Château de la Vigne
Voila!
Aku kembali dengan sejuta kerinduan, setelah sekian purnama berlalu! Apa kabar, Fellas? Hope you all have a very good days 💙
Warning: 3.8 words. Siapin bodrex biar nggak pening, hehe. Selamat bertemu kangen dengan OiLy! Enjoy!
🍭🍭🍭
“Seseorang yang berharga selalu mempunyai cara untuk membuat kita merasa aman dan nyaman. Mungkin inilah cara Tuhan untuk mengingatkan bahwa aku tak sepenuhnya sendiri.”
— Orchidia Valerie —
🍭🍭🍭
Katanya, tak ada hubungan yang lebih setia daripada ikatan antara hujan dengan si mendung. Sebab setiap hujan singgah, mendung selalu ada untuk mengawali. Begitu pula dengan si mega kelabu, yang tak akan menampakkan diri jika tak ada uap air yang harus dibawanya turun ke bumi dalam bentuk butiran hujan.
Sayangnya, kombinasi sejoli tersebut menyapa bumi di saat hari baru saja dimulai. Beruntung Orchidia telah selesai bersiap. Sehingga ia tak perlu terjebak hawa malas karena suhu udara yang cukup dingin, yang katanya lebih nikmat untuk dipakai bergelung di bawah selimut sepanjang hari.
Selagi menunggu papi menuntaskan kegiatan sebelum pergi mengantarnya ke sekolah, Orchid memilih untuk membunuh waktu di dalam kamar. Jiwanya sibuk mengagumi tirai hujan melalui jendela yang dibukanya lebar-lebar.
Suasana kamar yang temaram, bertemankan dingin serta deru rintik hujan, sukses menuntun Orchidia menuju satu titik bernama sendu. Mellow. Jika sudah demikian, maka guyuran nostalgia pun turut berhamburan. Seolah membenarkan asumsi bahwa hujan selalu datang sepaket bersama perasaan galau. Alam bawah sadar kian memandu dirinya melanglang jauh entah ke mana. Menyusuri setiap detail peristiwa yang sudah dilaluinya tanpa terkecuali.
Semakin dipikir, semakin Orchid tak habis pikir. Betapa hebat kuasa Sang Semesta yang telah mempermainkan jalan hidupnya selama ini. Membuat kata apa dan kenapa tak pernah absen dari dalam kamusnya. Membuat ketenangan jiwanya tak pernah bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hingga pada akhirnya, tiba waktu bagi Orchid untuk kembali melibatkan sang paman. Untuk mendampinginya lagi seperti dulu. Menyembuhkan mentalnya yang terlanjur luka.
"Kak Ochi? Pagi-pagi kok melamun di depan jendela? Enggak baik lho, Kak, pamali."
Sebuah sapaan lembut datang bersamaan dengan kilat yang menyambar langit. Orchid terkejut dan segera menarik diri dari lamunan. Ia paham betul siapa pemilik suara di balik deru cambukan petir tersebut. Karena tak ada orang yang berinisiatif untuk memanggilnya dengan sebutan 'Kak Ochi' selain Vandhi, ayah tirinya, yang kemudian diikuti oleh adik-adiknya.
"Oh, enggak, Pi. Cuma... lagi liatin hujan aja, kok." Orchid tersenyum kikuk. Ia juga merutuki diri sendiri, mengapa tadi ia bisa lupa menutup pintu kamar. Bukan apa-apa, hanya saja Orchid selalu merasa risih ketika harus berbicara berdua saja dengan Vandhi. Meski Orchid menaruh rasa hormat untuk ayah tirinya itu, namun nyatanya ia tetap tak bisa nyaman walau sudah beberapa tahun tinggal bersama.
Tak ada jawaban dari Vandhi. Namun, Orchidia spontan memasang sikap waspada ketika papinya itu justru mendekat dan berhenti tepat di sampingnya.
"Kalian berdua sama ya, Kak. Sama-sama suka hujan," mulai Vandhi sambil menerawang ke arah luar. Orchid yang tak mengerti pun hanya melempar tatapan tanya. "Kak Ochi dan Endo, maksud Papi. Kalian berdua sama-sama menyukai hujan bukan?"
Orchid terkejut mendengar pertanyaan Vandhi barusan. Pasalnya, selain karena fakta tersebut benar adanya, baru kali ini ia mendengar lagi sebuah nama tercetus di bibir sang papi setelah lima tahun berlalu. Orchid kontan memalingkan wajah. Enggan membahas lebih lanjut perihal apa pun yang akan mengingatkannya kepada mendiang adik yang telah lama berpulang itu.
"Papi ingat. Dulu, setiap hujan turun dan Mama lagi nggak di rumah, kalian berdua selalu minta izin ke Papi untuk bermain hujan di halaman belakang. Padahal waktu itu Kak Ochi sudah SMP. Sudah remaja. Tapi masih mau menuruti permintaan Endo yang masih kecil."
"..."
"Jujur, Papi selalu rindu momen itu. Momen di mana Papi bisa melihat tawa di bibir anak-anak Papi pecah dan memenuhi seluruh penjuru rumah."
Ada jeda yang mengudara. Orchidia setia membisu. Membiarkan hening terus berkuasa. Ia tak ingin kenangan bersama Endo dulu meredupkan Senin paginya.
"Kak, sudah lima tahun Endo pergi meninggalkan kita. Selama itu pula Papi selalu ingin bertanya, tapi belum dapat kesempatan seperti sekarang. Bagaimana keadaan Kak Ochi? Apa Kak Ochi ingin berbagi luka dengan Papi?"
Sepuluh jemari Orchid terkepal kuat. Tiba-tiba saja dadanya dilingkupi sesak. Matanya ikut memanas diiringi selaput bening yang siap untuk dilandaskan. Ia terharu. Ternyata diam-diam Vandhi menyimpan perhatian untuk dirinya.
Tapi di sisi lain, api amarah baru saja ikut tersulut. Sebab, mengapa baru sekarang pria itu berani untuk menanyakan kabarnya? Lima tahun ini, ke mana saja dia saat Orchid harus berjuang sendiri menghadapi berbagai tuduhan dan sanksi sosial dari orang-orang yang terpukul atas kepergian Endo kala itu—termasuk mamanya? Orchidia hanya bisa berteriak dalam hati.
"Makasih udah bertanya, Pi. But I'm okay." Singkat sekali. Bahkan Orchid tak perlu membuang lima detiknya yang berharga untuk melontarkan jawaban tersebut.
Jeda kembali mengambil alih. Terdengar beberapa kali helaan napas dari Vandhi. Mungkin papinya itu sadar bahwa ia baru saja memuntahkan kebohongan besar. Sebab mana mungkin Orchid bisa baik-baik saja ketika ia dituding sebagai pelaku utama di balik kepergian si bocah menggemaskan hari itu? Apalagi Vandhi juga tidak buta atas hubungan Orchid dengan mamanya yang kian merenggang.
"Percayalah, Kak. Kepergian Endo hari itu semata-mata karena Allah lebih menyayangi dia. Bukan karena Kak Ochi yang pengin dia pergi dari rumah ini."
Lagi-lagi Orchidia terkejut. Ia menatap papinya tak percaya. Tidak bisa dipungkiri, selama ini Orchid berharap ada keajaiban berupa kepercayaan yang ditujukan untuknya. Dan ternyata Vandhi...
"Papi tahu kalau bukan aku pelakunya?" tanyanya lemah. Orchid tidak ingin menuntut jawaban yang indah untuk didengar. Tapi jika benar Vandhi tahu bahwa ia tidak bersalah, setidaknya berkurang satu beban yang ia pikul. Bertambah satu lagi orang yang mempercayainya.
"Maaf, Kak. Papi sudah berusaha mencari bukti yang bisa menunjukkan bahwa Kak Ochi enggak bersalah, tapi nihil. Enggak ada kamera CCTV di sekitar sini yang menyorot langsung ke arah kamar Endo." Vandhi mengulurkan tangan untuk menepuk pelan bahu Orchid penuh penyesalan. Tatapannya juga ikut melembut saat menyadari bahwa jawaban yang dia beri telah memupus harapan dari sang putri sambung.
"Papi enggak akan berhenti mencari. Karena Papi tahu sebesar apa rasa sayang Kak Ochi untuk Endo, tanpa memandang status ‘saudara tiri’. Jadi, berhenti menyalahkan diri sendiri ya, Kak? Masih ada Rion. Coba buka hati Kak Ochi untuk dia. Kita mulai lagi semua dari awal. Papi berharap, kita bisa kembali menjadi keluarga yang hangat seperti masih ada Endo dulu."
Orchid diam seribu bahasa. Baginya, semua harapan masih berujung pada satu muara yang sama; kapan bukti itu bisa didapat untuk membebaskannya dari segala sakit dan rasa bersalah?
🍭🍭🍭
Beberapa hari berlalu sejak percakapan Orchid dengan Vandhi dari hati ke hati. Sejujurnya, ia semakin bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah ia senang dan lega setelah mendengar pengakuan dari papinya pagi itu? Atau malah semakin tak enak hati karena ternyata pria yang dianggapnya sebagai penyebab utama dari perpisahan kedua orang tuanya dulu justru menjadi sosok yang mengayominya dalam diam?
Entahlah. Orchid belum bisa mendefinisikannya dengan baik. Yang jelas, otaknya kini terasa semakin kusut sejak nama Endo kembali mencuat ke permukaan.
"Aw!" Orchid berjengit saat sebuah sensasi dingin menjalari pipi sebelah kanannya. Gadis itu menoleh hanya untuk mendapati sekotak susu almond dingin yang sengaja Lyan sodorkan untuknya.
"Ngelamun kok diseriusin, ya keterusan!" Lyan segera memosisikan diri di samping Orchid saat gadis itu hanya membalas sindirannya dengan decakan. "Ngelamunin apa, sih? Serius banget?" tanyanya lagi.
"Gue enggak ngelamun!"
"Terus apa, dong?"
"Cuma kepikiran aja, gimana hasil UN sama UAS nanti," kilah Orchid. Ia segera menyeruput susu almond-nya untuk menyamarkan malu akibat tertangkap basah sedang melamun.
"Ah, mosok seh? Koyok e umak meneng-meneng mikirno aku, deh. Mek gengsi ae kan, te ngaku¹," cibir Lyan setengah menggoda, meski Orchid tak paham sama sekali apa maksudnya.
"Masalah ujian nggak usah dipikirin, Cit, kan udah lewat? Pasrah aja sama Yang Di Atas. Toh, usaha kita kemarin-kemarin juga udah pol notok mentok jedok². Tinggal doanya aja dikencengin. Masih nggak tenang juga? Kene gocelan tanganku sek³, Cit," nasihat punggawa basket MHS tersebut dengan bijaknya—meskipun tetap saja ada sebagian kata yang asing bagi Orchid. Apalagi saat mengakhiri sesi petuahnya itu, Lyan membuka lebar siku tangan kirinya seperti sedang mengajak tuan putri memasuki arena pesta dansa.
Orchid memilih untuk membuang muka. Ia tahu, saat ini Lyan sedang menggodanya. Orchid tak ingin membiarkan Lyan menang. Maka dari itu ia berinisiatif untuk segera mengalihkan pembicaraan, yang otomatis membuat Lyan menurunkan ulurannya yang tak bersambut.
"Well, gue enggak nyangka ada perkebunan anggur setotalitas ini di Jakarta, Yan. Biasanya kan, cuma dikonsep kayak tanaman khas rumahan gitu. Di sini beda, kayak kebun anggur asli yang biasa gue lihat di channel TV luar negeri."
Seperti yang Orchid singgung, kini mereka tengah berada di area perkebunan anggur yang dikelola oleh Mama Lyan—sekaligus menjadi tempat wisata edukatif. Berjarak lebih dari sepuluh kilometer dari kawasan kota dengan luas berkisar 500 meter persegi, pemandangan di sini terbilang cukup asri. Tak serindang kota Bandung atau Malang memang, namun jajaran tanaman anggur yang saling berpelukan di sepanjang area cukup untuk membantu pengunjung mengusir segala penat.
Ah, bicara soal Malang, membuat Lyan jadi mengingatkan diri sendiri bahwa suatu hari nanti dia akan membawa Orchid ke sana dan menemui keluarga besar dari pihak mamanya. Yeah, someday.
"Ngelamun kok diseriusin, ya keenakan! Huuu!" sentak Orchid dengan membalikkan kata-kata Lyan untuknya tadi.
"Ng-nggak, yo! Gue—stop, Cit! Jangan dipetik!" pekik Lyan urung membela diri. Orchid yang berdiri beberapa meter di depannya dengan tangan siap memetik sejumput buah anggur pun sontak terhenti. Alisnya bertaut bingung.
"Kenapa nggak boleh, Yan? Gue baca info di depan, katanya pengunjung boleh tuh, buat metik anggur sesuka hati?"
"Bukan gitu, Cit. Mau lo rampok semua anggur yang ada di sini ya monggo, sih. Cuma yang lagi lo pegang itu belum matang aja. Makanya nggak gue bolehin buat petik dulu," jelas Lyan seraya menghampiri Orchid yang masih tampak kebingungan.
"Tahu dari mana kalau yang ini belum matang? Kan, bukan lo petaninya?" Orchidia membeo. Bahkan gadis itu terlihat cukup ekspresif kali ini, berbeda dari biasanya yang keseringan memasang wajah datar atau galak.
"Yeeee, si Nona! Mentang-mentang bukan gue yang tanam, bukan berarti gue enggak paham soal kematangan anggur yang tepat itu gimana, ya," sembur Lyan sembari mencubit sebelah pipi kekasihnya gemas. "Anggur tuh, sama kayak kopi, Cit. Harus diperhatiin tingkat kematangannya dengan teliti supaya bisa menghasilkan kualitas buah yang bagus. Enggak bisa sembarang petik," imbuhnya santai.
"Misal yang lo pegang ini. Sebagian kulitnya pucat dan warnanya pun juga nggak rata. Ini tandanya dia masih muda. Kalau dipanen sekarang, nggak perfect dia, asem. Kurang oke buat dinikmatin. Kecuali kalau lo lagi program buat naikin asam lambung, sih."
Lyan bergeser ke sisi timur, menyentuh dompolan anggur dengan warna ungu gelap yang memesona. "Nah, kalau yang ini udah boleh diambil, Cit. Dia udah matang sempurna soalnya. Pas dimakan langsung juga rasanya dominan manis ketimbang asemnya. Kalau dijual? Jelas harganya lebih unggul. Beda sama yang tadi."
Penjelasan singkat dari Lyan membuat Orchid hanya mampu ber-oh-ria saja. Ia baru tahu jika laki-laki di sampingnya itu memiliki wawasan yang baik soal dunia perangguran.
Sejurus kemudian Orchid menerima dompolan anggur yang diklaim Lyan sudah matang tersebut. Ia juga berterimakasih, sebab Lyan sudah membilas anggurnya terlebih dulu di pancuran air yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Ah, sweet banget sih, Bumed yang satu ini. Gimana gue nggak meleleh coba?
"Cicipin sek, gih," pinta Lyan. Orchid yang mendengar titah tersebut pun menurut. Ia segera mengambil sebiji anggur lalu memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyah penuh khidmat.
Gerakan bibir Orchid yang semula teratur kian melambat saat mendapati apa yang Lyan jabarkan tadi benar adanya. Anggur yang sedang ia kunyah itu terasa begitu manis dengan sedikit sensasi asam yang tidak terlalu menusuk. Sangat pas jika disantap langsung seperti ini atau dihidangkan bersama sepiring kue cantik berbalut krim lembut.
Orchid menyunggingkan senyum tiga jari. "Lo benar, Yan! Rasanya seger dan asemnya dikit! Gue suka!" ujar Orchid dengan senyum penuh antusias.
"Gue bilang juga apa? Nggak percayaan sih, lo!"
"Hehe, maaf."
Lyan terkekeh menanggapi tingkah kekanakan Orchid. Di matanya, gadis itu tampak menggemaskan. Sayang jika keimutan itu dibiarkan meredup lebih awal. Apalagi tujuan Lyan membawa Orchid ke sini adalah untuk melepas penat pasca ujian. Jadi, Lyan memutuskan untuk mengajak Orchid terus berkeliling sembari menjelaskan banyak hal tentang anggur, sejauh pengetahuan yang dia miliki.
🍭🍭🍭
Setelah puas berkeliling, Lyan pun menyudahi aksinya di sebuah pondok kayu kecil untuk beristirahat. Dia menepuk kursi kayu di sampingnya sebagai isyarat agar Orchid segera menempati posisi tersebut.
"Quand il me prend dans ses bras. Il me parle tout bas. Je vois la vie en rosé."
Tak lama, alunan musik klasik yang Lyan hapal di luar kepala mengalun lembut dari alat pengeras suara yang berada di ujung pondok. Ditambah lagi, seorang gadis yang sedang asyik memeluk keranjang kecil berisi penuh buah anggur, turut serta melantunkan lirik romantis tersebut dengan suara husky-nya. Kadang Lyan lupa bahwa Orchidianya itu memiliki pengetahuan yang cukup luas seputar dunia musik, bahkan musik lawas dari negeri ayahnya sekalipun.
"C'est lui pour moi, moi pour lui dans la vie. Il me l'a dit, l'a juré pour la vie..."
Lyan masih mendengar suara merdu Orchidia mengikuti irama dari lagu yang sama. Bahkan Lyan kini merasa posisinya sudah ditigakan oleh Orchid—yang lebih memilih fokus pada anggur dan lagu yang sedang disenandungkan.
"Kayaknya lo suka banget sama lagu ini, Cit?"
Orchid menoleh kaget, namun senyuman terbit setelahnya. "Oui. Lagunya adem tahu, Yan. Even menurut gue maknanya bucin banget, tapi gue suka. Edith Piaf's effect kali, ya?" tawanya tersungging cerah hingga menular di bibir Lyan.
"Emang masterpiece sih, lagunya Madame⁴ Edith Piaf yang satu ini."
"Lo juga suka, Yan?"
"Bukan suka lagi. Malah La Vie en Rosé ini udah kayak lagu kebangsaan buat keluarga besar gue. Sering banget diputar soalnya, terutama pas masuk musim harvesting."
Mendengar kata harvesting terucap dari bibir Lyan, Orchid mengerutkan dahi. "Oh iya, Yan. Dari tadi gue penasaran soal ini, deh. Boleh kan, tanya-tanya dikit?"
"Anytime, Cit. Mau nanya apa emang?"
Lyan bisa melihat bahwa Orchidia tampak menimbang sesuatu. Dia jadi makin penasaran dengan apa yang hendak gadisnya tanyakan setelah ini.
"Lo bisa tahu banyak hal soal anggur gini dari mana, sih? Apa karena tempat wisata ini punya Tante Rea atau gimana?"
"Jujurly, sejak kecil Kakek dan Nenek udah ngenalin gue sama anggur." Lyan menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandang pada hamparan luas kebun yang dipenuhi pengunjung siang ini. "Kami juga punya perkebunan anggur di Bordeaux. Yang di sini sih, belum seberapa."
"Uhm, Kakek dan Papa gue juga berkecimpung di dunia kertas sih, Yan. Tapi gue nggak pernah tuh, tertarik sama pohon karet!" Lyan spontan tertawa saat Orchid berbicara demikian. Tidak lama, sebab Orchid kembali menyuarakan isi pikirannya dengan lantang. "Sesuka itu ya, keluarga kalian sama anggur?"
Oke, Lyan dapat melihat percikan api penasaran dalam setiap frasa yang dilontarkan oleh sang gadis. Rasanya, Lyan jadi ingin menanggapi semua penasaran itu dengan antusias yang sama.
"Hm. Bisa dibilang... anggur tuh, udah jadi identitas kami, sih." Dalam hati Lyan kembali menimbang, sedikit bercerita soal latar belakang keluarganya tidak apa-apa, kan? Dia takut jika pada akhirnya Orchidia akan menjauh setelah mendengar kisahnya.
"Identitas? Maksudnya?"
"Ehm, gini. Luas lahan perkebunan kami di Bordeaux kurang lebih 175 hektar. Di sekitarnya berdiri bangunan-bangunan besar sebagai tempat buat menampung hasil panen anggur, pemrosesan, dan juga penyimpanan produk yang udah siap buat dipasarkan. Waktu gue kecil sih, gue sering diajak ke sana. Terutama pas musim harvesting tiba."
Mendengar jawaban Lyan, Orchid merasa penjelasan barusan bukanlah jawaban yang tepat atas pertanyaannya seputar identitas. Ia tebak, masih ada kelanjutan dari kisah ini yang akan bermuara pada satu kesimpulan. Akhirnya, Orchid pun memilih untuk tetap diam dan menyimak Lyan hingga akhir.
"Ngapain?" tanya Orchid lagi.
Lyan menggaruk pelipisnya yang sedikit gatal. "Kalau Kakek sih, jelas buat mengawasi kinerja para staf dan mastiin nggak ada masalah yang berarti. Sedangkan gue? Ya namanya bocil, kan. Mana ngerti urusan orang dewasa? Yang gue lakuin cuma lari-larian sambil sesekali curi kesempatan buat nyicip jus anggur di salah satu barel yang terbuka. Bahkan gara-gara tingkah gue yang nggak bisa anteng itu, bikin kewalahan salah seorang pengawas, lho, Cit! Takut gue jatuh atau kenapa-kenapa, katanya." Lyan tersenyum saat ulasan memori masa kecilnya tersebut muncul ke permukaan. Manis sekali.
"Nakal juga ya lo waktu kecil!" Orchid terkikik geli. Lyan yang sudah remaja begini saja kadang sikapnya sukses membuat Orchid pusing, apalagi ketika kanak-kanak dulu?
"Dan yang paling gue suka adalah momen pesta barbeque bareng semua orang setelah musim panen berakhir," tutup Lyan dengan lancar.
Orchid berdeham kaku saat bola mata Lyan beradu pandang dengan miliknya di akhir penjelasan. Sekilas, Orchid menangkap bias rindu yang tersembunyi di balik tatapan itu. Juga rasa bangga hingga membuat pemuda di sampingnya tampak lebih memukau dari biasanya. Dan dalam tatapan yang hanya sekejap itu jua, Orchid bisa merasakan bahwa ritme jantungnya kini bekerja di atas normal. Lagi.
"Jadi, intinya bisnis yang dijalankan oleh keluarga Papa lo ini berpusat pada hasil olahan anggur ya, Yan? Minuman botolan gitu kah? Atau kemasan kotak?"
Lyan tidak menjawab. Tapi Orchid bisa menangkap pergerakan dari cowok tersebut yang mendadak terlihat tegang. Ada apa? Apakah ada kalimat Orchid barusan yang membuat cowok itu tersinggung?
"Or is it wine?"
Bingo!
Tebakan asal yang Orchid lontarkan tampaknya merupakan jawaban yang tepat. Sebab reaksi yang Lyan berikan sudah cukup untuk menjadi bukti pembenaran.
"Kenapa kaget gitu, sih? Kan, gue cuma nebak? Salah, ya?"
Lyan berdeham canggung. Dia sampai membuang muka karena malu jika harus menatap kedua netra milik Orchid dalam waktu lama. Lyan juga tengah harap-harap cemas menanti respons yang akan diberi oleh sang kekasih.
"Tahu dari mana kalau itu... itu..."
"Itu apa? Wine?"
Lyan mengangguk. Wajahnya benar-benar terlihat kaku. Persis seperti anak kecil yang takut dimarahi ibunya karena mendapat nilai jelek.
Jadi, karena bisnis yang dimaksud ini adalah produksi wine, makanya dia jadi tegang? Tapi, apa masalahnya sama gue coba? Batin Orchidia jadi sibuk sendiri.
"Gue nebak aja, sih, Yan. Lagian enggak heran juga kalau keluarga lo menjalankan bisnis itu. Bordeaux kan, terkenal sebagai salah satu kota penghasil wine terbesar di Prancis," ujar Orchid santai. Sebuah sikap yang jauh dari ekspektasi Lyan. "Merek apa kalau boleh tahu?" tanya Orchid lebih lanjut.
"Château de la Vigne," jawab Lyan lirih.
"Widiiiihh, anggur mahal, nih!"
Salah satu alasan mengapa Lyan merahasiakan identitas keluarganya di sekolah adalah karena dia tidak mau menjadi bulan-bulanan para siswa, dengan tujuan yang bermacam-macam. Selain itu, Lyan juga malu karena latar belakang keluarganya yang merupakan umat muslim malah menjalankan roda bisnis dengan produk unggulan suatu minuman yang dilarang oleh agama—yang merupakan warisan dari leluhur mereka. Lyan takut dicemooh. Lebih baik dia bungkam, asal bisa bergaul dengan siapa saja tanpa beban—termasuk dengan Orchidia.
"Besok-besok pas lo mudik ke Bordeaux, jangan lupa bawain gue Château de la Vigne lima botol ya, Yan—aw! Kok lo nyentil jidat gue, sih?"
Lyan takjub dengan respons Orchid yang tanpa malu meminta dibawakan wine milik keluarganya itu suatu saat nanti. Lima botol pula! Benar-benar kejutan yang berhasil mematahkan kekhawatirannya.
Dia jadi merasa antara menyesal dan lega sudah bercerita. Sebab selain Orchid menodongnya oleh-oleh yang nyeleneh, gadis itu tidak menjustifikasi macam-macam tentang keluarganya. Juga tidak menganggap bisnis itu memalukan—meski bertentangan dengan kaidah yang sudah Tuhan tetapkan dalam kitab-Nya.
"Edan umak! Gue aja yang digadang-gadang jadi pemimpin perusahaan di masa depan, belum pernah tuh, minum itu meski cuma setetes. Masa lo malah minta lima, Cit? Yang ada malah habis gue dihajar sama dua pahlawan lo! Lagian, emang lo tahu gimana rasanya?"
"Hahaha! Lo kira Papa sama oppa gue tuh, suka menyelesaikan sebuah masalah pakai kekerasan apa?"
Tawa Orchid berderai nyaring. Namun Lyan masih terus mendebat dengan alasan dia tidak ingin dituding sebagai dalang di balik sikap sesatnya Orchidia yang mau mencoba minuman keras.
"Tahu nggak, gimana reaksi Papa sama Genta oppa waktu gue bilang kalau gue pernah nyicipin wine di kelas boga tahun lalu? Mereka nggak marah, lho! Kebetulan, wine yang dibawa sama Chef Aveline waktu itu tuh, Château de la Vigne 2019. Punya keluarga lo."
"Hah? Kok bisa?"
Orchid mengangguk penuh semangat. Diletakkanya keranjang kecil di kursi sebelah supaya ia bisa menghadap pada Lyan sepenuhnya. "Kata Papa, kadang hidup itu nggak selalu berbanding lurus dengan apa yang agama kita anjurkan, Yan. Ada kalanya, manusia bakal khilaf—meski waktu itu gue sengaja melakukan sih, bukan khilaf. Gue pengin tahu aja gimana rasa dan tekstur dari si wine, juga apa pengaruhnya kalau dicampur ke dalam masakan." Orchid rileks menyandarkan punggung. Ingatannya menarik kembali momen ketika ia menceritakan pengalamannya tersebut kepada sang papa di suatu malam.
"Papa masih bisa mentolerir karena gue nyicipnya dikit, nggak sampai mabuk. Katanya, kalaupun nanti gue betulan jadi chef, gue nggak boleh pakai wine lagi. Masak makanan yang halal-halal aja gitu, biar nggak nambah-nambahin daftar dosa. Katanya lagi, dosa itu berat. Papa nggak siap nanggung kalau kebanyakan."
"...kalau Om Genta?"
"Respons Genta oppa juga sama. Apalagi dia pernah sekolah di Le Cordon Bleu, kan. Jelas kadar nyicipnya lebih sering dan lebih banyak dari gue." Orchid mengunyah lagi. "Tapi bukan berarti sikap Papa dan oppa ini jadi pembenaran buat gue ya, Yan. Gue tahu, gue salah. Tapi saat kelas masak berlangsung, ya gue cuma mau bersikap profesional aja sih, enggak lebih," tutur Orchid panjang lebar.
Entah mengapa, mendengar penjelasan Orchid barusan membuat Lyan menjadi lega. Setidaknya baik Orchid dan keluarganya tidak menunjukkan sikap antipati terhadap hal-hal yang cukup sensitif—in case soal wine.
"So, lima botol yang lo minta tadi otomatis gugur, ya, Cit. Soalnya Papa lo udah bersabda: no more wine in the future."
"Yah, gagal deh, gue dapat minuman mahal secara gratis."
Lyan hanya tertawa saat Orchid menunjukkan raut pura-pura sedihnya karena gagal mendapat wine mahal secara cuma-cuma. Dia hanya mengulurkan tangannya dan mengacak surai sang gadis, menjadikannya sedikit kusut. "Apa pun yang lo minta bakal gue kabulin, asal enggak buat yang itu. Oke?"
Orchid hanya mengangguk paham, lantas kembali melahap buah anggur hasil panen dadakan siang ini. "Tapi, Yan, gue kepo, deh. Teman-teman yang lain tahu nggak, soal status bisnis keluarga lo yang super mapan itu?"
Lyan menggelengkan kepalanya. Dia ikut mencomot buah yang sudah kembali dalam pelukan Orchid, kemudian mengunyahnya pelan.
"Termasuk anak-anak basket?"
Pemuda itu menggeleng lagi. "Cuma Ardo, Fabian, dan lo yang tahu. Sisanya, cuma tahu kalau gue ini anak dari pemilik beberapa bisnis berkembang aja."
"Hehe..."
"Apa nih, haha-hehe?"
"Gue jadi merasa spesial nih, Yan!"
"Ya emang lo spesial buat gue!"
"Spesialnya kayak martabak yang telurnya ada lima, pakai sosis dan keju mozarella gitu, nggak?"
"Apaan sih, Cit! Udah ah, balik, yuk! Gue enggak mau disembur sama nyokap lo kalau balik kemaleman!" ajak Lyan tiba-tiba dan bergegas meninggalkan pondok.
Asal Orchid tahu saja, jantung Lyan sudah berdendang tidak karuan sejak gadis itu senyam-senyum dan menggodanya dengan istilah martabak telur lima. Entah mengapa digoda seperti ini oleh Orchid membuat Lyan mendadak salah tingkah. Wajahnya turut memanas, mungkin juga memerah. Jangan sampai Orchidia melihat dirinya yang seperti ini.
"Takut dimarahin Mama atau takut jantung lo nggak kuat dekat-dekat martabak spesial kayak gue?"
"Bodo!"
Orchidia melebarkan tawa, tapi ia tetap sigap mengikuti jejak langkah Lyan. Walau dirasa waktu masih cukup panjang untuk bertemu malam, tapi ya sudahlah. Orchid menurut saja. Daripada nanti ia ditinggal kabur oleh si tukang ojek, kan?
Thanks for everything today, Yan. You've saved my day even for a while.
- To be Continued -
🍭🍭🍭
Note:
1. Ah, masa, sih? Kayaknya diam-diam lo mikirin gue, deh. Cuma gengsi aja mau ngaku kan.
2. Sebuah istilah untuk menggambarkan sesuatu yg "maksimal" .
3. Sini, pegang tangan gue.
4. Nyonya.
Cicit: Ada yang lagi salting, nih, Yorobun!
See you asap~
Malang, 16 Desember 2021
16.28 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro