Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Interlude: That Brown Hazel Eyes

Earlier update this week? Yeah!
Is it the newest to answer the mystery on previous chapter? No!

Bab ini kudedikasikan buat teman-teman yang masih setia menunggu kelanjutan kisah Cicit walau sempat beberapa kali mangkir update.
Yak! Kalian memang ruaaaarrr biasaaa. I'm so touched. And I feel recharged by y'all.
Thank you, Fellas! 💙💜

Oh! Jangan lupa bagi bintangnya dulu yaaaaa. Ehehe.

🍭🍭🍭

Where words are restrained
The eyes often talk a great deal.

- Samuel Richardson -

🍭🍭🍭

Senja telah menjemput langit ketika Orchid baru saja menghabiskan sisa lemonade-nya hingga tetes terakhir. Pikirannya kini tengah melanglang jauh menembus saduran gradasi biru, jingga, dan merah, yang memayungi Jakarta sore ini dengan indahnya.

Selepas kepergian Cia yang pamit untuk pulang lebih awal, Orchid termenung sendiri di spot favorit milik Angels di BobaMoza. Ia merenungi kembali percakapannya dengan si bungsu, sebelum gadis pembawa good mood tersebut benar-benar menarik diri dari peredaran.

Tadi, seusai menonton semifinal basket antara MHS melawan Lexand International High School, Orchidia memilih untuk menghabiskan sisa harinya di BobaMoza dan melakukan newbar alias 'nebeng wi-fi bareng' bersama Peachia. Di tengah-tengah keseruan Orchid menelusuri beranda laman twitter-nya, tiba-tiba Cia menanyakan ulang sesuatu hal yang yang sudah pernah dia tanyakan beberapa waktu lalu.

"Anyway, ini seriusan lo enggak mau perform di pensi nanti? Sayang banget lho, pensi terakhir as a MHS student tapi nggak unjuk gigi," kata gadis berkuncir dua tersebut sambil mengaduk gelas bobanya.

Orchid mendongak sekilas. Dari sorot matanya jelas menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak berminat dengan acara pentas seni yang Cia singgung. "Enggak, ah. Ngapain? Udah cukup kok, gue berkontribusi serving meals buat para atlet selama lima hari," jawabnya santai.

"Yeuuuu, masak sama nyanyi tuh, beda server kali! Uun, ih!"

Orchidia mengernyit bingung. Pasalnya, sahabat rasa saudara yang terpaut jarak usia satu tahun lebih muda darinya tersebut terlihat tidak santai, hanya perkara ketidakmauannya untuk menyumbang suara di acara tahunan sekolah mereka dua hari lagi.

"Lo kenapa deh, Yul? Pakai urat mulu, heran."

Cia spontan mencebik saat menyadari betapa kadar kepolosan Orchid ini sudah di atas batas normal. "Sowryyy, Sist. Gue juga nggak niat negangin urat-urat kayak gini kalau lonya nggak ignore terus," ujarnya.

"Wait. Ini kenapa lo tiba-tiba pengin banget gue tampil, sih? Perasaan di pensi-pensi sebelumnya juga enggak pernah." Orchid meletakkan gawai canggihnya di atas meja kemudian memusatkan seluruh fokus kepada Cia di seberang meja.

"Hng ... Ya, enggak apa-apa. Tapi kan, emang benar. Ini pensi lo yang terakhir di MHS. Yakin enggak mau ninggalin kenangan baik? Siapa tahu, wajah-wajah percengoan semua orang yang kaget sama suara merdu lo itu bisa jadi best memorable thing for all of the time? Hehe."

"Ngaco. Gue ini cuma a shadow student ya, di sana. Nggak pantes buat berdiri di atas panggung dan—"

Belum sempat Orchid menuntaskan kalimatnya, Cia telah lebih dulu menyela. Gadis itu kelewat gemas dengan sikap Orchidia yang tak pernah lelah untuk terus merendahkan diri sendiri.

"Who said? Lo pantas dan berhak, kok! Cuma lonya aja yang nggak pernah ngasih kesempatan buat diri lo sendiri. Insecure mulu kayak kura-kura kelamaan difermentasi. Ilangin coba, sifat tak patut macem tu!"

Perdebatan kecil terjadi antara Orchid dan Cia. Bahkan ketika Cia merengek dan memanggil Orchidia dengan sebutan 'kakak' pun, nyatanya gadis penggemar berat Park Chanyeol itu tetap teguh pada pendirian.

"Ih, ayolaaaah. Gue pengin lihat kakak senior Orchidia nyanyi di atas panggunggg. Ya ya yaaa, mau, yaaaa??" rengek Cia sambil mengguncang kedua tangan sahabatnya agak kencang. "Oke, gimana kalau gue traktir di BobMoz selama seminggu? Jarang-jarang nih, dedek cantik traktir orang. Lo dapet kehormatan—"

"Gue masih bawa kartu debitnya Genta oppa, kok. Kayaknya, no need traktiran—at least, sampai kartunya gue balikin, sih," potong Orchid cepat.

"Traktiran BobMoz ditambah boneka bete-betean!" tawar Cia lagi.

Cicit mengernyit, "Bete-betean apa? BT21 kali!!"

"Nah, iya itu!"

Sekali lagi Orchid menggeleng tegas. "Enggak usah repot-repot, Yul. Isi debitnya oppa masih bisa buat beli itu semua, kok. Lagian enggak mempan juga meski lo nyuap gue kayak gitu."

Cia memutar otak cerianya sekali lagi. Bagaimanapun juga, dia harus berhasil untuk membuat Orchid mau mengubah keputusannya.

"Well, traktir BobMoz jadi dua minggu, ditambah BT21, plus season greeting Chanyul—eh, apa sih, nama grupnya? XO?" putus keturunan Mahendra tersebut pada akhirnya.

"Itu tempat makan woy! E-X-O! Tuh, nama grup suami gue!" Orchidia selalu bersungut-sungut jika ada yang salah menyebut nama idolanya. Ya, bucin oppa koriya mah, maha benar.

Cia sendiri merespons dengan memutar dua bola matanya, seolah berkata 'terserah' saat Orchidia masih asyik memprotes. Yang penting, umpannya kali ini harus berhasil.

"Iya, pokoknya itu lah! Mau, ya? Nyanyiiiii doang, sekali pun tak apa. How?"

Mendengar hal itu, Orchidia pun mulai berpikir. Benaknya kini menimbang untung dan rugi jika ia menyetujui permintaan sohibnya tersebut.

"Hmm ... oke, kalau gitu. Gue mau," putus Orchid tak lama kemudian. Akal sehat dari sisi fangirl-nya berkata bahwa kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Jadi, dengan agak berat hati Orchid memilih untuk menerima permintaan Cia demi satu set boneka baru, season greeting, dan kedamaian perutnya secara cuma-cuma.

Sesaat Cia menganga. Dia masih tak habis pikir tentang harga pertahanan Orchidia yang hanya sebatas merchandise idolanya serta kudapan lezat di kafe kekinian milik Bethany Celesta.

"Ish, mesti rugi bandar dulu gue baru lo mau nyanyi?! Anak siapa, sih, hah?!!" kicau Cia khas orang dongkol yang baru saja dikuras isi dompetnya. Dia menyeruput peach smoothies-nya yang tersisa sedikit untuk meredam tenggorokan pasca aksi tawar-menawar dengan Orchid, lalu kembali menyuarakan pertanyaan. "Betewe, Kakak Cicit pemeras hartaku mau bawain lagu apaa?" lanjutnya.

"I Don't Wanna Love Somebody Else-nya A Great Big World."

"Heh?! Kok lagu kagak ada happy-happy-nya? Ganti-ganti!" Cia sempat menggebrak meja lalu memaju-mundurkan dua telapak tangannya secara cepat. Terlihat jelas bahwa gadis itu tidak setuju dengan lagu pilihan Orchidia, yang terkesan terlalu mendayu-dayu. Cia ingin Orchid membawakan lagu bernuansa riang dan gembira.

"Lo mau gue nyanyi apa enggak?"

"MAU!"

"Yaudah, gue maunya lagu itu."

Tidak ada pilihan bagi Peachia. Dia lebih memilih untuk mengalah daripada mendapati Orchid mengubah pikiran dan batal ikut mengisi acara sesuai keinginannya. Bisa gagal misi rahasia Cia jika hal itu sampai terjadi.

"Tapi, Yul, gue ada satu syarat."

Baru saja beban di pundak Cia terangkat dan menjadikannya terasa ringan, kini Cia harus kembali dibuat tegang akibat sebaris kalimat yang Orchid lontarkan. Dia mulai siaga, kalau-kalau syarat yang Orchid ajukan akan memberatkan dirinya nanti.

"Syarat apa maning? Syarat lu kebanyakan dah, kek mau buat ka-te-pe."

Senyum jail pun terbit di wajah Orchid. Gadis itu bahkan sengaja menjeda jawaban agar ia bisa menikmati raut tegang yang Cia tampilkan sedikit lebih lama.

"Besok gue bakal nyanyi, kok. Tapi dari backstage aja, ya. Sementara yang ada di atas panggung, itu lo. Technically, lo lipsync gitu, deh. Deal?"

"LAH?! NGGAK GITU CARA MAINNYA, YA, RATU SIPUT! LO NGGAK BISA—"

"—kan tadi lo sendiri yang bilang, yang penting nyanyi doang? Jadi, siapa pun visualisasi di atas panggungnya enggak mesti gue, kan?"

Skakmat.

Peachia telah termakan oleh rayuannya sendiri.

Kini, Orchid kian tidak tenang. Ia juga panik. Apakah ia bisa benar-benar memenuhi permintaan Cia dengan baik? Di satu sisi ia tak ingin partner-in crime-nya tersebut kecewa, namun sisi yang berseberangan menyisipkan jutaan rasa takut ke dalam nuraninya.

Serba salah, akan tetapi Orchid tak bisa lagi melangkah mundur. Adakah solusi terbaik yang bisa menguntungkan dua belah pihak saat ini?

Orchid ingin meminta saran pada Anindya. Tapi gadis incaran Ervin tersebut tampak sibuk meladeni konsumen BobaMoza yang terus memadati area kafe. Sedangkan Genta bukan merupakan opsi yang bisa dia pilih sebab paman baiknya tersebut tengah menjalankan satu event akbar seputar perkulineran di salah satu hotel bintang lima.

Beruntungnya, ada satu nama yang terlintas dalam benak Orchidia kini. Haruskah ia meminta saran kepada sosok tersebut?

🍭🍭🍭

Setelah cukup lama menimbang, Orchid pun akhirnya memutuskan untuk mendatangi kediaman seseorang yang telah membayangi relung ingatnya beberapa pekan terakhir. Arloji yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjuk angka tujuh ketika dirinya tiba di sana. Belum terlalu larut untuk bertamu ke rumah orang.

Beberapa kali Orchid menekan bel yang tersedia, namun tak jua membuat pintu di hadapannya kunjung terbuka. Orchid hampir menyerah. Mungkin ia salah sudah berkunjung di jam seperti sekarang. Karena bisa jadi jika Lyan dan Tante Rea sudah beristirahat, kan?

Ah, bodohnya gue.

Saat Orchid hendak berbalik dan melenggang pulang, tiba-tiba papan besar yang menghalanginya sejak tadi pun dibuka dengan lebar. Ia lega setidaknya perjuangannya datang kemari tidak berakhir sia-sia. Tetapi ada satu hal yang membuat Orchidia termangu. Reaksi yang sama juga ditunjukkan oleh remaja laki-laki di depannya.

Sepasang mata cantik yang belum pernah Orchid temui, tiba-tiba hadir di saat ia membutuhkan sebuah ketenangan. Pancaran sinar dari iris tersebut terlanjur membius. Menyeret kesadaran Orchid hingga jauh dan terasa sulit untuk kembali.

Perpaduan warna antara cokelat, kuning, sedikit hijau dan juga emas, menempel sempurna pada tempatnya. Tampak sangat pas dengan paras tampan milik sosok tersebut. Sekaligus menegaskan bahwa darah Eropa mengalir sangat kental dalam jiwa sang pemilik.

"So-sorry for coming too late, but ... I-I want to meet Avlyan. Does he stay at home right now?"

Orchidia terbata-bata. Jujur ia baru tahu jika Lyan memiliki saudara laki-laki yang jauh lebih bule. Entahlah. Atmosfer yang tercipta rasanya membuat otak sekaligus perasaannya kian terombang-ambing bak berjalan di hamparan luas ruang hampa.

Gadis itu tersesat, namun ia suka. Pesona iris unik tersebut benar-benar tidak bisa dimusnahkan. Satu sudut hati Orchid bahkan ingin berlama-lama menikmati keindahan dari brown hazel eyes tersebut.

Seumur hidup, jika bisa.

Heh! Pacar lo kan, Lyan, Cit! Bukan kakak bule ini! Berhenti mikir yang aneh-aneh!

"Hng ... ini gue, Cit," ujar cowok bermata dewa itu pada akhirnya—yang ternyata adalah Lyan. Dia sempat menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sebelum kembali bertanya. "Tapi, tumben lo main ke sini enggak bilang-bilang dulu? Tahu gitu kan, bisa gue jemput?"

Tidak ada jawaban. Dari wajah ayu itu dapat Lyan pahami bahwa gadis yang masih mengenakan seragam sekolah tersebut masih dalam mode terkejut. Tidak salah, semuanya wajar. Sebab Lyan sendiri yang memutuskan untuk selalu menutupi warna asli dari bola matanya dengan lensa berwarna hitam. Peristiwa kurang mengenakkan yang pernah terjadi di masa lalu-lah yang membuat Lyan enggan untuk menampilkan keanggunan dari netranya. Dia berusaha keras supaya terlihat sama dengan orang-orang di sekitar.

"Jangan lupa napas, Sayangnya gue!" bisik Avlyan tepat di telinga kanan Orchidia.

"Hah? Gimana?"

Bukannya menjawab, Lyan justru tertawa tidak tertahan—yang selanjutnya mendapat decakan sebal dari sang gadis. "Nggak lucu!" katanya.

Tak butuh waktu lama bagi cowok berdarah setengah Jawa tersebut untuk meredam tawa. Dia lekas menuntun Orchid memasuki rumahnya dengan perasaan yang sudah kembali normal.

"Masuk dulu yuk, Cit. Nanti gue jelasin di dalam."

🍭🍭🍭

"Jadi, warna hitam di bola mata lo selama ini benaran cuma softlens?" tanya Orchid tidak percaya. Ia baru saja selesai mendengar penuturan Lyan tentang sepasang mata brown hazel yang dia miliki beserta alasan di balik tindakannya untuk menutupi fakta tersebut.

"Iyooo, Sayangkooo. Kan, udah gue bilang tadi? Gue enggak mau terlihat berbeda dari teman-teman sewaktu gue masih di Malang dulu. Jadi ya, udah biasa pakai lensa dari zaman SMP. Keren, kan?"

"Tapi ... kenapa gue enggak sadar kalau warna hitam itu cuma lensa? Selama ini gue kira—"

"—itu karena lo enggak pernah benar-benar ngelihat gue, Cit." Sebaris garis melengkung nan tipis membuat binar di wajah Orchid muram. Seperti timbul perih luka sayat dalam dada namun tidak sedikitpun darah bercucuran. "It's okay. Yang udah berlalu biarin aja. Karena gue yakin, mulai sekarang sampai seterusnya lo bisa memandang gue dengan tulus."

"Terus ... soal nama belakang lo, gimana? Setahu gue, Gazala enggak ada di daftar nama keluarga di Perancis," tanya Orchid lagi.

Lyan menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Orchidia. Dia tahu, bahwa penjelasan tentang nama belakangnya merupakan salah satu hal yang sangat Orchid tunggu sejak lama.

"Iya, lo benar, Cit. Gazala emang bukan nama yang umum ditemuin di Perancis." Lyan mengawali kisah singkatnya sembari mengingat kembali tentang sejarah kecil keluarga dari pihak ayahnya. "Ayah dari kakek gue itu asli keturunan Perancis, sementara istrinya—alias nenek buyut gue—berdarah Rusia. Seorang muslim, bernama belakang Gazala, dan sanggup menuntun kakek buyut buat memeluk keyakinan yang sama. Dari situ, beliau mengubah nama dari Filbert de Antoinette jadi Mohammed Alif Al-Gazala. Sejak itu juga akhirnya Gazala dijadiin nama marga kami."

"Kenapa kakek buyut lo jadi ngikutin nama marga istrinya? Harusnya kan, sebaliknya?" Orchidia masih penasaran.

"Iya sih, kata Mama juga Gazala tuh, sebenarnya nama buat anak perempuan. Soal kenapa kakek buyut ngikut, gue enggak tahu alasan pastinya apa. Yang jelas Mama cuma bilang kalau kakek buyut suka sama artinya," tutur Lyan sesederhana mungkin. Supaya Orchidia tidak bingung atas kisahnya.

"Emang artinya apa?"

"Cerdas dan mempesona. Kakek buyut berharap seluruh keturunannya jadi orang-orang cerdas yang hidup berdasar pada Al-Quran. Karena dengan cara itulah pesona dari keluarga kami bisa terpancar, meski nggak bergelimang harta sekalipun," tutup Lyan dengan senyum penuh kebanggaan.

Mendengar penuturan tersebut, membuat Orchidia seketika merasa sesak, juga takjub. Sebab kini ia tahu walau Lyan tak pernah bertemu dengan sang ayah, cowok itu masih bisa mengetahui sejarah panjang keluarganya. Berbeda dengan Orchid yang hanya sebatas tahu bahwa darah betawi dan tionghoa turut menyumbang aliran dalam hidupnya.

Percakapan di antara keduanya pun sempat tertunda karena Tante Rea mengajak makan malam bersama. Ini merupakan kali ke dua Orchid melewati jam makan malamnya bersama keluarga kecil yang selalu membuatnya iri bekakangan ini. Meski begitu, ia sangat menyukainya. Sebab Orchid tak pernah mendapat kehangatan saat berada di meja makan bersama keluarganya sendiri. Mungkin saja pernah, namun hal itu sudah berlalu sangat lama.

Selanjutnya, perbincangan antara Orchidia dan Lyan kembali berlanjut. Kali ini sambil bersantai di ruang keluarga, bertemankan setoples keripik bayam dengan televisi yang sedang menyiarkan ulang balapan MotoGP di sirkuit Red Bull Ring, Austria.

Orchid sempat berteriak histeris saat melihat kendaraan milik pembalap bernama Franco Morbidelli menabrak motor yang dikendarai oleh Johann Zarco di satu tikungan pada lap ke-9. Kedua motor tersebut mengalami rusak parah, bahkan salah satu kepingan komponennya nyaris menghantam Valentino Rossi—jika saja pembalap kenamaan tersebut tidak bertindak cepat dengan cara mengurangi kecepatan laju motornya.

Ketika momen menegangkan tersebut berlangsung, Orchidia refleks menyembunyikan wajahnya di ujung lengan Lyan. Bahkan kedua tangannya mencengkeram kaos yang cowok itu kenakan sangat erat. Orchid dapat merasakan sentuhan lembut di kepalanya hingga perasaannya membaik seperti sedia kala.

Jeda beberapa menit dalam sunyi, Orchidia pun ingat akan tujuannya datang kemari. Sehingga ia sengaja mengambil momen santai kali ini untuk meluapkan seluruh kegundahannya pada Lyan—minus ide lipsync yang ia ajukan, serta tidak menyebut nama Peachia secara gamblang. Lyan sendiri mendengarkan dengan khidmat dan sesekali mencuri pandang pada Orchid di saat fokusnya hampir sepenuhnya tertuju pada aksi balapan motor di televisi.

"Jadi, menurut lo gue harus gimana? Tetap tampil kayak yang teman gue mau?" tanya Orchid di akhir cerita.

"Well, sad to hear that I'm not the only one who knows about your beautiful voice, Cit. Gue pikir cuma gue yang udah sering dengar lo nyanyi dengan suara semerdu itu."

"Dih, pede banget?! Nih, ya. Di MHS tuh, nggak cuma lo sama teman gue aja yang tahu. Ada yang lain lagi—"

"Siapa?"

"Kak Ervin—"

"Kok dia lagi sih, Cit???!! Sebenarnya sedekat apa hubungan kalian berdua?"

Secara spontan Lyan meninggikan nada bicaranya diiringi gestur kecewa yang terukir jelas di wajah. Ervin, mendengar namanya saja sudah membuat Lyan gerah apalagi sekarang dia tahu bahwa gadisnya juga memiliki hubungan yang cukup dekat dengan kakak kelas yang sudah mentas dari Megantara tersebut.

"Kalem, Yan! Enggak seperti yang lo bayangin, kok! Kak Ervin tuh, cuma teman yang baik. Lagian kenapa lo jadi marah? Kan, pacar gue itu lo, bukan Kak Ervin," jawab Orchid santai, yang nyatanya sukses menerbangkan jutaan kupu-kupu di dalam perut Lyan.

"Hehe. Maap, Mbak Pacar. Gue khilaf." Lyan menyengir lucu. Mendengar bahwa Orchid mengklaim dirinya sebagai kekasih saja sudah cukup untuk melenyapkan seluruh perasaan cemburu yang sempat membara.

"Back to the case. Jadi, intinya lo bingung harus memenuhi janji sama teman lo itu atau mundur aja gitu?" Orchidia mengangguk. Lyan lantas menggeser duduk menghadapnya. Memusatkan seluruh atensi sambil menggenggam erat dua tangannya. "Gue nggak tahu lo masih ingat atau enggak. Tapi yang jelas, lo udah bertanya pada orang yang salah, Cit.

"Tempo hari gue pernah minta sama lo kan, buat ikut nyumbang suara di pensi tahun ini? Enggak hanya di chat, bahkan gue udah beberapa kali ngomong secara langsung. Dan ketika ada orang lain yang meminta hal sama sekarang, jawaban gue pun cuma satu. Just do it. Karena lo memang pantas buat dapat bagian di acara itu," tutur Lyan panjang lebar. Dia bersungguh-sungguh, berharap apa yang dia sampaikan barusan benar-benar bisa diterima oleh Orchid.

"Pantas? Emangnya apa yang menjadikan gue 'pantas' sehingga lo bisa ngomong kayak gitu?"

"Because you are Orchidia Valerie. You are Megantara's student. You have a beautiful voice, good manner, and also smart in your own way. I'm not lying when I say that you are my favourite. I mean it."

Orchidia tertunduk lesu. Penuturan Lyan barusan membuatnya semakin menciut karena dirasa kata-kata itu terlalu berlebihan. "Lo terlalu memuji. Padahal gue enggak sebaik itu. Makanya kan, gue selalu jadi sasaran kebencian orang-orang," jawabnya.

Lyan tidak menyerah. Dua tangannya kini dengan lembut memegang kedua sisi wajah Orchid dan menuntunnya untuk sekali lagi menatap iris hazel cokelat keemasannya dengan intens.

"Cit, gue pernah berada di posisi lo—even enggak separah yang lo terima. Jadi, kurang lebih gue paham sama perasaan lo. Tapi pernah nggak, lo kepikiran buat mengubah semuanya? Kayak bangkit dari semua kekacauan hidup yang disebabkan oleh orang lain gitu, misalnya?"

Orchid menggeleng pelan. Pancaran sinar di wajahnya yang tampak redup seolah menyiratkan bahwa tidak ada harapan dalam dirinya untuk sebuah perubahan yang lebih baik.

"Want to try it? To change everything that makes you down and insecure?"

"It's just too hard to do, Yan. Imposibble for me to—"

"Yes. At the very first time, it will be so hard. But nothing is impossible in this world, Orchidia. If you want something, then reach it out," tukas Lyan tegas, "and remember this. Everything seems impossible until it's done."

Kalimat panjang Avlyan yang menggebu-gebu terasa menohok ulu hati Orchid. Apa yang cowok itu sampaikan benar adanya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, kecuali tidak adanya niatan dalam diri untuk bertindak. Dan itulah jalan yang selama ini Orchidia pilih.

Bersembunyi di balik kegelapan dan bertahan hidup. Serta secara sukarela membiarkan dirinya disakiti tanpa mau mengobati.

Hening selama beberapa saat membuat Lyan takut jikalau ada kata-katanya yang telah melukai hati Orchid. Dia menggerakkan dua ibu jarinya yang masih menempel di dua sisi pipi gadis itu dengan lembut. Mengusap pelan dan perlahan membangkitkan kesadaran Orchid dari lamunan panjang.

"Hey, am I hurting you that much?"

"No. Gue cuma lagi mikir aja. Apa bisa gue kembali jadi Orchidia yang dulu? Yang selalu mengabaikan setiap pandangan negatif orang lain dan memasang senyum kayak orang bodoh? Gue merasa ... kayak enggak ada jalan keluar buat gue."

"Kata siapa? Lo pasti bisa, kok. Si Canyol-canyol itu aja bisa, masa lo enggak?"

"Kok lo tahu soal itu?"

Lyan menghela napas. Agak malu sebenarnya mengakui bahwa dia rela mencari banyak informasi tentang sosok Park Chanyeol, agar dia tahu bagian mana dalam diri cowok berkuping lebar tersebut yang membuat Orchidianya jatuh hati hingga sedemikian rupa. Sebagai laki-laki yang kehadirannya lebih nyata, Lyan tidak ingin disaingi oleh seorang idola yang bahkan tidak tahu akan keberadaan Orchid di dunia.

"Ya, intinya sih, apa pun yang lo sukai gue tetap hargai, kok. Sekalipun lo ngaku bahwa kadar cinta lo buat si Canyol itu lebih besar dari gue, enggak masalah. Toh, yang benar-benar ada di sisi lo itu kan gue, Avlyan Shaluca Gazala. Bukan Park Chanyeol," jawab Lyan jumawa. Lengkap dengan semburat panas di wajah yang membuatnya spontan berpaling.

Situasi berubah sedikit agak canggung. Bahkan Orchid mengembangkan senyum senang tanpa sepengetahuan Lyan. Kemudian ia berdeham sebentar, lalu bertanya. "So, what should I do now?"

Lyan menoleh dengan raut yang sudah kembali normal. Remaja laki-laki itu bergerak mendekat dan meraih kedua tangan Orchid untuk digenggam. Dengan netra sesejuk oasis dia berujar yakin, "just try it, Cit. I will guide you to get the better version of yourself. Pertama, coba ambil bagian dulu di pensi besok, deal?"

"... okay. Tapi, gue boleh minta satu hal, enggak?" Orchid menatap ragu Lyan yang melempar tanya melalui pancaran mata indahnya. "Bisa nggak, lo enggak usah jadi pembalap? Gue enggak mau lo terluka kayak pembalap yang gue tonton tadi."

Setengah menit berlalu dalam diam, Lyan pun akhirnya tersenyum penuh arti, setelah dirinya memahami isi permintaan sederhana Orchidia. Yakni tidak menjadi pembalap seperti yang pernah Lyan ceritakan sambil lalu. Ya, menjadi pemacu kuda besi profesional di atas sirkuit hanyalah sebatas angan yang tidak pernah ingin Lyan seriusi.

"As you wish."

🍭🍭🍭

Iyaaaaaaaaakkkkk. Ini bukan jadwal update Cicit. Tapi dia nyelonong up! Muahahahahahahaha.

Sesuai sama judul plus intro dariku di awal yaaa, bab ini merupakan interlude. Alias jeda binti selingan. Ini bukan kelanjutan cerita tapi hanya sekadar pemanis sebelum kita resmi kenalan sama masa lalunya Cicit. Bahasa gampangnya teh, bonus, bab spesial pakai telor sama sosis. Wkwk.

Setting-nya hari Kamis, tepat dua hari sebelum pensi. Singkat cerita, sebenarnya dialog Cicit-Cia itu harusnya masuk di bab awal pensi, tapi enggak jadi karena terlalu panjang. Jadilah aku inisiatif buat ditaruh di bab selingan begini hehe. How? Suka? Udah kubanyakin dialog lho, di sini, baik itu Cicit-Cia maupun Cicit-Lyan. Semoga nggak mual bacanya, ya. Dah, gitu aja. See you tomorrow 💜💜

Malang, 20 Januari 2020
All Rights Reserved
22.54 WIB
Pialoey.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro