Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Comeback of the Nightmare 1

Gud afternoon!
Cieee, rajin banget aku update tepat waktu, pas matahari lagi bersiul pula. Wkwk.

Yuk lah, pencet bintangnya dulu sebelum baca. Aku nggak pernah membebankan kalian buat follow akunku terlebih dahulu, lho. Jadi, buat bagi bintangnya aja masa nggak mau, sih? Hehehe.

Dahla, happy reading, everyone~~

🍭🍭🍭

Kadang, bahagia itu melenakan.
Dia mampu membuat kita lupa,
akan hal berat yang pernah dilalui.
Dan saat luka itu kembali singgah,
Sering kali kita tak pernah siap untuk menyambutnya dengan bijak.

🍭🍭🍭


"Makasih ya, Orchid. Tadi kamu udah bagi cookies yang enaaaaakkk banget! Mamaku aja enggak pernah bisa bikin yang kayak gitu."

"Ih, udah dong Len, bilang makasihnya. Aku malu, nih," balas Orchidia seraya menutupi wajahnya. Pipi gadis kecil itu merona, senada dengan rok seragam yang tengah ia kenakan.

Sebenarnya wajar apabila temannya itu, Helena, berulang kali mengucap terima kasih pada Orchid. Karena siswi bergigi kelinci tersebut selalu menjadi orang pertama yang mencicipi kue kering buatan Orchidia bersama sang paman di waktu senggang.

"Aku serius, Chid! Kayaknya nanti kalau udah besar kamu bisa jadi chef yang pintar bikin-bikin kue, deh. Terus nanti aku bisa makan kue buatan kamu kapan pun aku mau. Terutama pas ulang tahun. Pasti keren! Oh, pas aku menikah nanti juga mau deh, kamu yang bikinin wedding cake-nya! Hahaha."

Orchidia tertawa. Setelah meng-aamiin-kan serentetan doa dari setiap tutur temannya, ia mengurai beberapa harapan yang serupa. Sebab memang sesuka itu dirinya meracik bahan mentah menjadi makanan siap santap. Obrolan kecil di antara keduanya pun berlanjut, hingga menemui titik di mana keduanya berjanji akan selalu bersahabat dan saling mendukung impian masing-masing.

Kemudian, sisa waktu yang ada mereka isi dengan canda gurau sambil menunggu kehadiran orang tua masing-masing datang untuk menjemput. Helena jadi yang pertama dijemput. Ibu dari gadis cerewet itu baru saja tiba dan langsung menghadiahi pelukan hangat pada putrinya. Pemandangan tersebut sudah biasa Orchid dapati. Sebuah tindakan kecil yang mampu mengubah raut sumringahnya menjadi muram. Mengapa?

Sebab Orchidia tak pernah tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh seorang ibu, meski ia memilikinya.

Sesekali Orchid dijemput oleh papanya, itu pun saat beliau berada di Jakarta. Jika tidak, tentu Pak Imam—sopir pribadi keluarga—yang selalu setia membawa pergi raga Orchid dari gedung sekolah tempat ia menimba ilmu.

"Orchidia belum dijemput, ya?" tanya wanita cantik yang merupakan ibu dari Helena tiba-tiba.

Merasa ditanya, Orchid pun segera menggeleng pelan. "Belum, Tante."

"Bareng sama kita aja, yuk? Biar Orchid enggak lama nunggu di sini sendirian."

"Iya, Chid, benar kata Mamaku! Lagian kita juga searah, kan? Mau yaaa, pulang bareng? Nanti duduknya sama aku di kursi belakang," sambung Helena.

Sesungguhnya Orchidia enggan untuk menolak tawaran baik dari Helena beserta sang ibu. Hanya saja, jauh di dalam lubuk hati, ia masih ingin menunggu kehadiran mamanya sendiri yang tadi pagi sudah berjanji akan menjemputnya ke sekolah.

Setelah menimbang beberapa saat, sampailah Orchid pada keputusan untuk tetap menunggu sedikit lebih lama. Tidak lupa pula ia meminta maaf karena telah menolak niatan baik dari Helena juga Tante Priska. Mereka memaklumi, lantas berpamitan lalu melenggang pergi.

Kini tinggallah Orchid seorang diri. Duduk di bangku yang sekiranya cukup untuk menampung tiga sampai empat orang seusianya. Sembari berteduh di bawah rindangnya pohon palem, Orchid lekas meraih sebungkus buah tusuk berbalut karamel dari dalam ranselnya. Sebuah kebiasaan yang sudah ia lakukan sejak mengenal kudapan tersebut pada ulang tahun yang keenam dulu.

Tiap kali Orchid menggigit tanghulu-nya, rasa manis bercampur masam menyeruak dalam setiap jengkal lidah. Mau tidak mau, ia tergerak untuk menghitung dalam hati. Pada setiap hitungan terselip kata datang dan tidak datang—yang merupakan cara kuno untuk memprediksi kedatangan seseorang.

"Mama kok belum kelihatan, ya? Masa nggak jadi jemput lagi, sih? Kan, tadi udah janji?" gerutunya pelan. "No, no, no! Enggak boleh suudzon, Chy! Kali ini Mama pasti datang! Pasti!"

Bersama sepoi angin yang membelai lembut permukaan kulit putih Orchidia, gadis cilik dengan poni menghiasi dahi tersebut masih setia pada posisinya. Menunggu. Seolah tak ada kata lelah untuk menanti terkabulnya satu harapan sederhana, yang telah ia mohonkan sejak lama.

Di tengah proses penantiannya, beberapa kali pula petugas satpam menghampirinya. Menawarkan untuk mengantar ia pulang lantaran kondisi sekolah yang sudah sepi. Sebanyak apa pun petugas terkait meminta, sebanyak itu jualah Orchidia menolak secara halus. Ia bersikeras bahwasanya sosok malaikat hidupnya akan tiba sebentar lagi. Meski ia sendiri tidak tahu, apakah sebentar lagi itu akan segera tiba atau tidak.

Bungkus plastik beserta tusuk sate buahnya sudah berjumlah tujuh ketika arloji menampilkan deretan angka. Pukul empat lebih dua puluh menit saat ini. Tidak ada siswa sekolah dasar yang pulang sesore ini kecuali Orchidia. Bahkan, hingga detik ini pun raganya masih terpaku di tempat yang sama. Belum mau beranjak.

"Neng Chy, maaf Bapak telat jemputnya. Tadi habis nganterin Nyonya dulu ke—"

"Mama datang? Yeeeeyyy! Cichy tahu, Mama pasti nepatin janjinya kali ini!" sorak Orchid dengan binar bahagia yang begitu kentara. Bahkan saking senangnya, dia lupa untuk meminta maaf karena telah menyela ucapan Pak Imam yang belum sempat dituntaskan.

"Maaf, Neng. Soal itu ..."

Sebaris kalimat penuh keraguan yang Pak Imam suarakan, sontak membuat Orchid jadi waspada. Firasatnya membisikkan hal kurang berkenan, tetapi akal sehatnya menepis dan terus mencoba untuk berpikir positif.

"... Nyonya enggak bisa jemput Neng hari ini. Pulang sama Bapak aja enggak apa-apa ya, Neng?"

Bingo!

Orchidia membenci dirinya sendiri yang selalu mendapati kebenaran atas firasatnya yang benar-benar terjadi. Cengiran yang sempat ia sunggingkan kian meredup, seiring dengan binar di netranya yang tergantikan oleh luapan cairan bening.

Tidak hanya setetes. Air yang memaksa ingin keluar tersebut berjatuhan sebanyak tiga tetes dalam sekali kedip.

Kini Orchidia tahu. Bahwa tidak seharusnya ia menaruh harapan. Sebab di setiap helai keinginannya, tersimpan ketidakpastian yang tak bisa ia tentukan kebenarannya. Sekian kali mamanya mengingkari janji, nampaknya baru kali ini ingkaran itu membuat Orchid benar-benar terluka.

"Ayo pulang, Pak."

🍭🍭🍭

Setibanya di rumah, Orchid berjalan gontai menuju kamarnya di lantai dua. Ia ingin melanjutkan tangis atas kekecewaan yang sempat tertunda. Tetapi baru dua tangga kaki pendeknya berpijak, telinganya mendengar samar suara sang mama dari arah kamar milik orang tuanya.

Ia tidak tahu, apa makna di balik suara-suara yang mamanya ciptakan. Apakah sedang bertengkar dengan papanya lagi? Atau justru tengah menempuh jalan damai? Entahlah. Orchid spontan berbalik, ingin memastikan sendiri ke sana.

Namun baru beberapa langkah ia berjalan menyusuri lantai satu—menuju kamar utama—Bi Marsih dengan sigap mencegatnya.

"Neng! Neng Chy Baru pulang, ya? Mau mandi dulu atau ngemil buah dulu? Yuk, Imo siapin," ajak wanita paruh baya tersebut seraya menggandeng lengan putri majikannya.

"Imo, Cichy enggak mau itu. Cichy mau ketemu sama Mama," jawab Orchid seraya menarik paksa tangannya dari gandengan Bi Marsih.

"Ada apa emangnya, Neng? Kayaknya juga sekarang Mama lagi sibuk? Jangan diganggu dulu, ya. Sama Imo dulu aja yuk, Neng."

"Cichy mau tanya sama Mama, Imo, kenapa hari ini Mama ingkar janji lagi? Imo tahu kan, kalau nggak sekali dua kali Mama bohongin Cichy kayak gini? "

Bi Marsih terlihat seperti hendak bicara namun tertahan oleh sesuatu yang tidak Orchid ketahui. Tak ingin membuang waktu terlalu lama, Orchid pun lantas melanjutkan langkah untuk menemui Lucyka. Ia juga mengabaikan panggilan Imo-nya demi segera bertemu dengan wanita itu.

Suara samar yang Orchid dengar kian jelas seiring menyempitnya jarak. Orchidia bingung, mengapa mamanya terdengar sedang ... meraung? Merintih? Atau ... entahlah. Ia tidak mengerti mengapa mamanya bisa mengeluarkan suara aneh seperti itu. Sepengetahuan Orchid, papanya tidak pernah berbuat kasar walau sang istri sering kali bersikap tidak baik dan melawan.

Tunggu.

Langkah Orchid terhenti saat otaknya menyerukan satu hal yang baru dia ingat. "Tadi pagi kan, Papa berangkat ke Riau? Jadi otomatis sekarang nggak ada di rumah. Terus yang lagi sama Mama di kamar itu siapa, dong?"

Berbekal rasa penasaran, Orchid pun meneruskan tujuannya. Tidak terdengar lagi seruan-seruan dari Bi Marsih, yang bisa Orchid tandai bahwa beliau sedang panik. Entah panik untuk apa, ia tidak tahu.

"I love you, Van. You know how much I want you to be mine, right?" tanya Lucy dengan suara manja namun seakan sedang menahan kesedihan di waktu yang sama.

"I do love you too, Darling. But ... Darl—Lucy, you have them. You have Veganta and Orchidia, your true family. We did wrong."

Itu suara laki-laki dan jelas bukan milik Papanya. Lalu, siapa? Orchidia kelewat penasaran. Sebab gara-gara pria itu ibunya harus mengingkari janji lagi hari ini. Orchid jelas tidak terima.

Saat siswi kelas lima sekolah dasar tersebut telah tiba di depan kamar utama, ia mendapati daun pintu yang sedikit terbuka. Membuat siapa saja bisa melongok ke dalam lewat celah yang cukup lebar, termasuk dirinya.

Kala iris cokelat Orchid memandang jauh menyisir isi ruangan, ia nyaris berteriak lantaran mendapati Lucyka tengah duduk di atas pangkuan seorang pria tidak dikenal, dengan kondisi tubuh serta pakaian yang berantakan. Kondisi serupa juga berlaku pada si pria. Situasi itu benar-benar terasa aneh bagi bocah berusia sepuluh tahun seperti dirinya.

Ia masih tercengang, kala Lucy mulai membalas pernyataan si pria  dengan nada tak suka.

"Berapa kali aku harus jelasin ke kamu bahwa dua orang itu bukan siapa-siapa buatku?! Baik Veganta maupun Orchidia, mereka berdua cuma sebatas orang-orang asing yang sekadar mampir di hidup aku, Van!"

Ulu hati Orchid serasa dicubit. Orang asing? Jadi, selama ini kehadirannya benar-benar tidak pernah dianggap ada oleh Lucy?

"Darling, listen. Aku tahu, kita berdua saling mencintai. Bahkan jauh sejak Veganta belum hadir di antara kita. But now he's your husband. He gave you a smart and pretty girl. Aku cuma ngerasa perasaan kita ini enggak adil buat mereka. Bertemu diam-diam, bercinta penuh gairah, semuanya tanpa sepengetahuan mereka. Bisa kamu bayangin enggak, gimana hancurnya hati Veganta dan Orchidia kalau tahu bahwa selama ini kamu udah mengkhianati mereka?"

"Aku enggak peduli! Bagi aku cuma kamu satu-satunya. Pernikahan ini adalah kesalahan. Bahkan kelahiran bocah tengil itu pun juga sebuah dosa besar di hidup aku! Kamu harusnya ngerti itu, dong!"

Lucy masih kukuh pada pendapatnya. Tanpa perempuan itu sadari, ucapannya telah melukai hati putrinya berkali-kali. Tidak, bahkan kata melukai saja terlalu ringan untuk menggambarkan betapa hancurnya perasaan bocah malang tersebut yang  dianggap sebagai dosa besar dalam kehidupan sang mama.

"Lucy, Orchidia itu anak kamu! Dia enggak salah apa-apa sekalipun ayahnya itu Veganta. Sebagai seorang ibu, nggak seharusnya kamu—"

"—Orchidia was my biggest sin, Vandhi. Meski dia lahir dari rahimku, bagiku dia cuma buah kesalahan dari kemunculan Veganta, yang nggak seharusnya ada," tegas Lucy, "coba aja kalau Papi enggak maksa aku buat pertahanin janin itu, mungkin bocah itu nggak akan pernah terlahir ke dunia ini dan bikin aku sengsara kayak sekarang."

Bak jatuh tertimpa tangga. Itulah yang sedang Orchidia kecil rasakan saat ini. Maksud hati ingin menemui sang ibu dan bertanya atas batalnya janji yang wanita itu buat, namun bukan jawaban yang ia dapat. Melainkan kebencian untuk dirinya dari Lucy yang terlihat membara.

"Lucy, tolong jangan ngomong kayak gitu. Siapa pun ayahnya, Orchidia tetaplah seorang anak yang enggak berdosa. Enggak terikat sama kerumitan hubungan kita. Dia itu korban, Sayang." Vandhi berusaha memberi penjelasan. Tidak dapat dipungkiri, walau pria berhidung bangir tersebut mencintai Lucy, namun sisi kemanusiannya akan selalu memunculkan perasaan bersalah di akhir kebersamaan mereka.

"Kamu jangan belain Orchidia terus dong, Van! Ingat, gara-gara dia kita jadi enggak bisa bersatu! Coba aja waktu itu aku bisa gugurin dia, mungkin rintangan kita enggak akan jadi serumit ini."

Cukup. Orchidia tidak sanggup lagi mendengar dirinya disalahkan atas sesuatu yang tak ia mengerti. Tapi sekarang ia justru paham, tentang alasan di balik sikap kasar yang Lucy tunjukkan selama ini. Tentang alasan mengapa wanita itu tidak pernah mau menyentuhnya walau ia tengah sakit keras. Tentang alasan mengapa ingkarnya setiap janji yang Lucy buat meski di hadapan suaminya secara langsung. Semua itu karena Lucy membenci dirinya.

Selama ini Orchidia pikir kehidupan di dunia sinetron yang biasa Bi Marsih tonton di TV hanyalah sebuah rekayasa yang berlebihan. Namun ternyata, jalan cerita hidupnya sendiri jauh lebih pelik dari kisah sinetron. Apakah seharusnya Orchidia benar-benar tak boleh terlahir ke dunia yang kejam ini?

Kurang menyedihkan bagaimana lagi jika ibumu sendiri tidak pernah menganggapmu sebagai bagian dari jiwanya?

Di tengah pikirannya yang kalut, Orchid kembali menerka. Apakah sejauh ini papanya juga memiliki pemikiran yang sama seperti sang mama? Menganggapnya sebagai kesalahan yang tidak disengaja dan harus dikasihani?

Semakin banyak pertanyaan-pertanyaan itu berputar dalam ruang kepala membuat dada Orchidia dipenuhi sesak. Isakannya juga tak lagi bisa dibendung dengan mudah. Meski masih duduk di bangku sekolah dasar, ia cukup mampu untuk memahami makna dari setiap kata yang telah ia dengar barusan.

Deru napas yang tercekat menyadarkan Lucy dan Vandhi akan keberadaannya. Berdiri di ambang pintu dengan wajah sembab dan telah mendengar semua hal yang seharusnya tidak ia dengar. Keduanya tampak terkejut, namun menuai reaksi berbeda setelahnya. Jika Vandhi terlihat merasa sangat bersalah, merapikan pakaiannya, kemudian berlari menghampiri Orchidia, Lucy justru sebaliknya. Wanita itu tampak lega—yang lagi-lagi meninggalkan bekas perih di hati Orchid.

"Mama kenapa enggak jadi jemput Cichy? Padahal tadi pagi Mama udah janji di depan Papa bakal jemput di sekolah."

Alih-alih menanyakan kebenaran dari pernyataan kebencian Lucy, Orchid justru mengulik alasan di balik ketidakhadiran ibunya di sekolah siang ini. Entahlah. Mungkin Orchid terlalu kebas hingga apa yang bisa dia ucap merupakan bentuk refleksi nyata dari tujuannya datang ke kamar orang tuanya.

Mendengar pertanyaan polos tersebut membuat Vandhi tergerak untuk merengkuh Orchid dalam pelukan. Seolah dengan cara itu, semua kata maaf bisa tersalur serta mengurangi kesedihan di hati putri dari kekasihnya.

"Cichy nunggu di sekolah sampai sore. Bukan Mama yang datang, malah Bapak," tambah Orchid. Bocah itu terbiasa memanggil Pak Imam dengan sebutan Bapak, sebab beliau memiliki sikap sebaik papanya. Jadi ia pikir, pria paruh baya tersebut layak untuk dijadikan ayah nomor dua.

Terdengar helaan napas dari arah seberang bersamaan dengan usapan lembut yang singgah di punggungnyayang merupakan ulah Vandhi. Orchid tidak tahu apa maksudnya. Yang jelas dia tahu, bahwa mamanya tidak akan tinggal diam setelah ini.

🍭🍭🍭

Orchidia terpental di atas lantai kamarnya yang dilapisi karpet bulu berwarna biru muda. Meski tidak begitu sakit, namun dorongan yang Lucy berikan cukup kuat untuk menimbulkan sebersit rasa panas di beberapa bagian tubuhnya. Ia mengaduh, tapi Lucy tidak peduli. Wanita itu hanya akan melakukan apa yang hatinya mau.

"Siapa yang ngajarin kamu nguping kayak tadi?"

Orchid menggeleng. "Cichy enggak bermaksud nguping, Ma. Cichy cuma mau nanya sama Mama, kenapa tadi enggak jadi jemput. Seingat Cichy, Mama udah sering kayak gitu. Ingkar janji. Cichy mau tahu alasannya."

Di tengah isaknya, Orchid masih sanggup untuk menyuarakan isi hatinya.

"Huh, lancang! Tapi sekarang udah paham kan, kenapa saya enggak sudi dekat-dekat sama kamu apalagi ngakuin kamu sebagai anak?"

Sekali lagi Orchid menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri. Tanda bahwa ia tidak tahu. Lebih tepatnya, pura-pura tidak tahu.

Plak!

Pipi bocah kecil itu memerah. Rasa panas yang terasa dua kali lebih hebat dari biasanya kini menjalar di seluruh permukaan kulit. Menghadirkan warna merah yang cukup menakutkan.

"Dasar bocah sial! Nggak usah pura-pura enggak ngerti ya, kamu! Apa perlu saya tegasin lagi?" Lucy murka. Kedua matanya mendelik tajam seraya mengacungkan salah satu jari untuk menunjuk putri kecilnya. "Kamu, Orchidia, enggak seharusnya terlahir. Harusnya kamu lenyap saat bentukan kamu masih berupa embrio!" teriak Lucy dengan kencang sampai-sampai Orchid bergidik ketakutan. Bahkan dua tangannya sigap menutup telinga.

"Salah Cichy apa, Ma? Kenapa Mama benci banget sama Cichy?" Orchidia kecil memang seperti itu. Berani bersuara walau kondisinya sedang terdesak sekalipun.

Lucy pun semakin geram. Dia spontan menjambak rambut panjang Orchid sekeras mungkin, tanpa peduli teriak kesakitan yang gadis kecil itu gaungkan.

"Semua udah jelas! Saya benci Papa kamu! Saya jijik dengan pernikahan ini! Terutama wajah sok polos kamu itu! Kalian berdua itu sama aja. Sama-sama udah ngerusak hidup saya!"

"Kenapa benci, Ma? Kakek pernah bilang kalau Mama sama Papa menikah karena saling mencintai, meski awalnya udah ada rencana perjodohan juga."

"UDAH SAYA BILANG KALAU KALIAN BERDUA ITU NGERUSAK HIDUP SAYA! KURANG NGERTI GIMANA LAGI, HAH?!"

Tentu Orchidia tidak paham. Bagaimana bisa bocah berusia sepuluh tahun sepertinya mengerti akan rumitnya kisah cinta manusia dewasa? Bahkan ia hanya tahu bahwa mencintai berarti menyayangi. Bersikap tulus dan membuat orang yang disayangi merasa bahagia. Keluarga, asisten rumah tangga, dan teman adalah definisi dari orang-orang yang Orchidia sayangi.

"Papa ... tahu?"

Lucy menaikkan sebelah alis. Belum mengerti arah pertanyaan putri yang tak ia anggap keabsahannya tersebut.

"Papa ... tahu, kalau Mama benci dia dan aku?"

"Oh, jadi kamu mau ngaduin saya?"

"Bukannya kunci dari kebahagiaan keluarga itu karena adanya rasa saling percaya dan jujur ya, Ma? Cichy enggak mau ngadu, tapi Cichy juga mau jadi orang jujur." Orchidia masih belum mau menyerah. Ia akan terus mengutarakan apa yang dia tahu sampai ia mendapat jawaban yang paling tepat.

Namun sayangnya, pertanyaan sederhana dari Orchid barusan telah membuat api amarah Lucy kian membesar. Tanpa basa-basi dia pun mendorong kepala Orchid dengan kerasnya hingga bocah itu terjungkal ke belakang.

Tidak hanya sampai di situ. Lucy terus mencubit, memukul, bahkan menendang tubuh putri semata wayangnya yang sudah sepenuhnya meringkuk di atas lantai itu. Berulang kali. Seragam sekolah Orchid bahkan sudah terlihat kusut di sana-sini. Tapi tampaknya tak ada niatan berhenti bagi Lucy untuk menyiksa Orchid yang berkali-kali menggumam kata ampun.

"Dengar ya, Putri Veganta yang sok tahu banyak hal! Saya bersumpah. Selama kamu masih bernapas, saya enggak akan biarin kamu benar-benar ngerasain apa itu bahagia. Saya jamin itu!"

Orchidia terkesiap. Ia membuka mata secara mendadak berbarengan dengan napas pendek-pendek. Peluh telah membanjiri sekujur tubuh serta mata yang berair membuatnya tersadar. Ia baru saja bermimpi. Sebuah mimpi buruk yang telah lama pergi dan kini kembali datang untuk menghantui malamnya.

Sejak pertemuan tidak terduga dengan wanita yang merupakan adik kandung dari mamanya di malam Dies Natalies Megantara tempo hari, entah mengapa alam bawah sadar Orchid semakin rajin membuka lembar usang yang pernah menyakiti hari-harinya dulu. Dia lalu meraih gelas di atas nakas dan menandaskan isinya.

Pelan tapi pasti, napasnya kembali normal seperti sedia kala. Dengan gerakan yang terlihat sedikit lemas, Orchid mendudukkan diri di atas kasur. Ia mengingat lagi setiap percakapan dengan wanita bernama Liluna, dan menyimpulkannya sebagai penyebab dari hadirnya mimpi-mimpi buruk tersebut.

"Apa gue emang enggak boleh sembuh dari luka-luka itu? Kenapa tiap kali gue ngerasa sedikit aja bahagia, rasa sakit itu selalu datang lagi?"

Gundah yang menyerbak ke permukaan tersebut membuat Orchidia sepenuhnya terjaga. Hampir lima belas menit ia terdiam merenungi kembali peristiwa pahit yang ditampilkan dalam mimpinya barusan. Dia tidak bisa begini terus. Satu-satunya jalan yang terpikir saat ini adalah menghubungi Genta. Orchid perlu mendapatkan ketenangan dari paman yang hanya terpaut usia 12 tahun darinya tersebut.

Dengan cekatan, Orchidia pun menyambar smartphone miliknya yang tergolek lemah di sisi kanan kasur.

Orchidia Park V.
Oppa.
Masih melek?

My Hero No. 2 ❤
Iye.
Kenapa?

Orchidia Park V.
Free?

Tidak ada balasan. Namun tanda centang dua pada bubble chat sudah berubah warna menjadi biru. Pertanda bahwa pesannya hanya dibaca saja oleh Genta. Hal itu sempat membuat Orchidia lesu. Tidak lama karena ponselnya tiba-tiba berdering.

My Hero No. 2 ❤ is calling...

"Assalamualaikum, Om gantengku yang masih muda, kinyis-kinyis, tapi jomlo. Kok belum tidur, sih?"

"Waalaikumsalam, Cucu perempuan kesayangan Valerio yang hobinya ngejek gue mulu. Ada apa? Suara lo kenapa sengau gitu?"

"Enggak asyik banget, ditanyain malah balik nanya!"

"Hahaha. Lagian lo, sih. Tumben banget nge-chat gue di pagi buta kayak gini? Mau bangunin gue buat salat Tahajjud apa gimana?"

"Ya, anggap aja gitu. Hehe."

Di seberang sana dapat Genta rasakan ada kerisauan yang tengah membelit sang keponakan melalui suara gadis itu yang terdengar sengau. Dia tahu, Orchidianya usai menangis. Bukan tipe tangisan akibat adegan sedih dalam drama Korea yang biasa Orchid tonton, melainkan sesuatu di dunia nyata yang telah menyayat hati remaja putri tersebut. Maka, sudah menjadi tugas bagi Genta untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Orchidia hingga rela menghubunginya di jam satu dini hari seperti sekarang.

"Ada apa, Chy? Gue tahu ada yang pengin lo sampaiin ke gue."

Orchidia meragu sesaat. Namun kadar kepekaan Genta yang nyatanya mampu menembus ruang dan waktu mematahkan keraguan itu. Seperti saat ini. Akhirnya, Orchid pun menceritakan segalanya. Berharap setelah ceritanya berakhir, setiap gundah dan gulana bisa enyah dari hati serta jiwanya.

"Gue abis mimpiin itu lagi. You know. Soal perselingkuhan Mama dulu yang berujung siksaan dan bikin gue ketakutan setengah mati," jawab Orchid lirih. Matanya kembali memanas saat api kemarahan Lucyka bertahun-tahun lalu tergambar ulang di benaknya. Sempat terjadi jeda singkat, hingga akhirnya suara lembut milik Genta kembali terdengar.

"Sejak kapan?"

"Enggak ingat, Oppa. Tapi yang pasti mimpi itu datang lagi setelah gue enggak sengaja ketemu Tante Lilu di sekolah. Kurang lebih sebulanan yang lalu."

"Lilu? Mbak Liluna maksud lo?"

"Iya."

Helaan napas yang Genta layangkan membuat Orchid sepenuhnya sadar, bahwa kegelisahan dalam hatinya kini telah menular pada adik semata wayang sang papa. Selain itu ia juga paham. Bahwa sekarang Genta tengah mengkhawatirkan dirinya, kalau-kalau hal kurang berkenan terjadi sementara lelaki itu tidak sedang berada di dekatnya.

"Waktu itu, kalian ngapain aja?"

"Ngobrol, sih. Mostly Tante Lilu yang nunjukin kerinduan dia ke gue. Tapi, gue sempat nanya banyak hal ke dia juga." jelasnya, "salah satunya soal prahara rumah tangga Papa sama Mama dulu. Ya, gue tahu. Enggak seharusnya gue nanyain hal itu lagi. Tapi gue masih penasaran. Itu pun karena Oppa enggak sepenuhnya cerita jujur ke gue!"

"Semua demi kebaikan diri lo sendiri, Chy. Kalau gue enggak skip beberapa hal yang berpotensi bikin lo semakin kecewa, kapan lo bisa bangkit dan menyadari bahwa diri lo itu terlalu berharga buat kami?

"Cichy, dengarin gue. Sekarang lo udah sembuh dari masa-masa kritis itu. Enggak seharusnya lo ngebuka lagi luka lama ketika lo udah mulai move on kayak sekarang, kan?"

Orchid seketika terdiam. Apa yang Genta ucapkan itu benar adanya. Saat ini memang dirinya sudah sembuh dari segala luka di masa lalu, walau belum sepenuhnya bisa berdamai. Tidak seharusnya ia mengingat kembali bulir kekecewaan serta perih yang menyiksa batin beberapa tahun lalu. Akan tetapi, hingha detik di mana Orchidia bertemu dengan Liluna, banyak hal yang membuatnya setia bertanya dalam diam.

Tentang faktor utama penyebab perceraian kedua orang tuanya saat ia masih berusia belia. Tentang sikap acuh tak acuh mamanya yang sukses menerbitkan iri. Juga, tentang kebencian yang dilayangkan untuk dirinya. Orchidia ingin tahu semuanya, namun saat ia menanyakannya pada Genta, lelaki itu selalu menjawab, "itu namanya mereka enggak berjodoh, Chy. Mau dipaksain kayak gimana pun malah enggak akan baik ke depannya. Jadi jangan sedih lagi, oke? Yang penting semua orang sayang sama lo. Terutama gue sama papa lo. Eh, mama lo juga ding, cuman caranya aja yang terlalu kaku. Hehe."

Kebisuan yang Orchid tunjukkan membuat Genta merasa kian resah. Dia takut jika keponakannya itu terlalu keras dalam memikirkan masa lalu. Sebab di masa sekarang Orchidianya telah sembuh. Genta tidak mau jika gadis kesayangannya itu kembali terperangkap dalam rasa sakit tak berujung seperti yang sudah-sudah.

"Cichy, are you still there?" tanyanya dengan panik yang sangat terasa. Orchidia hanya berdeham sebagai jawaban. Dari situ saja Genta tahu bahwa Orchid masih terpaku pada faktor-faktor—yang mungkin sudah gadis itu ketahui jawabannya dari Liluna—yang sengaja ia tutupi sejak perpisahan itu terjadi.

"Gue enggak mau lo terlalu mikirin hal itu lagi, Chy. Let your heart feeling some peaceness. Anggap aja mimpi itu enggak pernah ada."

"Tapi—"

"Gue tahu, berbuat itu nggak semudah saat bicara. Tapi sekali lagi lo jangan beranggapan bahwa lo itu sendirian. Ada Allah, ada gue juga. Jangan lagi cemasin semua hal yang udah berlalu. Better you have your morning prayer before you go sleep back, Baby girl. Enggak usah ditutup teleponnya. Gue temani."

"Hmm. Oke, Oppa. Thank you."

"Satu lagi. Besok gue sibuk di Bless Fall. Enggak bisa nemuin lo dulu. Jadi, lo harus cari udara segar di luar, even sebatas kumpul sama teman-teman Angels lo itu aja, oke? Pokoknya jangan berdiam diri di rumah biar pikiran lo bisa bebas."

- To be Continued -

🍭🍭🍭

Ehe. Selamat datang, masa lalu.
Sedikit demi sedikit kita ulik luka lama Cicit, yes. Biar kalian ngerti kenapa Cicit selalu insekyor terhadap dirinya sendiri dan ngerasa sulit percaya sama sekitarnya. Juga, biar kalian tahu alasan di balik sikap dingin Mama Lucy—meski hal itu nggak berlaku buat Rion, sih. Hehe.

Udah, gitu aja. Semoga kisah Cicit masih bisa dinikmati dan nggak bikin bosan. Stay safe, stay healthy, and don't skip your lunch! See you later 💜

Malang, 28 Januari 2020
All Rights Reserved
13.16 WIB
Pialoey.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro