|2|
"Sebentar lagi tanabata yah...."
"Aih, aku ingin sekali ke sana. Ichiro, kau bakal buka stan lagi, 'kan?"
"Mhm benar, mau membantu?"
"Tentu saja! Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan!"
Kuuko menggerakkan kelopak matanya. Ia menatap malas ketiga kawannya yang sibuk berceloteh. Kantuk perlahan-lahan mengundangnya, jika saja Dice tidak memanggil namanya, ia sudah tidur lelap semenjak tadi.
"Ada apa?" Dengan sedikit rasa kesal, Kuuko memandang kawannya yang mengaku miskin itu. Ada jejak kelelahan tercetak di wajahnya, mengundang Ichiro dan Nemu yang tadinya diam, menatapnya khawatir. Merasa tak enak dipandang ketiganya seperti itu, Kuuko kembali membuka mulutnya, kali ini lebih santai. "Kenapa panggil-panggil?"
"Kau tak terlihat seperti biasanya," Dice menyahut lebih dulu. Telunjuknya menunjuk wajah malas Kuuko dengan bibir yang membentuk garis lurus, tampak tak seperti biasanya yang selalu menyengir. Kawannya itu menyipitkan mata. "Aneh, dimana Kuuko kawanku yang bar-bar! Kau salah makan apa bagaimana?!"
"Tidak usah dramatis begitu." Mendorong wajah Dice yang dilebih-lebihkan, Kuuko mengeluarkan tawa seperti biasa. Senyum di wajahnya kembali, seolah jejak malas dan kelelahan tadi tak pernah ada. "Aku hanya lelah, oke? Oyaji menyuruhku terlalu keras kemarin, membersihkan kuil benar-benar menguras tenagaku."
"Makanlah yang banyak. Kau terlihat lelah dari tadi. Jangan sampai sakit." Ichiro menepuk bahunya, perkatannya seolah-olah tak dapat dibantah, dan Kuuko hanya mengangguk sekenanya.
"Benar kata Ichiro-kun. Kuuko-kun, istirahatlah jika lelah. Jika kau mambutuhkan bantuan untuk menyiapkan tanabata, tidak apa kami bisa membantu." Perkataan Nemu diikuti oleh anggukan dari kedua kawannya. Kuuko mengangguk dengan cengiran lagi, tak mengatakan apa-apa, hingga ketiganya kembali berceloteh tentang topik yang lain.
Cengiran di wajahnya perlahan runtuh, ranum membentuk garis lurus diam-diam, kala yang lain tak memperhatikan. Ia bisa merasakan beban berat di bahunya, dingin familiar yang melingkari tubuhnya, hampir membuatnya menggigil sampai sekarat. Dingin itu menyelimuti seluruh tubuhnya sepenuhnya, seolah-olah akan melahapnya detik itu juga.
Kuuko menyipitkan sepasang netra emasnya. Sudut hatinya sedikit gatal, dan dengungan di kepala semakin keras. "Turun. Kau berat," bisiknya terlalu pelan, tak ada yang bisa mendengar, telah diatur volume yang hanya bisa didengar makhluk yang bersandar kurang ajar kepadanya.
"Tidak mau~" Nada geli kembali menabrak gendang telinga. Tanpa permisi, pelukan itu mengerat, dan dingin itu semakin merasuk.
"Sasara sialan, turunlah-" Menggertakkan giginya, Kuuko berusaha melepaskan pelukan di lehernya. Itu terlalu dingin, namun entah mengapa sebenarnya ia tak keberatan sama sekali dengan dingin itu, hanya saja makhluk ini terlalu berat dan badannya benar-benar seolah dijepit. Kuuko sendiri bertanya-tanya, mengapa ia sama sekali tidak merasa tidak nyaman terhadap dingin menusuk itu.
"Baiklah~ baiklah~ aku akan melepaskanmu~"
Ia menghembuskan napas lega, ketika tak ada lagi beban berat di bahunya. Menggosok lengannya perlahan, Kuuko melempar lirikan tajam kepada makhluk kurang kerjaan ini. Membuka mulut, dan berbisik perlahan, "Lain kali kau melakukan hal itu, aku akan menamparmu dengan jimat."
Terdengar kekehan, Sasara melemparkan seringai geli. Sepasang matanya yang menyipit betah menatap, hingga Kuuko hampir-hampir ingin memukul makhluk itu jika ia dapat menyentuh. "Baiklah, aku minta maaf. Jangan marah lagi, yah?"
Kuuko membalas dengan decakan, namun pada akhirnya mengangguk juga. Ia melirik ketiga kawannya yang masih sibuk mengobrol, tak terganggu dengan perilaku diam-diamnya, dan akhirnya ia kembali menghela napas bersama dengan rasa lega yang menghimpit dadanya.
"Hei Kuu~"
Makhluk ini.
"Hah?" Menarik kembali pandangannya ke tiga kawannya, Kuuko kembali bersikap seperti biasa. Pura-pura tak melihat makhluk menyebalkan, yang semenjak tadi menempel kepadanya.
"Ayo pergi jalan-jalan."
"Pergilah sendiri. Aku harus membantu untuk festival besok."
"Ck, sayang sekali." Ada jeda sejenak. Kuuko tak mengatakan apa-apa lagi, ketika ia bisa merasakan makhluk di sisinya ini merengut. "Lalu kapan senggangnya?"
"Entah. Mungkin setelah festival."
"Yah~"
"Hei Sasara." Kuuko memandang makhluk di sisinya. Ia bisa merasakan Sasara menoleh memandangnya, nampak ada antusias di aura yang ia keluarkan.
Kuuko membuka mulutnya, nampak ragu-ragu, sebelum kemudian menutup mulutnya kembali. Ia bisa merasakan pertarungan batin dirinya sendiri. "Lupakan. Jalan-jalannya nanti saja waktu festival." Ia menambahkan kalimat terakhir dengan berat.
Dalam benak ia bertanya-tanya, mengapa ia harus selalu menyenangkan makhluk ini. Kuuko selalu merasa, bahwa Sasara sangat familiar, bahkan sebelum ia mengenalnya. Merasa pening, Kuuko menggelengkan kepalanya. Persetan dengan rasa aneh, ia memutuskan masa bodoh dan kembali fokus bercanda dengan tiga kawannya.
Tak menyadari bahwa makhluk yang menempel kepadanya seharian ini, telah menatapnya semenjak tadi dengan sepasang bright gold yang selalu disembunyikan, seolah-olah sepasang netra itu sangat berharga. Ada kilat antusias, dan binar kerinduan yang diam-diam semakin memercik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro