Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7

Selamat datang di chapter 7

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like and enjoy this story ass well

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Jealous?
Oh no, Darling
I’ve never been the type
Territorial?
Well, guilty as charge

Someecard
____________________________________________________

Kevino Eclipster:
Kita harus ngasih tahu jadwal masing-masing buat nyesuaiin jadwal nge-date selain weekend.

Jameka Michelle:
Kenapa emang kalau Weekend?

Kevino Eclipster:
Bikin males. Tempat makan, bioskop, liburan dan lain-lain pasti rame. Jalannya juga macet.

Jameka membaca pesan yang dikirim Kevino sembari berpikir itu merupakan hal lumrah bin masuk akal. Kadang, ia juga membutuhkan akhir pekan untuk memanjakan tubuh dengan banyak istirahat, atau pergi ke salon untuk spa. Sesekali, ia hanya menonton Netflix di kondominium tanpa ingin bertemu siapa pun—khususnya pada kondisi yang sulit seperti sekarang. Jadi, ia meraih gagang telepon untuk memanggil Tito.

Ya, Bu Jameka?” sapa pria itu dengan nada malas.

Jameka membayangkan wajah Tito juga menampilkan hal serupa. Ini terjadi semenjak beberapa hari lalu pria itu menjemputnya di Dharma Kitchen. Apabila berurusan dengannya, wajah dan nada tersebutlah yang selalu Tito pakai—bertolak belakang dari kebiasaannya. Jameka menduga suasana hati Tito sedang kelabu karena terlibat masalah cukup berat. Namun, itu sama sekali bukan urusannya sehingga memutuskan mengabaikannya.

Berhubung sedang di ruangan sendirian, Jameka memakai bahasa sehari-hari. “Tolong bawain semua jadwal gue selama sebulan ke depan.”

Buat?” selidik Tito yang mulai agak merenggut ketenangannya.

Jameka ingin mengeram, tetapi urung. “Udah, jangan banyak tanya. Tolong bawa aja ke sini,” balasnya dengan nada datar.

“Nggak bisa gitu dong, Bu Jameka. Jadwal Anda itu rahasia perusahaan. Saya nggak pengin orang-orang manfaatin buat kepentingan pribadi.”

Decakan sebal praktis keluar dari mulut Jameka yang gatal ingin mengomeli si Kadal Sawah satu ini. Itu kan jadwalnya, seharusnya ia yang menentukan boleh atau tidaknya dibagikan ke orang lain. Kenapa jadi Tito?

Lagi pula, Jameka memang ingin menggunakan jadwal itu untuk kepentingan pribadi. Lantas kenapa?

Wanita dalam balutan kemeja sutra biru langit itu menghela napas kasar untuk mengeluarkan kekesalannya terhadap Tito. Berkebalikan dengan nadanya yang masih ia usahakan terjaga landai. “Kalau gitu, tolong kirimiin jadwal-jadwal kosong mulai hari ini sampai satu bulan ke depan, kecuali weekend.”

“Buat apa, Bu Jameka?” tanya pria itu lagi. Menambah pundi-pundi kekesalan Jameka terhadap Tito sehingga bertumpuk.

Dari nada tenang, Jameka kini mendesis jengkel. “To! Udahlah kagak usah banyak nanya kenapa sih? Bawa aja ke sini!”

Nggak bisa, Bu Jameka. Saya—

Decakan yang keluar lagi dari mulut Jameka memotong segala macam alasan yang akan diterangkan pria itu. “Gue cuma nyari jadwal kosong buat nge-date selain weekend! Puas lo?” semburnya.

“Oh, sama yang bawa Pagani kemaren?”

Kenapa pula manusia satu ini penasaran? Jameka menjauhkan gagang telepon dan memelototinya seakan itu adalah Tito. Bisa-bisanya dalam waktu yang agak lama ia memikirkan soal jadwal bloody moon-nya yang erat kaitannya dengan pria itu. Bahkan ia menahan rasa pahit mulutnya yang harus dibebaskan dari nikotin selama beberapa hari ini dan mungkin beberapa bulan ke depan. Namun, berusaha ia atasi dengan permen mint bebas gula. Demi kemungkinan itu.

Meski demikian, Jameka jadi tidak menyadari sedikit demi sedikit pikiran itu telah sukses menggerogoti ingatannya tentang River Devoss.

Ia lantas menempelkan gagang telepon lagi ke telinga. “Iya. Jadi, buruan kasih tahu gue kapan aja yang kosong.”

Kemudian, seolah tidak ada masalah sama sekali dan tidak ada urat-urat di dahi yang harus bersitegang, Tito memenuhi permintaan Jameka. Bahkan dalam waktu singkat, pria itu sudah mengetuk pintu ruangannya dan duduk di hadapannya. Lengkap dengan catatan kecil berisi seluruh jadwal Jameka yang selalu dibawa-bawa.

“Udah gue cek sih. Full, nggak ada yang kosong selain weekend.” Tito mengulurkan catatan itu kepada Jameka.

Setelah menerima kemudian secara saksama membaca serentetan tulisan hingga berlembar-lembar. Kala mendapati jadwalnya penuh sesak bak KRL di jam berangkat atau pulang kerja mau pun weekend, Jameka pun tak lantas percaya begitu saja. “Kok bisa sih?” tanyanya heran sekaligus penasaran.

“Kita emang lagi sibuk, tahu sendiri lagi berusaha bangkit,” jawab Tito logis, tetapi entah kenapa Jameka menemukan suatu kejanggalan. Meski sedetik, ia yakin melihat seringai puas di wajah pria itu. Pun, nada yang digunakan Kadal Sawah ini agak lebih berat.

Apa-apaan?

Namun, sekali lagi Jameka memutuskan mengabaikannya supaya urusan ini cepat selesai. Berlama-lama mengobrol dengan Tito bisa sangat menguras tenaga. “Ya udah, kalau gitu terpaksa nge-date sepulang kerja,” tukas wanita itu tidak ingin ambil pusing.

Tito sontak waspada. Tubuhnya pun ditegakkan. “Kalau lo inget harus lembur hampir setiap hari. Belum lagi ada jadwal ke Kalimantan sama Pak Zafi buat lihat kondisi HTI langsung. Sekalian diskusi sama masyarakat sana. Kali aja itikad baik kita diterima.”

Jameka mengulurkan catatan itu kepada Tito yang menurutnya terlalu mencampuradukkan jadwal kencannya dengan kepadatan jadwal kerjanya. Plus, menyinggung-nyinggung soal HTI. Rasa-rasanya kepala Jameka kini mendesis bagai sumbu bom yang tersulut. Ia lantas mengambil keputusan, “Jadwal ke Kalimantan digeser aja. Nunggu si Bambank balik honey moon, terus kita rapatin lagi. Gue nggak mau ke sana tanpa dia.”

Perihal negosiasi, Jayden memang yang paling ahli. Adik Jameka itu memiliki aura tersendiri untuk tidak menerima bantahan dalam bentuk apa pun dari lawan bicaranya mengenai bisnis. Walaupun bila kepepet juga mengajukan penawaran. Namun, bisa dipastikan penawaran itu tidak akan bisa ditolak. Dan, Jayden tidak akan mengajukan penawaran dua kali. Terima penawaran itu atau terima konsekuensinya. Nothing to lose for him. Bagian ini yang tidak diketahui Jameka, tetapi sangat dihafal Tito.

Sehingga Tito mengambil pena Jameka tanpa seizin wanita itu untuk menulis tambahan catatan yang disetujuinya. “Beres,” katanya.

“Thanks.” Jameka mengira urusannya dengan Tito sudah beres dan pria dengan balutan kemeja hitam yang lumayan mencetak otot-otot bisep dan dada bidangnya akan segera beranjak pergi ke kubukelnya. Sehingga ia bergumam untuk diri sendiri. “Kalau gitu terpaksa jalan malem. Nonton di jam paling malem kayaknya oke juga.”

Ia baru meraih ponsel berencana mengetik balasan pada Kevino ketika Tito buru-buru berkata, “Kata adek lo, lo kagak boleh keluar malem tanpa gue.”

Ternyata, Tito mendengar gumamannya. Jameka lantas menarik pandangan dari layar ponsel untuk melihat Tito seolah pria itu baru saja berubah jadi badut lucu. “Gila lo,” dengkusnya.

“Terserah. Pokoknya, gue harus ikut lo,” kukuh Tito.

“Lo sinting apa gila sih, To? Gue mau nge-date, masa lo temenin? Kagak lucu dong!”

“Ya gue kagak mau ambil risiko dihajar adek lo gara-gara nggak bisa jagain lo. Nggak bisa ngasih laporan lo ngapain aja,” jawab Tito santai sambil mengedikkan bahu ringan.

Dan, tentu saja Jameka membantah, “Privacy, please! Dihajar itu urusan lo. Kenapa harus gue yang pusing? Dan soal jaga diri, lo kagak usah khawatir. Gue bisa jaga diri sendiri kok!”

“Gue nggak yakin lo bisa jaga diri sendiri. Lagian, gimana kalau Pagani itu bannya kempes lagi?”

“Apes bener bannya bisa kempes lagi,” desis Jameka mulai tidak sanggup memendam kedongkolannya.

Sementara Tito masih melanjutkan, “Atau bisa jadi mogok ....”

“Gampang bisa nelepon bengkel,” jawab Jameka logis bin realistis dengan nada ketus.

Namun, Tito tidak menggubrisnya dan terus menerocos, “Atau bensinnya habis?”

“Beli bensin eceran!”

“Ya kali Pagani dikasih bensin eceran?” cibir pria itu dan masih menambahkan kata-katanya sambil menenggelamkan buku catatan kecilnya ke dalam saku celana kerja. “Lo juga harus mikir, gimana kalau muncul berita-berita negatif? Heratl lagi butuh citra baik sekarang ini.”

Jameka semakin mengernyit tak mengerti. Kenapa sih, susah banget ngomong ama Kadal Sawah satu ini? Banyak banget alasannya. Ia kemudian berpikir harus membicarakan ini dengan adiknya. Tidakkah Jayden terlalu mengendalikan kehidupan pribadinya lewat Tito? Ia benar-benar membutuhkan privasi.

Masih dengan alis menukik tajam serta kening yang terlipat-lipat samar, Jameka berkata sarkas. “Yang masuk akal dikitlah kalau ngomong soal citra. Justru bagus dong kalau gue jalan sama dia. Naikin citra perusahaan.”

“Emang dia siapa sih? Kedudukannya apa? Yakin bener bisa naikin citra perusahaan?” tanya Tito setengah penasaran, juga setengah ngeri. Lalu segera menyesali kelancangan mulutnya yang tanpa tahu aturan malah bertanya demikian. Bagaimana kalau jawaban Jameka berdampak membawa sesuatu yang luar biasa dasyat bagi dirinya? Nyeri-nyeri di hati—misalnya. Atau iri dan dengki.

Secepat angin ribut memporak-porandakan keadaan guncangan emosionalnya, Tito mengesampingkan ancaman tak kasat mata yang memang harus ia akui berasal dari darinya dengan membatin, Paling juga cowok manja yang cuma bisa ngabisin duit ortu. Dengan nada sarkas yang seolah bisa didengarnya sendiri.

Sebenarnya, sangat mudah bagi Tito menyelidiki latar belakang pria yang berkencan dengan Jameka sekarang melalui orang-orang kepercayaannya. Namun, ia tidak melakukannya karena alasan yang sama sekali tidak diinginkan hati dan otaknya akui. Yang selama ini berusaha ia tangkis keras-keras dari berbagai arah.

Semisal otaknya tidak berusaha mengabaikan, Tito sudah berpikir sejak insiden Heratl yang membuat Jayden hampir mati karena tertembak, pun, malam di mana Jameka mabuk telah sukses membangkitkan kinerja ganda akan detak jantungnya setiap kali bersama Jameka.

Selain itu, Tito juga harus mati-matian tidak mengarahkan pandangan pada sepasang tonjolan indah, halus dan hangat di balik kemeja sutra wanita itu yang rasa-rasanya bisa membuatnya mimisan. Ia berupaya keras melawan tekad ingin—sialan ia harus berhenti memikirkan itu! Lihat, bagaimana ia bersikap irasional saat ini?

Oleh sebab itulah, Tito bersyukur Jameka tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan mengelak, “Udah, kita nggak lagi wawancara masalah pribadi. Silakan kembali ke kubikel Anda, Pak Tito Alvarez.”

Jam pulang kantor akhirnya habis. Berhubung hari ini tidak ada jadwal lembur, Tito segera mengulurkan tangan guna mengemasi barang-barangnya yang tergeletak di meja. Lalu berencana ke ruangan Jameka untuk mengantar pulang wanita itu.

Namun, pintu ruangan yang dimaksud lebih dulu terbuka. Pimpinan Heratl yang menenteng tas jinjing dengan blazer hitam tersampir di kedua pundak kurusnya pun keluar secara buru-buru. Bunyi ketukan stilletto membentur lantai terdengar nyaring. Membungkam mulut-mulut pegawai yang mengobrol di deretan kubikel untuk memperhatikan Jameka berbicara lewat menelepon. “Oh, udah deket? Oke, aku turun ke lobi sekarang.”

Kala melewati kubikel Tito, Jameka menurunkan ponsel dari telinga pun mengatakan sesuatu kepada pria itu. “Pak Tito, karena hari ini nggak ada lembur, saya pulang duluan ya, nggak perlu ngantar saya. Udah dijemput.”

“Tunggu bentar, Bu Jameka. Saya—”

“Selamat sore, Pak Tito.”

Oh! Jameka tentu tidak akan membiarkan Kadal Sawah satu ini menghentikannya pergi bersama Kevino. Demi kelangsungan kesejahteraan dirinya dan Kevino dari kejaran perjodohan orang tua mereka. Jadi, ia sengaja memotong perkataan Tito, lanjut menyapa pegawai-pegawai lain sambil berjalan menuju elevator khusus petinggi. Meninggalkan harum parfum mahalnya.

Tito jadi bungkam, tetapi mencibir dalam hati. Pasti dijemput ama Pagani item. Heran, baru juga dikasih lihat jadwal kemaren siang, eh hari ini kagak lembur langsung maen serobot kayak angkot ugal-ugalan.

“Wih ..., kayaknya Bu Jameka dijemput sama yang bawa Pagani kapan hari itu loh,” bisik salah seorang pria—pegawai yang kubikelnya sederet dengan Tito.

Tito sendiri tidak menduga kalau rumor Jameka dijemput Pagani hitam nyatanya mampu membuat bapak-bapak atau pemuda-pemuda jadi ikutan bergosip. Ia lantas pura-pura melanjutkan kegiatan berkemas sambil memasang pendengaran tajam-tajam.

“Seleranya tinggi banget, Bro, sahut temannya yang lain sambil cengar-cengir dan menenteng tas.

“Maunya sih gue. Tapi gimana ya?”

“Mana mungkin selera Bu Jameka burik dan miskin kayak lo,” canda pria tadi sambil terkikik.

“Udah ..., udah ..., bini ama anak lo nungguin di rumah tuh. Buruan sono pulang,” sahut temannya yang lain diselingi gelak tawa pegawai-pegawai di deretan kubikel tersebut.

“Lagian udah punya bini ama anak masih aja melolotin cewek lain, Bro.”

“Beuh .... Lo kagak tahu istilah rumput tetangga lebih hijau?”

“Hijau tapi sintetik. Percuma.”

Sementara mereka beranjak dari kubikel, pria tadi lantas menghadap Tito. Dengan kedua alis terangkat dan gaya sok asyik, ia berkata, “Akhirnya lo ada waktu senggang buat jalan lagi sama Carisa ya, To?”

Oh! Rupanya bukan hanya gosip Jameka yang dijemput Pagani hitam yang sudah sampai telinga para pria ini, dirinya dan Carisa juga.

Tito memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan resepsionis itu. Jadi, dengan senyum kurang ajar, sambil menenteng tas kerjanya, Tito menjawab santai. “Yoi, Bro.”

“Manteb, Bro. Kalau gitu, gue duluan ya!”

Carisa tidak bisa menahan senyuman ketika Tito mengajaknya kencan sepulang kerja—meski harus naik Vespa kuning itu lagi. Ia berpikir hubungan mereka mengalami peningkatan. Kala euforia masih menyirami pribadinya, Carisa pun hanya menurut diajak Tito nonton film horor.

Itu pasti cuma alesan doang. Pasti Tito mau ambil kesempatan dalam kesempitan. Pas aku takut, dia jadi meluk aku, batin Carisa yang kelewat percaya diri. Badannya pun sampai ia goyang-goyangkan mirip cacing kepanasan karena dijemur di atas genting akibat salah tingkah. Menunggu Tito membeli berondong jagung ukuran jumbo dan minuman untuk mereka.

Sewaktu membenarkan rambutnya yang sengaja dikibaskan secara anggun, kedua mata Carisa tidak sengaja menangkap sosok yang dikenalinya.

“Tito, bukannya itu Bu Jameka ya?”

Tito yang membawa camilan mereka pura-pura tidak tahu dan ikut celingukan. “Mana?” tanyanya.

“Itu loh, yang sama cowoknya. Mas-mas yang punya Pagani item.” Carisa menunjuk Kevino yang berdiri di depan Jameka sedang mengulurkan berondong jagung kepada atasannya itu. Dari tempat ia berdiri, pemandangan itu cukup estetik dan romantis menurut Carisa. “Mereka serasi banget nggak sih?”

“Masa?”

“Iya .... Cantik dan ganteng. Sama-sama crazy rich.”

Untuk crazy rich, Tito tidak ingin berkomentar. Namun, untuk tampang, bagaimana jika seandainya minuman yang digenggamnya terlempar ke kepala pria itu? Masih bisakah dibilang ganteng?

“Menurutmu, dia ganteng?”

Carisa tak mengira Tito menanyakan itu padanya. Pasti pria itu sedang cemburu. Oleh karena itu, ia buru-buru meralat pendapatnya. “Eh, maksud aku, ya emang dia ganteng. Tapi menurutku, kamu lebih ganteng kok.”

Tito setengah mendengkus. “Makasih, Carisa. Kamu juga cantik.”

Carisa bertingkah mirip cacing kepanasan lagi. Bertepatan dengan pengumuman pintu teater mereka sudah dibuka. Melihat Jameka dan Kevino berjalan sudah meninggalkan tempat duduk mereka, Tito segera mengajak Carisa masuk.

“Eh, kayaknya Bu Jameka sama cowoknya juga nonton film ini ya, Tito?”

Tito menjawab diplomatis. “Wajar, film ini kan ini lagi booming.”

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo

Kelen ngeten pun 👍

Btw kira-kira apa yang bakalan dilakuin Tito dibioskop ya?

Jameka tahu nggak kalau ada Tito di sana?

Well, bonus foto Jameka Michelle

Tito Alvarez

Kevino Eclipster

Well, see you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Jum’at, 11 Maret 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro