Goodbye Days
Halo, Yorobun. Apa kabar? Semoga dalam keadaan yang luar biasa baik serta selalu berada dalam lindungan-Nya, ya. Aamiin.
Oh iya. Maaf terlalu lama mengabaikan Cicit. So many things happened, jadi aku harus melipir dulu dari dunia oren. But now, everything's going well, and I'll try to finish this story as soon as possbible. Makasih banyak, ya, udah mau bersabar nungguin cerita ini dilanjutkan. Also for every votes + support via komentar dan DM instagram. Maaf belum bisa kubalas satu per satu—but soon—tapi semuanya udah kubaca, kok.
I appreciate it all!
So, happy reading, Yorobun,
and I purple you! 💜
🍭🍭🍭
Tuhan telah bersabda. Bahwa tak ada satu hal pun yang abadi, kecuali Dirinya. Begitu pula dengan bahagia. Ia akan pergi saat waktunya tiba. Sama seperti musim gugur; yang keindahannya akan berlalu, tergantikan oleh jatuhan daun layu tanpa setitik nyawa.
—Orchidia Valerie—
🍭🍭🍭
From: My Hero No. 2 ❤
Tunggu di kafe teman lo aja, ya.
Gue jemput di sana jam empat.
See you!
Orchidia menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Genta. Pria itu kembali mengingatkan dirinya bahwa sore ini ada jadwal kontrol rutin yang mesti ia hadiri di salah satu rumah sakit swasta. Tentu Orchid paham, bahwa paman rasa oppa-nya itu tidak akan melewatkan satu pun sesi terapi kognitifnya—tak peduli sesibuk apa pekerjaan dan kehidupan pribadi sang paman itu sendiri.
"Ini memang bukan kabar yang menyenangkan, Mas Genta. Tapi menilik dari daftar riwayat pasien di database kami, dinyatakan bahwa Post Traumatic Syndrome Disorder yang pernah Orchidia alami dulu rupanya masih belum teratasi sepenuhnya. Kemungkinan besar disebabkan oleh pemberhentian pengobatan sebelum dokter memutuskan bahwa semuanya sudah membaik. Dan berdasarkan hasil pemeriksaan terbaru, syndrome tersebut sudah berkembang membentuk tingkat kecemasan lain yang berdampak pada kehidupan sosial Orchidia—yang selanjutnya disebut dengan Social Anxiety Disorder. Kami akan terus meninjau, apakah SAD-nya ini masih berada di tahapan awal atau sudah berkelanjutan."
Penjelasan panjang dari seorang psikiater yang menangani Orchid di awal pemeriksaan dulu mengambang di ujung memori. Lagi-lagi tubuh tinggi gadis itu merasa kerdil lantaran teringat akan jiwanya yang sudah sesakit itu.
Hampir empat tahun lamanya gue berjuang buat sembuh. Terus sekarang, berapa tahun lagi ya, waktu yang gue butuhin buat konsumsi obat-obatan maha membosankan itu? Apa selamanya gue nggak bisa sembuh?
Sekali lagi Orchid membuang napas besar. Setelah mengetikkan pesan balasan, ia segera mengantongi ponselnya bersamaan dengan sebuah bento box yang terulur dari samping kiri. Spontan Orchid menoleh.
"Apa?"
"Bento box lah, Cit, masa kotak P3K?"
Orchid tergelak sesaat. Jujur, menjaili Lyan sudah menjadi hobi baru baginya. Mungkin ini salah satu cara kerja semesta menyatukan dua insan atau lebih dalam suatu hubungan yang baik; saling menularkan sifat dan kebiasaan masing-masing.
"Iya, tahu! Maksud gue tuh, isinya apa? Tumben aja gitu, pagi-pagi gini lo kasih gue bento box, Yan. Ngajakin sarapan?"
"Yo mesti, lah! Ganok ceritane uwong nggowo bento box iku pertanda ate ngejak macul, Cit!¹"
Lyan dan bahasa Jawanya memang suka membuat kinerja otak Orchid mendadak struggle. Tetapi dari cara pemuda itu berujar, Orchid tahu bahwa Lyan tengah mengejeknya saat ini.
"Oke, oke. Tapi tumben bawa bekal?"
"Sebenarnya sih, ini karena Mama habis nyobain resep ayam woku yang lo kasih tempo hari, Cit. Mama pengin dengar penilaian dari lo soal rasa si ayam wokwok ini, katanya."
Pipi Orchidia terasa panas. Ia malu mendengar pernyataan terakhir dari Lyan barusan.
Memang benar, beberapa waktu lalu, Tante Rea sempat meminta resep ayam woku padanya. Tapi tak sedikit pun terlintas di benak Orchid bahwa wanita yang telah membesarkan Lyan seorang diri itu akan bertindak sejauh ini; meminta pendapatnya tentang hasil masakan beliau. Siapalah Orchidia Valerie? Hanya seorang siswi SMA tingkat akhir yang masih jauh dari kata 'ahli' soal urusan menilai masakan. Resep itu saja ia dapat dari hasil praktik bersama Chef Orca di dua semester lalu.
"So, tunggu di tempat biasanya aja, ya. Gue parkirin si Gomblo dulu," pamit Lyan.

Gomblo merupakan nama yang Lyan beri untuk motor kesayangannya. Sementara Orchid yang sudah mengetahui tentang hal itu pun lantas mengangguk lalu menerima kotak bekal berwarna biru langit yang Lyan angsurkan. Tak lama berselang, Orchid bergegas membawa dirinya pergi menuju markas rahasia sesuai kesepakatan.
🍭🍭🍭
Untuk menuju gedung musik lama yang terletak di ujung barat itu sendiri, Orchid harus melewati lapangan basket, kantor guru, dan beberapa gedung lain yang dipisahkan oleh taman mini jika ditempuh dari arah gerbang sekolah. Sebelum ia resmi menapaki koridor panjang yang menghubungkan gedung belajar siswa dengan gedung-gedung lain, Orchid sempat menyadari adanya kerumunan di papan mading yang terletak di antara lapangan basket dan kantor guru. Entah ada informasi menarik apa di sana, sampai-sampai beberapa siswa yang sudah datang jadi rela untuk berdesakan seperti itu—padahal fajar saja masih tampak malu-malu untuk menampakkan pijarnya pagi ini. Yang jelas, Orchid merasa antusias dengan wacana yang sudah ia dan Lyan buat.
Akhirnya ngerasain juga yang namanya sarapan di sekolah bareng pacar! Persis kayak adegan drakor, deh! Mana menunya buatan calon mama mertua pula. Mantaps!
Orchid terkikik geli membayangkan pemikirannya barusan. Sedetik kemudian ia segera mengatupkan bibir agar tidak mengundang perhatian siswa lain. Namun entah hanya perasaannya saja atau bukan, lambat laun Orchid merasa ada banyak pasang mata yang mulai memandangnya dengan tatapan aneh. Sejenak, Orchid berhenti untuk mematut penampilan. Tidak ada yang salah. Lalu, mengapa mereka melihatnya dengan tatapan seperti itu? Apakah di punggungnya kini tengah tertempel sepucuk kertas bertuliskan 'Awas, anjing galak mau lewat!'?
Ya, sudahlah. Orchid tak mau ambil pusing. Ia memilih untuk kembali meneruskan langkah saja. Diam-diam ia menarik-ulur napas untuk membuat dirinya tetap rileks. Jangan sampai rasa cemas membuatnya kolaps di sekolah.
Tetapi sayang. Belum genap Orchid menapakkan langkah kakinya yang ke tujuh, dengan berat hati ia harus kembali berhenti. Sayup bisik-bisik tetangga mulai mengusik kedamaian rongga telinganya.
"Enggak disangka banget, ya? Padahal selama ini dia keliatan polos, lho. Lemah dan pendiam gitu waktu di-bully. Eh, nggak tahunya di luar sana malah sadis, dong! Nyesel banget gue pernah sedih lihat dia dijadiin target mulu sama Ella dekaka."
"Absolutely right! Sekarang gue malah kasihan sama Avlyan. Udah ketipu tampang innocent dia soalnya!"
Kening mulus Orchid berkerut samar. Perasaannya mulai tidak enak. Kok sebut-sebut nama Lyan, sih?
Orchid membalikkan tubuhnya ke belakang untuk memastikan bahwa bukan dirinyalah yang kini sedang menjadi bahan pembicaraan. Namun saat ia sudah bertukar pandang dengan dua objek yang dimaksud, gerakan bibirnya tertahan.
"Eh, eh, noleh, tuh! Cabut, yuk! Takut gue!"
Dua siswi yang ternyata satu angkatan dengan Orchid itu lekas mengambil langkah seribu, tepat di saat Orchid hendak membuka suara. "Jadi, beneran lagi ngomongin gue, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Orchid yang sejatinya mudah berprasangka buruk mengenai dirinya sendiri pun mulai was-was. Jangan-jangan sikap aneh yang diterima barusan berkaitan erat dengan sesuatu dalam dirinya? Tetapi apa? Apakah ia sudah melakukan kesalahan fatal yang tidak disadari? Perasaan yang mendadak tidak karuan itu membuat ingatan Orchid seketika melayang pada kerumunan di papan mading.
"Apa ada sesuatu tentang gue yang terpajang di sana, ya?"
Berbekal rasa penasaran yang tinggi dan enggan untuk terus menebak, Orchid memutuskan berbalik menuju lokasi yang sempat dilaluinya tadi. Dalam hati ia berharap semoga dugaannya salah.
Lalu sesampainya di sana, Orchid menghentikan langkah. Tempat yang sedang menjadi pusat perhatian itu, kemudian terbelah menjadi dua kubu. Siswa-siswi yang tadinya bergerombol, sigap menepi saat menyadari kehadiran Orchid. Sedikit aneh memang, tapi tak dapat Orchid pungkiri bahwa hal itu mampu memberikan akses yang lebih mudah untuknya kembali melangkah maju.
Sayang beribu sayang. Saat Orchid sudah berada tepat sejengkal dengan papan segala informasi yang dimaksud, tubuhnya mendadak beku. Matanya memburam. Getar-getar panik pun mulai menjalar. Bahkan kotak bekal milik Lyan yang sedang dipegangnya saja ikut terjatuh, membuat isi di dalamnya kompak berhamburan memenuhi lantai. Orchidia terkejut bukan main membaca rentetan kalimat lugas nan sarkas yang sengaja dicetak kapital, miring, dan bold. Lengkap dengan beberapa foto di bagian bawah.

Begitulah isi pesan yang tercetak di selembar kertas A4 yang tertempel kukuh di papan mading. Barisan kalimat itu pula yang membuat tubuh Orchid semakin bergetar hebat. Kepalanya dihantam pening luar biasa. Dadanya kian dihimpit sesak, seiring dengan kucuran tangis yang tak dapat lagi ia bendung. Jiwanya goyah kala menangkap foto Endo kecil yang sedang memegang headphone dengan begitu polosnya, serta satu buah foto pemakaman mungil milik sang adik yang terletak persis di bagian kanan.
Alarm di kepala Orchid berbunyi nyaring pertanda bahaya. Nampaknya trauma itu mulai terbangun dari tidur panjangnya.
Lagi? Belum cukup ya, hukuman yang gue terima dari Mama sama keluarga besar Papi Vandhi selama ini?
Orchidia menutup kedua telinga saat gunjingan dan makian mulai terdengar. Seluruh siswa yang ada menyalahkannya. Menuduhnya sebagai manusia hina yang tak punya hati. Sungguh celaan yang sama seperti yang ia dapat bertahun-tahun lalu. Orchid tidak kuat lagi menghadapi serangan demi serangan yang mulai menghantam fisik serta mentalnya itu. Tidak di sini. Tidak sekarang. Tidak kapanpun.
Apa yang Orchid inginkan saat ini adalah berlari, menjauhi kegaduhan yang membuat segala sakitnya kembali kambuh. Namun rasa takut telah mengunci pergerakannya dengan sempurna. Sejauh yang bisa ia lakukan kini hanyalah memalingkan wajah sayu, bermaksud untuk mengalihkan titik fokus penglihatan dari papan yang menyeramkan. Jujur, Orchid sudah tidak sanggup jika harus menatapi postingan tersebut lebih lama lagi.
Di saat yang bersamaan, Orchidia si pecundang mendapati Lyan sudah berdiri tak jauh dari posisinya. Kentara sekali bahwa pemuda itu juga terlihat syok dengan informasi yang baru saja dia baca.

"Yan, gue..."
Pemuda yang dipanggil Orchid dengan suara lirih tersebut spontan mengangkat satu tangan. Hal ini membuatnya semakin tergugu. Orchid bingung, apa makna dari reaksi Lyan barusan. Apakah Lyan memintanya diam karena lelaki itu ingin mencerna terlebih dulu situasi yang ada? Atau... jangan-jangan Lyan justru muak setelah mengetahui fakta bahwa dirinya selaku gadis yang dikencani selama ini merupakan seorang pendosa besar?
Dalam kondisi masih terguncang, Orchid berinisiatif untuk maju walau terasa berat. Pikirnya, jika bibir tak dapat menyuarakan isi hati, setidaknya tolong biarkan ia untuk mendekat. Barangkali gestur hangat yang biasa Lyan tunjukkan mampu membuat hatinya menjadi sedikit lebih tenang.
Nahas, harapan tersebut harus kandas ketika Lyan terus mundur sebagai reaksi tiap kali Orchid mengambil satu langkah maju. Semurka itukah Avlyan Shaluca Gazala padanya?
Mungkin benar asumsi Orchid. Lyan kecewa. Apalagi rahasia besar seperti ini malah diungkap dengan cara yang licik. Sebab tak butuh waktu lama, dilihatnya Lyan mulai berbalik. Pergi meninggalkan dirinya yang tersudut tanpa bisa lagi untuk mencegah.
Ternyata kekhawatiran gue benar, Yan. Sampai kapan pun masa lalu gue ini enggak akan bisa lo terima. Gue yang salah. Karena enggak seharusnya membuka hati buat lo sejak awal.
Dunia Orchidia yang sempat hangat dan penuh warna kini kembali remuk dalam sekejap. Hancur tak tersisa. Satu per satu orang yang ia sayangi pergi. Andai saja ia tak pernah terlahir seperti yang mamanya ucap ribuan kali, mungkin segala kekacauan yang rumit ini tidak akan pernah terjadi, bukan?
Semua terjadi begitu cepat hingga membuat Orchid tak beranjak sedikit pun dari posisi semula. Tetap dengan kepala tertunduk, diiringi isakan yang tampaknya sulit untuk dihentikan. Kakinya mulai terasa lemas. Tubuhnya bisa saja merosot ke bawah jika tak ada seseorang yang segera menyanggah. Orchid tak punya waktu untuk menebak siapa sosok baik hati itu, hingga hatinya mulai merasakan sedikit kehangatan kala lima jari kanannya mulai digenggam. Erat sekali.
Tanpa pikir panjang, Orchid pun berinisiatif untuk mengangkat wajah. Setidaknya ia harus berterimakasih pada siapa pun laki-laki yang saat ini bersedia membantunya untuk tetap berdiri tegak di tengah serbuan cemooh dari berbagai siswa.
Tidak munafik, jauh di sudut hati yang paling dalam Orchid berharap bahwa sosok tersebut adalah Lyan.
Namun, lagi-lagi harapannya tidak terwujud. Orchid begitu terkejut mengetahui siapa sosok yang baru saja membantunya tersebut. Spontan ia diam membatu. Bibirnya mendadak kaku, hingga kata terima kasih urung dilantunkan.
Deru tangis Orchid pun menguat. Hatinya pilu. Rasanya seperti dipukul telak. Sebab bukan sosok Avlyan yang tengah memberinya perhatian kecil tersebut; menemani, menenangkan, juga menguatkan. Melainkan Gading Mahareksa. Rekan satu kelas sekaligus partner di klub tata boga, yang juga Orchid ingat sebagai salah satu teman baiknya di sekolah dasar dulu.
"Apa salah gue, Gading? Kenapa Tuhan benci banget dan ngehukum gue kayak gini?"
🍭🍭🍭
Berat. Adalah kata yang sudah begitu akrab bagi Orchidia. Sejak perpisahan kedua orang tuanya, semua hal terasa begitu sulit untuk ia jalani seorang diri. Tak ada lagi senyuman dan pelukan hangat. Tak ada lagi tempatnya untuk bersandar. Yang ia lakukan selama belasan tahun terakhir hanyalah mencoba bertahan seperti mannequin. Berdiri kukuh dan anggun, tanpa sukma. Hampa.
Lelah. Siapa yang tidak lelah jika harus mendengar cacian dan menerima perlakuan tidak baik secara terus-menerus sejak dini? Tidak di rumah, di sekolah, di mana pun Orchidia berpijak rasanya semua mata selalu terpikat untuk menghujaninya dengan kebencian.
Kadang, Orchid ingin menyerah. Untuk apa ia terus hidup jika semua orang tidak menyukainya?
Tetapi kemudian ia disadarkan pada kehadiran segelintir orang terkasih, yang nyatanya mampu membuatnya bertahan hingga detik ini. Berkat mereka jua, Orchid rela menghabiskan sebagian besar masa remajanya untuk terus menyembuhkan diri. Mewaraskan batinnya yang penuh luka, meski rasanya cukup mustahil untuk bisa kembali seperti sedia kala.
Sebenarnya, akhir-akhir ini Orchid bisa dikatakan sudah mencapai titik di mana ia merasa dirinya mulai membaik. Sempat melukis tawa di sana-sini, menunjukkan berbagai hal yang disukai, bahkan ia juga menemukan cinta pertamanya di penghujung masa sekolah. Namun, di saat ia belum lama menikmati waktu-waktu berharganya tersebut, semesta justru berkata lain. Seolah tak merestui Orchid untuk sedikit saja berbahagia, badai kembali merenggut senyum cantiknya.
Jangan ditanya lagi siapa pelakunya. Sebab Orchid sendiri sudah tak mampu menghitung berapa banyak jumlah orang yang kini mulai mengikuti jejak Caramella untuk merundung dirinya. Dan pada akhirnya, ruang BK masih menjadi tempat teduh yang paling aman bagi Orchid selama berada di sekolah.
"Feeling better?"
Gadis dengan satu tahi lalat manis di pipi itu mendongak dan mendapati senyum ceria milik Gading menyambutnya. Ia tidak membalas senyum itu, yang ada ia malah bingung. Bagaimana bisa Gading memasuki ruang BK, sementara Cia yang merupakan anggota penegak disiplin saja tidak Miss Zeta izinkan untuk sekadar menemaninya?
"Aku masuk pas Miss Zeta keluar, Orchidia. Untung jendela yang paling ujung enggak dikunci," terang Gading saat menyadari arti dari tatapan yang dilayangkan oleh Orchid.
Demi Tuhan, Orchidia bukanlah tahanan. Wajar jika guru kedisiplinan berdarah kaukasian tersebut tidak menutup seluruh akses menuju ruangan ini, kan? Tapi... melompati jendela?
"Sejak kapan lo jadi cowok bebal kayak gini? Seingat gue, Gading Mahareksa itu anaknya nurut banget, lho. Enggak suka nakal, apalagi neko-neko."
"Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah, sudah mengizinkan hamba untuk mendengar suara Orchidia yang cukup panjang seperti barusan."
Alih-alih menjawab pertanyaan Orchid, Gading justru mengangkat kedua tangan sembari mengucap syukur untuk sesuatu yang cukup konyol di mata gadis itu. Segera saja Orchid memukul pelan lengan Gading. "Gue serius!"
"Hmm, gimana, ya? Habisnya sejak hari itu kamu jadi irit omong banget, Orchidia. Ya, biasanya juga irit, sih. Tapi belakangan ini iritnya naik jadi pangkat tiga. Makanya aku bersyukur, karena kamu udah mau repot-repot ngeluarin dua puluh tiga kata tadi buatku," terang Gading secara jujur.
Tak ada hal yang membuat Orchid merasa geli selain sikap nyeleneh Gading yang sempat-sempatnya menghitung jumlah kata yang sudah ia utarakan tadi. "Somplak, ih!" ejeknya.
"Mau mengingatkan aja, Orchidia. Seanteng-antengnya Gading Mahareksa, darah yang mengalir dalam tubuhku ini masih satu aliran sama Bang Gilang, lho. Jadi, wajar, kan, kalau ada somplak-somplaknya sedikit?"

Mendengar pengakuan dari pemilik deep voice tersebut membuat Orchid terkikik pelan—tawanya yang pertama sejak hari pengungkapan dosa empat hari lalu. Tidak ada yang bisa membuat Orchid tidak tertawa jika itu berkaitan dengan Gilang alias Bang Mahar, kakak kandung dari Gading sekaligus staf paling berisik di toko kue milik pamannya.
"Nah, gitu, dong! Orchidia yang aku tahu itu murah senyum!" puji Gading tulus. Tangannya ikut serta mengacungkan jempol sebagai tanda suka. "Kayaknya lebih bagus kalau nama kamu diubah jadi Orchidia Mahamurahsenyum, deh?"
"Kenapa gitu?"
"Ya, enggak apa-apa. Biar sama-sama ada Maha-nya aja, sih. Kayak nama belakangku dan Bang Gilang."
Gading kembali menelurkan tawa. Tidak kencang, tetapi terdengar renyah. Selalu begitu. Seolah dia sudah lupa akan kesedihan yang dialami saat ditinggal oleh ibu dan ayah dulu. Melihatnya, Orchid jadi iri pada Gading yang selalu terlihat ceria sepanjang waktu, sama seperti kakaknya. Bagaimana ya, cara supaya Orchid juga bisa tersenyum lebar seperti itu, sekalipun dunia sedang menghakimi?
"Apaan sih, Ding! Udah, ah. Mending sekarang lo cabut. Bahaya kalau Miss Zeta balik, tapi elonya masih asyik nongki² di sini," peringat Orchid kemudian. Sungguh ia tidak mau Gading mendapat hukuman dari Miss Zeta hanya karena dirinya. Bagaimanapun juga, Gading sudah cukup berbaik hati untuk tetap berada di dekatnya, ketika semua orang justru sibuk berlari menjauh. Dan Orchid berterimakasih untuk hal itu.
"Santai aja. Miss Zeta baliknya masih lama, kok."
"Tahu dari mana?"
"Tadi waktu keluar, beliau sedang terima telfon sambil bilang otw rapat. Lagipula, kelas dua belas kayak kita udah enggak ada pelajaran. Jadi, mending aku diam di sini dan menggabut bersama kamu aja, kan? Kamu jadi ada teman, aku pun demikian. Win-win solution."
Satu hal yang Orchid sadari sejak mengenal Gading ialah fakta bahwa pemuda berwajah oval itu mudah bergaul dengan siapa saja. Tetapi sayangnya, jarang memperlihatkan sisi konyol seperti yang sedang ditunjukkan saat ini, yaitu giat bernegosiasi dan sedikit melawak. Mungkin dua sifat ini merupakan turunan keluarga, mengingat Bang Mahar sendiri juga demikian adanya. Bedanya, bahasa yang Gading gunakan sedikit kaku dibanding kakaknya yang terlalu blak-blakan.
"Terserah, deh. But, makasih ya, Ding, udah peduli sama gue. Tapi gue udah enggak apa-apa kok."
"Udah enggak apa-apa bukan berarti aku harus pergi dari sisi kamu kan?"
Gading membuang napas sejenak. Kemudian kembali menyunggingkan bibir penuh antusias hingga menampilkan deretan gigi putih yang berjajar rapi. Orchid dibuat terkesima sepersekian detik olehnya. Namun dengan cepat ia segera mengalihkan pandangan ketika lagi-lagi jemarinya terasa digenggam dengan tulus.
"Kamu tahu? Sejujurnya ini adalah kesempatan terbaikku untuk membalas kebaikan kamu."
Gading sempat membasahi bibir. Kemudian menatap teman masa kecilnya itu dengan lembut, tanpa sedikit pun berkedip seolah takut Orchid akan menghilang jika dia lengah sebentar saja.
"Well, Orchidia. Terima kasih ya, udah mau berteman denganku sejak kecil. Terima kasih karena kamu enggak melupakan aku, meski kita sempat terpisah di sekolah menengah pertama.
"Sungguh, aku sangat berterimakasih karena kamu juga udah membantuku survive pasca meninggalnya orang tuaku bertahun-tahun lalu. Berkat kamu, aku bisa bangkit. Jadi, sekarang giliranku. Tolong izinkan aku untuk terus berada di sisi kamu dan menemani perjalananmu selanjutnya, ya?"

-To be Continued-
🍭🍭🍭
Notes:
1. "Ya iya, lah, Cit. Nggak ada ceritanya orang bawa bento box tuh pertanda buat ngajakin mencangkul."
2. Nongkrong.
🍭🍭🍭
Hehe. Sekalinya dateng bawa prahara. Semoga masih bisa dinikmati sebelum beristirahat yaaa. Dan selamat liburan jugaaaa, Manteman onlenku~~ See you all on the next chapter. Ciao~
Malang, 8 Juli 2022
All Rights Reserved
23.12 WIB
Pialoey 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro