Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 44

Selamat datang di chapter 44

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Warning! Yang darah tinggi dilarang baca ini! Takut tensinya makin naik!

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Di dekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya

—Tulus; Sepatu
____________________________________________________

Ada dua pertanyaan yang bercokol di benak Tito saat ini.

Pertama, apakah pengalaman luar biasa yang terjadi antara dirinya dan Jameka semalam hanyalah mimpi? Mungkinkah karena akhir-akhir ini Jameka selalu mengisi pikirannya, maka mimpi tersebut terjadi? Sebagaimana yang ia ketahui, mimpi merupakan bunga tidur. Mimpi juga bisa berasal dari pikiran. Tak jarang, mimpi biasanya tercipta dari harapan-harapan yang melambung tinggi. Kendati tidak menutup kemungkinan, mimpi pun bisa terbentuk karena secara acak saja.

Kedua, apakah justru sebaliknya? Yakni, Jameka benar-benar datang mengunjunginya dan terjadilah pergulatan secara dewasa itu? Mungkinkah akibat efek alkohol yang telah naik ke kepala Tito sehingga membuatnya teler, jadi ia tak bisa membedakan mana yang mimpi atau mana yang benar-benar nyata terjadi di hadapannya, bahkan sedang dialaminya?

Kala dibangunkan Lih tadi, kepala Tito masih sedikit pusing. Selain itu, badannya juga pegal layaknya orang habis bertempur di medan perang. Akumulasi dari kegiatan-kegiatannya selama beberapa hari belakangan, pikirnya. Ia pun tidak memiliki kualitas tidur layak saat Carissa jatuh dari tangga sebab harus mengurus ini dan itu.

Anehnya, berkebalikan dari semua itu. Pikiran Tito justru terasa enteng seolah-olah baru saja melepaskan beban yang memiliki dua arah saling bertentangan.

Segi positif dari beban yang lepas itu, harapan Tito seolah-olah terkabul oleh mimpinya dengan Jameka. Bahwa wanita itu membalas perasaannya yang sama besarnya dengan Tito. Sedangkan dari segi negatif, ia seperti baru saja menepati janji yang disuntikkan berkali-kali ke dalam dirinya sendiri ketika menenggak wiski semalam. Bahwa setelah bangun, ia melupakan segalanya. Termasuk perasaannya pada Jameka. Bahwa, ia bisa menjadi Tito Alvarez yang dulu. Ia pun berpikir telah berhasil menerapkan stoikisme dengan cara lama.

Mulanya pagi ini Tito memang melupakan Jameka. Namun, setelah pengelihatannya mengarah ke kasur dan lampu tiang, benaknya menjadi bimbang. Perasaannya pada Jameka kembali menyerbu Tito bagai serdadu bersenjata api yang siap menembak. Dengan sekejap bidikkan tepat dan tekanan pada jari di pelatuk, peluru itu sukses bersarang di dalam jantung Tito. Itu berarti perasaan cintanya pada Jameka sulit hilang layaknya noda membandel.

Bila memang adegan panas antara dirinya dan Jameka hanyalah mimpi, kenapa ada kasur basah dan bra wanita itu yang tersangkut di lampu tiang?

Tito menghela napas untuk mencoba mengarahkan pikirannya ke sesuatu yang positif. Kasur basah itu bisa jadi ulah Tito sendiri, kan? Mungkin saja semalam ia tidak sadar menumpahkan air minum di gelas. Namun, bagaimana dengan penutup dada tersebut? Tidak mungkin Tito mengoleksinya seperti orang kelainan jiwa, kan?

Bunyi dering ponsel yang baru menyala setelah mendapatkan aliran daya baterai mobil menghentikan pikiran Tito. Ia meraih gawainya untuk melihat banyak notifikasi yang masuk. Mengabaikan Lih yang menyetir anteng di sampingnya.

Ada sekitar hampir 100 pesan dan panggilan dari Carissa sejak kemarin lusa hingga pagi ini; beberapa pesan dan panggilan dari Lih Gashani kemarin malam; sedikit di antaranya pesan dan panggilan dari Jayden. Lalu yang membuat jantung Tito mulai bertabuh kencang ialah ketika melihat notifikasi dari Jameka Michelle. Padahal hanya segelintir pesan dan panggilan dari wanita itu, tetapi Tito merasa akan gila.

Secara terburu-buru, Tito membuka pesan dari Jameka. Baginya, itulah yang paling utama. Siapa tahu ia bisa mendapatkan jawaban dari kebingungan yang melandanya saat ini. Namun, kerutan di alisnya makin menjadi-jadi lantaran membaca tiga pesan Jameka yang rupanya telah dihapus. Wanita itu mengirimnya tadi malam, tepatnya hampir tengah malam. Kemudian ada dua panggilan tak terjawab juga tadi malam, tepat sebelum tiga pesan yang dihapus itu dikirim.

Sudah, hanya itu. Sama sekali tidak menjawab kebingungan Tito.

“Jang, semalem Yang Mulia ke basecamp, nggak?” tanya Tito yang akhirnya sudah tidak bisa mengkondisikan hati dan pikirannya.

“Kagak tahu. Abis naroh lo, gue langsung tidur,” balas Lih jujur. “Kenapa emang?” tanyanya kemudian. Lih mulai agak prihatin lagi dengan kondisi Tito. Bukan secara fisik, melainkan mental. Fisik Tito tampak baik-baik saja, tetapi wajah bimbang itu jelas berhubungan dengan pikiran dan hati.

“Nggak apa-apa,” kelit Tito dengan suara pelan, yang terdengar makin ironis di telinga Lih.

Lih lantas mengusulkan sesuatu dengan harapan agar itu bisa mengurangi beban pikiran Tito. “Coba tanya Yang Mulia langsung aja.”

Terus gue harus bilang apa? Jameka Sayangku, tadi malem lo ke kamar gue dan kita nananina? Gitu? jawab Tito dalam hati.

“Gue nggak mau ganggu dia,” balas Tito, masih dengan volume nada yang sama.

Kening Lih berkerut samar. “Bukannya kalian emang satu paket? Maksud gue, nggak peduli siapa pasangan kalian masing-masing, kalian tetep bareng, kan? Tetep saling kontak, kan? Kenapa sekarang lo malah takut ganggu Yang Mulia? Bukannya lo emang demen bikin dia ngamuk dengan gangguin dia?”

Memang. Tito suka sekali membuat Jameka marah. Sayangnya kini tidak demikian. Terutama sejak menjumpai Jameka bersama Kevino di rumah sakit kemarin. Selain Kevino tidak asyik diajak bercanda—Tito sudah pernah bercanda dengan Jameka di hadapan Kevino di Samarinda beberapa waktu lalu dan berakhir buruk sekali, ia juga seakan-akan dilempar ke masa lalu melalui mimpinya semalam, tepatnya sebelum Jameka datang. Ia harus mengingat tentang mimpi tersebut. Baik saat dirinya menjadi anak SMA dan tragedi itu terjadi, maupun yang dilakukannya bersama Jameka. Ia harus memposisikan diri sebaik mungkin dengan cara melihat dari berbagai sudut pandang berbeda.

“Lagi nggak pengin nganggu aja,” balas Tito yang tak bisa benar-benar jujur kepada Lih. Karena sejatinya ia juga tidak bisa benar-benar jujur kepada diri sendiri. Ia takut mengira-ngira, yang ujung-ujungnya akan meremukkan hatinya lebih parah lagi.

Lagi-lagi Lih mengusulkan, “Kalau lo rasa penting banget, coba tanya si Arga. Kali aja dia tahu. Soalnya biasanya dia tidurnya malem banget.” Sekilas, ia melihat Tito menempelkan ponsel di telinga. Merasa lega karena Tito menuruti sarannya sekaligus sadar ternyata Jameka memang amat penting bagi Tito.

“Yo,” sapa Tito begitu sambungan aktif.

“Kenapa, Bang?” tanya Arga dengan suara serak khas orang bangun tidur.

“Semalem lo balik jam berapa?”

“Hampir subuh baru balik. Kenapa emangnya, Bang?”

Dua detik kemudian, Tito baru bertanya, “Semalem Yang Mulia Ratu ke basecamp, nggak?”

“Bukannya semalem dianter Bujang ke rumah Om Alle? Harusnya tidur sana, nggak, sih? Kenapa emang, Bang? Ada masalahkah? Yang Mulia nggak kenapa-kenapa, kan? Apa Bos yang cari info ini?” cerocos Arga yang mendadak panik sebab membayangkan Jayden marah. Bila ia tidak tahu soal Jameka karena luput dari pengawasan, bisa gawat. Dan, kenapa apabila ada perintah pengawasan, ia tidak diberitahu?

Untungnya Tito menjawab, “Kagak ada masalah. Bukan Bos yang cari info juga. Oh, ya, Ga. Tolong panggilin orang buat bersihin kamar gue. Kasur, kursi, semuanya tolong divakum, ya? Sama tolong bawa cucian kotor gue ke laundry biasanya.”

Begitu sadar seprainya basah dan ada bra di lampu tiang, Tito dengan cepat menaruhnya ke keranjang cucian kotor, kecuali bra Jameka yang ia bawa di tasnya sekarang. Bra yang—sialnya beraroma Jameka, yang membuatnya pusing tujuh keliling, yang membuatnya mabuk kepayang, dan yang membuatnya ....

Tito menghentikan pikirannya.

Selain itu, ia juga sudah menyimpan barang-barang penting di lemari dan laci-laci, serta sudah mengunci semuanya. Jadi, ketika dibersihkan nanti semuanya sudah aman.

“Oke, Bang. Tapi agak siangan dikit, ya? Gue masih mau lanjut tidur,” jawab Arga.

“Ya, thanks, Ga.”

Begitu sambungan terputus, Lih langsung bertanya, “Gimana, To?”

“Dia kagak tahu.”

“Apa gue tanyain langsung ke Yang Mulia entar waktu jemput dia?” tawar Lih.

“Thanks, tapi nggak usah, Jang. Nggak penting juga, kok.”

Lih tahu Tito berbohong, tetapi menghargai dan memberikan ruang bagi sahabatnya itu untuk mengatasi permasalahannya sendiri. Dengan catatan, bila dimintai tolong, ia pasti akan dengan senang hati membantu Tito.

♪♪♪

“Sebenarnya, sindrom polikistik ovarium bisa macam-macam gejalanya. Sembilan puluh persen yang paling kelihatan biasanya cenderung kelebihan berat badan atau obesitas. Disertai dengan siklus menstruasi nggak teratur, rambut rontok parah, sama daerah lipatan-lipatan tubuh menghitam. Bisa juga tumbuh rambut agak berlebihan, di kumis misalnya,” terang dokter konsultan spesialis endokrinologi kepada Jameka dan Allecio.

Jameka dan Allecio mengangguk, menunggu untuk penjelasan selanjutnya. Berkebalikan dari Allecio yang begitu fokus nan saksama memperhatikan setiap kata dari dokter, Jameka justru tidak sebab pikirannya masih dipenuhi Tito.

Pasalnya sudah hampir seminggu pria itu pergi ke Beijing dan tak ada kabar sama sekali. Berkali-kali Jameka ingin menggali informasi dari Lih, tetapi urung. Meski Lih tidak nyaman dengan pekerjaan ini, tetapi tatap saja ia khawatir Lih akan tersinggung dan merasa ingin disingkirkan sebagai asisten apabila ia bertanya kapan Tito pulang. Satu-satunya petunjuk mengenai Tito ialah informasi yang diberikan Lih kemarin. Bahwa setahu Lih, Jayden memang selalu membuat orang-orang di sekitarnya jarang memegang ponsel supaya fokus bekerja.

Jameka mengembuskan napas berat, tetapi pelan, supaya orang-orang di sekitarnya tidak menyadari kegundahannya. Walau ia tak akan keberatan sama sekali jika dokter, perawat, bahkan papanya, akan mengira ia khawatir dengan PCOS. Padahal ia sedang berpikir kenapa juga Tito harus menghubunginya? Bukankah pria itu ingin menikahi Carissa?

Lalu bagaimana dengan malam itu?

Sejak malam itu, semuanya sudah selesai. Jameka harus berusaha untuk tidak bergantung dengan kebiasaan berkomunikasi dengan Tito. Ia pun pernah tidak melakukan komunikasi dengan siapa pun saat pergi ke River beberapa waktu lalu sampai-sampai membuat Kevino kelimpungan. Harusnya kali ini pun ia bisa. Apalagi hanya menutup akses komunikasi bagi satu orang saja. Langkah Tito sudah betul dengan mengabaikannya seperti ini. Dan ia pun sudah betul tak menjalin komunikasi dengan Tito. Untuk urusan pekerjaan, bisa dipikirkan nanti jika harus bersinggungan dengan pria itu lagi.

“Dan tiga syarat saja yang sudah dipenuhi dari beberapa ciri tadi, sudah bisa didiagnosa PCOS,” lanjut wanita paruh baya berkacamata minus yang tampilannya memang cerdas dan rapi, sesuai profesinya. Mengembalikan fokus Jameka pada permasalahan fertilisasinya. “Tapi nggak semuanya. Ada juga yang nggak ada gejala sama sekali tapi bisa kena sindrom ini. Saya pernah punya pasien PCOS tanpa gejala. Berat badannya sama sekali nggak obesitas, malah cenderung kurus. Siklus menstruasinya juga teratur. Tapi ketika dicek, ovarium kanan sama kirinya penuh kista,” cerita dokter.

“Lalu bagaimana dengan putri saya, Dok?” tanya Allecio yang mewakili Jameka.

Dengan wajah tenang, Dokter kembali menerangkan, “Kalau Bu Jameka sendiri cuma gejala menstruasinya yang nggak teratur. Itu pun nggak bisa dijadiin patokan karena stres juga bisa bikin menstruasi nggak lancar. Untungnya segera dicek. Dan kita juga sudah lihat hasil USG tadi. Memang ada beberapa kista ovariumnya. Saya lihat nggak begitu banyak.”

Jameka dan Allecio melihat hasil USG yang ditunjuk-tunjuk dokter untuk mempertegas penjelasannya. Mereka kembali menunggu penuturan wanita paruh baya yang jam terbangnya sudah tinggi itu.

“Ada dua pilihan pengobatan yang saya anjurkan. Terapi obat berupa hormon untuk menekan salah satu hormon yang nggak seimbang itu, atau laparaskopi.”

Setelah menerangkan plus minus dari dua pilihan pengobatan yang disarankan dokter, akhirnya Allecio dan Jameka sepakat memilih untuk laparoskopi.

“Pemulihan laparoskopi cenderung cukup cepat karena sayatannya kecil-kecil. Nanti dibantu dokter anastesi, dokter spesialis kandungan, sama para medis, akan kami buat tiga sayatan. Satu di pusar. Jadi, pusarnya dilubangi buat masukkan alatnya. Sama dua sayatan kecil lainnya di bagian kanan sama kiri perut bagian bawah.

“Pemulihan pasca operasi luka jahitannya memang cepat. Sama kayak observasi setelah operasi. Tapi, observasi pemulihan organ dalam memang agak lama dan harus kita perhatikan baik-baik. Setelah operasi kami akan berikan obat anti menstruasi kira-kira sampai tiga bulan biar organnya istirahat dulu. Kalau ada proses ovulasi atau pematangan sel telur yang nantinya akan luruh jadi menstruasi karena nggak ada pembuahan, dikhawatirkan bakal ganggu proses pemulihannya.

“Jadi, harus kita stop dulu. Dan, tiap bulan pasca operasi harus kontrol, diperiksa pakai USG. Selain itu juga harus jaga pola makan dan olahraga teratur. Nanti saya akan terangkan lagi makanan apa saja yang boleh dikonsumsi atau yang harus dihindari. Juga olahraga penunjangnya. Untuk sementara jangan konsumsi kafein dan nikotin dulu.” Begitu kata dokter.

Setelah melakukan konsultasi lanjutan serta menetapkan jadwal operasi untuk lusa, akhirnya Jameka dan Allecio keluar ruang pemeriksaan.

“Tenang aja, Jame. Ada Papa. Semuanya aman. Dokter bilang juga aman, kan? Selama kita nurut sama dokter, aman,” tutur Allecio yang sejujurnya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Sebagai seorang ayah, tentu ia khawatir dengan kondisi putrinya. Beruntungnya masalah PCOS ini segera diketahui sehingga bila nanti Jameka menikah, fertilitasnya sudah bagus. Suaminya Jameka tak akan dipusingkan alasan mereka tak kunjung memiliki momongan. Allecio bersyukur sekali dengan itu.

Mereka kini berjalan menuju lift yang mengarah ke basemen, tempat mobil Allecio. Jameka memang tidak izin cuti karena terlalu sering melakukannya. Oleh sebab itu pemeriksaan ini dilakukannya pada jam makan siang, sesuai jadwal praktek dokter. Allecio sudah membuat janji dengan dokter tersebut tadi pagi saat mereka sarapan.

“Makasih, Pa. Aku nggak bisa bayangin kalau nggak ada Papa,” balas Jameka sambil memeluk pria paruh baya yang mewarisi hampir seluruh genetiknya pada Jameka. “Papa mau makan siang dulu, nggak? Aku masih ada waktu sebelum masuk kantor,” tawa Jameka setelah melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya.

“Ayo, mau makan di mana?”

“Warteg.”

Langkah Allecio langsung berhenti untuk menatap Jameka. “Warteg?” ulangnya.

“Yup,” jawab Jameka sembari menggamit lengan papanya. Ia tak berani menatap Allecio.

“Tumben? Pasti diracunin Tito. Dia, kan, suka ke warteg. Pernah bungkusin Papa makanan warteg juga.”

Mendengar nama Tito disebut-sebut, jantung Jameka berdegup kencang. “Oh, ya? Kapan?” tanyanya sok acuh tak acuh.

“Udah lama.”

“Papa suka makanan warteg? Lidah Papa, kan, Italia banget.”

“Papa udah survive. Udah berapa puluh tahun tinggal di sini, masa nggak ada adaptasinya? Ayo kita ke warteg kalau kamu pengin makan sesuatu di sana.”

Baru dua menit berkendara, ponsel Jameka berdering. Ia berusaha semaksimal mungkin tidak salah tingkah lantaran berharap Tito menghubunginya. Sayangnya, panggilan itu bukan dari Tito. Melainkan dari Kevino.

“Angkat aja. Papa bakal diem,” kata Allecio.

“Kevino, Pa. Udah aku ceritain kapan hari, kan?”

“Katamu dia mau tahu perkembangannya?”

“Iya, sih.”

“Ya udah, angkat aja nggak apa-apa, Nak. Putus hubungan bukan berarti harus putus komunikasi juga. Lebih-lebih kalau kalian putus baik-baik.”

♪♪♪

Si Bujang Lih:
Barusan Yang Mulia dianter Om Alle sama Pak Kevino ke kantor. Kayaknya mereka habis makan siang bareng.

Tito menghela napas panjang setelah membaca sederet kata yang merangkai pesan tersebut. Dengan malas, ia meletakan ponsel di nakas lalu merebahkan diri dengan posisi terlentang, tetapi kedua kakinya menggantung.

Tito mengambil bra milik Jameka dan membolak-baliknya, memperhatikan benda itu dengan saksama, selanjutnya meletakkan asal-asalan di sampingnya. Lengannya naik untuk menutupi matanya yang memejam.

Ternyata jatuh cinta sekaligus sakit bisa setelah ini, pikir Tito.

Bertahan dalam posisi ini selama beberapa saat, Tito mendengar kamar hotelnya dibuka. Hanya ada satu orang yang bisa melakukan itu. Tito tak punya tenaga untuk peduli.

“To,” panggil Jayden.

“Apa?” jawab Tito masih dengan posisinya.

“Lo nggak bilang kalau kakak gue mau operasi?”

Bagaimana Tito harus menjawabnya?

“Gue aja kagak dikasih tahu kapan operasinya,” jawab Tito jujur.

“Tapi lo tahu dia mau operasi?”

“Ya, tahu. Cuma kakak lo kagak ngasih tahu kapan tanggalnya. Emang kapan dia operasi?”

“Besok lusa,” jawab Jayden. “Bisa tolong lo habis ini pulang buat temenin bokap gue sama Jameka? Urusan di sini sisanya biar gue handle sama bocah-bocah.”

Tito tak setuju dan langsung duduk. “Wah, lo jangan semena-mena gitu, dong. Kapan hari lo telepon gue subuh-subuh langsung nyuruh gue terbang ke sini. Sekarang lo tiba-tiba nyuruh gue pulang. Lagian ada cowoknya juga, keluarga lo welcome. Kenapa harus gue? What the fuck man?”

Jayden tidak tersinggung oleh omongan Tito. “Abis makan apaan lo jadi aneh begini? Biasanya seneng banget kalau disuruh balik Jakarta? Anggap aja gue lagi baik biar lo bisa kangen-kangenan sama cewek lo. Masa kutangnya aja yang lo pegang.”

Ini kutang kakak lo! Dan gue juga udah ubek-ubek isinya! Bukan cuma isinya kutang, yang lain-lainnya juga udah gue jelajahin semua! Bagaimana kira-kira reaksi Jayden kalau Tito mengatakan itu?

“Gue udah putus,” jawab Tito ringkas.

“Pantesan lo galau banget sampai bawa-bawa kutangnya ke sini. Lebih milih di sini daripada disuruh balik Jakarta juga. Tapi, To. Ini, kan, kakak gue. Nggak ada hubungannya sama mantan lo. Jadi, tolong, To.”

Nggak ada hubungannya gimana? Lagi-lagi Tito ingin meneriakkan itu lalu membanting lampu tidur di nakas sampai hancur berkeping-keping. Namun, ia juga sadar tak ada gunanya melakukannya. Perasaannya pada Jameka memang tidak penting bagi siapa pun. Jadi, sebaiknya Tito memendamnya sembari berusaha melupakannya. Yang terbukti hampir seminggu ini tidak bisa melakukannya. Ia malah menanyai Lih macam-macam soal Jameka. Apanya yang berusaha melupakan?

“Ya, To,” pinta Jayden.

“Kenapa kagak lo aja yang balik? Itu, kan, kakak lo. Biar urusan di sini sisanya gue tangani sama bocah-bocah.”

“Lo lagi galau gitu. Nggak yakin bisa fokus. Jadi, gue aja. Lo balik ke Jakarta, To. Tolong temenin bokap sama kakak gue.”

____________________________________________________

However thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.

Well, Bonus foto Jameka Michelle

Tito Alvarez

See you next chapter teman-temin

With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima

Sabtu, 14 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro