Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 48

Selamat datang di chapter 48

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

WARNING! MEMBACA INI DAPAT MENYEBABKAN SUHU BADAN JADI PANAS DINGIN, KEDJANG-KEDJANG, SENYUM-SENYUM SENDIRI, KESEL, DAN HATI JADI BERBUNGA-BUNGA!

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Cinta membuatnya demikian; mengaburkan hal salah dan hal benar, merobohkan tembok logika dan perasaan.”

—Tito Alvarez
____________________________________________________

Tito buru-buru membuka selimut dan merasa sudah tidak sakit, tidak lemas, juga tidak kedinginan sama sekali. “Jameka, kenapa? Apa ada yang sakit? Jahitan lo sakit? Mana yang sakit? Gue panggilin dokter, ya?”

Bagaimana cara menjelaskan isi hati dan kepala Jameka pada Tito tanpa merusak semuanya? Jameka tidak tahu. Maka dari itu, dengan air mata masih bergelinciran di pipi, ia menggeleng-geleng pelan. Menjawab dua pertanyaan Tito sekaligus; tidak ada yang sakit pada fisiknya lantaran obat anti nyeri pemberian dokter bekerja baik di tubuhnya; juga tidak bisa mengendalikan perasaannya yang kacau balau saat ini. Terlalu banyak hal tentang masa lalu dan masa kini yang saling timpang tindih memenuhi kepalanya, membentuk perasaan di hatinya.

“What’s wrong?” tanya Tito sekali lagi. Apakah ia membuat kesalahan begitu besar? Ataukah ada perkara lain? Misalnya, Kevino memutuskan Jameka lagi? Sebab seingatnya, terakhir kali ia melihat Jameka menangis itu karena diputuskan Kevino. Bolehkah ia merasa senang dengan angan-angan tersebut? Bolehkah ia berharap sedikit sekali lagi?

I just don’t know how to say it,” jawab Jameka jujur.

“Come here,” titah Tito yang dikumandangkan dalam bentuk bisikan amat pelan hingga nyaris tidak menjangkau pendengaran. Ia pun menepuk ranjang.

Bagai anak kecil yang kehilangan permen dan ingin segera mengadu, Jameka menurut. Tanpa aba-aba ia melingkarkan lengan-lengannya erat-erat di tubuh Tito. Suhu hangat tubuh Tito menyelubungi Jameka. Ia bahkan bisa mendengar detak jantung pria itu mengentak dua kali lipat lebih cepat sama seperti dirinya. Ia tidak pedulikan akan tertular flue Tito sebab benar-benar tidak bisa mengontrol pikiran dan hatinya lagi. Hal paling melegakan, Tito membiarkannya untuk menangis tanpa mengomentari apa pun, tanpa menggodanya dengan membuatnya marah-marah. Mungkin pria itu berharap Jameka bisa menata perasaannya agar bisa diungkapkan.

“Kenapa, Sayangku? Kalau nggak ada yang sakit terus kenapa? Apa yang salah? Ada apa?” tanya Tito lembut setelah beberapa saat berdiam diri memberi waktu Jameka menenangkan diri.

Usapan-usapan lembut Tito di kepala Jameka melemahkan segala pertahanan diri Jameka sampai-sampai mulutnya mengaku dengan sendirinya. “Jangan coba-coba lagi bilang mau bikin surat wasiat, To.”

Hanya karena itu? Tito agak kecewa. Rupanya alasan Jameka menangis bukan karena masalah Kevino. Tiba-tiba rasa dingin memerangkapnya kembali sampai membuatnya menggigil lagi. Jadi, sembari melingkarkan selimut untuk menutupi tubuh mereka dan tetap memperhatikan posisi infus mereka masing-masing, ia pun membela diri. “Tapi emang kenyataannya badan gue sakit semua.”

“Tapi bukan berarti dengan entengnya lo bisa ngomong kayak gitu!” omel Jameka yang masih betah memeluk Tito, dan pria itu masih betah mengelus kepalanya.

Tito kini meletakkan dagunya di kepala Jameka. Usapan tangannya otomatis pindah ke punggung wanita dalam pelukannya. “Itu cuma keluhan, Sayangku. Nothing serious. Gue nggak tahu kenapa lo sampai nangis kejer kayak gini.”

Jameka spontan melepas pelukan untuk menatap lawan bicaranya. Selimut mereka tidak melorot karena dipegangi Tito. “Because I don’t wanna attend another funeral. Especially the funeral of the man I love.

“Maksudnya?” tanya Tito yang masih tidak mengerti ke arah mana pembicaraan Jameka. Mungkin kepalanya yang agak pusing akibat flue menghambat kinerja otaknya.

Beruntungnya, Jameka mau menerangkan, “Gue nggak bisa lagi ada di titik di mana gue harus nyaksiin dia sekarat, terus tiba-tiba nggak ada, terus gue baru dikabarin tiga hari setelah dia meninggal. Gue nggak mau! Gue nggak mau ada kejadian kayak gitu lagi!”

“Sebentar, Jameka. Lo lagi bahas River Devoss?” tanya Tito gagal paham. Memang ada angin, hujan, petir, dan guntur tadi pagi, tetapi kenapa tiba-tiba jadi River?

“Gue lagi bahas lo, Tito!”

“Gue? Apa hubungannya sama River? Gue aja kagak kenal dia. Jangan nuduh gue sembarangan, dong.”

Air mata Jameka sontak berhenti berproduksi, tetapi amarahnya kembali. “Lo tolol, ya, To?”

“Sorry, kepala gue lagi pusing, Jameka.”

Secara kasar, Jameka lekas-lekas mengelap sisa-sisa air matanya di pipi. “Percuma gue terangin. Lo lagi tolol. Lebih baik gue balik aja.”

Jameka beranjak turun, tetapi Tito menariknya untuk didekap lagi. “Bentar, jangan gitu, dong. Coba jelasin pelan-pelan biar gue paham.”

Masih dengan wajah marah, Jameka menatap Tito sejenak, mencari letak kejailan di mata pria itu, tetapi tidak ketemu. Tito serius, sama seriusnya seperti dirinya sekarang. Wajah keras Jameka pun melunak. Dengan sepelan-pelan mungkin, ia mencoba membuat pria ini paham maksud perkataannya. “Just, don’t say that again, To. Tolong jangan bilang pengin nulis surat wasiat lagi, seolah-olah lo mau meninggal. Gue nggak bisa.”

“Nggak bisa?” ulang Tito. “Itu cuma keluhan, bukan berarti beneran.”

Kali ini kepedihan Jameka bangkit lagi. Ia menarik napas berat sebelum kembali menerangkan, “Iya, gue tahu itu keluhan. Tapi gue nggak bisa kalau harus ada River Devoss jilid dua. Lo boleh jailin gue sesuka lo. Lo boleh bikin gue marah-marah sesuka lo. Lo boleh ngucir rambut gue pakai karet gelang bekas ngaretin stirofoam makanan atau ngucir rambut gue pakai kaus kaki lo, gue nggak masalah. Lo boleh nyuekin gue, jauhin gue, bahkan lo boleh nikah sama siapa pun, nggak apa-apa, To.

“Asal lo sehat-sehat, berumur panjang, sampai jadi kakek-kakek yang jalannya bungkuk dan harus pakai tongkat sambil megang cerutu dan bau balsem. Pokoknya jangan ngomongin soal wasiat! Gue nggak bisa. River udah cukup, To. Gue nggak mau ditinggal meninggal sama cowok yang gue cintai lagi. Gue nggak mau menghadiri pemakaman cowok yang gue cintai lagi. Gue nggak akan sanggup kehilangan dua kali. Gue nggak mau lo kayak River. Lo harus tanya Papa sepanik apa gue semalam waktu tahu lo demam. Pikiran dan hati gue langsung konek ke River. Gimana kalau lo kayak Riv—”

Tito membungkam mulut Jameka menggunakan mulutnya. Akhirnya ia paham maksud Jameka. Wanita itu rupanya mengkhawatirkannya dari semalam, menungguinya dari pagi buta di saat tubuhnya sendiri butuh perhatian dokter, dan sekarang mengaku tidak mau kehilangannya. Itu karana Jameka mencintainya. Meski kepala Tito pening akibat flue, tetapi sekarang ia tidak sedang tidur, mabuk, bermimpi, atau berhalusinasi. Pendengarannya seratus persen berfungsi, tidak keliru dalam menerjemahkan kata-kata Jameka. Kejadian ini benar-benar nyata sedang dialaminya.

Tito tidak peduli lagi soal hubungan wanita itu dengan Kevino atau pria mana pun. Dari kemarin ia sudah membuat pengecualian bagi Jameka dengan mengesampingkan traumanya di masa remaja. Bahkan sekarang ia agak berada di pihak selingkuhan ibunya yang jelas-jelas salah. Mungkin dulu selingkuhan ibunya juga tidak bisa lepas dari ibunya karena terlalu mencintai ibunya. Mungkin mereka belum menemukan jalan untuk bersama karena ibunya terikat oleh ayahnya.

Bersama Jameka, berdua saja dengannya, semuanya terasa benar. Atau memang cinta yang membuatnya demikian; mengaburkan hal salah dan hal benar, merobohkan tembok logika dan perasaan. Tito tidak peduli dengan semua itu karena sungguh-sungguh mencintai Jameka.

“Tito,” bisik Jameka sembari menyentuh bibirnya lalu menyentuh pipi Tito.

“Gue juga cinta sama lo, Jameka Michelle. Gue bahkan udah bilang itu berkali-kali. Tapi lo nggak percaya.”

“Gimana gue bisa perca—”

Sekali lagi Tito membungkam mulut Jameka menggunakan mulutnya. “Let me finish my words first, Sayangku. Setelah itu lo baru boleh bantah sesuka hati lo. Asalkan lo dengerin gue dan tolong percayai setiap kata yang gue omongin sampai selesai,pinta Tito.

Jameka sempat berpikir sebaiknya ia percaya atau tidak. Namun, pada akhirnya ia mengangguk—memutuskan mempercayai Tito—dan membiarkan pria itu mengusap air matanya.

“I’ve love you, Jameka Michelle. Gue nggak tahu sejak kapan atau gimana tepatnya. Tapi tahu-tahu perasaan gue ke lo udah meluap-luap. Kepala gue rasanya kayak disiram air panas setiap lihat lo sama Si Bang Ke. Gue jadi makin rajin bikin lo marah, gue suka banget lihat lo ketawa lepas, dan gue suka ngelakuin hal-hal kecil atau apa pun itu sama lo. Mungkin gue udah jatuh cinta sama lo sejak dulu. Dan baru sadar kenapa gue nyimpen kartu ATM gue bekas lo cium, ada lipstik lo di sana.”

“Se-serius, To?” tanya Jameka, tak percaya Tito menyimpan ATM kadaluarsa bekas ia cium. Ia ingat mereka berbelanja di Summertown, Oxford, menggunakan yang di ATM Tito kala itu.

“Iya, dan kartu itu gue bawa ke mana-mana sampai sekarang seolah-olah itu jimat. Gue selalu punya alasan bagus buat nyangkal perasaan gue. Harus mikir siapa lo yang notabene kakaknya bos gue. Bos yang nolong gue dan bisa bikin gue sampai kayak sekarang. Maksud gue, pantaskah gue balas budi sama Bos dengan jatuh cinta sama kakaknya? Itu kurang ajar banget, Jameka. Dan gimana seandainya kalau Bos tahu gue jatuh cinta sama lo? Gue yakin sekarang nggak akan ketemu lo lagi.

“Tapi belakangan ini, makin kita deket, makin gue tahu bentuk hubungan lo sama Kevino, perasaan gue makin nggak bisa dikontrol. Sampai ngaruh ke tindakan gue yang nggak bisa dikontrol. Udah nggak logis lagi. Lo udah denger pengakuan gue soal yang ngempesin bannya si Bang Ke saat kalian pertama kencan. Atau gue yang buntutin lo nonton sama dia dan gue lempar-lemparin popcorn ke dia. Tapi waktu itu gue masih ngasih alasan logis karena Bos nyuruh gue jagain lo. Walau sebenernya tanpa disuruh Bos sekalipun, gue akan dengan senang hati jagain lo.”

“Tapi lo nonton sama Carissa, To,” bantah Jameka.

“Ya. Alasan gue nonton sama Carissa waktu itu sebagai alibi, biar lo dan semua orang nggak bisa nebak perasaan gue ke lo, Jameka. Tapi setelah kelakuan gue yang malu-maluin di Samarinda itu, Bos nyuruh gue berhenti jagain lo. Dan lo harus tahu gimana hancurnya perasaan gue waktu itu. Gue jadi nggak punya alasan gangguin lo sama si Bang Ke. Makanya gue ungkapin perasaan gue ke lo di rumah Om Alle. Lengkap dengan alasan gue nggak ada hubungan apa-apa sama Carissa. Tapi lo malah sibuk bahas Carissa. Nyalahin tindakan gue. Lebih milih women support women.”

“Tapi lo akhirnya milih Carissa, To,” sela Jameka.

“Ya! Tapi itu cuma buat manas-manasin lo. Gue emosi karena lo nolak gue dan lebih milih si Bang Ke waktu itu,” aku Tito. “That was childish and fucking stupid, I know. Itu tindakan tertolol yang pernah gue ambil dan sama sekali nggak bijaksana.

Jadi, alasan Tito memacari Carissa hanya karena emosi sesaat? Bentuk kemarahan Tito padanya? Jameka merenguni itu, tetapi kembali menemukan ironi. Namun, sebelum ia mengungkapkan penyangkalan dari pengakuan Tito, pria itu lebih dulu bisa membaca pikirannya.

“Dan seandainya ada niatan gue pengin nikah, gue pastiin cuma pengin nikahin lo, Jameka Sayangku. Lo bisa pegang omongan gue. Karena setelah gue putusin Carissa, gue nggak mau jadi bodoh lagi dengan macarin atau extremely nikahin cewek lain hanya karena lo balikan sama si Bang Ke.”

“Putus? Lo udah putus?” tanya Jameka benar-benar kaget. “Sejak kapan, To?”

“Sejak kita jadi anak SMA.” Tito lantas menceritakan kronologi sebenarnya.

“To, gue—”

“And yes, I kissed you. Basically we kissed and more than a kiss that night. Gue biarin kita ngelakuin lebih daripada ciuman dalam keadaan nggak sadar sepenuhnya. Gue pikir emang lagi mabuk sampai-sampai bisa bikin gue mimpiin atau halusinasiin lo, dari keinginan gue yang paling dalam. Ya, gue seputus asa itu sampai-sampai ngebiarin itu kejadian. Tapi ini bukan tentang gimana kita muasin satu sama lain. Lo ngaku cinta gue di malam itu Jameka,” potong Tito berapi-api. “Dan gue seharusnya nggak cium lo dua kali barusan karena lo masih sama Si Bang Ke. Gue kesampingin pikiran gimana caranya orang bisa cinta sama dua cowok sekaligu—”

Gantian Jameka yang membungkam mulut Tito menggunakan mulutnya. Rupanya cara ini terbukti ampuh untuk menghentikan Tito bicara.

“Tito, gue nggak balikan sama Kevino,” ucap Jameka.

“Nggak balikan?” tanya Tito dengan tampang serius, “tapi gue lihat lo bareng dia waktu jenguk Carissa. Dan kata si Bujang, lo, Om Alle, sama si Bang Ke sempat makan siang bareng. Gue pikir mungkin aja kalian bahas pernikahan atau hal semacam itu.”

“Jadi, lo minta Bujang buat mata-matain gue?” tuduh Jameka.

Tito langsung gelagapan. “Ya, itu, soalnya, itu, anu—”

“Kenapa lo nggak telepon gue langsung? Biasanya lo nggak akan mikir dua kali buat nanya ini, nanya itu, nuduh ini, nuduh itu, ngomong ceplas-ceplos, jelek-jelekin Kevino,” tandas Jameka yang otomatis memotong perkataan Tito.

“Gue nggak mau bikin lo nangis lagi, Jameka. Gue mikir kalau emang lo cintanya sama Si Bang Ke. Sedangkan ke gue? Ya, kita kayak gitu-gitu aja dari dulu, kan? Jadi, gue pasrah. Cuma bisa lihat lo bahagia dengan pilihan lo dari jauh.”

“Itu namanya tebak-tebakan tolol, To. Gue emang bareng Kevino jenguk Carissa. Dan, ya, gue, dia, sama Papa sempet makan bareng. Tapi bukan berarti gue balikan sama Kevino. Kami juga sama-sama nggak ada niat balikan. It’s over.”

What?” Tito benar-benar menganga. “Jadi, kita—itu—malam itu—nananina, kita—sialan! Kenapa tiba-tiba gue nggak bisa ngomong lancar begini?”

“Ya, malam itu gue nekad ke kamar lo. Mikir cuma malam itu aja gue sama lo. Soalnya lo mau nikah sama Carissa. Gue udah ngerasa bersalah banget sama lo, Carissa, dan diri gue sendiri. Maksud gue, seorang gue, seorang Jameka Michelle yang kata orang-orang cantik, cerdas, dan kariernya mentereng, bisa dapet cowok mana aja, cuma tinggal comot aja kalau dia mau, tapi lebih milih manfaatin cowok mabuk yang dicintainya. Cowok mabuk yang udah punya cewek dan bakal nikahin cewek itu. Itu kayak .... Are you insane, Jameka Michelle? Really, you did that for Tito Alvarez? Secinta itu lo sama dia sampai bertindak nggak logis kayak gitu?”

Tito kembali membubuhkan bibir di bibir Jameka setelah tertawa kecil. “Lo secinta itu sama gue, Jameka?” godanya.

“Lo tolol, To!” hardik Jameka dengan wajah malu-malu.

“Ya ampun, nggak nyangka lo secinta itu sama gue.” Tito menggeleng sambil memandangi Jameka, jelas merasa bangga pada dirinya sendiri.

“Lo aja nggak nyangka, gimana gue? Gue juga nggak nyangka banget. Jujur ya, gue berkali-kali nyuruh diri gue jatuh cinta sama Kevino. Ayolah, Jameka. Jatuh cinta sama Kevino aja. Kurangnya dia apa, sih? Tapi gue nggak bisa. Tiap gue nyuruh losin hati gue buat Kevino, lo selalu muncul dipikiran gue. Gimana kalau seandainya gue beneran hamil anak lo waktu itu. Kan, nggak lucu! Gue sama Kevino, lo sama Carissa, tapi gue hamil anak lo. Karena gue ngiranya kita nananina waktu gue mabuk. Dan lo bilang kita nggak pakai pengaman.”

“Padahal gue kagak ngapa-ngapain lo. Terus ngapain gue pakai kondom? Lagian di malam lo nekat karena secinta itu sama gue, kita juga nggak pakai kon—”

Tangan Jameka membungkam mulut Tito. Jadi, si Kadal Sawah yang sangat dicintainya ini punya bahan olok-olokan baru yang bisa membuat pipinya naik dengan sendirinya? Kurang ajar sekali, tetapi Jameka suka. “Jadi, lo nggak ngajak Carissa nikah?” tanyanya untuk mengembalikan fokus pembicaraan mereka.

“Kagak. Kan, gue udah bilang kalau udah gue putusin di malam kita jadi anak SMA. Setelah lo ngasih hadiah kecil di pipi gue yang bikin gue yakin lo udah mulai buka perasaan ke gue. Tapi dia tiba-tiba nongol di basecamp nebeng si Bujang. Pada saat itu gue cuma mikirin lo. Tapi dia malah tantrum, nggak mau diputusin sampai jatuh dan tulangnya retak.”

“Tapi dia bilang dia jatuh dari tangga basecamp itu gara-gara saking antusiasnya denger lamaran lo. Saksinya Kevino sama Bu Fifian.”

“Ya ampun .... Jameka, lo boleh tanya sama si Bujang soal itu. Dia juga saksi hidup. Biar dikira nggak kong kali kong sama si Bujang, gue teleponin dia sekarang, terus lo yang tanya sendiri.”

Tito baru saja akan mengambil ponsel di tasnya yang ditaruh nakas, tetapi Jameka menahannya. “Tito, I trust you. I chose to trust you, all you’ve said.”

Senyum Tito mengembang dan menatap Jameka penuh cinta serta kasih sayang. “Gue rasa gue berhasil.”

“Berhasil?” tanya Jameka.

“Taming the boss. Gue sukses meluluhkan sang bos yang satu ini,” ungkap Tito dengan bangga. Ia sudah memegang leher Jameka sembari memajukan wajah untuk mencium wanita itu, tetapi Jameka menghentikannya. “What?” protesnya.

“Lo lagi flue! Entar gue bisa ketularan, ya!”

“Udah gue cium berkali-kali juga kenapa baru sekarang protesnya? Tolong jangan rusak selebrasi gue, Sayangku!”

Tawa Jameka mengudara. “Come here. Pokoknya kalau gue flue, kita berdua sama-sama tahu siapa yang harus disalahin.”

“Yes, Boss,” kata Tito sebelum meraih leher Jameka dan membubuhkan bibir ke bibir wanita itu. Baru saja lidahnya akan menyelinap ke mulut Jameka, tetapi Jameka menarik diri. “Apa lagi?” protes Tito.

“Sebenernya kemarin Carissa ke sini jenguk gue.”

“Gue udah nggak ada hubungan apa-apa sama dia, Sayangku. Gue jamin itu.”

“Gue tahu. Tapi, gue kasihan sama dia.”

“Gue juga kasihan sama dia. Tapi udahlah. Stop ngomongin orang lain. Bisa kita fokus ke kita aja sekarang? I really want to kiss you, Sayangku Jameka Michelle.”

“Just kiss?”

“Kita lagi di rumah sakit. What do you expect? Kita nananina?”

“Ih! Siapa juga yang mau nananina.”

“Jangan gitu. Entar gue bikin banjir kayak malam itu, lo minta tambah.”

“Tolol,” ejek Jameka sembari tersenyum sebelum melingkarkan lengan-lengannya pada leher Tito dan melabuhkan bibir pada pria itu. “I love you stupid bastard.”

“I love you, Boss.”

____________________________________________________

Ini kan yang kelen mau? Ini kan? Hayo ngaku siapa yang ikutan berkembang-kembang? 🙈

However thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.

Well, Bonus foto Jameka Michelle

Tito Alvarez

See you next chapter teman-temin

With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima

Jumat, 27 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro