Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 46

Selamat datang di chapter 45

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Catherine Earnshaw, semoga jiwamu mengembara di sepanjang hidupku. Hantuilah aku! Berubahlah dalam bentuk apa pun yang kau sukai, lalu rasukilah diriku, dan biarkan aku gila karenanya!”

—Heathcliff; Wuthering Heights
____________________________________________________

“Adik gue emang tahu diri. Nggak bisa komunikasi sama siapa pun selama kerja bareng dia, tapi fasilitas yang dikasih nggak kaleng-kaleng,” balas Jameka, sangat jelas menyetujui Tito.

“Emang.” Setelah menggigit, mengunyah, dan menelan apel untuk meluruskan pikirannya, Tito berbalik tanya, “Btw, gimana reaksi si Bujang waktu denger lo mau cuti tiga hari?”

Tawa Jameka mengudara sebab mengingat wajah Lih Gashani kala itu. Atmosfer yang tergolong canggung bagi Jameka ini, telah berhasil dicairkan Tito. Sejenak Jameka merasa hatinya yang perih agak menghangat. Karena jujur saja ia juga merindukan momen seperti ini bersama Tito. Betapa ia sangat menyukai mengobrol dengan pria itu, tak peduli topik yang dipilih mereka; entah hal-hal serius, hal-hal receh ataupun hal acak.

Bersama Tito bisa jadi sangat menyenangkan, sekaligus memicu adrenalin, menunggu-nunggu kapan tepatnya penyiksaan batin ini berakhir. Kemudian didorong ke jurang dan mereka menjadi asing satu sama lain seperti saat di rumah sakit menjenguk Carissa. Namun, Jameka berpikir, selama ia berada di jalur yang tepat, dengan batasan yang jelas, pasti tidak akan jatuh ke jurang itu, kan? Dan selagi bisa mengobrol santai seperti ini dengan Tito, ia akan memanfaatkan waktunya bersama pria itu sebaik mungkin.

“Lo pasti tahulah reaksinya kayak gimana?” jawab Jameka.

“Pasti mukanya sepet banget, tapi kagak bisa nolak.” Sambil menggigit pinggiran apel, Tito juga ikut tertawa lantaran membayangkan wajah Lih.

“Kasihan, tapi gimana coba?” tanggap Jameka yang memperhatikan Tito menggigit apel agak banyak.

“Tiga hari aja kayaknya dia empet banget. Gue nggak bisa bayangin si Bujang kerja di sana berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Bisa jadi robot beneran dia.”

“Makanya lo masuk, dong, To,” titah Jameka logis.

“Kalau lo udah masuk aja. Sekali-kali nyiksa si Bujang dulu.”

“Jahat lo, To. Udah ninggalin dia seminggu lebih. Ini masih mau ditambah-tambahin. Menurut gue, justru sekarang ini waktunya lo masuk kerja gantiin gue. Sebenernya gue juga rada khawatir ninggalin si Bujang sendirian. Takut dia kurang bisa handle,” terang Jameka jujur.

Tito tak jadi menggigit apel yang sudah di depan mulutnya. “Aduh .... Gue abis tugas .... Libur tiga hari dulu kenapa? Gue percaya si Bujang bisa handle. Biarpun dia mukanya empet kayak gitu, tapi dia pasti berusaha kerja dengan baik, Jame.” Ia fokus lagi ke apelnya.

“Ini perintah dari bos lo, To. Pokoknya besok lo masuk kerja. Titik.”

Lagi-lagi Tito gagal makan apel. “Dua hari, deh. Dua hari,” tawarnya.

“Maksudnya dua hari?”

“Libur dua hari, baru masuk."

Permintaan itu, jelas langsung ditolak Jameka. “Kagak! Besok lo masuk!”

Namun, Tito masih mencoba, “Besok libur, lusa masuk.”

Sayangnya usaha Tito gagal. Jameka masih bersikukuh menolak, “Kagak, To! Besok lo masuk!”

Lagi dan lagi, Tito tak jadi lanjut memakan apelnya. “Susah banget negosiasi sama bos satu ini!”

“Emang. Gue emang susah dibelokin pikirannya.”

“Badung berarti?”

“Kagak.”

“Denial?”

“Kagak! Gue cuma pengin yang terbaik bagi Heratl. Lo tahu, kan, beberapa bulan belakangan kayak apa, tuh, perusahaan. Gue nggak mau apa yang udah kita bangun sama-sama buat bangkit lagi jadi berantakan,” jelas Jameka.

“Jameka, gue tahu. Tapi lo juga harus kasih kesempatan si Bujang buat buktiin kalau dia emang mampu.” Melihat Jameka berpikir, Tito lanjut memakan apelnya yang tinggal sedikit.

“Oke, kalau gitu tolong dampingi dia mulai besok.”

Kunyahan Tito berhenti. “Loh, kok, jadi gitu?”

“Sekarang lo pilih mana? Lo masuk kerja tanpa Bujang dan handle semua sendirian, atau lo masuk kerja, tapi cuma dampingi dia?”

“Kampretlah! Kagak ada yang bener pilihannya," gerutu Tito yang akhirnya melempar apel ke tong sampah di pojokan dan masuk. “Kenapa rata-rata bos sifatnya pada kayak lo?” cemoohnya sambil mengelap tangan dan mulut menggunakan tisu kering.

“Sifat apa yang lo maksud?” tanya Jameka agak tersinggung dan tiba-tiba energinya terisi.

“Kagak bisa dibelokin!”

Jameka jelas membela diri. “Itu namanya tegas, To. Tegas dan powerfull itu perlu banget kalau jadi bos. Kalau gue menye-menye, lembek kayak tempe, entar gampang dikibulin sama pegawai-pegawai gue yang mau ngerusuh. Disaranin ini, itu, manut-manut aja. Kalau nggak bisa baca peluang sama efisiensi keadaan, bisa gawat. Gue kagak mau ada Heratl diambang kebangkrutan jilid dua.”

Tito mengabaikan Jameka dan masih terus menggerutu, “Satu-satunya bos yang friendly dan paling fleksibel itu cuma Om Alle. Lo sama adik lo sama aja.”

“Ya udah sana kerja sama Papa!” semprot Jameka.

“Om Alle aja sekarang jadi pengangguran. Terus gue kerja apa?”

“Nanem cabe, kek, tomat, kek, ajakin nongkrong, kek, mancing ikan paus di laut, kek. Ya kayak kegiatan lo biasanya sama Papa.”

“Kalau gitu masukin gue ke kartu keluarga lo dulu, baru gue mau. Tapi gue yang jadi anak sulung.”

“Lo lama-lama ngelunjak, ya, To!” hardik Jameka. “Lagian setahu gue, satu-satunya pegawai yang paling enak itu lo, To. Masuk tinggal masuk. Mau libur juga seenak jidat lo bisa digantiin Bujang. Belum lagi kalau si Bambang manggil lo dadakan kayak minggu kemarin itu, lo langsung gas ke Beijing tanpa bilang-bilang gue yang notabene bos lo! Tapi gaji lo tetep ngalir dari Heratl sama dari adik gue. Kurang enak apa lo? Sekarang gue suruh lo masuk mulai besok, bukan detik ini juga, masih aja dinego. Kalau orang lain, udah pasti gue depak dari Heratl.”

Bukannya merasa tersinggung atau marah atas omongan Jameka, Tito malah tertawa terbahak-bahak.

“Nah, kan, kumat, nih, manusia,” sindir Jameka dengan tampang bingung sekaligus jengkel. “Kenapa, sih, malah ketawa gitu?”

“Lo lucu, Jameka.”

“Lucu? Lo kira gue pelawak yang lagi hibur lo?” Jameka jelas tersinggung. Pasalnya mereka sedang membicarakan hal serius. Bisa-bisanya Tito malah makin terbahak-bahak.

“Iya, lo pelawak. Menghibur gue pakek bangeeet .... Hahaha!”

“Lo kesambet apa gimana, sih, To?” Kok, bisa, ya, orang kayak gini bikin gue jatuh cinta sekaligus patah hati? Kok, bisa? Jameka sampai heran sendiri. Memang dirinya sudah gila. Namun, bukankah cinta memang demikian?

♪♪♪

“Permisi, saya mau turun di lantai ini,” ucap Carissa kepada beberapa orang yang berdiri tepat di depan pintu lift yang terbuka.

Orang-orang tadi otomatis memperhatikan Carissa dan menyingkir untuk memberikan jalan. Beberapa dari mereka merasa kasihan lantaran melihat wanita itu kesusahan berjalan menggunakan kruk sambil membawa buket bunga. Ada juga beberapa yang ingin menolong Carissa, tetapi ingat sedang memiliki kepentingan masing-masing yang jauh lebih mendesak. Jadi, sebaiknya tetap di dalam lift yang akan naik.

“Terima kasih,” ucap Carissa lagi kepada salah seorang yang menekan tombol pintu supaya tetap terbuka. Hingga ia bisa keluar, dan pintu pun tertutup.

“Loh, bukannya kamu, Carissa?”

Carissa mendongak untuk melihat siapa yang mengenalinya. “Pak Alle?” sapa Carissa yang tak menyangka bisa kebetulan bertemu pemilik perusahaan tempatnya bekerja di depan lift. Ia mengira Allecio menunggu bosnya di kamar inap. Carissa pun mengikuti arah pandangan Allecio ke kakinya yang masih digips dan ke kruknya. “Retak gara-gara jatuh dari tangga, Pak,” kata Carissa mewakili pertanyaan di kepala Allecio yang belum sempat diucapkan.

“Saya turut prihatin. Tapi kenapa kamu malah ke sini dan bukannya istirahat? Ada Fifian, kan? Mau jenguk siapa, Carissa?”

Allecio kenal dengan Carissa karena wanita itu sudah lama bekerja di Heratl sebelum ia pensiun. Sedangkan saat hampir pensiun, Fifian baru masuk Heratl. Ia lumayan hafal dengan para pegawainya, khususnya di bagian resepsionis sebab sering disapa dan menyapa balik mereka.

“Sebenarnya saya memang masih izin cuti karena sakit, Pak. Tapi begitu dengar Bu Jameka operasi, saya jadi khawatir. Makanya mau jenguk keadaan beliau. Apa Bu Jameka lagi istirahat?”

“Oh, ternyata kamu mau jenguk Jameka.” Allecio mengangguk pelan dan lanjut mengatakan, “Nggak perlu khawatir. Jameka cuma operasi kecil, kok. Tiga hari ke depan juga udah bakal masuk kerja lagi. Dia belum tidur. Mari saya bantu kalau mau ke kamar inap Jameka.”

Carissa jadi sungkan. “Terima kasih, tapi tidak usah, Pak. Sepertinya Bapak mau turun. Saya bisa sendiri, kok, Pak.”

“Beneran?”

“Iya, Pak. Dari apartemen, naik taksi online, sampai naik lift juga tadi sendiri. Ruang inap Bu Jameka juga dekat sini, kan?”

“Ya sudah kalau gitu. Mumpung ada kamu sama Tito yang nemenin Jameka, saya turun dulu mau ngopi bentar.”

Tito? ulang Carissa dalam hati. Di waktu yang sama, dentingan tanda terbukanya pintu lift secara otomatis mengakhiri pembicaraan mereka. Allecio pamit, sementara jantung Carissa mengentak lebih kencang karena kalut. Nomor ponselnya diblokir Tito. Jadi, ia tidak tahu kabar pria itu sama sekali. Namun, menurut Fifian yang mendapat informasi dari Lih, Tito baru pulang dari Beijing hari ini. Itu berarti mantan pacarnya dari bandara langsung ke sini untuk menjenguk Jameka.

Hati Carissa panas dan sakit. Bisakah saat ini pikirannya tidak ke arah negatif?

Sebisanya, Carissa secepat mungkin berjalan ke ruang rawat inap Jameka. Sebenernya ia takut dan khawatir saat sudah di depan pintu. Namun, sewaktu mendengar percakapan antara Jameka dan Tito yang membahas kinerja Lih serta Heratl, Carissa cukup lega. Meski demikian, pikiran negatifnya belum seratus persen sirna.

Berdasarkan sopan santun, Carissa harus mengetuk pintu lebih dulu. Ketika sudah diizinkan masuk, ia baru boleh masuk. Berhubung rasa penasaran telah mengambil alih akal sehatnya, Carissa ingin menguping dan melihat mereka mengobrol secara langsung; bagaimana interaksi antara dua orang tersebut bila tidak ada orang lain di sekitarnya.

Jadi, dengan susah payah serta hati-hati, Carissa membuka pintu sedikit dan jantungnya kembali mengentak lebih kencang daripada tadi akibat melihat pemandangan di hadapannya. Seluruh tubuhnya pun terasa dingin saat menyaksikan Tito memeluk Jameka sambil bergoyang-goyang. Seperti seorang pria yang gemas pada wanita yang dicintainya. Selain itu, ia juga mendengar bosnya menjerit-jerit, “Tito! Gue nggak bisa napas! Lepasin, goblok! Infus gue entar copot, Kadal Sawah! Jahitan gue juga belum kering! Minggir!”

Dengan pandangan mata buram, Carissa melihat Tito mengacak-acak puncak rambut Jameka sebelum melepas pelukan.

“Rambut gue ..., astagaaa! Tito! Jangan rusak rambut gue!” protes Jameka yang kali ini berubah jadi rengekan sembari menyisir rambut menggunakan jari. “Papa lupa bawain peralatan mekap gue, sisir pun nggak dibawain. Jangan diacak-acak, dong!”

Carissa melihat Tito makin semangat mengacak-acak rambut Jameka. Selain itu, ia juga mendengar Tito makin menggoda Jameka.

“Utuk, utuk, utuk, kuntilanak merah kesayanganku ngambek lagi.”

“Gue geplak pala lo, ya, To!” gertak Jameka yang harus ekstra merapikan rambutnya sambil menepis tangan Tito. “Lo udah nggak waras, sumpah!”

Tito masih tertawa. Lalu Carissa memperhatikan Tito ikut merapikan rambut Jameka. Jari-jari pria itu menyisir lembut, seperti penuh kasih sayang. Jameka sekarang tidak menolaknya.

Carissa jadi berpikir, apakah Tito pernah memperlakukannya seperti Tito memperlakukan Jameka? Jawabannya tidak.

Rupanya dugaan Carissa benar bahwa Tito menyukai Jameka sehingga malam itu Tito membela Jameka mati-matian, walau penuh penyangkalan. Alasan pria itu minta putus kini terpampang jelas oleh Carissa.

Carissa menyeka air mata sehingga tatapan mata pria itu terbaca jelas olehnya; tatapan orang kasmaran. Mungkin bila orang lain yang melihat, pasti akan berpikir sama dengannya. Cuma orang bodoh yang tak menyadari sebesar apa rasa suka Tito pada Jameka kendati hanya melalui tatapan mata.

Seharusnya air mata yang kembali menetes di pipinya membuat Carissa pergi dari sana. Namun, ia tetap bertahan dalam posisinya untuk menyaksikan Tito yang kini membuka bungkusan berisi kotak makan stirofoam untuk Jameka. Pria itu menyendok kemudian menyodorkannya di depan mulut Jameka.

“Gue nggak mau pare, To!” tolak Jameka yang sudah duduk bersandar, pengaturan ranjangnya sudah disesuaikan.

“Udah gue pastiin ini kagak pahit. Gue tadi udah nyicip, Jameka.”

“Bohong lo!”

“Ck, tadi, tuh, gue cuma bercanda. Gue jamin ibu wartegnya jago masak. Pinter bikin parenya nggak pahit.”

“Ngibul banget! Coba lo makan dulu.”

“Oke, tantangan diterima. Lihat, nih, gue makan.” Sesendok makanan yang disodorkan Tito telah ia suapkan ke dirinya sendiri. “Hm ..., gurih. Nggak pahit sama sekali,” gumam pria itu yang mengunyah sembari mengangguk-angguk, lalu menelannya. “Coba sekarang gantian lo.” Tito menyendokkan dan menyuapkan makanan ke Jameka.

“Hoek! Pahit banget! Kurang ajar! Lo ngerjain gue, Kadal Sawah!” Jameka memuntahkan makanannya di tisu lalu dilemparkan ke tong sampah, sayangnya meleset, tetapi tak ada yang peduli. Sedangkan Tito tertawa terbahak-bahak. “Kurang ajar! Dasar tolol! Nih, sekarang lo makan semua parenya,” cerca Jameka. Dengan penuh semangat, Jameka merebut bungkusan dari tangan Tito, lalu dengan cepat menyuapkan tumis pare ke mulut Tito yang masih terbuka karena tertawa.

Tito yang tak siap langsung terbatuk-batuk dan akhirnya lari untuk memuntahkan makanannya ke tong sampah. Sekarang gantian Jameka yang tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini Carissa melihat bosnya tertawa lepas seolah-olah hanya Tito-lah yang mampu membuat bosnya seperti itu.

“Mampus! Rasain! Hahaha! Makan, tuh, tumis pare! Gurih, kan?” olok Jameka.

“Sialan! Kok, jadi gue yang kena batunya?” gerutu Tito sembari mengelap mulut.

“Itu namanya kualat, To!”

“Udah, udah, sana makan yang lahap!”

“Emm ..., terong balado sama orek tempe ini emang terbaik. Kata gue, ini juaranya.” Jameka manggut-manggut dan dengan lahap memakan makanannya. Sementara itu Carissa memperhatikan Tito minum dari gelas bekas Jameka di nakas.

“Gue mau, dong,” pinta Tito sebelum membuka mulut, minta disuapi.

Tanpa ada perlawanan, Jameka langsung menyuapi Tito. “Ya udah kita makan bareng. Kebanyakan juga kalau buat gue.”

“Sengaja gue minta porsi banyak, biar lo kenyang. Tahu banget gue, kalau lo pasti nggak doyan makanan rumah sakit.”

Apakah Tito tahu makanan kesukaan Carissa? Apakah Tito tahu warna, film kesukaan, atau tas pertama yang bisa dibeli Carissa dengan uangnya sendiri? Jawabannya tidak, dan Carissa sadar, Tito tak peduli dengan semua hal yang menyangkut dirinya. Selama ini, ia hanya cinta sendirian.

Lalu Carissa kembali melihat dan mendengar bosnya berkata, “Btw, kurang kerupuk doang ini, To.”

Sorry, gue lupa soalnya tadi buru-buru. Nggak enak ditungguin taksinya. Aaa ..., lagi sama sambelnya itu.” Tito membuka mulut lagi dan Jameka menyuapinya sesuai permintaan Tito, kemudian makan sendiri.

Tampaknya mereka memang sudah biasa makan sepiring berdua tanpa ganti peralatan makan, pikir Carissa. Ia masih memperhatikan cara keduanya berinteraksi. Sekarang Tito menyematkan rambut Jameka yang menjuntai jatuh dan dibawanya ke belakang telinga wanita itu supaya tidak mengenai makanan mereka. Kemudian Jameka menyuapi Tito lagi.

“Nggak ada kucir atau apa gitu?” tanya Tito sambil celingukan dan mengunyah.

“Kagak, udah gue bilang Papa nggak bawain mekap. Gue juga lupa bawa peralatan gue saking deg-degannya mau dioperasi,” jawab Jameka.

Carissa melihat Tito mengacungkan jari telunjuk setelah disuapi Jameka. Pria itu celingukan lagi dan berhenti ke kresek putih di nakas, merogoh-rogohnya, lalu menemukan karet gelang. “Udah, lo makan aja. Biar gue urus rambut lo.”

“Eh! Entar rambut gue bau makanan!” protes Jameka.

“Halah! Entar bisa dikeramasin, daripada ganggu lo makan.” Setelah mengucir Jameka, Tito membau rambut wanita itu dan menahan tawa lagi.

“Apa?” tanya Jameka penuh curiga.

“Kagak,” kelit Tito masih dengan tawa yang berusaha disembunyikannya.

Jameka berdecak. “Apa?” desaknya.

“Rambut lo bau terong balado! Hahaha!”

“Tito! Udah gue bilang, kan!”

Perlahan-lahan Carissa menutup pintu karena tak kuat lagi melihat Tito dan Jameka.

Baru kali ini Carissa melihat interaksi paling natural antara Tito dan Jameka. Selama di kantor, bosnya tampak tak pernah serileks ini. Bahkan cara Jameka berinteraksi dengan Kevino yang notabene sang pacar, tidak seperti saat berinteraksi dengan Tito. Tito juga demikian, selalu menjadi asisten yang baik bagi Jameka. Tidak pernah terlihat sesantai ini.

Jameka dan Tito seperti saudara, tetapi juga tidak bisa disebut demikian. Seperti pacaran, tetapi juga tidak bisa disebut demikian. Seperti keluarga, tetapi juga tidak bisa disebut demikian. Seperti teman, tetapi juga tidak bisa disebut demikian. Menurut Carissa, Jameka dan Tito seperti Heathcliff dan Chaterine Earnshaw di novel klasik Wuthering Heights.

Carissa bahkan berpikir hubungan Tito dan Jameka lebih kompleks daripada yang terlihat. Semarah-marahnya mereka satu sama lain, mereka selalu kembali ke sisi masing-masing. Carissa sadar betapa cocoknya mereka, betapa terbukanya mereka, berapa saling menyayanginya mereka. Seolah-olah mereka memang ditakdirkan bersama, tak peduli pada kondisi apa pun, dan tak peduli siapa pasangan mereka masing-masing. Tito dan Jameka memiliki suatu ikatan tak kasat mata yang erat, yang tak bisa diputus begitu saja.

Mungkin kalau Jameka meninggal, Tito akan menggali kuburan Jameka dan tidur di samping mayat wanita itu. Seperti yang dilakukan Heathcliff di kuburan Catherine.

Jadi, apakah sudah saatnya ia menyerah?

____________________________________________________

However thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.

Well, Bonus foto Jameka Michelle

Tito Alvarez

See you next chapter teman-temin

With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima

Minggu, 22 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro