Chapter 47
Selamat datang di chapter 47
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“I looked at him as a friend. Until I realized I love him.”
—Jameka Michelle
____________________________________________________
Tito bersendawa, menandakan dirinya kenyang. “Enak banget .... Tapi lebih enak lagi kalau ditambah sama ayam goreng krispi,” komentarnya sambil memegangi perut, tak memedulikan Jameka yang menatapnya ngeri. Wanita itu pasti sedang membayangkan ayam digoreng. “Udah kenyang gini jadi ngantuk, Jame,” lanjut Tito sembari menguap.
Sungguh mengherankan. Padahal belakang ini Tio insomnia parah. Dengan ajaib sekarang rasa kantuk mendatanginya. Ini pasti akibat akumulasi badannya yang pegal-pegal, pikirannya yang lelah, ditambah hatinya yang sudah mengikhlaskan segala hal—baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi—antara dirinya dan Jameka.
Kata orang, setelah melakukan serangkaian usaha, ikhlas dan memasrahkan segalanya pada Sang Pencipta adalah kunci. Tito sekarang telah membuktikannya. Bagian paling penting, Jameka ada di sisinya dan tidak ada satu pun yang mengganggu mereka saat ini. Tito harus mengakui itu, bila mereka hanya berdua, semuanya terasa tepat; tak peduli mereka saling mengolok-olok, saling mencemooh, saling melindungi, atau saling memuaskan.
Oke. Sepertinya ia harus menghapus pendapat yang terkahir.
“Pulang sana. Jangan tidur di sini, To,” usir Jameka.
Bukan Tito namanya kalau tidak membantah omongan Jameka, kan?
“Gimana kalau lo tidur sofa tunggal yang bisa dijadiin selonjoran itu, selagi gue tidur di ranjang lo?”
“Gimana?” Jameka memasang telinga baik-baik, mengira mungkin keliru mendengar perkataan Tito.
“You heard exactly what I said, Boss,” balas Tito malas. Lagi-lagi ia menguap sambil naik ke ranjang sempit rumah sakit lalu merebahkan diri dengan posisi miring menghadap Jameka.
“Heh! Gue yang abis operasi. Kok, jadi lo yang tidur sini?” Tito memang sudah tidar waras, pikir Jameka yang terpaksa menggeser duduknya.
“Bentar doang. Lima menit aja. Gue ngantuk banget,” tawar Tito sambil menguap lagi. Matanya sudah terpejam. Pengaturan ranjang pun sudah disetel landai. Sudah sangat siap untuk pergi ke alam mimpi.
“To, pindah di kasur yang buat jaga sana. Jangan di sini. Sempit, tahu.”
Tito tidak bergerak atau merespons. Napas pria itu malah berubah teratur, kemudian terdengarlah dengkuran pelan.
“Kok, bisa, sih, baru gue ajak ngomong, lo langsung senyenyak ini?” Jameka bermonolog lantaran heran. Ia memperhatikan wajah Tito yang terlelap. Tampak damai seakan-akan tanpa beban. Jauh berbeda dengan dirinya. Dengan jarak sedekat ini, jantungnya berdegup kencang seperti baru saja lari cepat. Tanpa ia sadari, tangannya bergerak sendiri untuk menyugar rambut yang menutupi dahi Tito. “Rambut lo udah agak panjang, To. Mau digondronginkah?”
Jameka pun tidak sadar telah menyusuri tindik-tindik di wajah Tito. “Biar apa, sih, dikasih ginian? Lo kayak jamet, tahu, To,” gumamnya lagi sambil tertawa kecil dan menowel-nowel pipi Tito. Pria itu masih tidak merespons dan masih mendengkur pelan.
Sekali lagi Jameka menekuri tindik-tindik Tito. Saat mencapai tindik di bibir bawah pria itu, ia tak sengaja mengingat rasa ciuman Tito. Lingkaran logam tersebut terasa dingin saat membalut bibirnya sekaligus menjadi semacam penambah dorongan gairahnya kala itu, sampai-sampai bisa membuatnya basah kuyup. Pengalaman luar biasa yang baru pertama kali didapatkannya.
Jameka tak seharusnya kaget. Jam terbang Tito dalam hal memuaskan lawan jenis memang sudah tinggi. Namun, selain indra pengecap, dengan tindik di bibir bawah Tito yang digunakan sebagai senjata pembentuk vortex di lipatan inti tubuhnya, pria itu menjadi berada di level lebih tinggi menurut Jameka.
Jameka menggeleng supaya tidak memikirkan malam itu. Bagaimanapun ia sudah berjanji, setelah tindakan nekatnya malam itu, semuanya sudah berakhir. Entah dalam keadaan sadar atau tidak, Tito juga sudah menyetujuinya. Hanya malam itu saja, mereka saling memiliki. Buktinya sampai sekarang tak ada satu pun di antara mereka yang membahas hal tersebut. Bukankah itu sudah jelas juntrungannya?
Sekarang, Jameka hanya boleh menikmati waktu bersama Tito seperti sedia kala tanpa embel-embel perasaan cinta. Meskipun tentu saja sulit melakukannya di saat setiap pergerakan barang secuil pun yang dilakukan pria itu menambah kadar cinta Jameka. Seperti saat pria itu memeluknya tadi, saat ia menyuapinya, bercanda dengannya, atau saat Tito mengucir rambutnya. Hal-hal kecil yang tak luput dari perhatian Tito menambah kadar cinta Jameka. Bukan berarti orang lain tidak mampu melakukan hal-hal itu untuknya, tetapi lebih ke bentuk kepedulian tersebut yang membuat Jameka amat menyukai Tito.
Lagi-lagi Jameka merasa miris kala mengingat pria yang berbaring di sampingnya kini sebentar lagi akan menikah dengan wanita lain. Wanita yang Jameka kenal sebagai wanita baik-baik meski agak dramatis. Wanita polos yang belum ternoda. Cocok bagi kehidupan berumah tangga. Dibandingkan dengan dirinya, Carissa jelas menjadi pilihan yang tepat bagi Tito. Seharusnya Jameka tak perlu penasaran alasan Tito memilih Carissa untuk dijadikan istri, bukan?
Jameka hanya cocok untuk bersenang-senang sesaat, tidak serius, lebih-lebih bagi Tito. Mungkin Tito mengira hatinya sekeras wataknya, yang tak masalah dipermainkan. Namun, ia tidak akan menyalahkan Tito. Dirinya sendiri yang menciptakan figur demikian di mata pria itu.
Jujur dari lubuh hati paling dalam, Jameka iri sekali dengan Carissa. Wanita itu pasti nanti akan merasakan pelukan Tito setiap hari, bangun di samping pria itu setiap hari, juga selalu terpenuhi kebutuhan biologisnya oleh Tito. Sedangkan dirinya? Akan tua dan sendirian. Tak mungkin ia akan berdekatan dengan Tito lagi bila pria itu sudah menikah dengan Carissa, bukan? Bila posisinya dibalik, Jameka tentu tak akan sudi suaminya berdekatan dengan wanita lain—kendati wanita itu sahabat suaminya yang lebih dulu dikenal.
Secara pelan dan penuh kehati-hatian, Jameka beranjak dari kasur. Ia merapikan selang infusnya yang terpelintir sedikit. Kemudian ia menyelimuti Tito. “Selamat tidur, To. Have a great dream. I hope you will be happy.”
♪♪♪
“Pa, aku punya ide,” pungkas Jameka seusai makan malam yang tidak dihabiskannya. Dokter baru memeriksa kondisnya beberapa menit lalu. Ia sendiri belum mengantuk meski sudah minum obat. Jadi, ia ingin mengobrol dengan papanya, menyalurkan unek-uneknya.
“Ide apa, Jame?” tanya Allecio yang duduk di kursi, sedangkan Jameka duduk bersila di sofa tunggal.
“Aku mau ngelatih si Bujang.”
“Bujang? Ngelatih buat apa?” tanya Allecio bingung sekaligus penasaran. Tiba-tiba sekali membahas Lih Gashani. Ada apakah gerangan?
“Pengin aku jadiin pegawai yang mumpuni banget di Heratl.”
“Bagian?”
“Direktur pusat.”
Allecio spontan memegangi kepala. “Nggak segampang itu, Nak. Ada banyak kepala divisi di Heratl pusat yang jauh lebih berpengalaman. Papa rasa malah semuanya lagi lomba biar naik jabatan dengan nyari ide-ide baru dan inovatif buat Heratl. Kenapa nggak nunjuk salah satu dari mereka aja?” usul Allecio logis.
Demi Neptunus! Lih baru bergabung di Heratl. Tak mungkin pria pendiam itu bisa mengatasi semuanya. Lebih-lebih harus berbicara di depan umum dan menguasai panggung, Allecio menduga Lih bisa pingsan kapan saja.
Walaupun sudah pensiun dan sangat percaya pada Jameka, diam-diam Allecio juga memantau perkembangan Heratl. Masih ada beberapa karyawan yang menghubunginya untuk meminta saran mengenai perusahaan.
“Aku tahu, Pa. Tapi coba Papa lihat lagi. Banyak dari kepala divisi yang udah berumur. Aku nggak ragu sama pengalaman mereka. Tapi buat ketajaman berpikir, keluwesan fisik, sama ngikutin teknologi terbaru, aku rasa kurang. Maaf, aku harus jadiin Papa sebagai contoh. Papa, aku nggak ragu pengalaman Papa di perusahaan. Papa yang bangun perusahaan itu dari nol. Udah ngalamin pasang surut, untung dan rugi miliaran.
“Tapi buat ketajaman berpikir? Aku nggak akan tega minta Papa harus mikir yang terlalu berat. Fisik? Udah nggak seluwes zaman muda dulu. Teknologi? Papa bahkan masih minta tolong aku gimana caranya ngasih emotikon buat balas pesan. Apalagi yang lainnya, yang sampai sekarang bakal terus berkembang. Sama kayak para pimpinan divisi yang sebaya Papa.”
Allecio otomatis menipiskan bibir sebab yang diucapkan putrinya memang benar. Di usianya yang sekarang, ia hanya ingin menikmati hidup; memancing, bercocok tanam seperti yang diajarkan Tito, dan mengerjakan hobi lainnya. Jujur, ia sudah lelah bergelut dengan Heratl selama lebih dari empat puluh tahun.
Allecio mendengar putrinya berkata lagi. “Udah saatnya kita ngasih kesempatan bagi yang muda-muda buat maju, Pa. Makanya aku mau ngelatih Bujang dari sekarang. Public speaking dan lain-lain.”
“Tapi menurut Papa, nggak harus seratus persen langsung dari anak muda. Coba pikirkan lagi, Jame.”
Mereka diam beberapa saat karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Jameka lantas memejam sambil mengangguk-angguk. “Aku rasa Papa ada bentulnya. Nggak seratus persen harus diganti. Gimana kalau dibikin kombinasi? Ketua divisi tetap yang berpengalaman, tapi untuk wakilnya, kita butuh yang muda-muda kayak si Bujang. Masing-masing tim juga harus kita buat umur merata. Aku pengin semua kerja sama, nggak ada senioritas. Tapi tetap saling menghormati.”
“Papa setuju, Jameka. Tapi kalau kamu langsung bikin kayak gitu, pasti banyak yang protes. Nggak semua orang tahan sama perubahan.”
“Ya nggak detik ini juga. Pelan-pelan ganti formasinya. Bertahaplah, Pa. Kita juga nggak bisa langsung evaluasi kinerja orang dari satu hari kerja dia. Langsung pecat sana, terus comot sini buat gantinya.”
“Masuk akal. Selagi itu bisa bikin Heratl lebih jaya, pasti Papa dukung. Tapi kenapa kamu tiba-tiba punya pikiran ini?”
“Sebenernya nggak sengaja. Tito tadi bilang sebaiknya kita ngasih kesempatan Bujang buat buktiin kalau dia bisa kerja dengan baik di Heratl.”
Allecio sontak melihat Tito yang masih tidur pulas di ranjang Jameka. Saat kembali dari kafetaria di lantai dasar tadi, ia sempat terkejut, tetapi tidak benar-benar heran. Tito memang mirip kucing yang bisa tidur di mana saja dan kapan saja. Ia juga dapat memakluminya, berpikir sangat besar kemungkinannya pria itu jet lag dan sangat lelah. Apalagi dari bandara langsung kemari, tidak beristirahat dulu. Beruntungnya ada satu kasur yang ia gunakan untuk tidur di malam hari, yang termasuk fasilitas kelas VVIP untuk keluar pasien. Bisa digunakan Jameka. Kalau tidak, ia pasti sudah mengusir Tito seperti menggusah ayam.
“Itu bagus, Jame. Tapi Papa khawatir. Apa Bujang mau dan nyaman atas saran kamu? Papa lihat dia makin pendiam aja akhir-akhir ini. Mukanya mengkeret gitu, mau nolak kayak sungkan,” komentar Allecio lagi yang berusaha melihat dari berbagai sisi. “Papa justru khawatir, kalau kita dorong Bujang terlalu keras, dia bakal tertekan. Kamu ingat adikmu, kan? Gimana Papa nekan dia dulu?”
“Iya juga, sih. Tapi gimana, ya, Pa? Potensi si Bujang itu ada. Bahkan besar kalau aku perhatiin lagi. Contohnya kerja dia hari ini sendirian, nggak ada aku atau Tito. Dia laporin semua ke aku dan sama sekali nggak mengecewakan, Pa. Awal yang bagus. Selain itu kita juga butuh orang kepercayaan yang bisa bantu Heratl. Satu-satunya calon yang paling aku harapin cuma si Bujang. Buat jaga-jaga juga, contohnya kayak kondisiku sekarang, pasti butuh orang kepercayaan yang gantiin, kan? Siapa yang harus aku andalin selain Bujang?”
Allecio manggut-manggut menelaah penjelasan putrinya. Ia sendiri juga heran sekaligus bangga. Di saat masa istirahat seperti ini, putrinya masih saja memikirkan Heratl. Pintar membaca peluang. Sifat pemimpin sejati. Namun, ia juga kasihan pada Jameka. Seharusnya putrinya itu sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri, fokus dengan keluarga kecilnya. Namun, Jameka masih melajang sampai sekarang seolah-olah sedang meniti karier. Padahal karier Jameka sudah terang benderang—walau tentu saja ada latar belakang yang mendukungnya.
Maka dari itu, Allecio mengusulkan, “Ngomongin soal calon, Papa rasa kamu juga harus bikin calon penerus dari darah dagingmu sendiri, Nak.”
Jameka tersenyum, miris. Bukankah papanya sudah tahu cerita percintaannya, kecuali bagian Tito? Kenapa malah bertanya demikian?
“Papa tahu, kan, kondisiku kayak gimana?” bisik Jameka pilu.
“Apa Kevino ada kemungkinan—”
“Nggak ada, Pa,” potong Jameka yang sudah tahu ke mana arah pembicaraan papanya. Perjodohan antara dirinya dan Kevino sudah jelas tidak berjalan sesuai rencana. Seharusnya papanya dan keluarga Eclipster menerima kenyataan itu.
“Dia, Bianca sama Davis tadi ke sini jenguk kamu, Nak.”
“Aku tahu, tapi nggak ada kemungkinan, Papa. Tolong jangan berharap. They are just being nice,” bisik Jameka di kalimat terakhir. Lalu ia menegaskan suara lagi. “Lagian, penerus nggak bisa tiba-tiba kita sulap simsalabim terus jadi ada. Rahimku baru aja diperbaiki, Papa. Masih harus lihat enam bulan ke depan, ini bisa berfungsi dengan baik atau enggak.
“Kalaupun bisa berfungsi dengan baik—mudah-mudahan, tapi nggak bisa detik ini juga tiba-tiba ada penerus, kan? Anakku nanti, pasti butuh waktu yang lama banget buat gabung Heratl. Kira-kira di atas umur dua puluh lima tahun, kan? Mungkin aja anaknya Jay nanti bisa ikutan gabung juga. Tapi, maksudku, buat ngisi kondisi mendesak kayak gini atau beberapa tahun yang kosong itu, kita sebaiknya jadiin Bujang sebagai calon pegawai jempolan kita, orang kepercayaan kita. Nggak freelance lagi.”
“Gimana sama Tito?”
Gantian Jameka yang spontan melihat Tito. Selimut pria itu tersingkap. Dari posisi tidur melingkar seperti kucing, Tito tampak menggigil. Tanpa ada perintah dari otak, Jameka beranjak sambil menjawab papanya. “Aku lebih nyaman dia jadi asistenku.” Lalu ia menyelimuti Tito dan tak sengaja menyentuh lengan pria itu.
“Bukan itu maksud Papa, Nak.”
Jameka tidak konsentrasi dengan apa yang dimaksud papanya karena sibuk memeriksa dahi Tito. “Pa, badannya Tito panas banget. Gimana ini?” tanyanya mulai panik.
Allecio beranjak dan mengecek dahi Tito, sama dengan yang dilakukan Jameka. “Iya, cukup panas.”
“Gimana, dong, Pa? Tito jarang sakit, hampir nggak pernah. Dia itu sekuat baja. Kenapa sekarang tiba-tiba sakit? Aku baru sadar dia pucat banget, Papa.” Jameka sungguh tak bisa berpikir logis.
“Sakit bisa nyerang siapa aja dan kapan aja, Jameka. Jangan panik. Tekan tombol bantuan itu biar petugas medis datang.”
♪♪♪
“Rasanya gue sekarat. Apa ini saatnya bagi gue nulis surat wasiat?”
“Nggak usah lebay. Kata dokter, lo cuma flue gara-gara kecapean atau ketularan orang. Imun lo lagi lemah aja makanya sampe bisa kena flue juga,” jawab Jameka tenang, setenang permukaan air laut tanpa angin. Alias tidak mungkin, itu hanya kamuflase.
Pada kenyataannya semalam Jameka cukup panik dan nyaris menangis. Meski dokter dengan sabar menjelaskan seperti yang baru dijelaskannya pada Tito, ia masih belum bisa tenang. Kemudian ia minta Tito dicek laboratorium. Hasilnya tidak ada indikasi penyakit berbahaya sesuai prediksi dokter. Benar-benar hanya gejala flue. Untuk meredakan kepanikan Jameka, Tito akhirnya diinfus dan dirawat di ruang inap sebelah ruang inap Jameka.
Pagi-pagi buta, Jameka menyelipkan kemari untuk mengecek kondisi Tito di saat papanya masih tidur. Barangkali Tito membutuhkan sesuatu, pikirnya. Sebab ia tak tahu nomor ayah Tito yang bisa dihubungi. Lih Gashani sudah pasti lelah juga setelah seharian bekerja. Arga? Entahlah, Jameka tidak seberapa dekat dengan pria itu. Pastinya tidak ada yang menemani Tito sama sekali. Kalau sudah demikian, Jameka harus mengambil inisiatif menemani Tito sebisanya. Dengan tetap memperhatikan kesehatannya sendiri.
Dan benar saja, saat kemari, Jameka mendapati Tito mengigau tidak jelas dengan suhu tubuh masih tinggi. Seolah-olah obat flue yang diberikan dokter tidak berguna bagi Tito. Ia pun memanggil dokter lagi untuk memeriksa serta merawat kondisi Tito. Setelah Tito tidak lagi mengigau dan berhasil tidur lebih nyenyak, Jameka memilih bertahan di kamar ini untuk menemani Tito. Hingga pria itu terbangun beberapa saat lalu akibat hujan deras, petir, dan guntur.
Tito menggigil sampai giginya bergemelutuk. Ia pun makin merapatkan selimut sambil menggerutu, “Tapi badan gue rasanya kayak digebukin si Bos, Jame. Sakit semua. Kayaknya gue harus nulis surat wasiat.”
“Gue geplak pala lo sekali lagi ngomong kayak gitu! Kagak ada surat wasiat-wasiatan!” hardik Jameka yang membuat Tito terlonjak kaget lalu menutupi kepalanya menggunakan selimut.
“Hi! Serem banget kalau kuntilanak merah udah marah kayak gini,” katanya takut-takut.
“Awas aja kalau sampai gue denger lo ngomongin wasiat lagi, bakal gue geplak pala lo beneran!” ancam Jameka dengan nada ketus, tetapi tidak keras.
Tito pun menggerutu lagi. “Ya ampun, dikasarin kayak gini rasanya makin pengin nulis wasiat sesegera mungkin.”
“Tito!”
“Ampun Yang Mulia Ratu Jameka Michelle Yang Agung.” Masih sambil menggigil, Tito lebih merapatkan selimut. Hanya tangannya yang mengatup memohon ampun yang dikeluarkan menghadap Jameka. Benar-benar takut ditinju dan ia hanya bisa pasrah, tidak bisa melawan karena badannya lemas.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada respons dari Jameka. Berhubung merasa janggal lantaran tak mendengar omelan, Tito mengintip sedikit untuk melihat Jameka. Wanita itu masih duduk di kursi di sebelah ranjangnya, berpakaian pasien rumah sakit sama seperti dirinya. Rambut Jameka agak berantakan, tetapi bukan itu fokus Tito saat ini.
“Jameka, kenapa lo nangis?”
___________________________________________________
However thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.
Well, Bonus foto Jameka Michelle
Tito Alvarez
See you next chapter teman-temin
With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima
Selasa, 24 Desember 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro