bisa selaras dengan suara yang dihasilkan oleh Orchidia nantinya, mengingat jadwal tampil yang tinggal beberapa menit lagi.

Setelah dirasa oke, keduanya pun berdoa bersama supaya diberi kelancaran. Lalu bergerak menuju lapangan indoor di bagian depan dengan langkah yang tidak berbarengan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Namun tak lama, keduanya harus berpisah setelah membagi mikrofon yang harus dipakai oleh masing-masing. Cia yang bergerak maju ke atas panggung sesaat setelah namanya dipanggil, sementara Orchid berlalu menuju ke salah satu ruangan di balik layar yang tidak disinggahi oleh siapa pun termasuk panitia.

Sebelum masuk, Orchid sempat mengarahkan pandangan ke salah satu tribun yang sudah disediakan oleh panitia khusus untuk para pemenang di turnamen lalu. Di sana, ia dapat menangkap sepasang iris teduh yang ternyata juga tengah menatap balik dirinya dengan senyuman memuja. Orchid membalas senyum itu singkat kemudian berlalu.

Sorry, Yan. Gue nggak bisa sepenuhnya ngabulin permintaan lo. Semoga lo nggak marah.


Saat alunan gitar akustik resmi dimainkan, Orchidia spontan menggenggam erat mikrofon sambil menutup mata. Ia membayangkan tengah berada di dalam kamarnya seorang diri. Perasaannya dilepas sebebas mungkin seolah tak ada beban sedang dilihat atau didengar oleh penonton. Tentu saja hal ini dilakukan supaya Orchid bisa mememukan titik kenyamanan dan bernyanyi dengan leluasa. Ia tidak boleh grogi apalagi sampai melaukan kesalahan. Sebab reputasi Peachia berada dalam genggamannya.

"Oh, I built a world around you. Oh, you had me in a dream, I lived in every word you said. The stars had aligned
I thought that I found you. And I don't wanna love somebody else."

Tanpa pernah Orchidia ketahui, suara husky nan lembut miliknya telah berhasil membius ratusan orang di luar sana. Semuanya dibuat takjub, terpukau, sekaligus merinding atas suaranya yang unik—meski sejatinya arah pandang mereka tertuju kepada Peachia, bukan dirinya.

Namun reaksi itu justru berbanding terbalik dari apa yang dua punggawa tim basket Megantara—Lyan dan Bian—tunjukkan. Keduanya sadar bahwa suara tersebut bukanlah milik Peachia. Bahkan salah satu dari mereka mengenali betul siapa pemilik suara yang sedang menggema di seluruh penjuru sekolah saat ini. Hal itu pulalah yang membuatnya pergi meninggalkan tribun secara tiba-tiba—dan meninggalkan tanya dalam benak rekan-rekan setimnya—untuk mencari keberadaan gadis itu.

"Oh, I shouldn't go on hoping. Oh, that you will change your mind and one day we could start again. Well, I don't care if loneliness kills me. And I don't wanna love somebody else."

Orchid memang pandai dalam hal memainkan perasaan sesuai dengan isi lagu yang sedang ia bawakan. Bahkan saking lihainya, ia dapat menemukan rasa nyaman yang dia butuhkan dalam waktu singkat.

Rasa nyaman itu telah membuat Orchidia lupa bahwa dirinya tengah bermain petak umpet dengan semua orang. Akibatnya, ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Kekira Oceanne di ambang pintu. Orchid tidak tahu, bahwa aksinya kini sudah tertangkap basah bersamaan dengan seringai licik yang timbul di wajah musuh bebuyutan Cia yang lekas berlalu tersebut.

🍭🍭🍭

Memasuki menit-menit terakhir dari lagu I Don't Wanna Love Somebody Else, Orchid semakin bersemangat untuk menyelesaikan tugasnya. Tinggal sedikit lagi ia bisa bernapas lega.

Akan tetapi, ketika Orchidia baru saja menyentuh paragraf terakhir, tiba-tiba mikrofon yang dipegangnya mati. Menyebabkan suara tidak bisa tersalur pada alat pengeras yang bertengger di sisi kanan dan kiri panggung. Tentu saja gadis itu terkejut sekaligus panik. Sebab ia dan Cia sudah memastikan sebelumnya bahwa kondisi mikrofon baik-baik saja.

"Kok mati, sih? Padahal tadi fine-fine aja, deh." Sekali lagi Orchid memeriksa mic di tangannya, barangkali tadi ia tidak sengaja menekan tombol off.

"Bingung ya, kenapa mic lo mati?"

Sebuah pertanyaan sontak membuat tubuh Orchidia menegang. Lamat-lamat ia berbalik dan melihat langsung kehadiran seseorang yang tidak pernah ia harapkan ada di saat seperti sekarang.

"Jadi, gini cara main lo sama si Kecoa itu? Nipu semua orang?"

Ella mendekat. Jemarinya mulai memainkan rambut panjang Orchid seolah bersiap untuk menjambaknya kapan saja. Sedangkan Orchidia sendiri mendadak kelu. Ia terlalu kalut hingga tak mampu merespons pertanyaan Ella dengan cepat. "Bersyukur Sien mergokin lo di sini, kan? Jadi, gue bisa stop aksi tipuan murahan kalian itu se-gercep mungkin," tambahnya.

Butuh beberapa puluh detik bagi Orchidia untuk dapat memahami bahwa penyebab matinya mikrofon tak lain dan tak bukan merupakan perbuatan Ella dan Sien. Terbukti dari gunting yang ada di tangan kanan Ella serta juluran kabel yang sudah terpotong sedang dimainkan oleh Oceanne.

"Jadi, lo—"

"Iya, gue sama Kak Ella yang motong kabel mic-nya. Keren, kan?" Giliran Sien yang bersuara. Gadis itu menunjukkan raut bangga karena bisa menyudutkan Orchidia yang notabene lebih tua darinya.

Ini tidak baik. Mendadak Orchid mulai mengkhawatirkan Cia, juga menebak-nebak apa yang kira-kira sudah terjadi di luar sana. Gadis itu bangkit dan bersiap untuk keluar—jika saja Ella tidak menarik tubuhnya secara tiba-tiba hingga terpental ke lantai. Ia mengaduh sangat keras, tapi percuma. Sebab tak ada yang bisa membantunya.

"Look at me," ucap Ella sembari mencengkeram dagu milik Orchid hingga menengadah. "Ngapain lo nunjukin suara sumbang lo itu hari ini, hah? Mau cari muka? Haus perhatian banget apa gimana? Eh, iya! Lucynta Orchidia Valerie kan, nggak punya keluarga, ya. Kasihan, nggak ada yang merhatiin di rumah ya, Chid? Huhu, sedih nih, gue."

Seringai miris mencuat di sela pipi Orchid. Ia bertanya-tanya dalam hati. Mengapa dirinya selalu selemah itu jika Ella mulai mencatut kondisi keluarganya yang sudah cacat?

Belum sempat Orchidia menemukan jawaban, Ella sudah mendorong kepalanya keras-keras. Sumpah serapah memenuhi bibir gadis bermata bulat tersebut, yang sayangnya sudah tak bisa Orchid dengar lagi apa isinya. Perasaan bersalah tengah merajai hati gadis itu saat ini.

Seharusnya emang gue nggak pernah nurutin kemauan kalian. Sori Yul, Yan, lagi-lagi gue udah bikin masalah hari ini.

"Gimana? Udah beres soal si Kecoa berisik itu?"

"All done, Kak El. Semua orang lagi ngehujat Peachia, tuh. Katanya, malu-maluin MHS aja udah jadi tukang lipsync. Hahaha."

Samar-samar, Orchid mendengar bahwa nama sahabatnya disebut-sebut oleh Ella dan Sien. Dari cara mereka tertawa, dapat Orchid simpulkan bahwa suatu hal tidak baik baru saja menimpa Cia.

"Apa? Cia dihujat sama orang-orang?"

"Iya. Kenapa? Kaget? Huhu kasian," ledek Oceanne alias Sien yang diakhiri dengan tawa kemenangan.

"T-tapi, kenapa? Kenapa dia dihujat?" tanya Orchid masih tidak mengerti. Ia yang semula menengadahkan kepala untuk menghadap dua lawannya, kini berangsur menurun tatkala Caramella berjongkok di depannya.

"Ya gara-gara lo, lah! Kalau lo nggak ngotot pengin nyanyi juga dia nggak bakal dituduh jadi kang lipsync!" Sekali lagi Ella mendorong dahi Orchid dengan keras hingga membuatnya hampir terjerembab ke belakang. "Lagian apa sih, yang lo harapin, Chid? Kalau emang udah nggak diperhatiin lagi sama orang tua, ya berarti tandanya lo udah dibuang. Kayak sampah gitulah. Terus apa yang mesti lo lakuin? Ya terima aja, itu kan takdir lo!"

Mendengar hal itu spontan membuat Orchidia mendorong tubuh Ella hingga jatuh ke lantai dan menabrak kaki Sien. Walau Ella memekik kesakitan, ia tak peduli. Ia lelah dituduh sebagai anak yang terbuang. Kata-kata seperti itu terlalu menyakitkan, walau kenyataannya memang ia tumbuh menjadi seorang remaja dengan kasih sayang keluarga yang tidak lagi utuh. Atau boleh Orchid katakan bahwa pincang kasih sayang adalah kiasan yang tepat sejak dirinya menghirup udara di bumi? Mengingat hal sakral semacam cinta dan kasih yang ia dapat hanya berasal dari pihak papanya saja.

Betapa semesta sekejam itu mempermainkan takdir hidup Orchidia.

Sementara Ella yang tidak terima kemudian mengumpat singkat lalu menendang tubuh Orchidia hingga sepenuhnya tersungkur ke lantai. Tangannya terkepal ke atas siap untuk memberi balasan atas kelancangan Orchid, jika saja jemari besar milik seseorang tidak menahan pergerakkannya.

"Ly-Lyan? Lo ngapain di sini?" tanya Ella gelagapan saat menyadari siapa yang sudah menghalangi aksinya.

"Nggak ada kerjaan banget ya lo gangguin Orchidia mulu?!" Alih-alih menjawab pertanyaan Ella, cowok dengan alis yang sedang menukik tajam tersebut justru menghakimi perbuatan Ella yang sangat tidak terpuji.

"Ganggu apaan? Orang dia yang licik, kok! Gue justru ke sini karena mau negur dia, kalau perbuatannya itu nggak baik. Ya masa dia nipu semua orang, sih? Udah gitu numbalin si Kec—eh, Peachia pula. Kan, nggak bener?"

"Nggak usah drama. Gue tau Orchidia bukan tipe orang yang suka berbuat curang kayak gitu, kok. Toh, dia ada di sini juga atas permintaan gue sama Peachia."

Ella yang merasa jawaban pembelaan dirinya telah dibantah oleh sang pujaan hati pun meronta tidak terima. Dia merasa seperti sedang dipermalukan di hadapan musuh bebuyutannya secara langsung.

"Avlyan! Kok lo jadi belain cewek sialan itu, sih? Harusnya belain gue, dong! Nih, baju gue kotor. Abis didorong sama dia sampai jatuh. Kena sepatunya Sien juga! Ya kan, Si?"

Sien yang mendadak diseret dalam adegan adu mulut pun kontan mengangguk. Seratus persen dia membenarkan sandiwara ketua gang-nya barusan. Lyan sendiri yang sudah paham akan karakter dua anggota cheerleaders itu pun hanya mendengkus. Sama sekali tidak terpengaruh dengan tipuan keduanya.

Lyan lantas berbalik. Mensejajarkan tubuhnya dengan Orchid yang masih terududuk di lantai dengan kepala tertunduk. Dirapikannya rambut gadis itu yang berantakan, kemudian membantunya berdiri kembali.

"For God's sake! Lyan, barusan lo bantuin dia? Gila, ya. Gue yang dikasarin, dia yang lo tolong! Nggak adil tau nggak!" teriak Ella penuh rasa sakit. Harga dirinya serasa diinjak atas tindakan Lyan yang secara gamblang mengabaikan aduannya. "Gue ingetin, ya, Yan. Lo jangan mau ketipu sama tampang polos Orchidia! Dia tuh, ular berbisa!"

"Ular teriak ular?" jawab Lyan santai. Tangannya masih sibuk merapikan surai Orchid yang masih sedikit berantakan.

"AVLYAN! MAKSUD LO APA, HAH? BARUSAN LO NGATAIN GUE ULAR, GITU?"

Lyan benar-benar mengabaikan jeritan Ella yang tidak berfaedah. Batinnya sibuk menggerutu bahwa teriakan Orchidia terdengar jauh lebih merdu, bahkan Lyan bersumpah bahwa dia rela jika harus diteriaki oleh gadisnya itu setiap hari. Bibir tipisnya refleks menyunggingkan senyum, yang Ella artikan sebagai penghinaan untuk dirinya.

"Hah! Gue nggak ngerti. Bisa-bisanya seorang Avlyan, salah satu pangeran MHS, mau repot-repot belain pecundang kayak Orchidia!" Ella menjeda sebentar ucapannya untuk mengambil napas, lalu melanjutkan dengan tangan terkepal dan dua bahu yang ditahan oleh Sien.

"Remember this, Yan. Orchidia tuh, cuma pembawa sial! Di manapun dia berada pasti datengin apes buat orang lain! Jadi, udah sepantasnya kalau sampah, hama, parasit, dan virus kayak dia tuh, dibasmi. Biar nggak jadi penyakit di MHS!"

Pergerakkan Lyan seketika berhenti. Emosi yang sudah coba dia tahan sejak tadi rasanya sudah tidak dapat dibendung lagi. Dengan cepat ia memutar badan menghadap sosok berisik yang sudah merendahkan gadisnya barusan. Tangan kanannya juga terangkat ke atas. Siap memberikan sensasi panas di satu pipi Caramella, jika saja dia tidak ingat akan pesan mamanya agar selalu bersikap baik kepada perempuan dan tidak berbuat kasar.

Di samping itu, jemari-jemari kurus milik Orchid turut menahan dirinya agar tidak melakukan hal bodoh yang bisa menambah daftar dosanya di buku catatan amal. Genggaman itu terasa cukup kuat seolah Orchid sedang menyalurkan seluruh ketakutan juga kelemahannya tanpa kata.

Secara otomatis Lyan menurunkan tangannya. Namun tidak benar-benar turun, sebab dia segera menunjuk Ella yang masih terkejut atas tindakannya barusan yang terlihat seperti hendak memukul gadis dengan tinggi seratus enam puluh senti tersebut.

"Gue pernah peringatin lo buat nggak nyentuh Orchidia lagi kan, El? Kenapa masih aja suka gangguin dia?"

Hening. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Caramella Wijaya. Netra gadis itu masih terfokus pada telunjuk Lyan yang mengarah tepat di depan wajah kecilnya.

"Percuma emang ngomong sama orang nggak berakal sehat kayak lo, but, untuk terakhir kalinya gue saranin. Better you stop from now on, Caramella. Karena sekali lagi lo nyakitin cewek gue, gue benar-benar nggak bakal tinggal diam," tutur Lyan dengan suara rendah yang terdengar cukup mengerikan baik di telinga Ella maupun Sien.

Orchidia sendiri tidak tahu apa maksud dari kalimat Lyan yang terakhir. Tapi satu hal yang pasti, ia merasa lega ada seseorang yang dapat menyelamatkannya dari perbuatan tidak terpuji Ella dan Sien hari ini. Setelah ini, Orchid benar-benar akan berterimakasih kepada cowok itu, kekasihnya.

Tetapi, perdebatan belum juga usai sesuai harapan. Ella kembali membuka suara dan mengutip dua kata yang Lyan sebut di sela kalimatnya. "Cewek gue? Maksud lo?"

Lyan menyeringai. Seolah telah lama menanti momen seperti ini akan terjadi. Sementara di sisi lain, Orchid menjadi was-was. Ia takut jika Lyan akan mengungkapkan status hubungan mereka kepada Ella. Ia takut Ella akan memperlakukannya lebih buruk lagi jika hal itu benar-benar terjadi.

"Nggak perlu gue jelasin juga lo pasti ngerti apa makna dari dua kata itu."

"Hah! Nggak mungkin. Nggak mungkin lo ... lo pacaran sama cewek kayak Orchidia!"

"Oho! Kenapa enggak? Orchidia cantik kok, meski dia pendiam. Dia juga sopan, tau aturan. Udah gitu di balik diamnya, dia juga pinter masak. Bahasa asing? Jago juga. Coba kasih tau gue bagian mana dari diri Orchid yang nggak boleh bikin gue jatuh hati sama dia."

Merasa ditantang, Ella pun semakin menggebu ingin menguak keburukan Orchidia di hadapan Lyan. Tentang hal-hal kelam yang sudah Orchidia sembunyikan dari semua orang. Sedangkan Orchid yang sebelumnya terharu atas pujian Lyan pun harus kembali merasa siaga. Tampaknya Ella belum mau menyerah begitu saja.

"Lo lupa kalau dia tuh anak—"

"Broken home?" sambung Lyan. Dia menggeleng heran. Benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Ella yang hobi sekali mengungkit luka lama milik Orchid. Bahkan dia juga tidak mengerti, mengapa sosok Ella begitu antusias menggali informasi tentang kekasihnya hingga sejauh itu.

"Daripada sibuk gibahin soal perceraian orang tuanya Orchid, kenapa lo nggak introspeksi diri aja sih, El? Udah sebaik apa kasih sayang orang tua lo sampai-sampai lo tega ngerendahin keputusan bokap sama nyokapnya Orchid di masa lalu? Ah, dengar-dengar, bokap sama nyokap lo juga sering nggak berperilaku adil dan lebih perhatian sama kakak lo aja, kan?"

Ella kontan menjerit. Gadis itu tidak terima dirinya dipermalukan sedemikian rupa oleh crush-nya sendiri di hadapan Orchid dan juga Sien. Diam-diam dia telah mempersiapkan senjata terakhirnya untuk membungkam bibir Lyan. Ella yakin, setelah mendengar satu hal yang akan dia sampaikan sebentar lagi, Lyan pasti akan berhenti menyudutkannya sekaligus berhenti menyanjung tinggi Orchidia.

"Bisa jadi, sekarang lo belain Orchid mati-matian kayak gitu, Yan. Tapi gue nggak yakin lo masih bakal bersikap sama setelah ini." Ella menyeringai. Ia lantas maju dua langkah dan berhenti tepat di depan Lyan lalu mendongak, "Asal lo tau aja. Sebenarnya, Orchidia tuh, nggak sebaik yang lo kira. Dia ... seorang pembunuh. Ya, Orchid udah ngebunuh adik tirinya sendiri empat tahun yang lalu."

Berhasil. Perubahan yang timbul di wajah Lyan membuat Ella tersenyum puas. Dalam hati Ella bepikir bahwa cowok itu pasti sekarang sudah merasa jijik terhadap musuh abadinya. Pasti Lyan akan mencabut semua pujian untuk Orchid dan berterimakasih padanya karena telah diselamatkan lebih awal.

Di samping itu, Orchid yang baru saja dijatuhi bom tidak terduga oleh Ella kian memucat. Air matanya berderai semakin deras walau tanpa suara. Napasnya tercekat. Bahkan tanpa disadari tubuhnya telah begetar hebat. Semua kenangan pahit itu berhamburan dari kotak memorinya. Tentang peristiwa nahas hari itu, tentang kebencian mama terhadap dirinya yang semakin besar, juga tentang siksaan yang ia terima hingga membuatnya harus absen dari sekolah selama hampir dua bulan.

Namun, bukan Avlyan namanya jika ia tidak mampu memutus semua ekspektasi yang sudah Ella bangun. Pergerakkan cowok itu yang tiba-tiba mundur dan menggenggam erat tangan Orchid yang tengah bergetar tidak karuan, mau tidak mau membuat kening Ella berkerut tak tertahan.

"Gue nggak tau siasat apa lagi yang mau lo pakai buat ngejatuhin Orchidia, El. Tapi satu hal yang perlu lo ingat. Bahwa setiap tutur kata yang diucapin oleh orang nggak berperasaan kayak lo, nggak akan pernah bisa dipercayai sama siapa pun, termasuk gue. Intinya, gue percaya Orchid bukan orang jahat kayak yang lo tuduhin barusan.

"Satu lagi. Gue rasa, dorongan yang Orchid kasih buat lo tadi kurang keras deh, kayaknya. Soalnya, orang kayak lo sesekali emang perlu dikerasin, kalau cara halus nggak juga bisa bikin lo sadar sama semua kesalahan lo selama ini."

Dan begitulah. Lyan pun akhirnya menuntun Orchid untuk lekas meninggalkan ruang panas tersebut. Menyisakan Ella dengan teriakan frustasinya, diiringi usapan Sien pada bahu gadis itu agar tidak semakin meledak.

- To be Continued -

🍭🍭🍭

Hai, Gaes.
Apa kabarnya iniiiiii?
Huhu maaf ya, minggu kemarin nggak sempat up bab ini.
Ada beberapa hal yang bikin aku mutusin buat nunda apdet ehehe.

So, how?
Kaget tydak sama tuduhan Ella buat Cicit?
Gimana perasaan kalian liat sikap gentle Lyan yang nggak mudah kepancing jebakan si Payung hombreng?
Satu kata dong, buat Cicit, Lyan, sama Ella. Hehe.

Dah gitu aja. Selamat hari Jumat.
Juga selamat Hari Natal buat teman-teman yang merayakan.
Semoga diberi kesehatan juga kebahagiaan selalu.
See you 💜

Malang, 25 Desember 2020
All Rights Reserved
12.34 WIB
Pialoey.

                                                                              

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro