Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jealous Over Here, Jealous Over There

Bonsoir!
Uhuyyy, 3.195 kata iniiihh. Yuk, tekan bintangnya dulu yuk, sebelum lanjut baca. Soalnya pencet tombol bintang apalagi ninggalin komentar di rumahnya Cicit tuh, gratis, lho. Ehehe~
Enjoyyy~

🍭🍭🍭

Aku tahu bahwa bukan hakku untuk melarang.
Tetapi, di dalam hubungan yang sedang kita bina saat ini,
Bukankah tidak seharusnya kamu membagi senyummu kepada selain aku?
Tahukah kamu bahwa hal itu melukaiku?

- Avlyan Shaluca Gazala -

🍭🍭🍭

Final merupakan tahapan terakhir dari sebuah kompetisi yang paling dinanti kehadirannya. Sebab pada fase inilah, lahirnya juara baru atau bertahan dapat ditentukan. Di hari terakhir rangkaian turnamen yang diselenggarakan oleh Megantara kali ini, gegap gempita mengisi seluruh penjuru sekolah. Semua sedang berbahagia juga harap-harap cemas, apakah jagoan masing-masing akan keluar sebagai pemenang, ataukah harus berpuas diri dengan posisi runner up saja.

Salah satu cabang olahraga yang paling banyak menarik minat penonton tentulah basket. Pada kesempatan kali ini, tim perwakilan Megantara High School akan bertemu dengan tim basket dari Al-Azhar International Islamic School. Pertemuan kedua tim tersebut bukanlah yang pertama kali, justru keduanya telah sering berhadapan di partai puncak, pun silih berganti mengejar kemenangan.

Orchidia antusias dalam menyambut final pertandingan basket tahun ini. Selain karena ia ingin menikmati event terakhirnya di Megantara dengan status siswi aktif, gadis itu juga sudah berjanji kepada Lyan bahwa dirinya akan duduk di barisan para penonton untuk ikut mendukung selepas kegiatan klubnya berakhir.

Mulanya bisa Orchid lihat bahwa Lyan sangat bersemangat, bahkan sejak dia baru saja memasuki lapangan. Orchid juga sesekali menangkap lemparan senyum plus tatapan hangat dari cowok tersebut, seolah sedang memberi kode bahwa dia akan menyelesaikan pertandingan sore ini dengan baik. Orchidia sendiri juga ikut bersorak saat MHS berhasil menambah poin. Irama jantungnya kontan berdendang saat tim basket sekolahnya unggul di dua babak pertama.

Namun memasuki babak ketiga, keadaan menjadi berbalik. Al-Azhar unggul dengan selisih poin sebanyak sembilan belas. Ditambah lagi pergerakkan Lyan yang entah mengapa Orchid lihat sering tidak fokus. Seperti salah mengumpan bola pada pihak lawan, melesetnya tembakan three point yang biasa dia lakukan dengan mudah, bahkan Lyan juga sempat melakukan salah satu pelanggaran yakni 24 seconds violation.

Lambat laun timbul rasa khawatir dalam hati Orchidia. Jika keadaan terus seperti ini, maka bukan kemenangan yang MHS akan raih, melainkan sebuah kekalahan. Dan apabila hal itu terjadi, maka tim basket Megantara akan mencatat sebuah rekor takhluk di kandang sendiri untuk pertana kalinya.

Duh, jangan-jangan gue emang pembawa sial. Buktinya, selama gue nggak pernah nonton match, mereka selalu menang. Giliran sekarang gue nonton, mereka malah ...

Orchid menggeleng pelan agar pikiran-pikiran buruk tersebut lenyap dari kepalanya. Tapi meskipun ia menepis prasangka bahwa dirinya adalah pembawa sial, nyatanya Orchid tetap memilih untuk pergi meninggalkan aula—yang juga diikuti oleh Ervin. Siapa tahu jika Orchid enyah dari sana, tim basket sekolah mereka bisa bangkit dan keluar sebagai pemenang.

Langkah Orchid yang semula beriringan dengan Ervin harus terhenti ketika pergelangan tangannya tiba-tiba dicekal oleh seseorang, yang tak lain dan tak bukan merupakan punggawa tim basket bernomor punggung sembilan. Avlyan Shaluca Gazala.

"Lo—"

"We have to talk," ujar Lyan dengan penuh penekanan. Orchid meringis lantaran pergelangan tangan yang sedang dicengkeram oleh cowok bersuara teduh itu menghadirkan rasa perih. Ervin yang melihat adegan tersebut pun memprotes. Menyuruh Lyan untuk tidak bersikap keras terhadap perempuan.

"Biasa aja megangnya, woy! Lo nggak lihat apa, Orchidia kesakitan kayak gitu?"

"Nggak usah ikut campur. Alumni cupu, tukang ngadu, minggat aja sana!"

"Pardon me, but Orchidia is going with me now. Lo mending balik aja ke lapangan, deh. Main yang bener. Ngelempar bola aja salah sasaran mulu, sok-sokan garang," balas Ervin seraya menarik bagian tangan Orchidia yang bebas. "Udahlah, cabut yuk, Chid."

Oh my, gue berasa kayak lagi cosplay jadi Geum Jandi yang direbutin Goo Junpyo sama Yoon Jihoo, deh! Padahal gue aja nggak ada hubungan cinta-cintaan sama dua orang ini.

Batin Orchidia sibuk mengomel saat meratapi kedua tangannya yang tengah ditarik oleh dua orang yang berbeda. Bukan apa-apa, hanya saja ia takut jika ada siswa lain yang menyaksikan adegan tak berfaedah ini. Bagaimana jika nanti tiba-tiba muncul gosip?

Orchidia sudah terbiasa mendapat penilaian jelek dari orang lain, akan tetapi tidak tepat rasanya jika kali ini melibatkan dua sosok teman yang memiliki kebaikan pada porsinya masing-masing. Serta di waktu yang bersamaan dengan puncak pagelaran Megantara pula.

Di sisi lain, Lyan tidak kunjung menyerah. Ia masih belum mau melepaskan pegangannya, bahkan kini menggenggam semakin kuat. "Kita harus ngomong, Cit. Waktu gue nggak banyak," desaknya.

Ervin terlihat ingin kembali meluapkan unek-uneknya terhadap Lyan, namun berhasil ditahan oleh satu-satunya gadis yang sedang jadi bahan perdebatan detik ini.

"Nggak apa, Kak. Tunggu di luar aja, ya. Gue ngobrol bentar sama Lyan," katanya memutuskan.

Lyan tersenyum puas ketika Orchidia lebih memilih dirinya daripada mendengar perkataan si kakak kelas yang terdengar sangat menyebalkan. Ia pun lantas membawa Orchid ke salah satu bilik yang ada di bagian belakang GOR.

"Ada apa?" tanya Orchid saat Lyan sudah memastikan bahwa tak ada orang di sekitar sana.

"Lo mau ke mana sama si Scooby-doo itu?"

"Kak Ervin," ralat Orchid sesaat setelah mendengar Lyan dengan kurang ajar memanggil kakak kelas mereka dengan nama seekor binatang lucu dari salah satu kartun legendaris.

"Yeah, whatever," dengkus Lyan, "tapi kan lo udah janji mau nonton final sampai selesai, Cit? Kenapa sekarang malah cabut? Bahkan pertandingan belum selesai!"

Orchidia memilih melepas segerombolan karbon dioksida dari lubang hidungnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari Lyan. Ditatapnya cowok itu dengan lembut tepat di kedua manik. Tak lupa, Orchid juga menepuk yakin bahu lebar milik Lyan.

"Gue ... nggak mau sekolah kita dapat sial kalau gue masih stay di dalam sana, Yan. Tim basket kita selalu menang, kan? Dan gue nggak pernah hadir di momen-momen epic itu." Orchid mengawali jawabannya. Kemudian ia menunduk dan memainkan ujung-ujung jarinya dengan resah sebelum kembali melanjutkan kalimat. "MHS harus menang, Yan. Jangan sampai kehadiran si pembawa sial ini bikin sekolah kita benar-benar ketiban sial."

"Pembawa sial? Siapa?"

Gadis yang masih berseragam boga lengkap dengan atributnya itu pun menatap sejenak Lyan yang tengah memasang wajah datar sedatar jalan tol.

"... gue."

Selanjutnya, Orchid justru dibuat tercengang atas reaksi Lyan yang bergerak di luar dugaan. Cowok itu mengerang keras sambil menggerakkan kedua tangannya membentuk pola sedang meremas-remas udara dengan geram.

"Hiiiiihh! Arek iki ancen njaluk diremet-remet kok, ancen! Iso nggak se, sedino ae nggak usah insekyur! Sial, sial. Opo iku sial? Nggak ono ceritane menungso dilairno nang ndunyo mek gawe dadi tukang sial! Pisan maneh muni ngunu, tak hih lambemu!¹"

"... lo ... ngomong apa, sih, Yan? Di jurusan gue tuh, nggak diajarin bahasa Jawa, tau!"

Bukannya menjawab, seorang Avlyan justru menyudutkan Orchid pada tembok lalu memerangkapnya dengan dua tangan yang dilekatkan di kedua sisi. Orchidia terkejut untuk sesaat. Berada di jarak sedekat itu dengan Lyan selalu berhasil membuatnya lupa bagaimana cara bernapas dengan benar.

"Bodo amat. Pokoknya lo harus balik ke kursi dan dukung gue sampai akhir! Sendiri aja, nggak usah sama si Scooby—ah, Ervin kampret itu. Gue jamin tim kita bakal menang dan lo nggak perlu ngerasa bahwa lo ini ngebawa sial di manapun lo berada. Kalau nggak nurut, gue bakal aduin ke Om Genta kalau masih ada kebohongan yang lo sembunyiin dari dia. Ngerti?"

Selanjutnya, Lyan pun berlari meninggalkan Orchid yang diam mematung di tempat. Sebentar lagi babak keempat akan dimulai. Lyan tidak ingin pelatih serta kawan-kawannya curiga karena kepergiannya yang terlalu lama, mengingat cowok itu hanya berpamitan untuk buang hajat sebentar di toilet.

Setelah kesadaran mulai pulih, Orchid pun mencebik sekeras-kerasnya. Tidak habis pikir dengan sikap Lyan yang berubah-ubah seperti bunglon, dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Habis memohon untuk berbicara empat mata, mengumpat, lalu barusan mengancam. Benar-benar aneh.

"Gitu ngatain Kak Ervin tukang ngadu. Sendirinya juga kang ngadu profesional gitu, huh!"

🍭🍭🍭

"Yakin nggak mau bareng? Gue traktir BobaMoza, deh. Sekalian meetup sama KaCan. Gimana?" tawar Ervin saat Orchidia sudah melekatkan ranselnya di punggung. Gadis dengan surai yang diikat menjadi satu ke atas tersebut menggeleng kuat-kuat, menimbulkan goyangan-goyangan lucu dari rambut panjangnya.

"Nggak usah, Kak. Gue ada janji sama Peachia mau ke toko buku soalnya. Sori, ya. Maybe next time? Janji deh, ntar gue bujuk KaPiyur biar nggak galak-galak lagi sama lo. How?"

Ervin pun mengangguk. Menyepakati tawaran Orchidia soal kelanjutan hubungannya dengan Anindya, kemudian berlalu. Sementara gadis itu sendiri kini kembali menampakkan raut cemasnya yang sudah ia tahan mati-matian sejak tadi. Tujuannya satu, dia tidak ingin membuat kakak kelasnya tersebut merasa khawatir.

Sebab bukan dirinya yang harus dikhawatirkan, tetapi Lyan. Cowok yang sudah mengancamnya tadi itu sedang berada di unit kesehatan sekolah sekarang. Orchidia harus bergegas ke sana.

Setibanya di depan ruangan bercat serba putih tersebut, langkah Orchid harus terhenti. Di dalam sana terdapat Caramella yang tengah merengek, bersikeras untuk tetap tinggal dan menemani Lyan sampai cowok itu membaik—walau beberapa kali pula Orchid dengar Lyan menyerukan tolakan bahkan mengusir secara terang-terangan.

Duh, ngapain sih, gue ke sini? Bego banget. Udah tau Lyan lagi nggak baik. Udah pastilah, Ella bakal ada di sana! Geblek banget sih, you, Cit!

Dia memilih untuk memutar langkah, tetapi lagi-lagi harus terhenti akibat kehadiran seseorang yang tidak terduga.

"Don't go anywhere, Orchidia. Just stay a little bit more. Nggak lama lagi si titisan Gerandong itu bakal cabut, kok."

Orchid tahu siapa sosok tersebut. Ialah Prawn Boggy Chevalardo atau yang biasa dipanggil Ardo, salah satu kawan terdekat Lyan.

"Hng ... gue ... nggak mau ke UKS, kok. Tadi salah jalan. Duh, Kak Ervin lari ke mana, sih?" Orchidia menjadikan Ervin sebagai alibi karena malu sudah tertangkap basah oleh Ardo sedang menatapi sendu penampakan di dalam ruang kesehatan.

"Hmm, gue cabut dulu ya, permisi."

Baru tiga langkah, gadis itu terpaksa berhenti sebagai akibat dari cekalan Ardo di tangannya. Orchid sendiri heran, mengapa hari ini orang-orang suka sekali mencekal pergelangan tangannya? Salah apa si pergelangan kurus tersebut?

"I think he needs you now. Just stay here a little bit more, Orchidia, then talk everything you wanna say to him freely," tutur cowok yang sudah menutupi kostum basketnya dengan black over-sized hoodie itu ramah.

Melihat Orchid yang termangu, Ardo pun terkikik pelan. "Tenang aja. Gue nggak akan bilang siapa-siapa kalau kalian emang sedekat itu, kok. Abis ini bakal gue bantu seret si kadal betina itu buat pergi. Biar lo sama Lyan bisa leluasa ngobrolnya," imbuh Ardo.

Orchid tersenyum kaku. "Thanks."

Ardo membalas senyuman itu dengan tulus kemudian masuk ke dalam UKS. Lalu Orchid memilih untuk bersembunyi di satu titik yang sudah Ardo rekomendasikan agar terhindar dari pertemuan dengan Ella. Kebetulan, tak butuh waktu lama nuha baginya untuk menunggu. Sebab Ardo berhasil menggeret Caramella pergi dari sana hanya dalam kurun waktu kurang dari lima menit.

🍭🍭🍭

"Are you sleeping now?" tanya Orchid basa-basi. Dia jelas tahu bahwa Lyan tidak tidur meski sebelah tangan pemuda itu membingkai wajah. Lyan hanya memejamkan mata saja.

"Ngapain ke sini?"

"Dih, jutek amat! Syukur-syukur ya, gue mau nengokin lo ke sini! Tau gini mah, mending tadi gue nggak nolak ajakan Kak Ervin aja!" Orchidia dan bibir pedasnya telah kembali. Terasa menyebalkan sekali ketika pertanyaan baiknya disambut tidak mengenakkan oleh Lyan.

"Dia ngajakin lo ke mana?!"

"Kepo!"

"Cit, serius, ya. Gue ini cowok lo. Udah bener lo di sini, jengukin gue. Bukan malah nyesel udah nolak ajakan si kampret itu!"

Gadis berperawakan tinggi semampai tersebut mengernyitkan dahi. Merasa aneh dengan pemilihan kata-kata yang Lyan tuturkan barusan. "Kok lo jadi sewot, sih? Harusnya kan, gue yang kayak gitu?"

Lyan seketika bangkit dari tidur dan duduk bersila. Ditatapnya gadis itu dengan intens hingga matanya terasa perih. Tangannya turut bersedekap, menguarkan aroma intimidasi yang sangat kuat.

"Kenapa sih, lo sama sekali nggak bisa peka, Cit?"

"Maksudnya?"

"Gue ini ... masih pacar lo, kan?"

Orchidia tidak mengerti arah pembicaraan Lyan. Ia hanya menatap bingung cowok tersebut dengan segudang tanya di dalam benak. Mungkin hantaman bola basket di kepala Lyan saat selebrasi kemenangan tadi terlalu keras. Sehingga membuat otak cowok itu sedikit bergeser.

"Walau cuma pura-pura, tapi lo udah ngikat gue dalam hubungan ini, Cit. Jadi bisa nggak, sekali aja lo jaga perasaan gue?" Tatapan di mata Lyan kian melunak. Ada raut marah, sedih, juga kecewa yang bisa Orchid tangkap di sana.

Tapi ... kenapa? Kenapa Lyan harus kecewa terhadapnya? Dan karena apa pula?

"Jadi, gitu, ya? Selama ini lo terpaksa buat bantuin gue, Yan? Terpaksa buat jadi pacar pura-pura gue di depan Genta oppa?"

Entah mengapa, sesak itu datang. Menekan kuat-kuat dada Orchid hingga menerbitkan selaput bening di netra sipitnya. "Harusnya lo bilang dari awal kalau nggak mau bantuin gue, Yan. Dengan begitu ... gue bisa tau diri."

Selaput bening itu pun meleleh seiring dengan pergerakan Orchid yang tiba-tiba bangkit dari kursi. Ia bermaksud untuk pergi dan menjauhkan diri dari Lyan, sejauh yang ia bisa. Entah mengapa hatinya kini dipenuhi oleh perasaan kecewa. Rasa malu atas kepercayaan dirinya selama beberapa bulan ini pun turut bersemi.

"Bukan gitu maksud gue," sergah Lyan. Tangannya dengan gesit meraih Orchidia agar tidak pergi. Dia juga menuntun gadis itu agar kembali duduk, namun kini menjadi lebih dekat dengannya.

"Gue nggak pernah terpaksa buat bantuin lo, Cit. Malahan, sebisa mungkin gue bakal ada buat lo. Tapi, pernah nggak, sih, sekali aja kepikiran tentang apa alasan gue nerima ajakan lo buat pura-pura pacaran tanpa penolakan?"

Gotcha!

Orchid mungkin tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara. Akan tetapi, apa yang Lyan tanyakan barusan sesungguhnya sudah menggelayuti pikirannya sejak lama. Tentang mengapa cowok yang tak pernah berpacaran tersebut justru mengiyakan ide gilanya malam itu tanpa pikir panjang.

"Kenapa?" tanya Orchid kemudian. Suaranya yang lirih membuat Lyan merasa bersalah karena telah bersikap kurang baik pada gadisnya itu hari ini.

Lyan menunduk sejenak. Menetralkan seluruh gejolak yang tengah menyerang hati, sebelum akhirnya dia memberanikan diri untuk menatap lagi wajah ayu milik Orchidia. Tak lupa dia juga berdoa. Berharap apa yang akan dikatakannya setelah ini tidak akan membuat gadisnya itu pergi dari sisi.

"Itu karena ... gue suka sama lo. Sadar atau enggak, gue selalu deg-degan tiap lo ada di dekat gue, Cit."

Orchidia melongo. Terkejut itu sudah pasti. Namun ia bingung. Bagaimana bisa seorang siswa idaman seperti Lyan menyukai dirinya yang bukan siapa-siapa? Apakah Orchidia sedang bermimpi? Seingatnya, dia juga tidak sedang melakoni adegan di dalam drama. Bahkan Orchid merasa bahwa dirinya hanyalah butiran debu yang tak pernah disukai kehadirannya. Sekali tiup, maka ia akan lenyap. Jadi, sudah pasti ini tidak nyata, bukan?


"H-how come? Gue kan, cuma seonggok daging kualitas rendah yang kebetulan lewat—"

Satu jari telunjuk Lyan sukses menghentikan Orchidia dan kalimat-kalimat insecure-nya. Dia juga menggeleng pelan saat netra gadis itu kembali berkaca-kaca.

"Gue nggak suka lo terus-terusan ngerendahin diri sendiri kayak gitu, Cit. You should have to know that everyone shines on their own ways. So do you."

Gelengan keras gadis itu resmi menjatuhkan bulir-bulir bening di pipinya. Ia tidak setuju dengan perkataan Lyan barusan. "You wrong. I'm not as good as what you think. Dunia gue terlalu gelap. Lo nggak boleh masuk terlalu jauh, Lyan.

"Kayak yang Ella pernah bilang, eksistensi gue cuma bisa bikin orang lain memupuk rasa benci. Seharusnya lo pun kayak gitu juga. Bukan malah bilang suka, yang justru bikin gue semakin sadar di mana tempat gue seharusnya berada."

Spontan Lyan merengkuh gadis itu dalam pelukan. Dia sendiri bingung, mengapa Orchidia bisa sesensitif itu hanya karena deklarasi perasaannya barusan? Apakah sedalam itu luka yang gadis itu punya, sehingga energi positif seakan enggan untuk mengitari jiwanya?

"Iya, gue benci sama lo, Cit." Perkataan Lyan kontan membuat isakan Orchid seketika mereda. "Gue benci denger lo menyuarakan ujaran-ujaran kebencian terhadap diri lo sendiri. Kenapa sih, lo selalu masukin semua omongan-omongan nggak baik ke dalam hati? You deserve to be happy with your own life. Do everything you likes and don't ever hear something bad from others, because they only sees what they wanna see."

"No, I think I don't deserve something good like happiness. My mother told me that I'm—"

"Sssshh. Stop it. Gue nggak mau lo bahas-bahas soal nyokap lo lagi. Buat gue, terlepas dari sayang atau enggak orang tua, si anak tetap harus bahagia. Dan lo harusnya juga gitu.

"Berapa kali gue bilang, it's easier to judge than to believe. Dan yang terpenting lo masih punya orang-orang yang peduli sama lo, kok. Seenggaknya, tolong pikirin kami semua."

Tidak ada jawaban. Orchid lebih memilih untuk menikmati bahu serta sandaran melenakan yang ia terima kini. Dia lelah. Apalagi Lyan bukan tipe orang yang mudah untuk berhenti.

"Lyan," panggilnya tak lama berselang. Yang dipanggil hanya berdeham seraya terus mengusap surai gadis itu supaya lekas tenang. "Jadi, apa alasan lo marah kayak tadi? Beberapa hari ini juga, sikap lo agak berubah."

"Mau dijawab jujur apa bohong, nih?"

"Gue udah biasa percaya sama kebohongan yang orang-orang ciptain, sih. Jadi ketika lo ngomong jujur pun, gue rasa bakal tetep percaya. So, what's the matter?"

Entah mendapat kekuatan dari mana, Lyan yang semula hanyut dalam suasana mellow, tiba-tiba saja kembali menjadi sosok laki-laki berisik yang biasa Orchid temukan.

"Pacar gue pinter banget sih, nanyanya? Gini ya, Mbak Pacar sayang. Gue tuh, nggak suka sama yang namanya Ervin. Nggak suka liat lo dekat-dekat sama dia. Apaan, ditinggal tanding lima hari aja udah nempel-nempel mulu dia kayak parasit! Lo juga, kenapa mau-maunya ditempelin sama dia, sih? Nggak takut sawan?"

Orchidia tertawa. Entahlah. Di telinganya, racauan ngalor-ngidul Lyan barusan terdengar cukup menghibur. Padahal dia tahu bahwa cowok itu sedang meluapkan emosi beserta unek-unek yang menyumbat pikirannya.

"Jadi, lo cemburu gue dekat-dekat sama Kak Ervin?"

"Bohong kalau gue bilang enggak!"

Jadi, gini ya, rasanya kalau lagi dicemburuin? Kok lucu, sih?

Perasaan seperti ini terasa baru bagi Orchidia hingga ia bingung harus berekspresi seperti apa. Selama ini yang ia tahu hanyalah bagaimana cara supaya ia bisa bertahan dari rasa benci yang mamanya berikan. Bagaimana cara supaya papa serta pamannya tidak mengetahui tindakan kasar yang sudah mamanya atau Ella lakukan. Juga, bagaimana caranya agar sahabat-sahabat yang dia miliki tidak terbebani dengan setiap masalah yang datang silih berganti menyapanya.

Semua yang Orchidia lakukan demi untuk membuat orang-orang di sekitarnya menjalani hidup dengan baik, tanpa perlu mencemaskan dirinya.

"Lyan,"

"Iya?"

"I wanna say sorry and thank you."

"Gue juga. Maaf udah marah-marah nggak jelas, bahkan sempat nyakitin lo tadi. Juga makasih udah bolehin gue masuk ke dalam dunia lo. Gue janji, bakal jadi sinar yang terang dan jagain lo. Asal, lo mau janji juga, nggak boleh insecure-insecure-an lagi. Kayak yang grup cowok-cowok Korea itu bilang, love yourself."

Orchidia mengangguk. Setelah itu ia menegakkan tubuh dan memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. "Tapi, gue juga mau bilang, bisa nggak lo jangan dekat-dekat sama Ella? Gue nggak suka liatnya."

"Alhamdulillah, Ya Allah. Sayangnya Lyan bisa cemburu juga sekarang." Lyan mengusap wajahnya khas seperti orang yang tengah bersyukur atas rezeki melimpah yang telah Sang Maha Kuasa limpahkan. Lagi-lagi mampu membuat Orchidia mengudarakan tawanya. "So, sekarang kita udah nggak pura-pura lagi, nih?" lanjut Lyan dengan sorot mata berbinar terang.

Orchidia tersenyum sekilas. Sejujurnya dia masih bingung dengan perasaannya yang tengah dirundung bahagia namun juga takut. Ia tidak ingin salah melangkah. Apalagi sebuah hubungan memerlukan komitmen tinggi dari kedua belah pihak bukan?

"Gue nggak mempermasalahkan soal status apa yang pantas. Asal lo tepati janji buat ada di sisi gue aja, gue rasa itu udah cukup. Bisa?"

Lyan terlihat menimbang untuk beberapa waktu, sengaja untuk membuat Orchidia menjadi was-was. Tapi tak lama kemudian cowok itu menjawab, "Bisa. Asal ..."

"... asal?"

"Besok nyanyiin satu lagu buat gue pas pensi, oke? Gue mau semua orang tau kalau cewek gue ini punya sinarnya sendiri."

- To be Continued -

🍭🍭🍭

1) Hiiiihhh! Nih anak emang minta dilipat-lipat, deh! Bisa nggak, sih, sehari aja nggak insecure! Sial, sial. Apa itu sial? Nggak ada ceritanya manusia dilahirkan ke dunia cuma buat jadi tukang pembawa sial! Sekali lagi bilang kayak gitu, tak hih bibirmu!

🍭🍭🍭

Kayak yang udah kubilang di atas. Bab ini isinya 3000+ kata. Nggak mudah sebenarnya buat nge-fixinnya. Seminggu ini aja aku udah rombak bab ini sebanyak empat kali. Semoga feels-nya dapet yaaa :')

Anyway, siapa yang akhirnya bisa bernapas lega setelah si Lyan berani bilang suka sama Cicit?
Ngerasa nggak, kalau Cicit itu kaku banget dan belum sepenuhnya mengakui kalau dirinya dah jatuh cintrong sama bebeb Yan? 😂😂

Well, semoga tuh anak cepet sadar, yes. And see you guys next week 😘

Malang, 13 Desember 2020
All Rights Reserved
22.30 WIB
Pialoey.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro