Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Comeback of the Nightmare 2

Aku terbangun di kala langit tengah berteduh dari teriknya sinar mentari.
Tertunduk sendiri merenungi dosa.
Jika boleh memohon,
Tolong jangan siksa aku dengan serpihan tajam masa lalu.
Walau suka dan cita enggan 'tuk singgah menghiasi hariku.

- Orchidia Valerie -

🍭🍭🍭

Orchidia baru saja pulang dari sekolah. Tidak, sebenarnya ia sudah mampir ke BobaMoza terlebih dahulu dan menghabiskan dua jam di sana untuk melepas penat. Meski hari ini bimbingan belajar diliburkan karena suatu hal, ia tetap membutuhkan waktu jeda serta hiburan di luar.

Namun setibanya di rumah, Orchid justru dikejutkan oleh sosok Bi Marsih yang berdiri di ambang pintu dengan raut sedih yang tak bisa disembunyikan. Tidak hanya itu, bahkan di sisi kanan dan kiri wanita paruh baya tersebut terdapat pula beberapa jenis tas dan juga koper.

"Imo? Imo mau ke mana? Kok, bawa tas banyak kayak gini, sih?" tanya Orchid saat tubuhnya sudah berada tepat di depan sang pengasuh. Hatinya tiba-tiba menjadi resah saat dilihatnya rona gulana tengah menyelimuti seluruh permukaan wajah Bi Marsih yang mulai dihiasi sulur keriput.

"Imo ... mau pulang kampung, Neng. Kangen sama yang di rumah. Neng Chy jaga diri baik-baik, ya?" kata wanita itu dengan perasaan yang begitu berat. Setitik air pun turut mendampingi sesi pamitan tersebut. Membuat Orchid semakin yakin bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Pulang kampung? Semendadak ini?" Kening Orchid kian berkerut. Gurat kebingungan terpahat jelas di sana. "Imo enggak lagi sembunyiin sesuatu dari Cichy, kan?" lanjutnya.

Seketika itu Bi Marsih menundukkan wajah. Beliau sadar bahwa dirinya tak pernah bisa membohongi Orchidia, gadis yang telah diasuhnya sejak bayi.

Di sisi lain, Orchid kian bertanya-tanya. Pasal apa yang membuat Bi Marsih terpukul hingga memutuskan untuk angkat kaki tanpa memberi tahu terlebih dulu? Apa semua ini berkaitan dengan dirinya?

"Pasti bukan itu kan, alasannya? Cichy tahu, Imo lagi sembunyiin sesuatu sekarang."

Mungkin tidak mudah membujuk Bi Marsih untuk mengatakan segalanya. Tapi dari air mata yang berjatuhan, dapat Orchid simpulkan bahwa hal buruk tersebut telah mematahkan hati Imo-nya.

Orchidia tidak menyerah begitu saja. Dengan sigap ia menuntun Bi Marsih menuju salah satu lounge chair yang berada di teras rumah, sedangkan ia sendiri duduk berlutut di hadapan wanita penyabar tersebut tanpa peduli kaki dan rok seragamnya akan kotor.

Sekali lagi Orchid melayangkan tatapan penuh kasih. Menggenggam kedua tangan Bi Marsih sehangat mungkin. Berharap sikapnya ini dapat memberi ketenangan serta kenyamanan pada sang pengasuh.

"Imo tahu, kan, kalau Cichy sayang banget sama Imo? Cichy juga pernah bilang bahwa apa pun yang Imo rasakan, Cichy juga pasti ikut ngerasa," tutur gadis itu mengawali pembicaraan. "Jadi, kenapa? Apa alasan sesungguhnya yang bikin Imo mau pergi dari hidupnya Orchidia?"

Sekuat tenaga Orchid menahan dorongan air yang memaksa untuk diterjunkan dari mata. Ia tidak boleh menangis saat ini. Karena jika ia menumpahkan setetes saja air mata, maka Bi Marsih tak akan sampai hati untuk bersuara.

"Maaf, Neng, maaf," ujar Bi Marsih pada akhirnya. Wanita yang sudah bekerja pada keluarga mamanya sejak tiga puluh tahun lalu tersebut mengeratkan genggamannya pada Orchid. Menuntun tautan itu ke keningnya diiringi derai isak yang cukup untuk membuat dada pendengarnya dipenuhi sesak. "Bukannya Imo mau ninggalin Neng Chy sendirian. Tapi Imo udah enggak bisa tinggal di sini lagi—"

"—karena Mama?" potong Orchidia secepat laju cheetah. Bukan tanpa sebab Orchid menyela penuturan Bi Marsih. Delapan belas tahun hidup bersama membuatnya paham bahwa sikap arogan Lucy terhadapnyalah yang selalu mampu membuat hati milik Imo-nya bersedih. "Tapi Cichy enggak habis dimarahi sama Mama, kok. Kenapa Imo sampai sesedih ini?" imbuhnya lagi.

Pada akhirnya, Bi Marsih tidak dapat menahan kebungkaman yang sempat beliau pertahankan. Dengan sendirinya bibir wanita itu tergerak untuk mengisahkan apa yang membuatnya memutuskan untuk pergi. Orchidia sendiri menyimak dengan saksama. Semakin banyak informasi yang ia dengar, semakin terasa berat pula beban yang mengganjal di dasar hati.

Setelah Bi Marsih selesai, Orchid pun melepas pegangannya. Dihapusnya air mata yang entah sejak kapan telah menggenangi pipi. Kemudian ditarik-ulurnya napas untuk sekadar mengusir sesak. Inhale, exhale. Begitu seterusnya hingga ia dapat merasakan ringan di dadanya yang sempat riuh bergemuruh.

Dengan cekatan Orchid meraih telepon pintarnya di dalam saku jas almamaternya. Ia membuka salah satu aplikasi dan mengirimkan pesan kepada seseorang.

"Imo tunggu di sini, ya. Cichy mau ngomong dulu sama Mama."

Gadis itu berdiri. Hendak meninggalkan Bi Marsih di tempat jika saja wanita tersebut tidak mencekal pergelangan tangannya.

"Jangan, Neng. Nanti—"

Bi Marsih tak mampu menuntaskan kalimatnya akibat dekapan Orchid yang begitu tiba-tiba. Hangat sekali. Seolah melalui rangkulan tersebut Orchidia dapat menyalurkan seluruh ketenangan yang sedang dibutuhkan oleh keduanya.

"Sebentar aja, kok. Cichy janji enggak akan bertengkar sama Mama."

Dan pelukan tersebut pun terlepas. Orchid melempar senyum terbaik yang ia punya kemudian berlalu. Sementara Bi Marsih masih terdiam di tempat, kian mengeratkan kedua tangannya sendiri. Memohon kepada Sang Maha Kuasa, agar tidak terjadi apa-apa pada anak asuhnya tersebut.

🍭🍭🍭

"Ma..."

Orchidia memanggil pelan ibunya yang ditemukan sedang membolak-balik sebuah dokumen di ruang kerja. Lucy sendiri hanya menanggapi panggilan dari putrinya tersebut dengan dehaman singkat.

"Boleh tanya sesuatu?"

"Hm."

Ada keraguan yang sempat menggoda, namun Orchid tetap memegang teguh alasannya untuk berdiri dalam jarak dekat dengan mamanya seperti saat ini.

"Kenapa Mama pecat Imo?" Suaranya sedikit bergetar. Ia pun segera berdeham agar keraguan itu lenyap. Dia tidak boleh gentar dalam menghadapi mamanya kali ini.

Pelan-pelan, Cit. Jangan sampai bikin emosi Mama naik. You've promised to Imo, ingat? Batin Orchidia sibuk mengingatkan. Jangan sampai niat baiknya kali ini berubah jadi sesuatu yang bisa menyakiti orang-orang di sekitarnya.

"Udah terlalu lama Bi Marsih kerja di sini. Udah saatnya buat dia menikmati masa tua di tempat asalnya."

Terdengar kurang menyenangkan bukan? Bahkan tanpa segan mamanya tidak melontarkan kalimat yang baik untuk Bi Marsih. Seolah menegaskan bahwa dialah pemegang kuasa di sini.

"Bukan karena aku kan, Ma? Kerjaan Imo bagus, kok. Enggak pernah malas-malasan. Jadi, enggak mungkin Mama pecat Imo cuma karena faktor usia, kan? Lima puluh lima tahun juga kayaknya belum terlalu tua," sanggah Orchid sedatar mungkin. Ia berusaha supaya tidak ada emosi dalam setiap jejak tuturnya.

Tetapi tepat seperti dugaan. Selepas Orchid menyampaikan pendapatnya barusan, pada waktu yang sama dapat ia tangkap seringai licik di wajah Lucy—yang selama ini ia takuti. Diam-diam Orchid menggenggam ujung roknya.

"Jadi, wanita tua itu ngadu ke kamu? Huh! Memang udah sepantasnya dia didepak dari sini!" sarkas Lucy kemudian.

Orchidia agak terkejut mendengarnya. Sebab selama ini ia pikir mamanya itu tetap menghormati Bi Marsih selayaknya kaum muda kepada yang lebih tua. Nyatanya pemikiran tersebut sepenuhnya salah. Orchid agak geram dibuatnya.

"Mama jangan ngomong gitu. Kalau bukan karena Imo, aku enggak bakal betah tinggal di sini."

Satu gumaman Orchid terdengar sampai di telinga Lucy. Wanita berpakaian serba putih dan serenity blue itu pun lantas berdiri dan membanting map yang ada di tangannya ke meja.

"Kamu pikir selama ini saya betah lihat muka kamu ada di rumah ini?!" ujar Lucy setengah berteriak.

"Kalau gitu kenapa Mama ambil hak asuh atasku? Harusnya waktu itu Mama biarin aja aku tinggal sama Papa!"

Done.

Emosi Orchid mulai terpancing akibat sebaris kalimat tidak mengenakkan yang dilontarkan Lucy. Ia sudah berusaha untuk bersabar semaksimal yang ia bisa. Tapi bila mamanya itu menghendaki adanya campuran emosi, maka apa yang bisa Orchid lakukan selain menanggapinya dengan rasa sakit yang sama di dalamnya? Bukankah ada pepatah yang menyebutkan istilah 'kamu jual, saya beli'?

"Kalau bukan karena permintaan Vandhi yang terlanjur menyayangi kamu seperti anak sendiri, saya juga enggak akan sudi buat ambil hak asuh kamu!"

Ah, iya. Orchid ingat tentang rasa sayang yang dimiliki oleh ayah tirinya itu. Orchidia bisa merasakannya. Walau ia tak pernah membalas dengan kasih yang setimpal, tapi gadis itu mampu menaruh rasa hormat meski tidak pernah benar-benar bisa menerima lelaki itu sebagai pengganti sosok ayahnya. Bagi Orchid papanya hanya satu, yakni Veganta Valerio. Tak ada yang lain.

"Cuma itu? Bukannya selama ini Mama selalu bisa membungkam keinginan Papi Vandhi buat bisa dekat sama aku selayaknya hubungan ayah dan anak yang normal? Aku enggak percaya, Ma."

Cukup sudah. Amarah yang sejak tadi Lucy tahan kini telah memuncak. Siap untuk dimuntahkan detik ini juga. Dengan cepat wanita bertubuh lebih tinggi empat senti dari Orchid tersebut pun menghampiri putrinya. Dia siap memberi pelajaran kepada Orchid yang dinilainya tidak tahu diri tersebut.

Di saat yang sama, Orchid juga telah memejam matanya seerat mungkin. Ia tahu, akan ada sensasi panas yang menjalar dipipinya setelah ini. Namun setelah hampir satu menit terpejam, rasa panas itu tak kunjung datang. Pelan tapi pasti, ia membuka mata. Mendapati Lucy berdiri sangat dekat, tepat di depannya. Bahkan kali ini adalah jarak terdekat sepanjang sejarah. Orchidia terheran-heran karenanya.

"Jadi, menurut kamu apa? Apa alasan yang sebenarnya di balik keputusan saya atas hak asuh kamu dan pemecatan bibi kesayangan kamu itu?" tantang Lucy. Tangannya sudah bersedekap. Dia menanti jawaban dari bibir ranum Orchidia.

Gadis itu sendiri yakin atas jawaban untuk pertanyaan yang ke dua. Akan tetapi hal itu tidak berlaku untuk pertanyaan yang pertama. Semua terlalu buram bagi Orchid. Tentang alasan di balik keputusan mamanya yang mengambil hak asuh atas dirinya. Satu-satunya kemungkinan yang bisa ia tangkap hanyalah sebatas keinginan Lucy untuk memisahkan Orchid dari sang ayah.

"Karena ... Rion? Bahkan aku berdiri di sini buat minta maaf sama Mama. Maaf karena udah lancang ajak dia keluar bareng Lyan hari itu. Tolong, cabut keputusan Mama buat pecat Imo," jawab Orchidia lirih. Pandangannya mendadak kabur akibat genangan air yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan.

Memang itulah alasan di balik keberadaan Orchid di ruang kerja Lucy sore ini. Sejak ia mendengar penuturan Bi Marsih beberapa menit yang lalu, ia sadar. Sudah seharusnya ia berkata jujur tentang hari itu. Hari di mana ia mengajak Rion turut serta untuk merayakan ulang tahun Lyan di luar rumah tanpa sepengetahuan Lucy dan juga Vandhi. Dan hal itu jualah yang menjadi alasan atas pemecatan Bi Marsih hari ini. Karena wanita kelahiran Purbalingga itu telah menutupi fakta tersebut dari Lucy hampir dua bulan lamanya.

"Ma, tolong kabulin permintaan aku sekali aja. Tolong jangan pecat Imo," pinta Orchid dengan sungguh-sungguh. Tetapi tak ada jawaban yang ia dapat. Nyaris dua menit berlalu hanya dengan aksi saling pandang.

Orchid baru akan membuka bibirnya lagi ketika tiba-tiba Lucy menarik paksa tangan kanannya. Pemimpin salah satu perusahaan pengembang sektor properti terkemuka di Indonesia tersebut memaksanya ikut menuju suatu tempat yang tidak ia ketahui. Langkahnya tergesa seiring dengan tarikan yang begitu kuat saat meniti satu per satu anak tangga.

Orchid ingin bertanya, namun ia takut. Jadilah dia mengatup bibirnya hingga keduanya berhenti di lantai dua. Tepatnya di depan kamar yang selalu Orchidia hindari.

"Ma ..."

Lucy tidak mengindahkan panggilan putrinya tersebut. Dia hanya menoleh sekilas dengan tatapan tajam, lalu kembali menyeret Orchidia memasuki ruangan yang berhasil membuatnya ketakutan setengah mati.

Sesampainya di sana, Lucy melepaskan cengkeraman. Dia lalu membuka pintu besar yang menghubungkan kamar dengan balkon kecil di sisi luar. Ditariknya lagi Orchid dan menjatuhkannya tepat di lantai balkon tersebut.

"Ma," panggil Orchid sekali lagi. Kali ini suaranya sudah sangat bergetar. Tubuhnya menggigil. Berikut sesak serta pening yang menyerang secara bersamaan. Kotak pandora di dalam memorinya pun terbuka. Menampilkan ulang kejadian di masa lampau yang sempat membuatnya trauma hebat.

"Di sini kan, kamu mengakhiri nyawa anak saya?"

Orchid menggeleng keras-keras. Demi Tuhan, walau ia sakit hati tidak diakui sebagai darah daging Lucyka, tapi ia tidak pernah membunuh adik tirinya seperti yang dituduhkan selama ini. Bahkan niatan keji seperti itu tak pernah ada dalam hatinya.

"Kamu pikir saya main-main dengan ucapan saya saat itu? Bahwa saya enggak akan pernah biarin kamu mendapatkan kebahagiaan?" ucap Lucy dengan nada sedingin es di kutub utara. Parasnya yang cantik juga berubah jadi menyeramkan. Orchidia semakin tidak mampu berkata-kata dibuatnya. "Awalnya saya cuma berniat misahin kamu dari Veganta. Karena saya tahu, dialah sumber kebahagiaan kamu.

"Tapi semua berubah ketika kamu membunuh Erwando. Detik itu juga saya bersumpah, bahwa saya enggak akan pernah lepasin kamu sampai akhir napas sekalipun! Kamu ... harus membayar perbuatan keji itu dengan terus berada di sini, di rumah yang kamu anggap sebagai neraka!"

"Ma ..."

"Beruntung masih ada Rion. Dengan begitu saya bisa menekan segala sikap sok baik kamu itu dengan sebuah ancaman; jangan dekati anak saya yang tersisa, karena saya enggak mau tangan kotor kamu itu kembali merenggut nyawa darah daging saya. Dan, berhasil. Kamu patuh sekaligus tersiksa karenanya—ya, meski udah melanggar peringatan itu dua bulan lalu."

Penuturan panjang Lucy membuat Orchid tak sanggup lagi menengadahkan wajah. Kenyataan bahwa mamanya yang serius untuk menjauhkan dirinya dari kebahagiaan telah memukul telak hati dan juga mentalnya.

"Well, keputusan saya masih sama. Bi Marsih enggak akan lagi bekerja untuk keluarga ini. Udah saatnya kamu merasakan neraka yang sesungguhnya."

Setelah berkata demikian, Lucy pun pergi. Meninggalkan Orchid yang masih bergetar ketakutan di atas lantai. Seorang diri. Satu-satunya yang ia harap adalah bisa segera keluar dari ruangan penuh luka ini dan menghapus trauma yang siap memberi pesakitan untuk kedua kalinya.

Susah payah remaja itu merangkak. Meninggalkan kusut di sepanjang seragamnya demi bisa mencapai ruangan paling damai miliknya, yaitu kamar pribadi.

Sesampainya di kamar, Orchid bergegas meraih gelas yang terletak di atas nakas. Dikeluarkannya pula obat penenang dari salah satu laci kemudian menelannya. Pelan tapi pasti, dirinya menemukan kata tenang. Satu hal yang terpikirkan olehnya kini adalah, ia harus pergi. Setidaknya untuk hari ini Orchid tidak boleh ada di rumah.

Pikirannya kembali terpecah ketika ponselnya berbunyi. Nada dering yang khas membuatnya tergerak untuk segera membuka pesan yang tiba.

From: My Hero No. 2 ❤

Chy, are you okay?
Balas pesan ini kalau lo emang nggak diapa-apain sama nyokap lo.
Gue udah dengar semuanya dari Bi Marsih. And yeah, thanks for texting me in the right time, Giant Baby.
Sekarang Bi Marsih stay di apartemen gue.

Orchidia yang sempat lupa tentang Bi Marsih pun bisa bernapas lega setelah membaca pesan dari Genta tersebut. Setidaknya, Imo-nya itu kini berada di tempat yang tepat. Walau Orchid tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya tanpa sosok Bi Marsih di sisi, ia bersyukur wanita itu tidak benar-benar pergi dari hidupnya.

From: Orchidia V.

Ayey, Kapten!
Makasih udah mau direpotin dan jemput Imo sesuai permintaan dadakan gue.
And yes, I'm fine.
Mama cuma ngomel aja, kok.
Udah biasa.
Hehe.

🍭🍭🍭

Setelah sukses menenangkan diri, Orchid segera mandi dan berganti pakaian. Kemudian ia memasukkan seragam dan buku untuk besok serta baju tidur ke dalam ransel birunya. Belum tahu ia akan ke mana, tapi sudah ada satu nama yang ia kantongi.

Seperti biasa, Orchid keluar rumah tanpa berpamitan kepada siapa pun. Juga tidak akan ada yang mencarinya meski hari sudah larut, kecuali Vandhi yang diam-diam akan menelepon dan menanyakan keberadaannya.

"Lah? Kok lo balik ke sini lagi, Cit? Kurang puas nge-bobanya? Atau lo mendadak kena sindrom kangen sama gue?"

Orchid terkikik mendengar sambutan tidak berbobot yang keluar dari bibir Anindya. Sahabat rasa kakaknya itu memang mudah mengundang tawa di balik sikap ceplas-ceplosnya. Itulah yang membuat Orchid betah berteman dengan gadis berdarah sunda tersebut.

"Dih, pede sekali ya, Anda!" Orchid tertawa. Meletakkan ransel dan sekantung snack di meja tempat Angels biasa berkumpul. "Gue ke sini mau ngecek aja sih, Kak. Panjangan mana nih, daftar utang gue atau Ciul? Kalau lebih panjang punya Ciul, ya gue mau nambah biar ngalahin punya dia."

Anin spontan memasang wajah muaknya. Entah mengapa Tuhan bisa mengenalkan dia dengan dua bocah antik seperti Orchid dan Peachia.

"Baru kali ini gue ketemu orang yang bangga punya banyak utang macam kalian berdua. Tapi lebih enggak ngerti lagi sama lo sih, Cit. Udah doyan ngutang, enggak punya kartu kredit, enggak bisa nyetir mobil pula. Sungguh kekayaan yang disia-siakan, wahai anak muda," keluh Anin seraya menggeleng dramatis dari balik meja kasirnya.

Lagi-lagi Orchid hanya tertawa menanggapi ocehan Anin. Kini ia malah menjatuhkan kepala di atas mesin kasir—yang kembali membuatnya dapat delikan tajam dari sang empu—lalu menatap Anin dengan serius.

"KaPiyur abis ini enggak ada acara, kan?" tanyanya manja. Anin paham, jika Orchidia sudah bertingkah seperti ini pasti ada sesuatu yang diinginkan darinya.

"Ada. Re-watch film-film Korea lawas. Jadi, kalau lo mau ajak gue buat camping, sori gue enggak bisa, Cit," jawab gadis berponi itu tegas.

"Dih, siapa juga yang mau ajak camping? Orang gue cuma mau bilang kalau gue pengin nginap di kosan lo aja kok, Kak. Lagian, gue kan, belum tahu gimana sensasinya bobo di kosan baru KaPiyur sekarang. Hehe."

Anin hanya menghela napas pasrah. Baginya, memberi jawaban atau tidak, Cicit cuitnya itu pasti akan tetap mengikuti sampai kosan dan berakhir di sana semalaman. Jadi, lebih baik didiamkan saja jika dia sudah tahu bagaimana ending-nya bukan?

"Wah, gila, sih! Enggak tanggung-tanggung banget Kak Ervin sukanya sama lo, Kak! Sampai nyariin kosan sekeren ini pula!" Orchidia bermonolog. Mengomentari bangunan mewah yang tidak sepatutnya disebut sebagai tempat kos tersebut. "Emang enggak salah kalau gue bantuin dia selangkah lebih maju sama KaPiyur!" ujarnya lagi.

Anin yang semula diam membiarkan Orchid menilai kosan barunya pun akhirnya membuka suara setelah remaja itu mengurai pernyataan yang terakhir. "Apa lo bilang?" tanyanya dengan mata memicing.

Orchid yang melihatnya pun segera meralat ucapannya. "Enggak, enggak. Gue cuma bilang, buanglah mantan pada tempatnya, Kak. Dan sambutlah masa depan yang sudah berdiri di depan mata."

"Edun. Lo pikir mantan itu sampah dibuang segala?"

"Anggap aja begitu, hehe."

Sudahlah. Anin tidak perlu meladeni Orchidia yang dirasanya sedang dalam mode sangat random tersebut. Dia lantas mengganti pakaiannya dengan baju yang lebih santai kemudian mencuci muka. Sekembalinya dari kamar mandi, Anin bergegas menyalakan televisi layar lebar yang tergantung di dinding atas.

"Gue pengin nonton Fabricated City lagi, nih. Enggak apa kan, Cit?" tanya Anin sekilas.

"It's okay, KaPiyur. Yang penting camilannya udah gue siapin," jawab Orchid jumawa sambil mengangkat bungkusan-bungkusan snack yang dibeli sebelum tiba di BobaMoza.

Anindya mengangguk suka. Bagaimanapun, menonton film akan terasa seribu kali lebih menyenangkan jika ada camilan yang menemani.

Di tengah jalannya film diputar, Orchidia malah sibuk dengan pemikirannya sendiri. Dia bertanya-tanya, apakah ia juga bisa menjadi seperti Kwon Yoo, yang mampu membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas kematian seseorang? Tapi ... bagaimana? Mengingat dunia nyata tak semudah aksi tokoh utama menyelesaikan masalah di dalam film. Ditambah lagi, Orchid juga tidak memiliki bukti bahwa ia tidak membunuh Endo hari itu.

Saking sibuknya Orchid berpikir, ia tidak sadar bahwa film yang ditonton kini sudah berakhir. Bahkan telah berganti menjadi drama dengan rating tinggi pada masanya, yakni The Penthouse.

"Lho, Kak. Ji Chang Wook-nya mana?"

Anin mengernyit. "Lah? Udah habis dari tadi kali, Cit. Lo ketiduran?

Ah, bodohnya. Kalau sudah begini ketahuan bahwa dirinya tidak menonton, kan? Makanya dengan sengaja Orchid mengiyakan saja sambil berpura-pura menguap seakan baru bangun dari tidur.

Tetapi saat matanya tidak sengaja melongok ke arah TV, Orchid justru dikejutkan dengan adegan tokoh Min Seola yang terjatuh dari lantai atas Hera Palace ke arah patung di lobi dasar.

Sontak saja gadis itu menjerit histeris. Sebab situasi yang dialami Min Seola sama persis seperti yang Endo alami dulu, meski berbeda penyebab. Hal itu sontak mengejutkan Anindya. Dia kemudian menepuk-nepuk dua pipi Orchid seraya memanggili namanya berulang kali.

"Cit, lo enggak apa-apa? Kenapa tiba-tiba jadi histeris kayak gini, sih? Ada apa?"

Orchid belum bisa membedakan mana dunia nyata, mana ingatannya di masa lalu. Sebab rangkaian adegan yang berputar di depan matanya kini benar-benar menunjukkan situasi saat Endo terjatuh dari balkon lantai dua dekat kamar, diikuti oleh simbahan darah yang menguar dari beberapa bagian tubuh mungil bocah itu.

"Bukan aku! Bukan aku yang bikin dia jatuh!" racau Orchid berbarengan dengan tangis sesenggukan.

Anin semakin panik. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi kepada sahabatnya itu. Apakah Orchid sedang menjailinya atau tengah kesurupan, keduanya tetap saja membuat dia takut.

"Sadar, Cicit! Kalau lo nge-prank, ini sama sekali enggak lucu, ya! Tapi kalau lo benaran kesurupan, gue enggak tahu caranya ngerukiah, woy!" teriak Anin tak kalah heboh. Namun sayangnya hal tersebut tidak berpengaruh. Dalam rengkuhannya, dapat Anin rasakan adanya getaran hebat di sekujur tubuh Orchid. Keringat juga tampak mengalir deras di sana. Apa yang harus Anin lakukan sekarang?

"Cit, ini gue enggak paham lo kenapa. Tapi bisa udahan nggak sih, histeris sama ketakutannya?"

Mendengar keluhan-keluhan Anin tersebut perlahan membuat Orchid kembali pada dunia nyata. Ditatapnya lekat mata bulat milik sahabatnya itu. "KaPiyur, is that you?" tanyanya pelan. Sangat pelan. Anin sendiri nyaris tidak dengar.

"Iya, ini gue. Lo udah sadar? Udah enakan belum? Plis, jangan bikin gue panik lebih dari ini, Cit."

Dua sudut bibir Orchid tertarik lesu. Membentuk senyum yang tampak begitu parau. Rentetan kata maaf pun mengalir, sejurus dengan kesadarannya yang telah pulih kembali.

Selanjutnya, Orchid meminta tolong kepada Anin untuk diambilkan segelas air putih di dapur. Sebenarnya ini hanya alibi saja supaya ia bisa mengambil sebutir obat penenangnya di dalam ransel tanpa perlu diketahui Anin, lalu menyimpannya di dinding mulut. Betul. Orchid tidak ingin sahabat-sahabat malaikatnya tahu perihal kondisi jiwanya yang sedang terguncang seperti ini.

Setelah menelan pil, perlahan ketenangan pun mulai membingkai batin siswi Megantara tersebut. Diletakkannya gelas di atas meja lalu menyalimi tangan Anin dengan sepenuh hati.

"Sori ya, Kak, udah bikin lo panik. Tadi gue mimpi buruk. Dan kayaknya nyawa gue belum sepenuhnya terkumpul sampai enggak sadar kalau gue ngigau sehisteris itu," ujarnya dengan perasaan bersalah.

Salah, karena ia telah mengacaukan acara maratonnya dengan Anin hingga membuat gadis berusia dua puluhan tersebut menjadi khawatir. Padahal prinsip Orchid adalah tidak ingin membuat orang-orang di sekitar mengkhawatirkan dirinya.

"Udah sih, enggak apa. Namanya juga mimpi buruk, siapa yang bisa menghindar? Gue cuma takut kalau tadi lo benaran kesurupan, Cit! Jam segini mana ada jasa rukiah yang masih buka, kan?"

Orchid pun tertawa geli. Kak Piyurnya itu, walau tampang dan kata-katanya sering memberi kesan seperti orang galak, sejatinya dia adalah gadis polos yang hanya berusaha untuk menjaga diri dari hal-hal buruk selama merantau di kota orang.

"Iya, iya, sawryyy. Will never do it again, deh."

Anin mencebik singkat lalu ikut tertawa. Bagaimanapun juga dia tidak bisa benar-benar marah, terlebih kepada Cicit dan juga Cia. "So, dilanjut enggak nih, maraton nontonnya?" tanyanya kemudian.

"Lanjut, dong! Tanggung nih, Kak, udah terlanjur melek begini kalau enggak nonton lagi. Tapi, tapi, boleh request, kan?"

"Apaan?"

"Drama atau filmnya cari genre yang ringan dan seru aja boleh? Kan otakku udah capek buat belajar sama try out, nih. Masa iya agenda nonton malam ini mau dikasih tayangan yang tegang-tegang juga? KaPiyur enggak mau kan, adiknya yang cantik ini jadi stres karena diganggu mimpi buruk lagi?"

Orchid mengedipkan dua kelopak matanya berulang kali, membentuk gestur lucu yang selalu berhasil meluluhkan hati siapa pun. Anin hanya menggeleng risih sambil menjitak kening adik Angels-nya itu dengan gemas.

"Gini nih, kalau pacaran sama bule tukang gombal! Jadi ketularan suka ngerayu gini kan, lo sekarang."

Orchid menanggapi keluhan Anin tersebut masih dengan gelak yang sama. Bahkan tawa itu terus menular di bibir Anin.

Kini, keduanya pun kembali larut dalam suasana film komedi yang sedang disaksikan sambil mengunyah jajanan yang masih tersisa banyak. Dan begitulah akhir kisah mereka hari ini. Menghabiskan petang dengan jiwa yang terjaga hingga fajar datang menjemput.

-To be Continued-

🍭🍭🍭

Ahay. Akhirnya update!
Maaf sekarang udah tayang enggak sesuai sama jadwal. Soalnya aku nulis di sela waktu yang kupunya. Mengingat pulang kerjaku sore, ditambah ada dua judul lain yang juga lagi aku kerjakan. Jadi, begitu selesai nulis ya bisa langsung di-publish, deh. Hehe.

So, gimana pendapat kalian tentang bab ini?
Kuharap enggak bikin bingung apalagi membosankan, yaaa. Karena kisah Cicit ini emang lebih dark dibanding punya Angels yang lainnya.
Dan ya, lagi-lagi aku berterimakasih buat teman-teman semua yang masih setia menunggu, yang rajin vote dan komen, bahkan buat yang cuma scroll aja atau bahkan siders. Thank you for giving your time to read this story.
Dahlah, gitu aja.
See you~ 💙💜

Malang, 9 Maret 2021
All Rights Reserved
15.10 WIB
Pialoey.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro