Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Feeling Useless

Bagai gua tak bertuan
Yang bersandar di penghujung bumi
Bertemankan serdadu gulita
Tanpa setitik pelita menyinari
Terkadang lelah singgah menyapa
Namun pada akhirnya
Bisu mampu mendekapnya erat
Menyisakan kesendirian sebagai ...
Satu-satunya jawaban yang tersisa.

- L. Orchidia Valerie -

🍭🍭🍭

Bel sebanyak dua kali baru saja mengaum, pertanda bahwa jam pelajaran kimia baru saja usai dan waktu siap untuk menyambut matematika di jadwal selanjutnya. Seorang siswi bersurai cokelat keemasan tampak merapikan peralatan tulisnya ke dalam tas kemudian bergegas keluar kelas. Namun sebelumnya gadis itu telah mengatakan kepada Mark, selaku ketua kelas XII IB 2, bahwa ia akan pergi ke toilet. Dan tentu saja, laki-laki berwajah imut tersebut mengizinkan meski bibirnya sempat menggumamkan sebuah peringatan untuk tidak berlama-lama di bilik pembuangan.

Tiba-tiba langkah siswi jangkung tersebut terhenti di ujung koridor. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, lalu kedua matanya mulai menatap sekitarnya dengan siaga. Setelah dirasa aman, gadis itu mulai membelokkan langkah menuju bangunan lain di bagian ujung sekolah yang tampak sepi dan agak gelap.

Seperti sudah mengenal gedung tersebut dengan baik. Langkah kakinya kini digerakkan lebih santai seolah ia sedang menapaki tangga di rumahnya sendiri. Berbeda dengan beberapa saat yang lalu di mana ia harus berlari cukup kencang dengan tubuh sedikit menunduk untuk menghindari tangkapan basah siapa pun, terutama guru BK. Ya, tak ada siapa pun di bangunan empat lantai ini selain dirinya. Oleh sebab itu, siswi yang terduga membolos kelas tersebut tak perlu lagi bertingkah mengendap-endap bak kucing sehabis mencuri ikan.

Namanya Orchidia. Lucynta Orchidia Valerie. Tetapi dia hanya mau memperkenalkan dirinya dengan dua nama belakangnya saja. Sebab satu nama depannya menimbulkan rasa tidak nyaman, dan hanya segelintir orang saja yang tahu apa alasan di balik tindakan Orchid tersebut.

Di sekolah, para guru memanggilnya dengan nama Orchid. Namun khusus untuk teman-temannya, ia rela diberi nama Cicit. Kata mereka, "Sorry not sorry, but nama Orchidia terlalu keren buat orang yang suram kayak lo."

Usia Orchid resmi menginjak angka 18 tahun ini. Tetapi lucunya, hingga detik ini Orchid masih saja tak tahu masa depan seperti apa yang ingin dia jalani. Jangankan untuk memikirkan masa depan. Untuk menyembuhkan luka yang bersarang di masa lalunya saja ia masih tak sanggup.

Setibanya Orchid di lantai teratas, ia membuka pintu sebuah ruangan yang tidak di kunci. Ia terus menuntun langkahnya ke dalam hingga berakhir di depan piano usang, yang tampak jarang digunakan. Tempat ini adalah markas rahasia milik Orchid. Tempat di mana tak satu orang pun berada kecuali dirinya. Satu-satunya tempat yang sunyi. Di mana ia bebas untuk melepas sejenak topeng kepura-puraannya yang setia melekat di wajah ayunya.

Orchid mendudukkan diri di atas lantai lalu bersandar pada dinding. Setetes cairan bening mulai menetes dari netra manisnya. Semakin lama isaknya pun kian menjadi.

Pagi ini, Orchid bersitegang dengan sang mama. Penyebabnya karena gadis itu menolak untuk diantar ke sekolah oleh papinya dengan alasan ia akan berangkat bersama Peachia. Lucyka—mama Orchid—jelas menentang ide tersebut. Sebab tidak setiap hari momen seperti itu bisa terjadi. Ditambah lagi sikap Orchid sendiri yang seolah enggan untuk menerima perlakuan baik dari papi tirinya tersebut. Padahal delapan tahun telah berlalu.

Di sisi lain Lucyka sendiri masih saja enggan untuk merangkul anak perempuannya tersebut dan lebih memilih untuk mengerahkan seluruh kasih sayangnya kepada Rion yang masih kecil.

Kemudian siang tadi Orchid juga kembali di-bully setelah waktu istirahatnya berakhir. Pelakunya masih sama seperti lima tahun belakangan, yakni Herchica Caramella Tenthani Wijaya. Entah apa yang membuat anggota penyorak tim basket tersebut hobi menyakitinya nyaris setiap hari. Tapi satu yang pasti, Orchidia tak pernah mampu untuk melindungi dirinya sendiri dari segala perlakuan kasar yang Ella berikan.

"Seandainya delapan tahun yang lalu keluarga gue nggak hancur, apa iya gue bakal jadi Orchidia yang sekarang?" racaunya di sela tangis dan isakan yang saling bersahutan.

"Seandainya Papi Vandhi nggak datang dalam kehidupan kami, apa gue masih bisa bareng-bareng sama Papa saat ini?" Gadis itu kembali terisak. Setiap kepingan peristiwa di masa lalu tak pernah berhenti membayangi harinya. Hari-hari yang sulit tanpa senyuman sang mama dan pelukan hangat dari papa. Ya, papa kandungnya.

"Dan kalau, seandainya papa sama mama dulu memilih buat nggak pisah, apa Ella nggak bakal nge-bully gue kayak gini? Seandainya. Kenapa sih, Tuhan menciptakan kata seandainya kalau harapan di baliknya itu tak pernah berakhir jadi nyata?"

Orchid menepis kasar air mata yang mengalir di kedua pipinya. Sesungguhnya ia lelah dengan situasi seperti ini. Entah telah berapa lama jua dirinya tersandar di lantai seperti orang gila, yang jelas tubuhnya kini terasa pegal dan kaku. Lalu ia memilih bangkit. Merogoh saku di balik jas navy-nya dan meraih dua tusuk permen buah buatannya. Gadis itu meletakkannya satu di dekat jendela. Kemudian ia mulai melahap satu per satu permen buah yang tersisa dalam genggamannya.

Selepas menenangkan diri bersama rasa manis dan asam dari tanghulu, Orchid memilih untuk menghampiri piano yang bertengger kokoh tak jauh di sisi sebelah kanannya. Ia menjatuhkan diri di atas kursi. Jemarinya bergerak pelan menyusuri satu demi satu tuts piano dan memainkannya. Mengingat apa saja yang telah menimpanya hari ini, air matanya jatuh kembali. Namun ia berusaha untuk kuat dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa hari ini.


Jari-jari lentik Orchid dengan anggun memainkan melodi dari Kiss the Rain milik Yiruma. Bibir tipisnya mulai bergerak untuk melafalkan bait-bait lirik yang sengaja dibuatnya sendiri sesuai irama. Tidak benar-benar murni buatannya, sih. Sebab Orchid hanya mengubah beberapa kalimat dari lirik lagu Proud to be ELF milik penggemar Super Junior tersebut agar sesuai dengan rasa rindu serta bangganya terhadap sang papa.

How wonderful life is while you are in the world
How wonderful life is when i hear your voice
Proud to love you with heart
Proud to shout your name
Oh, i'm proud to have you in my life

If there's one thing in this world that i know it's true is the love that i feel when i think of you
Proud to love you with heart
I'm proud to shout your name
Oh, i'm proud to be your little daughter

Someday i thought how to have a life with you
I swear I care to what is gonna come around my life
I

f it's wrong or right i know, our love will beside me
Though the years go by i will stay the same

Lagi-lagi Orchid tak mampu menahan luapan air matanya. Mereka jatuh begitu derasnya tanpa diminta. Otomatis Orchid menghentikan aksi menyanyinya hanya untuk menenangkan dirinya yang kembali sesak karena merindukan papa. Papa kandungnya.

Ditariknya udara dengan dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Orchid mengulangnya beberapa kali hingga rasa sesak yang mencekam mulai reda. Kadang ia tak habis pikir mengapa dirinya bisa berakhir menjadi cengeng seperti itu.

"Bukannya hidup kayak gini tuh, nggak ada artinya, ya? Terus kenapa sih, Tuhan masih aja mempertahanin nyawa gue?" Orchid masih setia bermonolog di ruangan yang sunyi dan gelap tersebut. Pikirannya kusut dan tak tenang. Hingga sebuah suara gemelatuk terdengar sekali.

Orchid menegakkan tubuhnya. Spontan kedua tangannya menghapus sisa air mata di wajahnya. Dirinya mulai waspada, kalau-kalau ada orang yang memergokinya berada di gedung musik lama sendirian. Tetapi bunyi yang sama kembali terdengar. Kali ini terdengar lebih renyah dan dalam tempo yang agak lama. Dengan jantung yang berdegup kencang, Orchid memalingkan wajahnya ke arah jendela. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati tanghulu yang  diletakkannya di sana sudah tidak ada. Secepat kilat ia membalikkan tubuh dan ... boom!

"Nggak guna banget lo tiap hari nangisin hal bodoh kayak gitu," ucap seseorang yang terdengar berat seperti suara pria.

"Lo setan?" tanya Orchidia polos kepada sosok bayangan yang tak terlihat jelas bagaimana wajahnya. Sungguh, kali ini Orchid ingin mengumpat akibat penerangan yang minim di ruangan ini. Sontak sosok tersebut terbatuk karena tersedak sesuatu yang rupanya adalah permen buah milik Orchidia yang ia comot secara cuma-cuma. Hal ini mudah diketahui dari tusuk sate yang dipegang oleh sosok misterius tersebut

"Guendheng. Arek ngguanteng koyok aku ngene mok arani setan? Mripatmu ancen njaluk diperiksano nang dokter, Chid!¹" sahut lelaki tersebut tidak terima.

Entah dorongan dari mana, Orchidia mendekati sosok itu meski rasa takut tengah menyergapnya. Dan ketika jarak di antara mereka mulai terkikis, tiba-tiba sosok tersebut memiringkan kepalanya ke kanan dan bertabrakan langsung dengan sinar matahari yang menerobos melalui celah ventilasi. Orchid terkejut. Pantulan sinar berwarna putih membuat gadis itu melebarkan matanya kemudian berteriak, "Aaaaaaaa setaaaaaaaannn!"

Begitu saja Orchidia lari tunggang langgang meninggalkan gedung tua itu menuju kelasnya. Mengambil tasnya kemudian berlari meninggalkan sekolah secepat yang ia bisa. Sungguh, dua tahun menjadi penguasa tunggal bangunan tersebut, baru kali ini Orchid bertemu langsung dengan sosok penghuni asli di sana. Hiiii.

🍭🍭🍭


Di kursi penumpang belakang sebuah taksi Orchidia bersandar. Seluruh sendi dalam tubuhnya terasa lemas. Ia masih berusaha meyakinkan dirinya atas apa yang baru saja terjadi. Hatinya yang semula gundah kemudian dibuat terkejut setengah mati oleh kehadiran sosok menyeramkan di gedung musik. Walaupun samar-samar sosok tersebut terlihat tampan, tetap saja rasanya menegangkan. Yang pasti kali ini Orchid tak ingin segera pulang. Lalu ia meminta sopir taksi melajukan kendaraannya menuju kafe favoritnya, BobaMoza.

Sejurus kemudian Orchid mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan di grup chat-nya bersama para Angels.







Orchid tertawa jenaka. Entah mengapa berbicara dengan para Angels membuat suasana hatinya membaik.

"Sorry, Yul. Gue bohong. Kayaknya kali ini baik lo dan yang lain nggak perlu tahu kalau gue abis nangis lagi," gumamnya.

Setibanya Orchid di kafe BobaMoza, ia bergegas ke meja kasir dan memesan segelas green tea choco lava with brown sugar dengan ekstra topping boba favoritnya. Sembari menunggu minumannya datang, gadis yang menjadi satu-satunya pengunjung kafe yang berseragam sekolah itu memilih meja paling ujung di sisi luar kafe. KaEn benar. Di bagian dalam kafe kini tengah diisi oleh banyak orang untuk sebuah perayaan yang sepertinya ulang tahun seseorang.

Hah. Udah berapa tahun gue ngelewatin hari kelahiran gue tanpa sesuatu yang berarti?

"Woy! Ngelamun mulu! Udah dibayar belom nih, bobanya?" Sebuah tepukan pelan di pundak cukup untuk membangkitkan Orchid dari lamunannya.

"KaPiyur, ih, ngagetin aja! Bukan kafe lo juga, tapi takut banget sih, kalau gue ngutang?" cerca Orchid tidak terima. Wajahnya diatur sedemikian rupa hingga membentuk pola cemberut. Bukannya Anin alias Piyur gemas dan tertawa, gadis berusia dua puluhan tahunan tersebut justru membalas ucapan Orchid dengan sarkas, "Yeu, kalau kafe rugi karena lo sama si Cia ngutang mulu, gue juga yang kena imbasnya."

Orchid mengabaikan ucapan Anin dan lebih memilih untuk menyedot bobanya lagi. "Sumpah ya, KaPiyur nggak asyik!"

Kali ini giliran seorang Anindya Puriandini yang tertawa. Ya, harus ia akui bahwa meski terkadang kelakuan ajaib two-c alias duo bocah alias Cicit dan Cia sering membuat kepalanya pusing, tetapi kehadiran mereka cukup untuk memberi hiburan tersendiri.

"By the way, Kak Ino mana?" tanya Orchid tiba-tiba. Mata elang Anin berubah menjadi siaga saat pertanyaan tentang Ino keluar dari bibir sahabatnya tersebut. "Ngapain lo nyariin Ino?"

"Dih, gitu aja sewot."

"Jawab, nggak?"

Orchid mengembuskan napasnya gemas. Belum jadi pacarnya Kak Ino aja udah posesif gitu. Gimana kalau udah resmi jadian? Eh, tapi emangnya Kak Ino mau sama KaPiyur?

Orchid sontak terkikik geli dengan pemikirannya tersebut dan lantas mengundang tanya dari Anin, "Kenapa lo ketawa?"

"Oops, sawry, KaPiyurku sayang. Kakak dipanggil, tuh."

Anin menoleh ke ke belakang dan benar saja. Sudah ada rekan kerja Anin yang meminta dirinya untuk segera kembali. "Ya udah. Gue kerja dulu. Baik-baik lo di sini."

Orchidia tersenyum. Senang bisa menggoda Anin. Akan tetapi senyum cantik itu mendadak sirna. Dirinya yang lemah ini kembali bertanya-tanya, mengapa ia tak memilik jiwa pekerja keras seperti Anin? Mengapa pula ia tak memiliki sifat tegas dan rasa percaya diri yang tinggi seperti Any atau Aeri? Juga mengapa dirinya tak bisa bersikap ceria dan penuh semangat seperti Cia?

Orchid tersenyum miris. Sekali lagi ia disadarkan pada satu kenyataan bahwa dirinya sama sekali tidak berguna.

🍭🍭🍭

To be continued.

How?
Udah mulai kenal sama Cicit belum?
Atau masih penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi sama dia?
Just stay here. Befriend with her and you'll know it all and especially ... her dark secret.

Nb.
(¹) Gila. Orang ganteng kayak gue gini lo kata setan? Mata lo emang perlu diperiksain ke dokter, Chid!


See you next week!♡

Malang, 02 Juli 2020
Pialoey♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro