Chapter 5
Selamat datamg di chapter 5
Tonggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everybody
Hope you enjoy and like this story ass well
❤❤❤
_____________________________________________
Me? Jealous? Hahahahahahhahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahhahahahahahahahahaha
Yes.
—Anonymous _____________________________________________
Suara bising kenalpot racing yang berasal dari berberapa motor memenuhi sekitar basecamp tepi kota Jakarta. Tempat di mana Lih Gashani mengatur orang-orang dari berbagai geng motor yang sudah memilih salah satu di antara yang terbaik dari dua geng untuk bersiap diri mengikuti kompetisi balap liar.
Berdiri di antara dua moge modifan penuh dan baru akan menjelaskan peraturan permainan, Lih dikejutkan getaran ponsel dalam saku celana jin biru pudar sobek-sobeknya.
Sebenarnya ia bisa membiarkan hal itu untuk tetap melakukan tugasnya saat ini. Namun, ketika ingatannya kembali pada titah Jayden untuk siap sedia dan selalu waspada terhadap apa pun—termasuk telepon, Lih tahu tidak bisa mengabaikan panggilan yang siapa tahu penting itu.
“Ga.” Akhirnya Lih memutuskan memanggil Arga lumayan kencang untuk mengalahkan suara-suara kenalpot di samping kanan-kirinya.
Dari balik kerumunan, sosok Arga muncul lalu mendekati Lih. “Apaan?” tanyanya kemudian.
“Tolong gantiin gue jelasin peraturannya. Gue ada telepon.”
Setelah mendapat anggukan dari Arga yang berpindah di posisinya tadi, Lih membelah kerumunan dan berjalan menuju belakang gedung supaya suara-suara bising itu sedikit bisa ditoleransi pendengaran. Ia kemudian mangangkat telepon yang rupanya berasal dari Tito.
“Apaan, To?” tanya Lih. Berharap Tito tidak sedang menghubunginya untuk sesuatu yang tidak penting sehingga sia-sia saja ia mengorbankan diri dari balapan menjelang siang yang langka dilakukannya.
“Bisa tuker kendaraan sekarang kagak, Jang?”
Kening Lih sontak terlipat samar. Bukan hal baru baginya mendapat permintaan serupa dari Tito. Dan tanpa diberitahu pun, Lih tahu benar apa maksud serta tujuan sahabatnya yang satu ini.
Sebagai playboy sejati, Tito berperan menjadi sosok misterius dengan tidak memberikan atau menunjukkan segala sesuatu yang bersifat pribadi. Seperti halnya kendaraan atau tempat tinggal, sering kali juga nomor telepon. Sebisa mungkin, pria itu akan bertukar kendaraan dengan teman-teman basecamp lalu apabila diperlukan, ia akan menyewa apartemen atau hotel untuk bercocok tanam secara dewasa.
Merasakan terik matahari yang menyengat kulit dan beberapa bulir keringat melintas di pelipisnya, Lih melihat jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Masih tergolong jam kantor bagi Tito. Ini sedikit aneh menurutnya. Sehingga ia pun bertanya, “Sekarang banget? Bukannya lo masih jam kantor?”
“Iya, soalnya gue perlunya sekarang.”
“Emang lo kagak kerja?”
Terdengar helaan napas di seberang sambungan. “Ya masih, Jang. Cuma lo tahulah bentar lagi mau makan siang. Terus gue rencananya ngajak Carisa makan.”
Kedua alis Lih mengernyit. Mengingat-ingat beberapa bulan lalu ia pergi ke sana dengan semua anggota basecamp dan klan Davidde pimpinan Jayden ; apakah ia berjumpa dengan sosok yang disebut-sebut Tito. “Resepsionis Heratl yang menor itu bukan?”
Gelak tawa mengudara di seberang sana. “Hahaha .... Masih inget aja lo, Bujang.”
Selera wanita Tito tidak membuat Lih kaget. Namun, tetap saja ada hal lain yang membuatnya bertambah bingung. “Terus Yang Mulia Ratu gimana, To? Bukannya lo harus makan sama dia? Kok malah mau makan ama cewek lain? Kalau si Boss tanya, mau jawab apa lo?”
Desah putus asa Tito terdengar mengudara. “Yaelah, Jang .... Lo tenang aja. Yang Mulia itu urusan gue. Pasti gue handle kok. Jadi, gimana? Bisa kagak? Ada kendaraan apa aja di basecamp?”
Oh, ya udah. Yang penting gue udah ngingetin ya. Gue kagak ikut-ikutan kalau lo dibikin bonyok lagi sama si Boss kayak dulu, batin Lih tak mau ambil pusing. Ia juga sedang ada kerjaan. Jadi, dengan praktis, Lih menjawab, “Bentar, gue lihat dulu.” Lalu berjalan ke parkiran basecamp yang terletak di bangunan lebih ke belakang. Mengamati kendaraan-kendaraan milik penghuni-penghuni tempat itu sejenak untuk memiliah-milah mana yang cocok. “Mobil gue lagi dipakai, To. Ada Vespa matic. Mau kagak?”
Keheningan sesaat menjadi tanda Tito sedang berpikir hingga menemukan keputusan, “Boleh dah. Tolong anterin sekalian ya, Jang ... Heheheh ....”
Senyum masam terukir di bibir Lih. “Iya, beres.”
“Makasih, Jang. Gue cinta lo ampe mampus.”
“Ck, jijik gue dengernya, To,” aku Lih, tetapi sahabatnya tidak peduli. Tito memang seperti itu kepadanya dan Jayden hanya untuk menggoda mereka.
Dan begitulah yang terjadi. Lih segera mengambil kunci Vespa kuning mencolok dan dua helm. Satu dipakainya, satu lagi untuk Carisa. Ia juga mengenakan jaket kulit cokelat tua dan meluncur ke Heratl dengan hati ogah-ogahan.
Kendati sudah nyaris memasuki jam makan siang, jalanan Jakarta yang macet tidak menghambat perjalanan Lih sedikit pun. Itulah keuntungannya mengendarai motor. Bisa menyelinap di antara mobil-mobil, bahkan bisa masuk gang sempit sebagai jalan pintas. Sehingga tidak sampai sepuluh menit kemudian, Lih sudah tiba di parkiran motor Heratl. Ia pun menghubungi Tito dan praktis bertukar kendaraan.
“Makasih ya, Jang,” kata Tito sambil menyengir lebar dan mengacung-acungkan kunci Vespa saat mengamati Lih membawa Civic putihnya keluar Heratl.
Langkah santai dan siulan menjadi pilihan Tito menuju elevator yang akan membawanya ke lantai atas, tempat kubikelnya berada, tepat di depan ruang Jameka.
Dentingan halus besi kotak itu membawa langkah Tito keluar. Ketika hampir mencapai kubikelnya, ia berhenti bersiul karena melihat Jameka sedang menjepit telepon di antara pundak dan bahu, sementara tangan wanita itu mengeruk-ngeruk tasnya di depan ruangannya.
“Udah di deket? Oke. I’ll waiting for you at loby.”
Setelah Jameka menurukan ponsel dari pundak dan telinganya, Tiro baru menyapa, “Udah mau berangkat, Bu Jameka?”
“Astaga!” seru Jameka lantaran dirundung kaget yang tak tanggung-tanggung. Sampai membuat tasnya pun terjatuh, ponsel dan barang-barang di dalamnya otomatis berserakan.
“Eh, maaf, Bu Jameka,” kata Tito menggunakan bahasa formal karena beberapa rekan kerja mereka masih mendekam di kubikel masing-masing.
Tito lantas mengikuti Jameka berjongkok dengan niat ingin membantu mengemasi barang-barang wanita itu. Namun, Jameka menolak. “Eh, nggak usah, Pak Tito. Pak Tito silakan makan siang aja. Udah masuk makan siang kan?” ujarnya sembari meraup mekap, dompet, dan lain-lain dan buru-buru memasukkannya ke dalam tas.
“Nggak apa-apa kok, Bu Jemeka. Saya kan yang ngagetin. Jadi, sudah semestinya saya mesti tanggung jaw—eh, apa ini? Test peck?”
Jameka memelotot dan cepat-cepat merenggut alat tes kehamilan tersebut yang beruntungnya hasilnya belum sempat dilihat Tito. “Bukan kok, Pak Tito. Ya udah saya pergi dulu ya, permisi.”
Jameka pergi dengan gelisah. Berhadapan dengan Tito yang menyebalkan adalah suatu hal, dan mendapati pria itu di ranjangnya tiga hari lalu merupakan hal lain. Namun, kenyatan Tito menemukan alat tes kehamilan yang akan dibuangnya merupakan perkara kompleks. Sehingga sebaiknya ia cepat-cepat menyingkir. Berlagak peduli setan meninggalkan pria itu dengan segudang tanda tanya besar.
Jameka menekan tombol elevator khusus petinggi Heratl dengan tidak sabaran. Ia pun masuk kotak besi tersebut. Dan ketika sekali lagi ia menekan tombol lantai yang mengarah ke lobi, tatapannya berserobok dengan Tito. Cepat-cepat pula Jameka menghindari sepasang iris hitam pekat yang kini terasa mengintimidasinya.
“Sudah siap makan siang, Bu Carisa?” tanya Tito dengan senyum sopan kepada resepsionis yang telah rampung menebalkan gincunya.
“Siap banget, Pak Tito.”
Carisa berdiri dan mengikuti Tito. Pada detik ini ia merasa luar biasa gembira karena sebentar lagi akan makan siang dengan gebetannya. Sayang seribu sayang, pada detik berikutnya, kegembiraan sedikit luntur berganti menjadi kebingungan. Sebab bukannya berjalan menuju parkiran mobil di basement, Tito malah keluar melalui pintu utama, melewati Jameka dan sempat menyapa,“Mari, Bu Jameka,” yang mau tak mau harus diikuti Carisa. Kemudian menuruni undakan dan menuju sisi sebelah kanan gedung.
“Kok jalannya ke sini, Pak Tito?” tanya Carisa penasaran. Tepat pada saat mereka tiba di parkiran motor.
“Maaf ya, Bu Carisa. Saya naik Vespa. Nggak apa-apa kan?” ucap Tito pura-pura berwajah melas sambil mengulurkan helm pada Carisa.
“Bukannya biasanya Pak Tito naik Civic putih ya?” tanya wanita itu memastikan dan sejujurnya tidak menyangka ada Vespa kuning mencolok di hadapannya yang sudah dinaiki Tito.
“Wah itu salah satu koleksi mobilnya Bu Jameka. Saya apaan tuh cuma sopir sekaligus asisten doang. Jadi cuma bisa bawa ini,” kilah Tito. “Ini, Bu helmnya.”
Carisa pun sontak menengadah, memastikan seberapa terik mahatahari siang ini.
Duh, miris. Kalau gini caranya make up gue bakalan luntur! gerutu Carisa dalam hati. Juga berpikir kalau tidak sekarang, mau kapan lagi akan makan siang bersama Tito? Ia jarang mendapat kesempatan langka seperti ini. Jadi, ia mengambil helm tersebut.
Ketika mengenakan pelindung kepala itu, sayup-sayup Carisa mendengar deru kenalpot racing Pagani hitam metalik yang berhenti di depan lobi. Ia melihat seorang pria bersetelah jas Italia turun, mengitari bagian depan mobil itu lalu membukakan pintu untuk Jameka. Dan bosnya itu pun masuk mobil sport tersebut.
“Gila banget, selera bu Jameka emang beda kelas ya, Pak Tito. Bukan kaleng-kaleng,” kementar Carisa tanpa mengalihkan tatapan ngilernya ke Jameka dan pria asing itu. Berandai-andai pula ia menjadi Jameka.
Carisa lantas memandang Tito yang tidak menggubris komentarnya. Pria yang sudah mengenakan helm itu lanjut menyalakan Vespa ini lalu mengajaknya dengan suara yang berubah berat dan dalam. “Yok, Bu Carisa. Kita berangkat sekarang. Nanti keburu telat.”
“Makasih bunganya,” kata Jameka kepada Kevino setelah Pagani hitam metalik yang mereka tumpangi keluar dari Heratl dan bergabung dengan mobil-mobil lain di jalan raya. Dan, setelah berhasil meredakan kegelisahannya soal Tito.
Lihat, pria bertato itu bahkan kini pergi dengan Carisa.
Jameka lantas memejam. Sudahlah, itu bukan urusannya. Walau bagaimanapun nanti. Itu twtao urusannya.
Walau misalnya ada janin Tito yang tumbuh di perut lo, Jame? Sekali lagi ia mempertanyakan hal itu lalu mulai berpikir berlebihan.
Seharusnya Jameka tidak membeli alat tes kehamilan setiap hari dan mendapagkan hasil negatif—bukan berarti ia juga berharap positif. Namun, waktunya jelas tidak tepat, apalagi kejadian itu baru tiga hari lalu. Mungkin bulan depan apabila jadwal bloody moon-nya tak kunjung datang, ia baru akan membeli alat itu lagi untuk memastikannya. Sekarang, yang paling penting adalah bagaimana menghadapi Kevino.
Pria itu melirik Jameka sebentar sebelum fokus ke jalan lagi. Lalu dengan datar dan tanpa emosi, Kevino mencetus, “Kata om Ale, kamu suka mawar.”
Ngaco banget deh papa! Sejak kapan gue suka mawar? gerutu Jameka dalam hati. Kabar baiknya, papanya jugalah yang memberikan nomor telepon pribadinya pada Kevino sehingga pria itu bisa menghubunginya tadi.
“Basicly, aku suka semua bunga,” aku Jameka. Aneh juga ia menggunakan aku-kamu dengan pria ini. Namun, mereka baru saja dua kali ketemu dan akan jauh lebih aneh kalau menggunakan lo-gue, atau saya-Anda. Mereka bukan teman lama atau rekan kerja.
“Good. Oh ya, om Ale juga rekomendasiin restoran langganan kamu. Soalnya kamu vegie.”
“Tapi kamu nggak perlu repot-repot ke sana kok. Kita bisa pergi ke restoran lain. Aku fleksibel,” kata Jameka. Sengaja menguji seberapa serius pria ini.
Mengingat sejak bertemu dan beberapa hari tidak komunikasi lalu tiba-tiba saja Kevino mengirim bunga serta mengajaknya makan siang, Jameka merasa aneh. Seperti ada tujuan tersembunyi.
Rupanya, meski Jameka sudah berdeklarasi tentang kefleksibelannya perihal restoran, Kevino tetap berhenti di Dharma Kitchen dan harus puas dengan menu-menu vegetarian yang disajikan. Semakin mencurigakan bagi Jameka.
“Ternyata enak juga, kirain bakalan ngeri gara-gara sayuran doang,” komentar Kevino sambil mengangguk-angguk menikmati rendang vegan.
“Syukurlah. Omong-omong, boleh tanya kenapa tiba-tiba ngirim bunga terus ngajakin makan siang? Soalnya aku ngerasa kita nggak ada urusan apa-apa.”
Mendengar Jameka berterus terang seperti itu, Kevino pun setengah mendengkus dan setengah tertawa. “Emang kita nggak ada urusan apa-apa. Tapi mulai sekarang kita harus bikin ada urusan.”
“Maksud kamu?”
Kavino meraih gelas air mineral, mengaliri tenggorokannya sedikit, lantas menegakkan duduk. “Masa nggak ada bayangan?”
“Ya kalau ada nggak bakalan tanya ‘kan?”
Kevino mengangguk samar. “Jadi gini, kayak yang kemarin dibahas keluarga kita, kalau kita ini dijodohin.”
“Oh, kirain kamu juga denger alesanku kalau sekarang aku lagi pusing mikirin Heratl. Jadi belum minat buat dijodoh-jodohin,” terang Jameka jujur.
Kevino kembali mengangguk paham. “Aku paham kok kamu lagi pusing. Ya sama, aku juga pusing. Sama, aku juga nggak mau dijodoh-jodohin kayak nggak laku.”
Jameka mengernyit. “Maksud kamu? Aku nggak laku? Gitu?” sungutnya.
“Bukan, bukan gitu. Aku malah percaya cewek kayak kamu pasti laku keras. Di kalangan high juga. Tapi bukan itu intinya aku ngajak kamu makan siang bareng,” sangkal Kevino.
Jameka meletakkan alat makannya untuk mendengarkan Kevino secara saksama.
“Empat hari ini, ortuku selalu nanya soal kamu. Kev, gimana Jameka? Kev, gimana Jameka. Kenapa nggak nyoba dulu jalan bareng Jameka? Kev, coba dulu, Kev.” Kevino menirukan ibunya dengan suara dimerdu-merdukan sehingga membuat Jameka setengah mendengkus dan setengah tertawa seperti pria itu tadi.
“Lama-lama pusing juga. Emang kamu nggak diburu-buru om Ale?” lanjut pria itu.
Jameka tidak langsung menjawab karena berpikir empat hari lalu sejak terakhir kali ia bicara dengan papanya dan sejak malam hari itu pula, nyatanya ia sama sekali tidak mendapatkan tekanan seperti Kevinon. Namun, segera ia menyadari itu merupakan taktik papanya untuk mendekatnya dengan Kevino. Bunga mawar dan nomor ponsel sudah cukup sebagai bukti.
“Ya gitu deh,” kata Jameka setelah sekian detik berpikir.
Kedua alis Kevino terangkat ke atas. “Nah, kenapa kita nggak kerja sama aja buat bikin perjodohan ini gagal?”
Tawaran itu kedengaran sangat menggiurkan bagi Jameka. Ia pun tertarik. “Caranya?”
“Kita ketemu beberapa kali. Sesekali makan siang bareng, sesekali makan malem bareng, atau kita bisa fake date waktu weekend. Terus kita bisa bilang ternyata kita nggak cocok. Dan orang tua kita bakalan berhenti gangguin kita. Dan mikir, ya seenggaknya kita udah nyoba saran mereka. Kalau nggak jodoh, mau gimana lagi?”
“If you are sure all of your plan will nothing to lose for us, I’m in.”
_____________________________________________
Thanks for reading this story
Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo
Kelen luar biasa gaes
Bonus foto Jameka Michelle
Tito Alvarez
Kevino Eclipster
Well, see you nexttime teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Selasa, 22 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro