Chapter 42
Selamat datang di chapter 42
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran
Warning! Yang darah tinggi dilarang baca ini! Takut tensinya makin naik!
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Sudah tahu bahwasannya Jameka Michelle merupakan buah terlarang. Namun, ia tetap memetik dan memakannya seolah-olah iblis berhasil membujuknya.”
—Taming The Boss
____________________________________________________
“Wedeh ..., anak kantoran baru pulang ...,” goda Arga saat melihat Lih masuk. “Kelas ....”
Sambil melonggarkan dasi, Lih dengan tampang murung berjalan melewati Arga tanpa menyapa balik. Karena Arga sudah mau pergi setelah mengambil minuman kaleng dari kulkas.
Baru saja menempuh beberapa langkah menuju kamarnya untuk niat beristirahat, Lih berhenti akibat pengelihatannya menangkap sosok seorang pria yang duduk di sofa depan TV. Cahaya ruang tengah memang sengaja tidak dihidupkan sehingga redup. Pria itu membelakangi Lih, tetapi nyala TV yang disetel agak pelan serta menampilkan acara komedi, memancarkan penerangan, membentuk siluet pria itu.
Lih melihat botol wiski Jack Daniel’s dengan kadar alkohol 40 persen yang sudah diteguk seperempat digenggaman tangan kanan pria itu. Sedangkan di jari-jari tangan kiri pria itu terselip rokok yang sudah setengah disedot. Asap nikotin mengepul tipis di ruangan.
“To?” panggil Lih yang lumayan terkejut. Bukan hanya karena kemuraman yang mengelilingi Tito, melainkan juga karena minuman beralkohol tersebut. “Tumben lo minum wiski?” tanyanya kemudian.
Pasalnya, Lih tahu betul bahwa Tito tak pernah menenggak alkohol dengan kadar sedemikian tinggi. Sebab pria itu selalu menjadi Si Penjaga bin Pembawa Teman yang Mabuk—terutama Jayden. Pernah sekali Tito menemani Jameka mabuk beberapa bulan lalu. Untuk menjaga kewarasan sekaligus membahasi tenggorokan, Tito biasanya hanya memesan bir pletok atau koktail. Lalu kenapa tiba-tiba pria itu sekarang minum wiski? Apa gara-gara keributan semalam?
“Eh, Bujang. Baru pulang?” Tito tidak melihat lawan bicaranya seolah-olah fokus pada acara TV. Padahal pikirannya tidak berada di tempat. Lawakan-lawakan sang komedian tentu tidak menjamah otaknya sama sekali. Jadi, tidak ada tawa yang mengudara dari mulut Tito, yang kini terselip lintingan tembakau. Dengan sekali sedot hingga merasakan paru-parunya penuh, ia lantas mengembuskan asap nikotin yang keluar dari hidung dan mulut.
“Iya, soalnya abis nganter Yang Mulia Ratu Jameka ke rumah Om Alle.”
Barulah Tito menoleh Lih. “Nggak dianter si Bang Ke?”
Kedua alis Lih terangkat pertanda bingung. “Si Bangke? Siapa?”
“Bang Kevino Eclipster tercintanya?”
Wajah Lih kembali normal. “Oh, enggak.”
“Kenapa enggak?” sarkas Tito. Tak sadar nadanya begitu sengak.
Beruntungnya Lih tidak merespons Tito sebab kedua alisnya kembali sibuk mengernyit saat mengatakan, “Mana gue tahu? Sibuk mungkin. Tadi juga udah makan siang bareng, terus dianter ke kantor, kok.” Lih berusaha mengembalikan topik. “Tumben lo minum wiski?”
Jadi benar Jameka kembali menjalin hubungan dengan Kevino. Lih baru saja mendukung dugaan Tito tersebut. Bravo! Selamat, To! Lo cowok paling tolol sejagat raya! batin Tito mengejek.
“Penginnya sampanye Armand de Brinag Midas. Tapi gue cuma nemu Jack Daniel’s ini di lemari. Lagian apa yang mau dirayain pakai sampanye? Ketololan gue?”
Mendengar jawaban Tito, niat beristirahat Lih pun dijegal keyakinan ada yang kurang beres dari Tito. Ia memang pernah menemani saat-saat Tito galau beberapa minggu lalu. Namun, kali ini menurut Lih jelas ada yang berbeda. Bila dulu Tito masih bisa banyak cakap dengan perilaku ngawur, kini tampang Tito cukup tenang. Memang tidak ada hal kasar yang diperbuat Tito, tetapi minum alkohol berkadar tinggi itulah yang menjadi keganjilannya. Lih bahkan menyimpulkan Tito lebih pendiam daripada biasanya. Sebagaimana semua orang tahu, Tito cukup celomes.
Maka dari itu, Lih menaruh tas kerja di kursi meja makan. Lalu ia bergabung dengan Tito di sofa tunggal sebelah sofa yang diduduki Tito, sembari menggulung lengan-lengan kemejanya agar lebih santai. “Lo nggak apa-apa, To? Ketololan apa yang lo maksud?”
Lelaki tidak bercerita. Jadi, Tito hanya mengangkat bahu sebelum menjepit rokok di jari-jari tangan kiri, lanjut menenggak wiski langsung dari botol di genggaman tangan kanannya. Tito mengernyit. Minuman itu pahit dan membakar tenggorokan, tetapi ia membutuhkan efeknya. Semakin naik, makin ia akan bisa melupakan keadaan sakit hatinya yang tak terelakkan—kendati barang sejenak. Terutama, ia akan bisa melupakan Jameka yang kembali bersama Kevino.
Dengan efek yang diharapkan lebih dari itu, Tito mungkin bisa kembali menjadi diri sendiri seperti dulu. Seperti saat sebelum jatuh cinta menyerangnya bagai singa kelaparan. Hingga membuatnya hilang akal, kewarasan, dan jati diri. Tito berjanji, setelah minuman ini naik, ia akan menjadi Tito yang dulu, yang tak pernah menggunakan perasaannya kepada wanita mana pun.
Bila tahu jatuh cinta dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan di hati seperti ini, Tito tentu lebih memilih tidak merasakan jenis perasan tersebut. Dan semestinya ia harus berkaca pada ayahnya. Bukan malah membiarkan perasaannya pada Jameka berkembang hingga tak terkendali. Untuk itu, ia harus menghentikannya.
Tito tahu betul bahwasanya Jameka Michelle merupakan buah terlarang. Namun, ia tetap memetik dan memakannya seolah-olah iblis berhasil membujuknya. Akibatnya kini dapat ia rasakan. Ia tidak berselera banyak mengeluarkan suara, tidak nafsu makan atau bergairah berkerja. Ia bahkan sulit sekali memejamkan mata guna berlayar ke pulau mimpi. Benar-benar menguras seluruh energinya. Dan semua itu karena Jameka.
Apabila dulu Jameka menolak perasaannya karena tidak mempercayai perasaannya, Tito hanya merasa marah. Sekarang, setelah hadiah kecil yang ia yakini sebagai lampu hijau dari Jameka, hati Tito remuk redam. Ia pikir setelah bisa melepaskan diri dari Carissa, ia akan menemukan jalan bersama Jameka. Nyatanya? Benar-benar tidak sesuai ekspektasi Tito. Dan ia tak bisa menyampaikan hal itu kepada Lih. Maka, dengan dahi berkerut, Tito membalas Lih secara diplomatis. “Istirahat sana, Jang. Lo pasti capek habis kerja.”
Lih makin khawatir dengan sahabat yang sudah dianggapnya sebagai kakak ini. Oleh sebab itu, ia menghiraukan ucapan Tito dan badannya yang pegal-pegal. Ia malah ikut mengambil sebatang rokok dari kotak rokok yang tergeletak di meja rendah di hadapan mereka. Juga pemantik di dekat asbak. Dalam sekejap, rokoknya pun menyala. Asap nikotin kontan bergabung lebih banyak di ruangan.
“Gara-gara Carissa bandel nggak mau diputusin, lo jadi minum wiski?” tebak Lih sembari meletakkan pemantik di tempatnya. “Gue denger lo ribut-ribut semalem,” lanjutnya untuk mendukung pernyataannya.
Tito hanya menyiuk dan lanjut menenggak minumannya. Setelah gagal mengusir Lih secara langsung, sikap diam ini digunakan Tito sebagai aksi lanjutan. Sayangnya, Lih tidak mengerti keengganan Tito untuk membagi pikiran atau perasaannya. Itu terbukti dari mulut Lih yang terus menerocos, “Gue pikir lo cinta Carissa, To. Kenapa malah minta putus?”
“Sejak kapan lo jadi secerewet ini, Jang?” Tito menenggak minumannya lagi. Sama seperti tadi; pahit, membakar, efeknya makin naik ke kepala Tito. Pikirannya mulai agak tenang digantikan rasa berat di kepala. Hanya dibutuhkan beberapa tenggak lagi, efek minuman ini akan makin naik dan ia akan melupakan segalanya. Termasuk rasa sakit di hatinya.
“Soalnya nggak make sense aja, To. Lo biasanya gonta-ganti cewek. Comot sana comot sini tanpa dibawa ke sini. Beda sama dulu banget. Terus kapan hari lo sempet galau sampai kita di-stop polisi di jalan tol. Nggak lama dari itu lo jadian sama Carissa. Gue pikir lo udah tobat jadi womenizer dan serius sama Carissa. Tapi kenapa semalem lo malah minta putus?”
Tito tertawa sumbang. “Gue bangga sama analisa lo, Jang.” Walau tentu saja, semua itu tidaklah benar.
Selepas menyedot rokok, Lih membeberkan, “Bukan cuma gue aja yang punya kesimpulan kayak gitu. Pastinya semua orang yang kenal lo. Contohnya si Arga. Dia aja kaget semalem Carissa ke sini. Apalagi ngaku pacar lo. Sampai Arga tanya ke gue itu bener apa kagak. Ya gue jawab sesuai fakta. Tapi Arga nggak tahu soal ribut-ribut semalem karena gue usir sebelum lo pulang. Takut lo cemburu.”
Dengan polosnya, Tito bertanya, “Menurut lo, Jameka juga punya pikiran sama kayak lo, nggak, Jang?”
“Ya pastilah! Pakai nanya lagi!”
Lagi-lagi Tito tertawa sumbang. Efek alkohol yang makin naik membuatnya impulsif bergumam, “Pantes aja dia nggak percaya kalau gue beneran jatuh cinta sama dia.”
Dari gestur santai, Lih praktis menegakkan tubuh. “Dia? Maksud lo, dia itu Yang Mulia Ratu Jameka? Lo jatuh cinta sama Yang Mulia Ratu Jameka Michelle?” tanya Lih untuk memastikan pendengarannya tidak keliru menangkap maksud Tito di tengah gempuran suara TV yang berisik.
Tito tidak menjawab Lih dan hanya asyik dengan pikirannya sendiri. “Tapi udah nggak penting lagi. Dia udah sama si Bang Ke,” desisnya sebelum mengernyit akibat merasakan tenggorokannya dialiri wiski.
“Jadi, lo galau gara-gara Yang Mulia sama Pak Kevino? Bukan gara-gara Carissa? Makanya lo mutusin Carissa?” simpul Lih yang sebenarnya tak menyangka. Ia pun tak pernah curiga. Lazimnya bagi Lih dan seluruh penghuni basecamp, selain tahu betul bagaimana kebiasaan Jameka dan Tito yang gemar beradu argumen sampai barang-barang di sekitar bisa diterbangkan Jameka ke arah Tito, mereka juga tahu keduanya sering keluyuran berduaan saja. Seperti sistem kerja alam yang sudah semestinya demikian. Jayden pun memiliki pandangan serupa. Dan Lih yakin, semua orang juga akan berpikir sama dengannya bila mengenal baik Tito dan Jameka.
Berduaan aja! Lih menekan kesimpulan itu dalam hati. Juga mengingat seringnya Jameka datang bersama Tito sehabis makan dari suatu tempat, lalu menceritakan bagaimana rasa masakan tempat itu kepada penghuni basecamp. Sejak menjadi asisten Jameka di Heratl, tak jarang Tito diminta Jameka mengantar wanita itu ke salon di akhir pekan. Dengan iming-iming Tito boleh membungkus salah satu di antara orang-orang salon tersebut, tetapi anehnya Tito tak pernah melakukannya.
Dulu memang terlihat aneh bagi Lih. Namun, sekarang ia tahu itu semua beralasan. Karena Tito jatuh cinta kepada Jameka Michelle. Lantas kenapa Tito malah memacari Carissa? Apa karena tak enak dengan Jayden?
“Hahaha! Goblok! Lo lihat si pelawak itu? Goblok bener, Jang!”
Tawa kencang Tito menghentikan pikiran Lih. Ia melihat pria itu terpingkal-pingkal sampai memukul-mukul lutut. Botol wiskinya terombang-ambing. Cairan cokelat transparan itu tumpah di sana-sini, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang peduli. Tangan Tito yang memegang rokok diarahkan ke layar untuk menunjukkan betapa lucunya si pelawak itu kepada Lih Gashani.
Bukannya ikut tertawa karena lawakan di acara TV, Lih malah makin khawatir dengan Tito. Rupanya efek wiski sudah naik ke kepala Tito dengan sempurna. Sambil merokok, Lih memperhatikan Tito tertawa sampai mata Tito berair. Seakan-akan lelucon sang pelawak merupakan hal terlucu di dunia. Lalu acara tersebut terjeda oleh iklan. Dan tawa Tito kontan hilang sama sekali.
Tito bangkit berdiri, berjalan sempoyongan menuju tangga, lalu terbentur pelan pagar pembatasnya. “Maaf, nggak sengaja. Saya mohon ampun. Izinkan saya naik ke kamar. Saya capek,” tutur Tito. Ia bersimpuh. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan mengatup bagai prajurit memohon ampun kepada raja. Rokok Tito masih terjepit di antara jari-jarinya, tetapi botol wiski sudah terlepas dari pegangannya akibat benturan pelan tadi. Sehingga menyebabkan minuman itu tumpah lebih banyak.
Lih memang tidak tahu seberapa detail nan kompleksnya perasaan Tito pada Jameka hingga membuat sahabatnya itu remuk redam. Namun, situasi miris ini cukup membuatnya bersimpati. Ia menghela napas panjang untuk mencari-cari dampak positif dari ini. Yakni beruntungnya Tito mabuk di rumah mereka. Bukan di tempat umum yang pasti mengharuskan Lih mengeluarkan tenaga lebih untuk menggeret pria itu pulang sebelum mengacau. Ia kembali menggeleng-geleng muram, prihatin dengan Tito.
Jika Allecio tahu perasaan Tito pada Jameka, Lih yakin tidak apa-apa. Namun, bagaimana bila seandainya Jayden yang tahu lebih dulu—dan semua orang tahu bos mereka punya mata-mata di mana pun. Apa kira-kira respons Jayden pada Tito? Dihajar? Sudah pasti. Ditembak? Entahlah, Lih tidak tahu. Ia hanya berharap yang baik-baik bagi semuanya; bagi Tito, Jameka, Kevino, Carissa, bagi Allecio, bahkan bagi Jayden. Mesti tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan semuanya, ia memutuskan untuk tidak memberitahu hal ini kepada siapa pun. Lagi pula, itu bukan kewajibannya.
Sekali lagi napas berat dan panjang keluar dari hidung dan mulut Lih. Ia menjepit rokoknya di antara bibir sebelum merebut rokok dari tangan Tito dan menginjak lintingan tembakau itu supaya mati. Barulah ia memapah Tito ke kamarnya.
“Haha! Akhirnya kasur ...,” seloroh Tito sambil memejamkan mata.
Lih memposisikan tubuh Tito miring. Supaya apabila muntah, Tito tidak tersedak yang bahayanya bisa menghambat jalan napas hingga dapat merenggut nyawa. Setelah memastikan semuanya dirasa oke, Lih pergi beristirahat di kamarnya sendiri.
♪♪♪
Rasanya baru sebentar memejamkan mata, Tito sudah berlayar ke pulau mimpi. Ia menjadi bocah remaja berseragam SMA yang baru saja pulang sekolah. Tidak ada satu pun Tato ditubuhnya karena memang belum tiba pada masa ia harus membuat tato.
Hari ini matahari sedang panas-panasnya. Seperti kebiasaannya dulu, Tito tidak langsung pulang, melainkan membantu ayahnya yang bekerja di bengkel, yang terletak searah jalan ke rumah.
Walau hanya sekadar mengisi angin ban motor atau mobil, Soka Alvarez amat berterima kasih kepada putranya. Namun, saat baru membantu beberapa jam di bengkel, ia memanggil Tito. “Udah cukup bantu ayah. Kamu pulang dulu aja, To.”
“Kan, masih dua jam lagi tutupnya, Yah. Biasanya Tito bantu Ayah sampai tutup,” bantah Tito yang merasa momen ini tidak lumrah. Bila tidak sedang bermimpi, ia tahu persis adegan selanjutnya demi selanjutnya. Sekarang, ia tak ingat sama sekali.
“Nggak apa-apa. Ayah lagi capek hari ini soalnya tadi lumayan rame. Tapi sekarang lagi sepi. Pulang dulu sana. Habis ini Ayah juga nutup bengkel terus pulang, kok. Tolong bilang ke ibu, ya. Ayah minta dibikinin kopi.”
Mendengar jawaban logis ayahnya, Tito menurut, cuci tangan, mengemasi barang-barangnya, lalu pulang berjalan kaki. Biasanya ia langsung masuk rumah tanpa mengetuk pintu. Kali ini pengecualian. Suara desahan seorang wanita menghentikan langkah Tito yang sudah mencapai pintu depan rusun yang ditinggalinya bersama ayah dan ibunya. Tito memang masih SMA, tetapi tidak sepolos itu sampai tidak bisa membaca situasi. Maka, tak heran jantungnya berdegup kencang karena mengira-ngira siapakah pemilih suara tersebut.
Semoga itu buka Ibu, harap Tito. Semoga itu orang lain yang lagi main ke rumah. Bisa jadi itu kerabat ibu. Karena ibu lagi keluar, jadi orang itu nananina sama orang lain.
Secara perlahan-lahan dan dengan hati was-was, Tito membuka pintu depan yang menang tidak terkunci. Rusun itu berukuran kecil dengan dua kamar tidur, dapur super mungil yang tergabung dengan ruang tamu dan ruang TV. Ada balkon kecil berpagar besi menyeluruh yang digunakan untuk menjemur baju. Pagar itu mencegah baju-baju agar tidak terbang. Lalu ada juga kamar mandi yang ukurannya tak kalah mini.
Di dalam unitnya, suara desahan itu makin kencang dan suaranya berasal dari kamar orang tua Tito. Ia melongok ke samping pintu masuk. Ada rak plastik yang digunakan untuk menaruh alas kaki. Tidak banyak yang mereka miliki, sehingga Tito bisa mengidentifikasi milik ibunya ada atau tidak.
Tangan Tito mulai dingin saat menyadari semua alas kaki mereka ada di rak itu, kecuali sepatu yang masih Tito pakai dan sandal yang ayahnya pakai. Itu berarti ibunya tidak sedang pergi.
Mencari peruntungan, Tito melipir ke dapur di sebelah kamar mandi. Tidak ada seorang pun di sana. Dapurnya tampak agak berantakan karena sayur mayur yang diiris-iris masih di sana. Ada juga ikan yang ada di tirisan minyak. Yang paling mencurigakan, ada dua gelas minuman di meja ruang tamu. Logikanya, bila ibunya sendirian, kenapa membutuhkan dua gelas untuk diminum sendiri?
Jantung Tito makin tak karuan. Ia mulai kesusahan meneguk ludah saat dengan keberanian yang dibangun, ia membuka pintu tersebut yang rupanya tidak terkunci. Lalu terpampanglah pemandangan yang menghancurkan Tito. Sejak detik ini, semua tak lagi sama.
Lalu kejadiannya begitu cepat. Tito tidak tahu kapan tepatnya ayahnya pulang dan langsung menghabisi dua orang tersebut. Mendengar suara berisik, tetangga-tetangga mereka berebut masuk. Tito hanya meringkuk di pojokan balkon di bawah jemuran setengah kering. Ia menutupi kepalanya dengan kedua lengan seolah-olah takut kena pukul. Suara kegaduhan itu membuatnya pusing. Ia merasa di sekelilingnya berputar-putar.
Tito baru sadar mimpi buruk ini kembali. Trauma masa remajanya kembali. Dan inilah efek alkohol yang diharapkan Tito; mengingat masa lalunya agar tak menggunakan perasaannya pada wanita mana pun, termasuk Jameka.
Tito pun refleks menangkis tangan seseorang yang berupaya menyentuhnya.
“Tito,” panggil seorang wanita yang suaranya amat dikenal baik oleh Tito.
Jadi, Tito berhenti menangkis dan ganti mendongak. “Jameka?” gumamnya, tercenung sesaat kala menyadari memang betul Jameka Michelle-lah yang mengulurkan tangan kepadanya.
Tito tidak ingat ada adegan Jameka berseragam SMA di masa kelam itu. Lebih-lebih dengan wajah khawatir, seakan-akan Jameka ingin menariknya dari mimpi buruk ini. Haruskah ia menerima uluran tangan Jameka saat berusaha melupakan wanita itu?
____________________________________________________
However thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.
Well, Bonus foto Jameka Michelle
Tito Alvarez lagi galau
Kevino Eclipster lagi santai kawan
See you next chapter teman-temin
With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima
Rabu, 4 Desember 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro