A Simple Girl's Night Out
Di balik suram sang malam, tersimpan sejuta ketenangan yang mendalam.
Begitu menenangkan, memulihkan hari-hari yang melelahkan. Sungguh sebuah kenyamanan yang selalu didamba oleh setiap insan.
- Orchidia Valerie -
🍭🍭🍭
Semula, Orchid terhanyut dalam buai penuh rayu dari angin yang bersenandung melalui jendela mobil yang sedikit terbuka. Embusan syahdunya mampu menyeret alam bawah sadar Orchid untuk beristirahat walau sejenak. Tetapi entah siapa yang memulai, semua ketenangan singkat itu berlalu dan tergantikan oleh potongan-potongan peristiwa yang sudah terpahat rapi selama delapan belas tahun ia bernapas. Terlebih lagi, roda kehidupannya beberapa minggu terakhir tampak semakin merosot ke bawah hingga sulit baginya untuk sekadar merangkak naik. Begitu menghimpit pun menyesakkan. Mengapa?
Sebab hari-hari milik Orchidia yang berlalu monoton menjadi semakin membosankan sejak Bi Marsih tidak lagi di sisi. Beruntung tidak benar-benar jauh. Wanita paruh baya tersebut kini tinggal di apartemen Genta sesuai permintaannya. Meski begitu, tetap saja segalanya telah berubah. Rumah bukan lagi tempat yang ingin Orchidia tinggali lebih lama dalam 24 jam. Ia semakin ingin menjauh walau sejatinya tak berdaya untuk meninggalkan tempat suram tersebut.
Dan sejak hari di mana Orchid memulai kehidupan barunya—yang dinilai sebagai awal dari kematian secara perlahan—tersebut tanpa ada lagi kehangatan yang biasa Bi Marsih beri, ibu kandungnya turut pula melengkapi daftar kejenuhan dengan mulai menerapkan beberapa peraturan yang mengikat. Mau tidak mau Orchidia pun harus mematuhinya.
Apa saja itu?
Pertama, setiap pagi Orchidia wajib pergi ke sekolah dengan diantar oleh Vandhi yang bersamaan dengan keberangkatan papi tirinya itu menuju kantor. Tidak ada lagi kebiasaan untuk berangkat sekolah bersama Peachia atau menggunakan jasa taksi online seperti yang sudah-sudah.
Kedua, Orchid dilarang menjalin komunikasi dalam bentuk apa pun dengan putra ke dua Lucy, Rion, walau bocah itu merengek sekalipun. Dan yang terakhir, tidak adanya izin untuk pergi keluar di hari Minggu bagi putri Veganta tersebut—meski dengan alasan untuk belajar bersama teman-temannya. Jika pun ada jadwal yang seperti itu, Orchid wajib memboyong rekan sekelompoknya untuk menunaikan agenda tersebut di rumah saja.
Terdengar begitu memaksa dan mengeksploitasi, bukan? Memang. Karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut sengaja Lucy buat untuk mengekang serta menekan putrinya sendiri agar tak lagi memiliki kebebasan berekspresi seperti sedia kala. Wanita itu bahkan telah membeberkan sejumlah ultimatum jika Orchidia berani melanggar satu saja peraturan yang telah ditetapkan.
Namun beruntungnya, dari setiap tekanan-tekanan itu Lucy tidak memberlakukan jam malam atau setidaknya aturan untuk segera pulang setelah kegiatan sekolah berakhir. Orchid sangat bersyukur akan hal itu. Dengan demikian, ia masih bisa sedikit bernapas dengan cara tidak segera kembali ke rumah tepat waktu. Ia bisa memilih untuk menghabiskan sisa harinya di tempat yang ia mau, dan dengan siapa pun yang ia kehendaki. Kemudian Orchid akan benar-benar pulang saat hari sudah gelap dan dirinya siap untuk mengurung diri hingga fajar tiba, lalu mengulang kembali rutinitas tersebut pada keesokan harinya. Lagi dan lagi.
"Udah sampai nih, Cit. Turun, yuk?"
Suara lembut seorang perempuan berhasil sepenuhnya menarik kesadaran Orchid yang ternyata sempat tertidur dalam perjalanan kali ini. Walau tidurnya tak tenang, ia berusaha untuk menunjukkan pada sosok di sampingnya bahwa tadi ia cukup merilekskan tubuh dengan sempurna.
"Ini di mana, Kak? Kayaknya bukan daerah sekitaran kompleks rumah gue atau pun apartemen Kak Aer, deh?!" tanyanya sembari mengucek mata pelan, sekadar untuk menjernihkan penglihatan.
"Don't worry. I'll take you to the good place now. Follow me!" kata perempuan yang berusia nyaris seumuran dengan Genta tersebut seraya tersenyum penuh pesona. Hati kecil Orchidia melunak, juga merasa senang di waktu yang sama. Aerilyn Sasikirana memang pandai membuat siapa saja merasa nyaman berada di dekatnya.
Di lain sisi, Orchid sepenuhnya sadar bagaimana ia bisa sampai ke tempat ini bersama sahabat Angels tertuanya tersebut. Beberapa jam yang lalu, secara tidak sengaja keduanya bertemu di BobaMoza dan tidak banyak hal yang dilakukan selain; duduk, memakan dessert, sambil bercengkerama diiringi gelak tawa sesekali. Mereka berdua juga sempat menggoda Anindya—yang menyandang gelar pawang di kafe tersebut—karena beberapa kali harus meninggalkan meja kebesaran untuk menjalankan sebuah kegiatan yang selalu gadis itu sebut sebagai profesionalitas dalam bekerja. Baik Orchid maupun Aeri paham akan hal itu. Jadi, ketika Aeri tiba-tiba mengajaknya berlalu dari sana supaya Anindya bisa fokus, ia tidak memikirkan apa-apa lagi selain menurut.
"Aloft Hotel?" racau Orchid kala netra sendunya menangkap neon signs berukuran besar yang terpampang nyata di bagian depan atas bangunan. "Emang ada barang yang ketinggalan, Kak? Terus kolerasinya sama good place yang Kak Aer sebut tadi apa, dong?" tanya Orchid saat menyadari ke mana Aeri membawanya pergi. Di lain pihak, Aeri justru tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan untaian kata, melainkan senyum misterius yang sama sekali tidak membuat Orchidia merasa takut. Ia malah bingung dengan sikap Aeri yang kini terlihat sedikit aneh di matanya.
Apa jangan-jangan tadi Kak Aer salah minum kopi, ya?
Sadar bahwa rasa ingin tahunya tidak akan terjawab dengan segera, maka Orchid pun memutuskan untuk diam saja dan terus mengikuti jejak Aeri yang berjalan beberapa senti di depannya.
🍭🍭🍭
Orchidia tidak menyangka jika Aeri akan membawanya ke rooftop hotel tempat wanita itu berkarier. Ia memang tidak sempat melihat, tombol nomor berapa yang Aeri tekan saat berada di dalam lift tadi karena harus membalas beberapa pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Jadi, begitu mereka keluar dan Orchid menyadari bahwa interior di sekitarnya berbeda dan agak sedikit gelap, ia pun sibuk menerka dalam hati tentang nama dari ruangan tersebut. Tetapi belum sempat Orchid mengutarakan isi hati, Aeri telah lebih dulu menarik salah satu sikunya untuk melewati pintu hitam di bagian ujung.
Sesampainya di tempat yang Aeri maksud, Orchid pun spontan menganga, lalu berdecak kagum secara dramastis. "Wow! Gue enggak expect kalau Aloft bakal punya tempat seindah ini di lantai teratasnya, Kak! Gue kira ya, kayak rooftop biasa aja gitu."
Gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu menjejakkan kaki ke sayap kiri yang sengaja di-highlight lebih luas oleh sang desainer. Ia mengitari kolam renang yang nyaris memenuhi sebagian besar luas area, lalu mengagumi sudut gazebo berhiaskan beberapa tanaman mahal yang menimbulkan kesan relax and classic bagi siapa saja yang singgah di sana.
"Ah, seandainya tadi kita ajak Kak Piyur juga, dia pasti suka!" ia menoleh, "gomawo ya, Kak, udah inisiatif buat bawa gue ke sini!" ungkapnya dengan rona kebahagiaan meluap, yang mungkin Aeri sadari sudah tidak berpendar dalam diri Orchid untuk beberapa waktu belakangan.
"Anytime, Cit," jawab perempuan pecinta kota Paris itu singkat. Dia membiarkan Orchid berjalan ke sana dan kemari penuh antusias, layaknya toddler yang baru bisa berjalan dan dilepas di taman bermain maha luas. Untuk beberapa saat memang begitu. Aeri membiarkan Orchid mengenali salah satu tempat favoritnya untuk melepas penat. Sementara dia sendiri justru mempersiapkan hal lain yang ingin dilakukan bersama si fake maknae malam ini.
Puas mengeksplorasi gazebo, Orchid pun beralih ke sisi paling kanan dari area atap tersebut. Terdapat sebuah tembok pembatas berbentuk persegi yang tidak terlalu besar di antara kolam renang dan mini bar. Ada pula tatanan rak besi yang memanjang berisikan beberapa pot tanaman di bagian atas wilayah bartender. Mini bar tersebut terkesan cukup cozy akibat pantulan cahayanya yang lebih temaram dibandingkan dengan spot sebelumnya.
Orchidia menyandarkan dua tangannya pada meja tinggi yang berhadapan langsung dengan rak berisi barisan minuman, plus beberapa hiasan yang sengaja ditempel di sejumlah titik. Matanya sibuk mengamati hingga seorang barista datang melempar senyum dan bertanya apakah ada yang ingin siswi MHS itu pesan. Orchidia spontan menggeleng dengan senyum sopan terkembang.
"Cit, sini, deh!" pinta Aeri dengan nada lantang, yang spontan diangguki oleh yang bersangkutan. Orchid pun berlarian kecil untuk bisa sampai ke posisi Aeri yang tidak jauh dari mini bar, kemudian duduk di salah satu kursi rotan berwarna terang.
"What's wrong?" tanyanya polos. Ia mulai berdecak lantaran pertanyaan sederhananya barusan tak kunjung bersambut. "Ck! Kak Aer nih, ya, kebiasaan banget nggak jawab pertanyaan gue dengan cepat sejak bermenit-menit lalu. Aneh, deh!"
Orchid terus menggerutu saat ia mendapati Aeri terkikik sambil meraih sehelai kapas dan botol kecil berisi makeup remover yang terletak di atas meja, lalu meneteskan beberapa cairan ke atas kapas dan mengusapkannya secara perlahan di lapisan kulit wajah Orchid hingga menimbulkan sensasi segar sekaligus dingin.
Jujur, Orchidia terkejut dengan tindakan Aeri yang begitu tiba-tiba. Ia spontan menjauhkan wajahnya dari tangan Aeri dan siap untuk melayangkan protes.
"Kak—"
"—diam dulu coba, Cit. Biar gue bersihin dulu nih, makeup dan debu di wajah cantik lo," sela Aeri dengan lembut sambil kembali menggerakkan tangannya tepat pada sasaran. Orchid menurut saja hingga perempuan di hadapannya itu selesai.
Ia pikir tindakan Aeri akan berhenti sampai di situ saja, namun ternyata tidak. Netranya justru menangkap pergerakkan Aeri yang kini tengah menyodorkan sebuah produk sabun wajah kepadanya. "Cuci muka dulu, gih. Habis itu ke sini lagi, ya, Anak Manis."
Lagi-lagi Orchid mengiyakan permintaan sederhana Aeri tanpa sempat mendebat. Ia membersihkan wajahnya dengan busa, membilas, kemudian kembali ke tempat semula hingga Aeri melanjutkan aksinya. Ada beberapa treatment yang Orchidia dapat sebelum akhirnya Aeri menempelkan selembar sheet mask keluaran salah satu brand popular dari Korea hingga menutupi seluruh bagian wajah. Ingin sekali Orchid bertanya tentang semua yang telah Aeri lakukan untuknya barusan, namun perempuan yang tengah ditaksir oleh seorang duda tampan tersebut malah meminta sedikit waktu untuk melakukan hal yang sama. Yakni membersihkan dan menempeli wajahnya sendiri menggunakan produk masker yang serupa.
"Ini seriusan, Kak Aer ngajakin gue buat maskeran di rooftop kayak gini? Tiba-tiba? Aih, Jakarta di waktu malam tuh, tetap menghasilkan polusi lho, Kak. Nggak takut terkontaminasi?" tanya Orchid saat anggota tertua Secret Angels sudah duduk dengan khidmat di sisinya.
"Sesekali me-time juga perlu kali, Cit," jawab Aeri ringan.
"Iya, sih. Tapi nggak dengan maskeran malam-malam di rooftop hotel kayak gini juga kan, Kak?"
Aeri tertawa kecil. Dia menyadari ide dadakannya ini akan menuai reaksi lucu dari si Cicit. "Ini tuh, namanya me-time anti mainstream, Cit. Gimana? Seru, kan? Hahaha."
Walau Orchid sempat tidak habis pikir dengan tingkah Aeri yang tidak biasa, namun pada akhirnya ia pun ikut menelurkan tawa. Tidak lama. Sebab Aerilyn mengajaknya untuk berpindah ke chaise lounge berwarna senada yang menghadap langsung ke arah kolam.
"Well, ini salah satu tempat terbaik buat gue melepas penat, Cit." Aeri memulai. Tubuh kurusnya direbahkan dengan santai di atas chaise lounge, bersebelahan persis dengan Orchidia yang baru saja meluruskan kaki di kursi yang berbeda. Netranya mulai menerawang jauh pada titik-titik cahaya yang menerangi Jakarta di bawah naungan langit malam. "Kalau lagi capek sama kerjaan, ada masalah, atau bete karena digangguin sama Pak Aldi, tempat inilah yang bakal pertama gue tuju. Enggak ngelakuin apa-apa, sih, tapi gue merasa dengan membiarkan diri gue sendirian di tempat terbuka seperti ini malah bisa bikin pikiran gue jadi lebih rileks," imbuhnya.
Orchidia diam dan menyimak. Sejatinya, ia adalah pendengar yang baik setiap kali ada sahabatnya yang bercerita, tentang apa pun itu.
"Gue enggak tahu. Apakah ada masalah lain yang mengganggu pikiran lo—selain soal urusan nyokap dan kesibukan belajar menjelang ujian akhir—atau enggak," Aeri menoleh, "yang jelas malam ini gue cuma mau ngajakin lo buat istirahat sebentar dari kegilaan dunia, Cit."
Orchidia menangkap buket ketulusan dari setiap tutur yang terucap dari bibir Aeri. Selama beberapa detik ia hanya membalas tatapan hangat perempuan itu dengan sorot yang sukar dibaca. "Thank you, Kak. But I'm all okay," jawabnya lirih.
"Mata enggak bisa bohong, Cit. Ada lelah yang bersembunyi di balik sana," kata Aeri lagi.
Orchidia berpaling. Ia tidak lagi menatap Aeri. Ia memilih untuk melepaskan pandangannya menelusuri pemandangan kota dari atas gedung. Diam-diam dalam hati ia juga membenarkan perkataan Aeri. Dirinya memang lelah. Terlalu banyak pikiran yang berkecamuk hingga merenggut jam tidurnya dengan paksa. Kadang Orchid ingin berlari saja, menjauh, meninggalkan segala resah di penghujung hari. Tapi ia tidak bisa. Tidak ada tempat yang bisa menerima dirinya untuk menepi. Bercerita pada orang-orang yang ia sayang pun juga bukan merupakan solusi yang tepat.
"We've been friends for 5 years, right? It's okay to share your thoughts, Cit. Luapin aja segala unek-unek yang mengganggu pikiran lo selama ini. I'm all ears."
Mendengar hal itu dari bibir Aeri, membuat mata indah milik Orchid tiba-tiba memanas. Ia tahu, tidak seharusnya ia berkeluh kesah. Terlebih lagi Aeri sudah bersusah payah meluangkan sedikit waktu hanya untuk membantunya menemukan damai walau untuk sementara.
"Kak Aer benar. Gue emang capek, Kak. Gue enggak pernah menyangka aja, bahwa proses menuju kedewasaan itu bakal se-melelahkan ini." Orchid memeluk kakinya sendiri. Sekadar untuk menghangatkan tubuh, juga menguatkan diri agar tidak goyah. "Dulu gue berpikir bahwa kelak saat gue tumbuh dewasa, semua hal akan terasa mudah dan menyenangkan untuk gue gapai. But then I realize, bahwa ekspektasi nggak pernah berakhir sesuai dengan kemauan kita. Semuanya terlalu pelik untuk dijelaskan pakai kata."
Dari seluruh anggota Secret Angels, hanya Cia yang mengetahui perihal kelamnya masa lalu milik Orchid. Hingga lima tahun kisah pertemanan mereka terjalin pun, ia tetap tidak ingin membagi duka abadinya tersebut kepada Aeri, Anindya, juga Bethany. Baginya, akan lebih baik jika ia saja yang menjadi kantong curhat untuk keempat sahabatnya tersebut daripada ia harus mencipta kesedihan di hati para Angels.
Akan tetapi, sedikit banyak Aeri juga paham. Bahwa lelah yang Orchidia maksud bukanlah lelah secara fisik seperti seorang atlet yang baru menyelesaikan lomba lari marathon sejauh empat ratus meter. Melainkan sebuah kondisi di mana remaja tersebut sudah tidak lagi sanggup untuk hidup berjauhan dengan sang papa. Juga tentang hubungan dengan sang mama yang kurang harmonis. Namun jauh di balik itu, Aeri tidak tahu bahwa bukan hanya dua kondisi itu saja yang membuat Orchidia benar-benar letih secara fisik maupun mental. Ada beberapa hal lain yang lebih runyam lagi dan sukses membuat gadis itu semakin jauh dari kata baik-baik saja.
Yakni tentang fakta bahwa kedua orang tuanya menikah tanpa dasar cinta, hingga tiba hari pemutusan janji suci delapan tahun yang lalu. Tentang alasan mengapa eksistensinya dianggap begitu mengganggu kesejahteraan sang mama. Juga tentang satu kenyataan bahwa sesungguhnya ... Orchidia tak pernah datang sendirian.
Ia tidak akan pernah tahu tiga hal tersebut jika tak bertemu Liluna di malam pensi beberapa waktu lalu.
"Geser dikit, dong, Cit!" pinta Aeri tiba-tiba. Orchid yang tidak siap pun terpaksa menggeser sedikit tubuhnya dan mendapati Aeri mendudukkan diri di sampingnya dengan satu tangan mengusap surainya penuh sayang.
"Ish! Padahal di situ kan, juga luas, Kak! Kenapa malah mepetin gue kayak gini, sih?!" gerutu Orchid walau sesungguhnya ia tidak marah. Orchid hanya tidak terbiasa saja menerima perlakuan semacam ini dari orang lain. Sejauh ini, hanya papa, Genta, atau Bi Marsih saja yang akan mendekap tubuhnya erat dan memberi ketenangan saat hatinya dirundung gelisah.
"Kalau enggak kuat, lepasin aja, Cit. Jangan ditahan. Nggak ada salahnya lho, menumpahkan segala macam perasaan sedih lo lewat air mata. Menangis itu enggak dosa, kok," ucap Aeri pelan. Satu tangannya masih terus menyalurkan kehangatan untuk Orchidia—yang kini tampak sudah bersiap untuk menangis, meski egonya masih melarang.
"... Kak Aer?"
"Yes?"
"Why?"
"..."
"Kenapa Kak Aer ngelakuin ini semua buat gue? Apa panda-panda di mata gue ini yang bikin Kak Aer kepikiran?"
Aeri terkikik geli. Meski dia tahu makna dari panda yang dimaksud, tapi dia sungguh tidak bisa membayangkan jika hewan panda yang sebesar itu betulan menempel di kedua netra milik Orchidia. Tawanya pun mereda tak lama kemudian.
"Gue tahu, baik lo maupun yang lain udah menganggap gue sebagai kakak. Tapi khusus malam ini, gue benaran pengin jadi kakak yang baik buat lo, Cit. Stays beside and accompanying you through the night. Dan membiarkan bahu gue jadi tempat buat lo bersandar. Yah, meskipun nggak ada keharusan buat lo cerita, tapi gue harap bantuan kecil ini bisa bikin lo merasa jauh lebih baik setelahnya."
Orchid tersenyum. Dalam diam ia mengucap ribuan terima kasih untuk Aeri. Terlantun pula untaian nada penuh rasa syukur atas kehadiran orang-orang baik di sekitarnya.
Suasana rooftop yang kebetulan sedang tidak mendapatkan kunjungan dari tamu-tamu lain serta hilir angin yang memanja, kian menuntun Orchid untuk meneteskan satu demi satu air mata yang merembes ke dalam lembaran sheet mask yang sedang ia kenakan. Tanpa suara. Hanya isakan-isakan kecil.yang mengisi cela tangisannya.
Tidak. Orchidia menangis bukan karena menyesali garis takdirnya, melainkan menangisi setiap pengandaian yang diciptakan semdiri oleh alam bawah sadarnya.
Seandainya, perceraian orang tuanya kala itu tak pernah terjadi.
Seandainya saja eksistensi Orchidia tidak menjadi penyebab atas kepergian jiwa yang lain, dan menumbuhkan benih kebencian di hati sang Mama.
Dan andai dia masih ada di sini.
Apakah Orchidia akan berbeda dari sosoknya yang rapuh seperti sekarang?
Entahlah. Satu yang pasti adalah dada Orchid kini terasa semakin ngilu kala menyadari bahwa ia tak akan pernah bisa mendapatkan jawaban atas segala pengandaiannya tersebut. Lagi pula, semua sudah terlanjur menjadi seperti ini, bukan? Mungkin lebih baik jika Orchid memikirkan saja bagaimana caranya agar ia bisa bertahan untuk besok dan seterusnya.
Sebab berkhayal tidak akan menyelamatkan dirinya dari genangan luka yang sudah terlanjur menenggelamkan sebagian jiwanya.
Sementara itu, usapan demi usapan yang diberikan Aeri di ujung surai serta tepukan lembut di punggung perlahan menyadarkan Orchidia. Bahkan remaja itu sendiri tidak ingat, kapan dirinya beralih memeluk erat tubuh Aeri hingga perempuan itu dapat sepenuhnya menjalankan peran seorang kakak dengan benar. Perlahan, tautan itu memudar. Orchidia pun mendongak.
"Makasih ya, Kak Aer, udah cosplay jadi kakak yang baik buat gue malam ini. Sekarang gue merasa jauh lebih baik."
"Sama-sama, Cit. Gue juga akan melakukan hal yang sama buat yang lain, kok. Tapi ... harus banget ya, lo pakai kata 'cosplay' kayak gitu?" ujar Aeri dengan kerutan tipis di dahi. Dia mendadak salah fokus terhadap cara bicara Orchidia.
"Emang kenapa, Kak?"
"Gue jadi berasa kayak wibu yang lagi dandan jadi tokoh anime, tahu!"
Orchidia sontak meledakkan tawanya. Ia tidak menyangka pemikiran konyol seperti itu akan terbesit di otak cerdas milik Aeri. Bahkan Orchid juga terkejut perihal Aeri yang mengerti apa itu wibu.
"Gue sangat berterima kasih sama Tuhan karena udah dikenalin sama sosok berhati baik kayak Kak Aer. Tapi, Kak..."
Ucapan Orchidia menggantung seolah ada tali yang mengikatnya dari atas. Hal itu spontan menimbulkan tanya dari Aeri. "Kenapa?"
"Ada Kakak Bartender ganteng di pojok sana."
"Terus?"
Sadar akan posisi keduanya yang mungkin terlihat ambigu di mata orang lain, Orchid pun mengutarakan pendapatnya setengah berbisik. "Hmm ... pelukannya bisa udahan, nggak, Kak? Gue takut disangka lesbian kalau Kak Aer masih terus meluk gue erat kayak gini. Padahal kan, gue punya pacar yang tampan tiada terkira!"
Seketika Aeri melepaskan dekapannya. Di saat yang sama, Orchidia melompat dari chaise lounge, berlari menjauhi Aeri sambil menjulurkan lidah pertanda mengejek. Tentu saja wanita yang telah menduduki jabatan baru di Aloft tersebut ikut bangkit kemudian mengejar. Dia sadar bahwa baru saja telah dikerjai oleh si Cicit setelah semua kebaikan yang dia tawarkan malam ini.
"Cicit, ih! Bisa-bisanya ngomong kayak gitu setelah gue baik-baikin! Awas ya, kalau ketangkap! Tiada ampun bagimu, Wahai Anak Piyik!"
Begitulah Orchid dan Aeri menghabiskan sisa kebersamaan mereka yang cukup langka ini. Berlarian saling mengejar, mengitari kolam dengan gelak tawa memenuhi selasar bagian atas milik Aloft hingga larut termakan waktu.
- To be Continued -
🍭🍭🍭
Halooo, assalamuaikum!
Akhirnya setelah hampir 4 bulan difermentasi, Orchidia bisa hadir lagi di Jumat berkah kali ini. Nggak sesuai jadwal but yeeaaay!!
Ada yang rindu, nggak?
Nggak ada, ya?
Padahal aku rindu bertemu sama kalian :(
Hng ... aku mau minta maaf karena udah ngegantungin Cicit lumayan lama. Niat awal cuma di bulan Maret dan April aja dia off—karena kesibukanku buat ngurus persiapan start-up bisnis bareng teman. Tapiii, apalah dayaaaa, kesibukan itu bikin aku mudah capek dan susah buat nulis walau sebatas satu paragraf. Mohon dikmaafkan ya, Manteman 🙏
Anywayss, gimana tanggapan kalian soal me-time a la Cicit dan Aeri?
Ada yang punya kakak se-uwu dan semengejutkan Aeri, nggak?
Atau ada yang belum me-time minggu ini? Yuk, disegerakan!
Dan semoga kehadiran Cicit serta Aeri hari ini cukup untuk mengobati kerinduan Manteman akan moment kebersamaan Secret Angels, yaaaaa.
And last but not least. Terima kasih buat teman-teman yang sudah bertahan hingga saat ini. Juga kepada para pembaca baru yang belakangan memenuhi notifikasi, terima kasih banyak-banyak karena udah meluangkan sedikit waktu berharganya buat berkenalan sama Cicit. Semoga kita tetap bersama sampai akhir!
So, bunga melayu di ujung pompa.
I purple you, sampai jumpa! 💜
Bonus.
Cicit dan Kak Aer dalam mode serius :)
Yang ini harusnya nyempil di bab sebelumnya, tapi at that time aku lupa buat input :))
Dah, ah, mau beneran Ciaooo~
Annyong!
Malang, 11 Juni 2021
All Rights Reserved
22.15 WIB
Pialoey 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro